Share

5-MASALAH BERTUBI-TUBI

"Gila! Gue beneran gila!"

Wanita yang berbaring terlentang di atas ranjang itu terus menggumam. Dia tidak sadar jika waktu berjalan cepat dan semakin larut. Padahal, dia sudah lelah tetapi tidak kunjung tidur. Itu semua karena godaan Vezy beberapa saat yang lalu.

"Kerja sama dia bahaya banget!" keluh Arma sambil membingkai kepala. Bibirnya mengerucut lalu ekspresinya berubah frustrasi. "Dia duluan, kan, tadi?"

Arma ingat saat bibirnya bersentuhan pelan dengan bibir Vezy, walau hanya sedetik. Dia masih bisa merasakan rasa kenyal dari bibir itu. Tentu itu tidak termasuk ke dalam ciuman. Tetapi, mengecup seseorang yang baru dia kenal itu merupakan hal gila.

"Nggak boleh! Gue nggak boleh terus mikirin itu!" Arma menarik selimut lebih tinggi lantas bergerak miring. Dia memejamkan mata berusaha untuk terlelap. Sayangnya, bayangan kecupan tadi kembali bermunculan.

Arma mencoba biasa saja meski rasanya aneh. Apa karena selama ini dia tidak pernah dekat dengan lelaki? Makanya, hanya kecupan tak berarti membuatnya susah tidur.

"Aduh!" Arma seketika terduduk dan menatap ke pintu penghubung yang tadi dia tutup. Padahal, Vezy menolak. Gila saja, mana mungkin dia membuka pintu itu dan membuat Vezy masuk. Bagaimanapun itu tidak etis.

"Dia udah tidur?" gumam Arma penasaran. Dia menyibak selimut lalu turun dari ranjang. Saat hendak melangkah, ada sesuatu yang menahannya. "Enggak! Gue nggak boleh penasaran!" Dia duduk di pinggir ranjang sambil menghela napas berat.

Beberapa detik kemudian, Arma berdiri dan berjalan mendekati pintu penghubung. Rasa penasarannya jauh lebih besar hingga mengalahkan logikanya. Dia membuka pintu dengan pelan lalu melongok.

Arma mengernyit mendapati lampu kamar Vezy tidak dimatikan. Perhatiannya lalu tertuju ke lelaki yang tertidur miring tanpa mengenakan selimut. Dia tidak bisa melihat jelas wajah Vezy, tetapi sepertinya lelaki itu sudah pulas.

"Bagus, deh!" Arma bergerak mundur dan menutup pintu. Dia berdiri bersandar lantas memegang dada. Jantungnya berdegup lebih cepat, entah karena apa.

"Hoam...." Kantuk Arma tiba-tiba datang. Dia kembali ke ranjang dan mengenakan selimut lebih tinggi. Perasaan yang membebani tiba-tiba menghilang. Apakah mungkin setelah dia mengecek kondisi Vezy? Arma menggeleng tegas. Tidak mungkin gara-gara itu. "Udah jelas makin malem, jadi gue ngantuk!" Dia lebih mempercayai itu.

***

Tut....

"Ini gue udah masuk gerbang!"

"Oh, okay!" Arma menjauhkan ponsel dan memutuskan sambungan. Dia mengedarkan pandang hingga melihat mobil dengan plat nomor yang telah dihafal. Dia melambaikan tangan lalu mobil itu menepi.

Fei membukakan pintu dan menatap Arma tajam. "Lo dari mana? Salma semalem nyariin," geramnya. "Mana nggak ngasih tahu gue!"

"Bentar dulu!" Arma masuk mobil lalu memakai sabuk pengaman. "Lo ada air putih, kan?" Dia menoleh ke kanan, melihat tumblr berwarna silver yang sering dibawa Fei. Dia mengambil benda itu dan menyeruput isinya.

Fei geleng-geleng melihat Arma yang seperti orang kabur. "Sebenernya lo ke mana?" Dia mulai melajukan kendaraan sambil sesekali melirik Arma.

"Huh...." Arma menghela napas berat. Kelegaan itu baru menghampiri. Dia lalu menatap Fei yang terlihat khawatir. "Gue berasa diculik."

"Diculik siapa?"

"Vezy."

"Siapa itu, Vezy?"

Arma menahan tawa. Dia dan Fei memang setipe, kurang update artis-artis ibu kota. "Artis di kantor agensi gue. Tiba-tiba gue dijadiin asisten terus diajak ke Bali."

"Enak, dong! Sekalian liburan."

Inilah bedanya Fei dan Arma. Fei lebih suka kegiatan di luar, karena hal itu dia memilih berbisnis perjalanan wisata bersama saudaranya. "Nggak enaklah. Gila aja, baru interview udah diseret keluar."

"Terus, lo berhasil kabur?"

"Hmm...." Arma mengangguk. Dia ingat kejadian beberapa jam yang lalu. Dia sengaja bangun pagi lalu segera memesan tiket menggunakan uang yang ditransfer Vezy kemarin. Dia bergegas pergi saat melihat Vezy masih terlelap. Entahlah, dia merasa harus segera pergi sebelum lelaki itu melarangnya.

"Intinya, lo nggak mau kerja sama dia?" tanya Fei.

Lamunan singkat Arma terputus. "Iyalah," jawabnya. "Capek banget! Pindah-pindah tempat. Nyiapin baju, makan, ini itu. Aduhh...."

"Kan, kayak nyiapin kebutuhan sendiri," jawab Fei. "Lo juga pernah nikah."

"Bedalah!" Arma menggeleng tak terima. "Gue berasa ngurusin bocah."

"Emang si Vezy ini umur berapa?"

"Dua puluh tiga!"

"Enak, berondong!"

Arma geleng-geleng. "Masa iya beda setahun doang sama Salma?" geramnya. "Berasa ngemong adik."

Fei menahan tawa. "Hidup lo gini banget," candanya. "Baru aja resign. Eh, ketemu cowok aneh."

"Nah, makanya itu!" Arma menepuk kening dengan kepalan tangan. "Gue kayaknya harus mandi bunga tujuh rupa."

"Coba aja."

"Ck!" Arma mengambil tumblr dan menegaknya pelan. Setelah itu dia menatap jalanan dengan perasaan begitu lega.

"Kalau dia nyari lo gimana?"

Drttt.... Samar-samar terdengar suara getar ponsel. Arma menatap benda persegi panjang itu yang berada di antara lututnya. Rasa khawatir itu seketika muncul melihat nomor baru yang menghubungi. "Lo sih, ngomong gitu!"

"Dia telepon?" Fei langsung menoleh ke ponsel Arma. "Lagian, kenapa nggak dimatiin dari tadi?"

Arma mengambil benda itu dan memutuskan sambungan. Dia segera mematikan ponsel dan memasukkan di tas. "Aman."

"Bisa aja dia lacak posisi lo."

"Gue matiin GPS."

"Ada teknologi yang lebih canggih," jawab Fei. "Tetep aja lo bisa dilacak."

Bulu kuduk Arma seketika meremang. "Jangan nakut-nakutin!" Dia menggaruk tengkuk saat rasa khawatir itu kian bertambah besar. Dia tidak ingin Vezy dan Razi datang menemuinya. Terlebih, pihak agensi punya CV-nya. "Mereka nggak mungkin sebarin data orang lain, kan?"

Fei menoleh. Ada rasa iba dengan kondisi Arma. "Gue coba tanya saudara gue. Kali aja butuh karyawan lain."

Arma menoleh tanpa menjawab. "Gue nggak bisa diajak ngobrol." Dia memejamkan mata, berusaha untuk tenang. Tetapi, yang muncul justru saat dia mengecup pelan bibir Vezy. "Aduh!" Arma membingkai kepala. Semalam dia tidak minum, tetapi dirinya yang kehilangan kesadaran.

***

Kruk....

Bangun tidur dengan kondisi perut lapar tentu bukan kombinasi yang pas. Vezy mengeliat, sebenarnya malas untuk bangun. Kepalanya masih terasa berat dan kantuknya masih mendominasi.

Kruk.... Perut Vezy kembali berbunyi. Sontak dia membuka mata lalu mengernyit melihat sinar lampu yang cukup terang. Dia menutup mata dengan lengan sambil mengumpulkan kesadarannya, hingga ingat dengan Arma.

"Asisten!" panggil Vezy dengan suara serak. "Asisten!"

Tidak ada tanggapan.

Vezy menjauhkan lengannya dari mata lantas bergeser ke samping. Dia turun dari ranjang dan hampir terjatuh karena kakinya agak nyeri. Kedua tangannya berpegangan di pinggir ranjang lalu kakinya berpijak pelan.

"Asisten!" Vezy berjalan pelan menuju pintu penghubung yang tertutup rapat. "Asisten?" Dia menempelkan telinga di pintu, tetapi tidak mendapat jawaban. Akhirnya dia membuka pintu itu.

"Asisten!" panggil Vezy kala melihat kamar itu kosong. "Asisten!" Dia berjalan masuk dan mengedarkan pandang.

Perhatian Vezy lantas tertuju ke pakaian yang semalam dikenakan asistennya. Dia terdiam, merasa kamar tidak berpenghuni. "Asisten!" Kemudian dia berlari ke kamar mandi dan membukanya. Ternyata tempat itu kosong. Vezy kembali ke ranjang dan tidak menemukan tas, ponsel atau barang pribadi yang kemarin dibawa asistennya.

"Hahaha...." Vezy tertawa sumbang. Sudah pasti asistennya kabur. "Gue juga bego transfer kebanyakan!" Dia mengacak rambut lantas kembali ke kamar.

Vezy yakin, Arma pasti pulang. Tidak mungkin wanita itu pergi ke tempat lain. Dia tersenyum samar, yakin orang agensi pasti masih menyimpan data diri Arma. "Kabur aja kalau bisa," gumamnya lalu tersenyum penuh kemenangan.

***

Tok... Tok... Tok....

"Vezy!"

Lelaki yang masih terlelap itu tidak mendengar ketukan di pintu. Begitulah Vezy, jika tidur susah dibangunkan. Terlebih, semalam dia banyak minum. Otomatis akan bangun jauh lebih siang.

Sisa hari di Denpasar Vezy habiskan dengan berkumpul bersama teman-temannya. Mereka mengobrol hingga tengah malam. Beruntung Razi mengingatkan. Jika tidak, mungkin sampai pagi Vezy tidak akan beranjak.

Kemarin, Vezy bekerja hanya ditemani Razi. Sebenarnya itu bukan hal baru. Sebelum Ojan bekerja, dia lebih sering hanya bersama Razi. Terkadang lelaki itu cukup asyik, tetapi kadang pula bersikap menyebalkan. Seperti kemarin saat menemaninya kerja, kebanyakan marah-marah. Mungkin, karena Arma juga pergi tanpa pamit hingga Razi tidak sempat menyiapkan keperluan Vezy dengan detail.

"Vezy!" Teriakan dari luar semakin tidak sabaran.

Vezy akhirnya terbangun. Dia mengucek mata lalu terdiam. Kepalanya berdentum dan sekujur tubuhnya terasa lelah.

"Vezy!"

"Iya, bawel!" Vezy seketika terduduk dan membuat pandangannya berputar. Dia terdiam sejenak lalu mengacak rambut. Barulah dia berjalan menuju pintu dan membukanya. Terlihat Razi menyodorkan sebuah keras dengan wajah panik.

"Lo dimintai keterangan."

"Soal?" Vezy mengernyit melihat logo kepolisian.

Razi mengacak rambut. "Gue baru aja dapet surat itu. Katanya Sasi bunuh diri."

"Sasi siapa?"

"Cewek yang beberapa kali nemenin lo minum," jawab Razi. "Kemarin lusa dia sama lo."

Vezy menatap Razi tak percaya. "Gue nggak ngapa-ngapain dia."

"Gue juga tahu!" jawab Razi. "Anak-anak lain juga pada dimintai keterangan."

Vezy menatap Razi tak terima. "Gue nggak bisa diginiin!"

"Udah, Cuma dimintai keterangan!" Razi menarik tangan Vezy. "Gue yakin nggak ada sangkut pautnya sama lo. Cuma kebetulan aja!"

"Ck! Ada-ada aja masalah."

"Cepet mandi!" Razi mengacak rambut Vezy lantas menjauh.

Vezy menghela napas berat. Dia menatap Razi yang kembali menjauh. "Ih! Gue kurang amal apa gimana? Apes bener akhir-akhir ini." Dia menutup pintu dan melempar kertas yang masih dipegang. Dia memilih kembali ke ranjang dan tengkurap. "Di saat kayak ini asisten malah nggak ada! Awas aja lo!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status