"Gue kangen lo," ujar Vezy dengan satu tangan menarik pundak Arma. "Kangen juga?"
Arma berbalik menatap Vezy dan terkejut melihat sorot mata lembut itu. Dia bergerak mundur hingga punggungnya bersentuhan dengan pintu. "Nih, pakai.""Jawab dulu.""Enggak!" jawab Arma apa adanya."Yah. Cuma gue doang dong yang kangen?" Vezy meletakkan jaket denimnya ke pundak Arma lalu mengambil alih kausnya.Arma melihat Vezy yang mulai memakai kaus. Padahal, lelaki itu bisa melakukan sendiri. Tetapi, kenapa harus meminta bantuan? "Gue keluar, ya!""No!" tolak Vezy sambil menatap Arma. "Bantu pakaiin jaketnya.""Huh. Oke!" Arma mengambil jaket denim di pundak dan memakaikannya ke Vezy.Vezy tersenyum karena wanita itu menurut. Lantas, ide jail itu muncul. Kedua tangan Vezy melingkar ke pinggang Arma dan menariknya mendekat."Bisa nggak, nggak usah pegang-pegang?""Nggak bisa," jawab Vezy tanpa suara.ArSaat masih menjadi pekerja kantoran, Arma sangat jarang sarapan di rumah. Dia memilih membawa bekal dan memakannya jika kelaparan. Jika tidak, dia baru memakan bekal itu saat siang. Dia cukup jarang makan siang di luar. Tentu saja karena enggan bertemu karyawan yang selalu menggodanya.Sekarang, kebiasaan itu mulai berubah. Sejak bekerja bersama Vezy, Arma lebih sering sarapan bersama keluarganya. Terlebih jika Salma masuk pagi. Otomatis semua anggota keluarga akan makan bersama."Gimana kerjamu? Nyaman?"Arma menoleh ke sisi kiri. Di kursi ujung, seorang lelaki yang mengenakan kemeja batik tengah memakan nasi goreng dan tidak memperhatikannya. "Nyaman, Pa.""Ehm...." Salma berdeham mendengar kalimat itu.Perhatian Arma sekarang tertuju ke adiknya yang tersenyum menggoda. Dia mendengus dan melanjutkan sarapannya. "Nanti pulang jam berapa, Dek?"Bahu Salma seketika turun. "Agak sore," keluhnya. "Ada bab yang harus dibenerin."
Sore harinya, Vezy menjadi salah satu bintang tamu di sketsa komedi. Dia akan bernyanyi saat pembukaan dan penutupan. Sekaligus, ikut di beberapa scene sketsa komedi itu. Hal itu membuat Vezy, harus datang lebih awal.Beruntung, lelaki itu tidak bertingkah kekanak-kanakan lagi. Razi jadi lebih mudah mengarahkan. Terlebih saat salah satu kru memberikan naskah, Vezy terlihat bersemangat membaca dan mengikuti briefing.Sekarang, Vezy tengah menghafalkan naskah. Dia akan berperan sebagai penyanyi yang gagal audisi kemudian ditolong oleh salah seorang. Vezy kemudian menjadi seorang penyanyi, tetapi nanti si komedian yang akan bernyanyi."Gue demen kalau dia nurut ini," puji Razi sambil memperhatikan Vezy yang duduk di sofa panjang.Arma yang duduk di sebelahnya mengangguk. "Kayaknya dia lagi happy.""Emang kenapa?""Minggu depan mamanya dateng.""What?" Razi sontak menoleh.Arma mengernyit melihat ekspresi itu. "Mama
"Arma?"Arma memandang wanita yang mengenakan rok terusan tanpa lengan berwarna krem itu. Dia lalu menatap ke pintu. Tidak terlihat ada orang lain yang hendak masuk. Kemudian perhatian Arma tertuju ke wanita cantik itu."Temen lo?" Razi menatap Arma yang terdiam. Sementara Vezy menatap Arma dan pengunjung wanita itu bergantian."Gue keluar dulu, ya!" Arma seketika berdiri.Vezy menatap Arma yang mendadak panik. "Kenapa, Ar?""Ar, boleh ngomong bentar?" Wanita itu mendekati Arma.Arma menunduk dan berjalan menuju pintu. Saat berbelok ke kiri, dia melihat seorang lelaki yang tengah menggendong anak kecil. Kedua tangan Arma seketika terkepal. Dia berbelok ke arah kanan dan berlari menjauh."Ikutin!" Vezy seketika berdiri dan mengambil tiga kantung belanjaannya."Arma! Arma!" Pengunjung perempuan itu ikut keluar. "Sayang, itu Arma."Langkah Vezy terhenti. Dia melihat seorang lelaki yang terlihat panik. Kemu
"Are you okay?"Perhatian Arma seketika teralih. Dia mendapati Vezy yang menatapnya serius. Tangan kirinya terangkat, mendorong kening lelaki itu. "Gue cari meja yang cocok," ujarnya sengaja mengalihkan pembicaraan. Dia menurunkan tangannya, tetapi Vezy segera menggenggam.Vezy mengecup punggung tangan Arma lalu bergeser mendekat. "Kalau mau curhat gue siap dengerin.""Enggak! Gue nggak kenapa-napa." Arma menarik tangannya dan mencari meja kerja yang cocok. "Kayaknya meja warna krem ini cocok."Vezy tersenyum samar, terlihat sekali Arma tidak ingin menunjukkan kesedihannya lagi. "Coba lihat!" Dia menatap ponsel Arma, melihat sebuah meja dengan laci di sebelah kirinya. "Boleh juga.""Oke! Pesen dua, ya?" tanya Arma lalu memasukkan ke keranjang. "Kalau kursi, harus nyaman. Kalau enggak, punggung sakit.""Lo bebas pilih kursi semahal apapun."Arma tidak begitu menggubris. Dia mencari kursi dengan sandaran agak tinggi. Hingg
"Mau gue cium nggak?""Jangan macem-macem!" Arma mengepalkan tangan dan menunjukkan ke Vezy.Vezy sama sekali tidak takut, justru kian gemas dengan wajah Arma. Dia memandang mata bulat dengan bulu mata lentik itu sambil tersenyum. "Sampai kapan lo terus pura-pura?""Pura-pura apa?""Pura-pura nggak sedih. Pura-pura nggak terjadi apa-apa," jawab Vezy. "Dan pura-pura nggak tertarik ke gue."Glek.... Arma menelan ludah. "Gue emang nggak tertarik ke lo.""Terus, kenapa pipinya merah?"Refleks Arma menyentuh pipi. "Ya karena gerah." Dia mengibaskan tangan ke wajah lalu membuang muka. "Bisa minggir?"Vezy menggeleng. "Jujur aja, Sayang.""Jujur apa lagi, sih?" Arma menatap Vezy lelah."Lo juga tertarik ke gue.""Gue nggak tertarik ke lo.""Kalau gue tertarik," aku Vezy lalu tersenyum lebar. "Hehe. Terlalu jujur?"Arma memandang wajah Vezy yang putih bersih. Sudah tidak ada
"Terus gue apa? Lo lihat gue apa kalau lo nggak bahagia? Menyedihkan?"Wanita bernama Jola itu terdiam mendengar penuturan sahabatnya. Dia mengakui perbuatannya dulu. Tetapi, dia juga ingin berbaikan. "Gue mau minta maaf.""Nggak perlu. Nggak akan berubah.""Kita bisa temenan lagi?""Menurut lo kita bisa temenan lagi?" tanya Arma yang langsung diangguki Jola. "Nggak bisa! Nggak akan bisa."Air mata Jola seketika menetes. "Ayo, kita bicara di dalem.""Gue harus pergi.""Arma, please." Jola menarik tangan Arma, berusaha membujuknya. "Kalau nggak bisa anggap gue temen lama, setidaknya hargai orang yang pengen ajak ngobrol lo."Tenggorokan Arma tercekat. Dia menarik tangan Jola lalu menoleh ke kiri. Saat itulah dia melihat seorang lelaki yang memperhatikannya. "Gue udah ada janji."Perhatian Jola teralih. Dia melihat lagi seorang lelaki yang kemarin bersama Arma. Lantas dia menatap wanita di depannya. "Kafe
Gue salah udah coba nyari tahu. Sorry, Ar.Ucapan Vezy beberapa menit yang lalu terniang di kepala Arma. Di satu sisi dia ingin marah, karena lelaki itu berusaha mencari tahu. Tetapi, di satu sisi dia mencoba memaklumi. Siapa coba yang tidak penasaran jika ada seseorang tiba-tiba menangis histeris? Pasti orang itu juga akan berusaha mencari tahu."Sorry, gue belum bisa cerita," gumam Arma sambil mengurut pelipis. Dia lalu menatap jalanan yang dilewati.Vezy tadi ingin mengantar Arma. Tetapi, Arma menolak. Dia tidak ingin merepotkan dan membuat lelaki itu kian penasaran. Akhirnya, dia memesan kendaraan online. Beruntung, Vezy tidak memaksa."Rumahnya sebelah mana, Kak?"Lamunan singkat Arma terputus. Dia menatap depan, melihat mobil mulai berbelok di perkampungan rumahnya. "Itu Pak, dekat polisi tidur.""Oke, Kak."Mobil lantas melaju pelan hingga berhenti di dekat polisi tidur. Arma menyampirkan tas di pundak lantas turu
Hari yang dinanti Vezy akhirnya datang. Sore ini, dia mengemudikan mobilnya ke bandara. Sebenarnya dia sangat jarang membawa mobil sendiri. Lebih nyaman jika disupiri Pak Eben atau Razi. Tetapi, pengecualian hari ini.Vezy menoleh ke belakang, melihat tiga kantung belanjaan yang berjejer. Dia tidak sabar, melihat orang itu akan menangis bahagia saat diberi kado. Sebenarnya, Vezy ingin menunda memberi kado itu, tetapi dia tidak sabaran.Beberapa saat kemudian, Vezy sudah sampai bandara. Dia melihat papan informasi jika pesawat mamanya akan tiba sepuluh menit lagi. Dia berdiri sambil mengosok kedua tangannya, lantas bibirnya tersenyum."Lama banget!" keluh Vezy sambil membenarkan topi hitamnya. Dia mengedarkan pandang, melihat pengunjung lain yang tidak mengenalinya.Tibalah saat Vezy melihat beberapa orang yang berjalan beriringan sambil menggeret koper berukuran besar. Dia maju beberapa langkah sambil mencari-cari. Hingga, dia melihat seorang wani