"Jadi, mulai hari ini kamu resmi resign."
Mendengar kalimat itu, Arma tersenyum samar. Dia sudah menantikan hari ini akan terjadi. Setelah dua tahun bekerja dan tersiksa dengan lingkungan kerja yang toxic. "Padahal, saya suka kinerjamu." Arma tersenyum sopan ke lelaki dengan kumis tipis itu. "Maaf, Pak. Tapi, keputusan saya sudah bulat," jawabnya. "Terima kasih sudah membimbing saya selama ini." "Semoga kamu nyaman di tempat baru." "Terima kasih, Pak." Arma maju selangkah lalu mengulurkan tangan. "Saya permisi." Setelah itu dia berbalik dan berjalan keluar. Begitu sampai depan pintu, Arma menghela napas panjang. Dia tidak bisa membendung senyumannya lagi. Kedua tangannya terangkat ke atas, meski tidak bisa berteriak kencang. "Yah, Amanda resign?" Senyuman Arma seketika pudar. Dia menoleh ke kiri, di ujung lorong ada beberapa rekan kerjanya yang menatap ingin tahu. Akhirnya dia memutuskan mendekat meski enggan. "Iya. Mulai hari ini." "Yah, udah nggak ada jendes cantik lagi, dong!" "Mbak Amandanya udah nggak ada." "Sayang banget!" Arma mengepalkan tangan mendengar kalimat itu. Bahkan yang mengucapkan itu adalah perempuan. Tidakkah mereka sadar kalimat itu sungguh menyakitkan? Arma Girana, wanita berusa 28 tahun yang menyandang status janda sejak usia 22 tahun. Yah, usia yang masih sangat muda. Arma menikah saat berusia dua puluh, tepatnya saat masih kuliah. Setelah itu, status janda melekat di diri Arma. Sebelum bercerai, Arma sudah memikirkan nasib kehidupan setelah bercerai. Ternyata sesuai dugaan, pasti ada orang-orang yang menggoda dengan statusnya. Bahkan, ada yang terang-terangan menilai kecantikan dan tubuhnya. Kemudian mereka bilang Arma termasuk janda premium. Lingkungan kerja Arma sangat toxic. Setiap ada karyawan lelaki yang dekat dengannya, pasti akan digoda. Padahal, sering kali hanya hubungan kerja. Arma mencoba legowo, tapi lama kelamaan dia tidak sanggup. Tidak ada yang salah dengan statusnya. Tetapi, orang-orang selalu menilai janda itu pasti sumber masalah. "Maaf, kalau selama ini saya nyakitin kalian," ujar Arma meski nyatanya sebaliknya. "Ada apa, nih, rame-rame?" Kemudian terdengar suara yang paling Arma benci. Arma menatap ke kiri, melihat lelaki dengan tas punggung yang disampirkan di pundak kiri. Lelaki itu selalu tersenyum menggoda saat menatapnya. Dia sudah pernah memperingati lelaki itu, tetapi tidak ada hasil. "Amanda resign, Bro. Cewek kesayangan lo ilang," ujar salah satu karyawan. "Amanda, Sayang." Jol mendekat dan menatap raut Arma. Refleks Arma mundur. Dia membalas tatapan Jol dan tersenyum samar. "Ya, saya resign," jawabnya. "Mulai besok, tidak ada lagi yang menggangu saya." "Kan, gue bercanda, Man!" jawab Jol. "Amanda, sukses di luar sana! Kalau kangen hubungi gue." "Sekalian nge-room," timpal salah seorang. Wajah Arma seketika memerah. Inilah bercandaan yang paling tidak dia suka. Mereka menilai Arma wanita gampangan. Jol juga seperti itu. Lelaki itu pernah secara terang-terangan mengajaknya berhubungan, tentu bukan hubungan yang sehat. Arma juga sering kali dicurigai menjadi salah satu selingkuhan karyawan. "Saya permisi!" Arma bergeser ke samping lalu menjauh. "Suiit...." Tiba-tiba ada yang bersiul. Hal seperti itu sudah hampir setiap hari Arma jalani. Tetap saja dia rasanya ingin marah. Dia yakin, para karyawan sekarang tengah memperhatikan tubuhnya. Memang, tubuhnya lebih berisi meski masih termasuk ke dalam kategori ideal. Tetapi, mereka menilai berlebihan. Karena hal itu, Arma jarang mengenakan rok span karena pasti akan membentuk lekuk tubuhnya. Dia lebih sering mengenakan rok panjang dan kemeja agak longgar. Dia pikir mereka akan berhenti menggoda, tetapi tidak. "Tapi, gue sekarang bebas!" gumam Arma sambil menuruni tangga. *** Setelah resmi resign di kantor lama, tidak lantas membuat Arma bersantai. Dia sudah melamar beberapa pekerjaan lain, bahkan saat statusnya masih menjadi karyawan keuangan perusahaan lama. Memang, dia sudah berniat jauh-jauh hari jika kontraknya selesai ingin segera mendapatkan pekerjaan lain. Tepat tiga hari setelah resign, Arma mendapat panggilan wawancara di sebuah kantor agensi. Dia tidak tahu mengapa memilih itu. Tetapi, ada satu alasan kuat. Yakni, dia mencari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan kantor lamanya. Kantor lamanya berada di bidang ekspor import. Sedangkan tempat barunya, berhubungan dengan dunia entertainment. Selain itu, lokasi kantor yang sangat berjauhan menjadi salah satu alasan Arma. Dia benar-benar ingin putus kontak dengan rekan kerja lamanya. Seniat itu. "Kak Arma! Kak Fei udah nunggu!" Arma sedang memoleskan lipstick saat teriakan Salma terdengar. "Bentar!" Dia segera meletakkan lipstick-nya dan menjauh dari meja rias. Dia menggapai tas hitam yang sudah disiapkan dari semalam lalu keluar. Dia mendapati Salma sedang bersiap untuk kuliah. "Mama ke mana?" "Ke pasar. Katanya nggak apa-apa nggak usah pamit," jawab Salma. "Oke! Gue berangkat! Doain!" Arma melambaikan tangan dan berlari keluar. "Ya!" Salma berteriak. Sampai di luar, Arma melihat sebuah mobil putih telah menunggu. Dia membuka pintu penumpang dan melihat Fei sedang menyantap roti. "Hehe. Nggak telat, kan?" tanyanya sambil masuk. "Santai." Fei meletakkan sisa roti di pangkuan lalu melajukan kendaraannya. "Akhirnya, lo bebas dari kantor terkutuk itu." Arma mengagguk. Fei adalah sahabat satu-satunya Arma. Mereka menjalin pertemanan sejak kuliah, hingga berlanjut sampai sekarang. Hanya Fei, yang tidak pernah menggoda dengan statusnya. Bahkan, Feilah saksi hidup percintaan Arma yang dulu. "Semoga kerjaan lo kali ini lebih nyaman," ujar Fei lalu memakan rotinya lagi. "Satu yang pasti, dapet rekan karja yang nggak toxic." "Thanks." Arma menepuk pundak Fei lalu menatap depan. Dia tidak bisa membayangkan jika tidak ada Fei. Wanita itu sering mengantarnya di hari-hari penting, termasuk wawancara kerja. Padahal, Arma bisa saja naik motor. Tetapi, Fei selalu melarang. Katanya, seseorang yang ingin memulai hidupnya harus ditemani. Termasuk saat wawancara kerja. Katanya, itu bagian dari memulai hidup. Beberapa menit kemudian, Arma sampai di sebuah gedung. Di bagian depan berbentuk kotak dan terdapat layar yang menampilkan foto-foto para artisnya. Arma merasa, kantornya mirip dengan kantor luar negeri. Dari bangunannya terlihat modern. Dia berharap orang-orang di dalam juga memiliki pemikiran terbuka, terlebih kepada status seseorang. "Sukses, Ar." "Sekali lagi makasih, Fei!" Arma memeluk Fei sekilas lalu segera turun. "Aduh...." Dia semakin gelisah saat melihat arloji telah menunjukkan pukul delapan. Arma menaiki anak tangga depan lalu menuju pintu yang otomatis terbuka. Dia melangkah masuk dan melihat beberapa wanita dengan penampilan stylish duduk berjajar. Seketika Arma menunduk. Dia menatap kemeja putih dan rok panjang berwarna hitam. Sementara yang lainnya ada yang mengenakan rok asimetris dan kemeja ruffle. Ada pula yang mengenakan celana dengan atasan tank top yang ditutup oleh jas. "Bu Arma." Arma berjingkat mendengar namanya dipanggil. Dia menatap ke sisi sebelah kiri dan mendapati seorang wanita yang membawa kertas. Apakah namanya dipanggil pertama? "Nggak ada?" Wanita di depan pintu itu mengedarkan pandang. "Saya!" Arma refleks mengangkat tangan. Dia berjalan mendekat sambil menarik rambutnya ke depan. "Silakan." Arma berjalan masuk dan melihat tiga lelaki yang duduk berjajar. "Selamat pagi." Dia membungkuk sopan lalu berjalan mendekat. Ruangan terasa begitu dingin, membuat Arma bergidik. Terlebih, tiga lelaki itu sekarang memperhatikannya. "Silakan duduk," ujar lelaki yang berada di tengah. Arma duduk di satu-satunya kursi yang menghadap tiga orang itu. Dia meletakkan tas di lantai lantas duduk tegak. Dia menatap tiga orang itu satu persatu. Lalu salah satu dari mereka menggerakkan tangan. "Perkenalkan, nama saya Arma Girana. Saya berusia dua puluh tahun, sebelumnya...." "... kamu baru saja resign dari tempat lamamu?" Lelaki yang duduk di sebelah kiri menatap Arma. Lalu membaca file di tabletnya. "Benar, Pak." Arma mengangguk sopan. "Kenapa?" "Karena kontrak saya sudah habis," jawab Arma. "Selain itu ada alasan lagi?" Arma tersenyum. "Lingkungan kerjanya kurang nyaman. Bukan berarti saya pemilih. Tetapi, terlalu membahas masalah personal." "Emm...." Tiga lelaki itu mengangguk. "Seberapa penting informasi pribadi menurutmu?" "Untuk dunia pekerjaan?" tanya Arma. "Penting bagi perusahaan untuk tahu informasi pribadi karyawannya. Tetapi, rasanya tidak etis jika sesama karyawan terus menjadikan masalah pribadi ke dalam dunia kerja yang sebenarnya tidak ada hubungan sama sekali." "Contohnya?" "Misalkan salah seorang karyawan...." "... Aaaa!" Jawaban Arma seketika terhenti mendengar suara teriakan di luar. Bahkan tiga orang di depannya refleks menatap ke arah pintu. Brak.... Kemudian terdengar suara pintu terbuka. "Duit gue dibawa kabur! Gue mau asisten secepatnya!" Kemudian terdengar suara yang sarat dengan kemarahan. Arma sontak menoleh. Dia mendapati lelaki yang mengenakan jaket kulit hitam dengan rambut yang berantakan. Lelaki itu mengacak rambut, membuatnya semakin kusut. Saat itulah Arma melihat tindik hitam di telinga kiri lelaki itu. "Nanti kita bahas! Kamu bisa keluar dulu?" "Saya?" Arma seketika menatap tiga orang di depannya. Sayangnya, mereka masih menatap tamu tidak diundang itu. "Gue harus berangkat ke Bali," jawab tamu tak diundang itu sambil mendekat. Arma menoleh saat tercium aroma aqua yang menguar. Dia mendongak dan terkejut melihat lelaki itu menatapnya. Lantas dia membuang muka kala melihat senyuman lelaki itu. "Dia mau ngelamar di sini?" tanya lelaki itu. "Iya, Vezy. Bisa keluar sekarang?" "Kalau gitu dia aja asisten gue!" "Ha?" Arma kaget saat lelaki bernama Vezy itu langsung menarik tangannya. Dia mendongak, memperhatikan wajah lelaki itu sepenuhnya. Mata lelaki itu agak dalam dengan iris berwarna cokelat terang. Bulu mata lelaki itu lentik dan lebat. Arma baru melihat ada lelaki yang memiliki bulu mata secantik itu. Lelaki itu memiliki bibir agak tipis dan hidung mancung yang terdapat bekas jerawat di ujung. Jangan tanya pula, kulit lelaki itu putih bersih dan tampak terawat. Sudah pasti, lelaki itu artis. "Nggak bisa gitu!" Lelaki yang duduk di tengah menyela. Vezy tidak mendengar protes itu. "Mulai hari ini lo asisten gue," ujar lelaki itu lalu mengedipkan mata. Jantung Arma seketika berdegup lebih cepat. Lelaki itu memang memesona, cocok dengan profesinya. Tetapi, dia merasa ada yang salah. "Saya belum selesai wawancara." "Nggak usah! Ngapain?" tanya Vezy sambil menarik tangan Arma yang satunya. "Lo lupa gue siapa?" "Nggak bisa!" Refleks Arma berdiri dan menarik tangannya. Tetapi, saat dia menatap Vezy sekali lagi di pikirannya mengingat suatu momen. Hingga, satu memori di tengah malam menyeruak. "Lo cowok yang waktu itu?"19 Juli 2017Niat Arma untuk keluar dari rumah terlaksana. Setelah tahu rahasia besar sang suami, tidak ada alasan untuk bertahan di rumah itu. Suaminya berusaha mengantarnya ke rumah orangtuanya, tetapi dia menolak. Arma tidak yakin bisa pulang jika kondisinya masih seperti sekarang. Air matanya terus turun, membuat matanya terasa nyeri dan panas. Dia yakin, orangtuanya pasti akan semakin sedih saat melihatnya. Jadilah, Arma memilih menginap di hotel tidak jauh dari rumah."Hiks...." Arma meringkuk di ranjang. Di pikirannya terbayang kehidupan ke depannya nanti akan bagaimana. Dia masih berusia 22 tahun, tetapi sebentar lagi akan menjadi janda. Dia tahu, di luar sana banyak yang menganggap rendah status itu. Padahal, mereka juga tidak mau mengalami seperti itu. Tetapi, janda selalu dilabeli perempuan yang buruk."Demi apapun, gue masih muda!" Arma mengacak rambut lalu mengusap air mata yang menetes. "Gue baru aja lulus. Bahkan, belum wisuda."Arma menatap langit-langit kamar hotel d
Arma merasa, dunia kembali mengajaknya bercanda. Setelah sekian lama, dia kembali mengalami hidup yang jungkir balik dan itu semua karena perbuatan seseorang. Bagaimana mungkin, niat hati ingin interview tapi berakhir di Bali? Itu semua karena ulah Vezy.Saat di perjalanan, Razi memberi tahu pekerjaan yang harus Arma tangani. Dia sempat protes, karena dia lulusan akuntansi. Seharusnya, dia mengatur hal-hal yang berbau keuangan. Tetapi, pekerjaannya kali ini mengurus keperluan artis muda bernama Vezy.Arma pernah mengurus suami. Seperti menyiapkan makan, membantu menyiapkan pakaian, memberi tahu jadwal harian. Tetapi, sekarang dia mengurus Vezy seorang artis. Bagaimanapun, pasti akan ada yang berbeda. Dia melakukannya karena pekerjaan.Sekarang, Arma sudah berada di hotel dengan pintu penghubung ke kamar Vezy. Dia tidak bisa protes karena manajer Vezy sudah memesankan. Sungguh, dia seperti sedang diculik oleh lelaki tampan. Jika dalam angan-angan, pasti ini terasa menyenangkan. Tetapi
Beberapa jam sebelumnya.Suara musik menghentak membuat kepala Arma kian pusing. Belum lagi sorot lampu yang terus bergerak. Matanya terasa panas dan terus berair. Dia heran ke orang-orang yang justru tampak biasa saja. Mereka asyik meminum dan menggoyangkan tubuh mereka."Nggak minum lo?"Arma menoleh ke Razi yang sebelumnya sibuk dengan minumannya. Lelaki itu mengulurkan sebuah botol lalu mengangguk pelan. "Gue nggak bisa minum," jawabnya lalu membuang muka. "Kita masih lama?""Yah. Besok cuma ada jadwal sore," jawab Razi. "Jadi, gue kasih dia kebebasan.""Gue besok balik, kan?" tanya Arma cepat.Razi hendak meminum minumannya saat Arma melontarkan pertanyaan. Dia meletakkan gelas di meja lalu menatap Arma sepenuhnya. "Gue rasa Vezy nggak akan biarin lo balik.""Kenapa gitu?" Arma refleks duduk tegak. "Dari awal gue dipaksa. Gue bisa loh laporin ini ke polisi.""Jangan memperpanjang masalah.""Tapi, ini cara yang salah," tekan Arma. "Apapun yang terjadi, besok gue balik."Razi terse
"Gila! Gue beneran gila!"Wanita yang berbaring terlentang di atas ranjang itu terus menggumam. Dia tidak sadar jika waktu berjalan cepat dan semakin larut. Padahal, dia sudah lelah tetapi tidak kunjung tidur. Itu semua karena godaan Vezy beberapa saat yang lalu."Kerja sama dia bahaya banget!" keluh Arma sambil membingkai kepala. Bibirnya mengerucut lalu ekspresinya berubah frustrasi. "Dia duluan, kan, tadi?"Arma ingat saat bibirnya bersentuhan pelan dengan bibir Vezy, walau hanya sedetik. Dia masih bisa merasakan rasa kenyal dari bibir itu. Tentu itu tidak termasuk ke dalam ciuman. Tetapi, mengecup seseorang yang baru dia kenal itu merupakan hal gila."Nggak boleh! Gue nggak boleh terus mikirin itu!" Arma menarik selimut lebih tinggi lantas bergerak miring. Dia memejamkan mata berusaha untuk terlelap. Sayangnya, bayangan kecupan tadi kembali bermunculan.Arma mencoba biasa saja meski rasanya aneh. Apa karena selama ini dia tidak pernah dekat dengan lelaki? Makanya, hanya kecupan ta
Kemarin begitu sampai rumah, Arma langsung diinterogasi mama dan adiknya. Beruntung, dia sudah menyiapkan alasan pergi bersama teman kampusnya dan ponselnya mati. Meski agak kurang diterima karena manusia sekarang tidak bisa berjauhan dari ponsel. Beruntung pula, Arma memang bukan tipe orang yang selalu peduli dengan ponsel. Hal itu membuat mama dan adiknya sedikit percaya. Meski, mereka masih terlihat marah."Sebenernya lo dari mana?"Arma sedang santai sambil memakan kentang goreng saat adiknya masuk kamar. "Gue udah cerita," jawabnya. "Lo nggak ke kampus?""Tinggal skripsi doang. Ngapain sering-sering ke kampus?" Salma duduk di samping kakaknya lalu mengeluarkan ponsel. Berbeda dengan sang kakak, Salma paling tidak bisa meninggalkan ponselnya."Vezy datang ke kantor polisi diduga telah melakukan pembu....!"Suara dari ponsel itu membuat Arma menoleh. Dia melihat adiknya yang sibuk melihat tayangan video dengan ekspresi kaget. Lantas Arma bergeser, melihat Vezy yang mengenakan hoodi
"Bukan salah dia," jawab Vezy. "Polisi udah kasih tahu, kan? Kenapa diperpanjang?" Vezy menggenggam tangan Arma dan meremasnya pelan. Arma menatap lelaki itu yang melindunginya."Masalahnya banyak klien....""... bagus! Gue nggak mau kerja sama mereka yang terlalu percaya omongan orang!" potong Vezy. "Masih banyak klien yang mau kerja sama karena kemampuan gue."Tedo menghela napas berat. "Apa itu?"Vezy melirik Arma yang terdiam. "Surat kontak kerja sama Arma," jawabnya. "Kayaknya dia nggak mau kerja di sini."Arma memperhatikan wajah Vezy yang begitu pucat. Sorot mata menggoda lelaki itu mendadak hilang. Dia seperti tidak berhadapan dengan Vezy."Ya udah, kalau dia nggak mau," jawab Tedo.Vezy mengambil berkas yang paling atas dan membuangnya. "Tapi, gue bakal pekerjain Arma." Lantas dia menyerahkan berkas lain ke Arma."Agensi nggak bisa bayar kalau gitu.""Tenang. Biar gue yang bayar!" jawab Vezy tanpa menatap lawan bicaranya. "Bisa keluar dari sini? Gue lagi nemuin klien penting.
Sepulang dari kantor agensi, Arma mampir ke rumah Fei. Untungnya wanita itu ada di rumah. Jika teman datang, maka terpikir untuk makan bersama. Pilihannya pasti makanan pedas. Fei kali ini memesan mi pedas dan seblak, makanan pedas favorit mereka."Lo sebenernya dari mana? Pakaian lo rapi," tanya Fei sambil memperhatikan kemeja pink dan rok putih panjang yang dikenakan Arma."Kantor agensi.""Fix kerja di sana?"Arma mengambil air mineral dan menegaknya beberapa kali. "Enggak. Hu...," jawabnya sambil menahan rasa pedas yang membakar."Terus?""Gue diminta kerja di sana. Terus, diinterogasi sama CEO-nya.""Diinterogasi?""Lo nggak lihat berita?" tanya Arma yang langsung dijawab gelengan Fei. Dia mengeluarkan ponsel dari tas dan mencari video tentang Vezy. "Lihat dulu."Fei memakan mi pedasnya sambil melihat video pemberitaan. "Loh, dia?""Cuma dimintai keterangan," jawab Arma cepat. "Tapi, orang-orang pada salah paham duluan.""Terus? Lo diinterogasi gara-gara ini?"Arma mengangguk. "C
Tet....Lelaki yang sedang duduk menonton televisi itu tersenyum begitu mendengar suara bel. Dia mematikan televisi lalu berdiri. Lantas dia berjalan pelan menuju pintu.Tet...."Siapa?" Vezy membuka pintu dan mendapati Arma. Sesuai dugaannya. Yah, bertanya sebagai formalitas saja.Arma memperhatikan wajah Vezy yang tidak sepucat tiga hari lalu. "Saya....""Masuk," ajak Vezy lalu membuka pintu lebih lebar. Dia menggerakkan tangan meminta Arma berjalan lebih dulu."Permisi," ujar Arma lantas berjalan masuk. Dia melepas flatshoesÂ-nya lalu berjalan menuju ruang tamu. Dia terdiam, melihat ruang tamu yang merangkap sebagai ruang santai. Terdapat sofa berwarna putih berukuran agak besar, tampak nyaman. Di samping sofa itu terdapat lemari dengan piala penghargaan yang diterima Vezy.Vezy tersenyum memperhatikan Arma yang mengenakan kemeja krem dengan rok di bawah lutut. Baru kali ini dia melihat wanita itu mengenakan bawahan yang agak pendek. Kaki Arma cukup kecil, padahal tubuhnya agak ber