“Uang tabungan Xai bukan hak kita berdua, Owen. Beda sama tabungan kamu. Sebagiannya juga hakku karena aku istrimu,” ucap Rati sambil membereskan meja.
Aku sedang tidak ingin memperbesar masalah. Aku pun menarik Xai, merengkuhnya, lalu mengecup dahinya sebagai ucapan terima kasihku padanya. Xai mengelak sembari terus tertawa. Wajahnya bersemu merah karena malu dicium oleh ayahnya sendiri. Anakku sudah sebesar ini ternyata.
“Tapi aku belikan Ayah ponsel baru bukan untuk lihat cewek-cewek seksi di TikTok, lho. Siapa tahu Ayah mau daftar jadi ojek online. Kan pas, tuh. Motornya sudah ada, ponselnya juga. Tinggal daftar pasti langsung diterima.”
Aku kembali menyerang Xai. Membalasnya dengan cara ingin memberinya ciuman lagi karena sudah mengerjaiku. Dia berkelit, mengelak sekuat tenaganya. Rati sampai kewalahan karena kami berdua terus berlari mengelilingi dapur yang sempit, menghalangi usahanya membersihkan sisa makan malam kami.
Aku
Suara guyuran air di dalam kamar mandi membuat aku bersiap-siap. Duduk tegak di salah satu kursi plastik yang biasa digunakan untuk makan, tapi tentu saja aku tidak menghadap ke meja makan saat ini. Aku menatap lurus ke pintu kamar mandi yang dapat terbuka kapan saja.Tadinya, kupikir aku akan mendengar suara ritsleting yang dipasang atau semacamnya, tapi rupanya tidak. Pintu itu terayun membuka lebih cepat dari yang aku kira. Xai muncul dari kamar mandi hanya dengan kaus tanpa lengan yang menutupi tubuhnya. Sisanya? Jangan ditanya.Anakku benar-benar sudah besar rupanya.“Eh, Ayah!”Teriakan Xai langsung diiringi dengan gerakan menutupi tubuh bagian bawahnya. Siapa yang menyangka. Anak kecil yang dulu sering bertanya kapan cumi-cuminya gendut seperti punya ayahnya, kini sudah bertumbuh hampir menyerupai milik ayahnya. Tambah sedikit ketebalannya, mungkin akan sama persis.“Sudah selesai?” tanya kami pada satu sama
Rasanya baru beberapa menit memejamkan mata, tiba-tiba saja kudengar suara Rati kembali membangunkanku. “Owen, cepat bangun. Kita beri kejutan untuk Xai. Hari ini ulang tahunnya.”Apa seseorang baru saja bilang ulang tahun?“Apa? Ulang tahun siapa?”Rati tertawa kecil, lalu menarik tubuhku untuk bangkit. Usaha yang sia-sia jika mengingat perbedaan ukuran tubuh kami berdua. Karena itu aku bangun dari ranjang, duduk sambil mengucek mata berulang kali. “Xai ulang tahun?”Rati mengiakan dan berusaha menarikku meninggalkan ranjang. Aku turuti keinginannya berdiri di sisinya. Aku lupa kapan terakhir kali aku berdiri di sisi istriku sendiri dan hal itu membuatku langsung teringat pada alasan kami berdua tertarik pada satu sama lain. Tubuhnya yang mungil membuatku selalu membayangkan apa saja yang dapat kulakukan padanya dan tubuhku yang menjulang baginya, membuat Rati rupanya diam-diam membayangkan seperti apa rasanya saat mem
Orang gila! Pelatih pribadiku yang bernama Cahyo ini benar-benar gila. Entah apa yang menjadi penyebabnya sampai dia mengira aku bisa mengangkat barbel dengan tambahan berat lebih sepuluh kilo dari yang biasanya kugunakan. “Aku tidak akan bisa mengangkatnya,” kataku bersikeras. “Jadi kau mengaku lemah sekarang, Bocah Jakarta?” Sekalipun tubuhnya penuh otot dan terlihat sekeras baja, aku sama sekali tidak merasakan ancaman. Matanya memelotot, barangkali menginginkan aku tunduk lalu nekat mengangkat barbel sialan itu. Aku tidak akan memberikan apa pun untuk memuaskan egonya. Kudatangi dia. Berdiri tegak di hadapannya. Tinggi kami tidak jauh berbeda. Aku hanya lebih beberapa senti saja darinya. Dia tahu kalau urusan tenaga aku pasti kalah jauh darinya, tapi yang sedang dimainkannya bukanlah adu kekuatan. Dia ingin mengadu mental denganku. Cahyo terkejut saat kucengkram kausnya yang ketat dan kutarik dia mendekatiku. “Walaupun lo pelatih p
Aku terkekeh saja dan membayar. Setelah mendapatkan yang kubutuhkan, aku pun pulang. Beberapa meter dari mini market, aku menoleh ke restoran cepat saji dan menemukan sepasang pegawai negeri—aku mengenali dari seragamnya yang mirip dengan punya Rati—naik ke atas sepeda motor dengan membawa bungkusan besar. Wajahnya tak bisa kulihat dengan jelas karena tertutup helm. Namun, dari perawakannya, aku merasa bahwa si perempuan sangat mirip dengan Rati. Marka jalan terus mengular sampai beberapa meter ke depan. Kalau aku nekat menyusul dua orang itu, mereka pasti tidak ada lagi di sana. Karena itu kuputuskan untuk pulang saja. Mungkin hanya kebetulan saja. Pegawai negeri yang datang ke restoran cepat saji pada jam istirahat bukan cuma Rati. Xai menatapku jengkel saat dia mendatangiku yang menunggu di depan gerbang sekolahnya. Dia bilang ada janji sama temannya dan tidak ingin langsung pulang. “Coba hubungi dulu temanmu, Ayah yakin dia enggak keberatan menunda
Kini gantian aku yang bersedekap. “Oh, benarkah? Lihat siapa yang bicara sekarang? Kamu pikir dengan menyalahkanku, kamu bisa cuci tangan dan enggak ikut andil sedikitpun membuat anak kita kenapa-kenapa? Kamu yang pergi sama pria lain. Ingat itu!”“Tadi itu cuma makan siang biasa, berengsek!”Aku mengabaikan Rati. Kembali ke dapur. Menghadapi meja makan yang penuh dengan kentang goreng. Rati menyusulku, memaksaku untuk mendengarkannya.“Jangan abaikan aku! Dengar, itu tadi cuma makan siang biasa. Kami pergi ramai-ramai, tapi tidak ada yang mau ke restoran itu kecuali aku. Atmi berbaik hati menawarkan diri untuk mengantarku. Apa itu salah? Kami bahkan tidak makan siang di tempat. Hanya beli dan langsung pulang.”Aku mencocol sepotong kentang ke saus sambal, lalu mengunyahnya sambil terus menatap Rati. “Aku tidak akan pernah tahu kamu jujur ataupun berbohong saat ini,” ucapku kemudian.“Aku bisa g
Kenapa naga terbang? Karena sebagian besar dari rekan sesama aktor dan aktris yang bermain di FTV bersamaku adalah orang-orang yang sama yang sebelumnya bermain di serial kolosal yang menampilkan naga-naga animasi, yang harus kuakui, memang menggelikan. Animasi berkualitas rendahan yang tidak masuk akal dan editing yang alakadarnya membuat usaha keras aktor dan aktris di tengah kekosongan berupa bidang hijau yang besar, membayangkan keberadaan makhluk ajaib sambil terus berakting sesuai arahan sutradara, menjadi sebuah kesia-siaan.Aku bertahan di kafe itu sampai menjelang waktu tutup. Makanan gratisku tentu saja sudah lama habis. Namun, aku masih harus membayar untuk beberapa gelas minuman—hanya jus dan kopi, bukan alkohol karena aku masih harus berkendara pulang ke rumah—yang kupesan sendiri.“Sudah siap pulang, Mas?” Pertanyaan itu membuat aku berbalik dan menemukan si cewek yang sudah bekerja keras sepanjang malam ini. Tidak ada senyum di wa
Setelah hari-hari tanpa bercinta yang begitu membebaniku, sesuatu yang mengejutkan kemudian datang padaku. Bapak, si pemilik pusat kebugaran Daimen menemuiku lagi dan rupanya selama ini dia ingin menawariku menjadi wajah dari Daimen. Yang dimaksudnya sebagai wajah adalah dia akan merekrutku sebagai model—utama dan satu-satunya—di pusat kebugaran ini. Wajah dan tubuhku akan tampil di iklan yang akan ditayangkan melalui akun Instagram dan Facebook khusus. Tugasku hanyalah berolahraga sambil difoto atau direkam, kemudian mengucapkan sebaris kalimat yang sudah dirancang oleh tim yang bekerja di balik layar. Karena keuntungan yang ditawarkan cukup menggiurkan dan hal ini bisa menambah panjang daftar prestasi di dalam portofolioku.Silih berganti ada sebaris pelanggan Daimen yang menonton selama diriku direkam saat sedang mengangkat barbel atau tengah berlari di atas treadmill. Beberapa orang akhirnya menyadari bahwa ada seorang bintang di tengah-tengah mereka
Setelah puas menertawakan Cahyo yang diseret oleh tiga teman barunya, aku masuk lagi ke ruang ganti untuk berpakaian. Di tempat yang sebagus dan selengkap ini, kamar mandi dan ruang ganti yang terpisah adalah kekurangan besar. Kalau saja aku punya kesempatan untuk merombaknya, maka yang paling duluan sekali akan kuperbaiki dari tempat ini adalah menyatukan ruang ganti dan kamar mandi.Selesai berpakaian, aku hendak meninggalkan Daimen tapi seseorang mencegatku. Cewek yang biasanya menyapaku di lobi, di balik meja resepsionis. Kalau tidak salah namanya Gina.“Bisa bicara sebentar?” tanyanya.Aku berhenti dan mengikutinya untuk duduk di sofa yang diletakkan di sudut lobi. Setelah kami duduk berhadapan, Gina tidak langsung bicara seperti yang dia inginkan. Aku dibuatnya menunggu cukup lama.“Bisa lebih cepat? Aku harus pulang sekarang juga,” kataku dengan sedikit kesal.“Aku tidak peduli ada perjanjian apa pun yang kau bu