"Gila! Gue beneran gila!"
Wanita yang berbaring terlentang di atas ranjang itu terus menggumam. Dia tidak sadar jika waktu berjalan cepat dan semakin larut. Padahal, dia sudah lelah tetapi tidak kunjung tidur. Itu semua karena godaan Vezy beberapa saat yang lalu. "Kerja sama dia bahaya banget!" keluh Arma sambil membingkai kepala. Bibirnya mengerucut lalu ekspresinya berubah frustrasi. "Dia duluan, kan, tadi?" Arma ingat saat bibirnya bersentuhan pelan dengan bibir Vezy, walau hanya sedetik. Dia masih bisa merasakan rasa kenyal dari bibir itu. Tentu itu tidak termasuk ke dalam ciuman. Tetapi, mengecup seseorang yang baru dia kenal itu merupakan hal gila. "Nggak boleh! Gue nggak boleh terus mikirin itu!" Arma menarik selimut lebih tinggi lantas bergerak miring. Dia memejamkan mata berusaha untuk terlelap. Sayangnya, bayangan kecupan tadi kembali bermunculan. Arma mencoba biasa saja meski rasanya aneh. Apa karena selama ini dia tidak pernah dekat dengan lelaki? Makanya, hanya kecupan tak berarti membuatnya susah tidur. "Aduh!" Arma seketika terduduk dan menatap ke pintu penghubung yang tadi dia tutup. Padahal, Vezy menolak. Gila saja, mana mungkin dia membuka pintu itu dan membuat Vezy masuk. Bagaimanapun itu tidak etis. "Dia udah tidur?" gumam Arma penasaran. Dia menyibak selimut lalu turun dari ranjang. Saat hendak melangkah, ada sesuatu yang menahannya. "Enggak! Gue nggak boleh penasaran!" Dia duduk di pinggir ranjang sambil menghela napas berat. Beberapa detik kemudian, Arma berdiri dan berjalan mendekati pintu penghubung. Rasa penasarannya jauh lebih besar hingga mengalahkan logikanya. Dia membuka pintu dengan pelan lalu melongok. Arma mengernyit mendapati lampu kamar Vezy tidak dimatikan. Perhatiannya lalu tertuju ke lelaki yang tertidur miring tanpa mengenakan selimut. Dia tidak bisa melihat jelas wajah Vezy, tetapi sepertinya lelaki itu sudah pulas. "Bagus, deh!" Arma bergerak mundur dan menutup pintu. Dia berdiri bersandar lantas memegang dada. Jantungnya berdegup lebih cepat, entah karena apa. "Hoam...." Kantuk Arma tiba-tiba datang. Dia kembali ke ranjang dan mengenakan selimut lebih tinggi. Perasaan yang membebani tiba-tiba menghilang. Apakah mungkin setelah dia mengecek kondisi Vezy? Arma menggeleng tegas. Tidak mungkin gara-gara itu. "Udah jelas makin malem, jadi gue ngantuk!" Dia lebih mempercayai itu. *** Tut.... "Ini gue udah masuk gerbang!" "Oh, okay!" Arma menjauhkan ponsel dan memutuskan sambungan. Dia mengedarkan pandang hingga melihat mobil dengan plat nomor yang telah dihafal. Dia melambaikan tangan lalu mobil itu menepi. Fei membukakan pintu dan menatap Arma tajam. "Lo dari mana? Salma semalem nyariin," geramnya. "Mana nggak ngasih tahu gue!" "Bentar dulu!" Arma masuk mobil lalu memakai sabuk pengaman. "Lo ada air putih, kan?" Dia menoleh ke kanan, melihat tumblr berwarna silver yang sering dibawa Fei. Dia mengambil benda itu dan menyeruput isinya. Fei geleng-geleng melihat Arma yang seperti orang kabur. "Sebenernya lo ke mana?" Dia mulai melajukan kendaraan sambil sesekali melirik Arma. "Huh...." Arma menghela napas berat. Kelegaan itu baru menghampiri. Dia lalu menatap Fei yang terlihat khawatir. "Gue berasa diculik." "Diculik siapa?" "Vezy." "Siapa itu, Vezy?" Arma menahan tawa. Dia dan Fei memang setipe, kurang update artis-artis ibu kota. "Artis di kantor agensi gue. Tiba-tiba gue dijadiin asisten terus diajak ke Bali." "Enak, dong! Sekalian liburan." Inilah bedanya Fei dan Arma. Fei lebih suka kegiatan di luar, karena hal itu dia memilih berbisnis perjalanan wisata bersama saudaranya. "Nggak enaklah. Gila aja, baru interview udah diseret keluar." "Terus, lo berhasil kabur?" "Hmm...." Arma mengangguk. Dia ingat kejadian beberapa jam yang lalu. Dia sengaja bangun pagi lalu segera memesan tiket menggunakan uang yang ditransfer Vezy kemarin. Dia bergegas pergi saat melihat Vezy masih terlelap. Entahlah, dia merasa harus segera pergi sebelum lelaki itu melarangnya. "Intinya, lo nggak mau kerja sama dia?" tanya Fei. Lamunan singkat Arma terputus. "Iyalah," jawabnya. "Capek banget! Pindah-pindah tempat. Nyiapin baju, makan, ini itu. Aduhh...." "Kan, kayak nyiapin kebutuhan sendiri," jawab Fei. "Lo juga pernah nikah." "Bedalah!" Arma menggeleng tak terima. "Gue berasa ngurusin bocah." "Emang si Vezy ini umur berapa?" "Dua puluh tiga!" "Enak, berondong!" Arma geleng-geleng. "Masa iya beda setahun doang sama Salma?" geramnya. "Berasa ngemong adik." Fei menahan tawa. "Hidup lo gini banget," candanya. "Baru aja resign. Eh, ketemu cowok aneh." "Nah, makanya itu!" Arma menepuk kening dengan kepalan tangan. "Gue kayaknya harus mandi bunga tujuh rupa." "Coba aja." "Ck!" Arma mengambil tumblr dan menegaknya pelan. Setelah itu dia menatap jalanan dengan perasaan begitu lega. "Kalau dia nyari lo gimana?" Drttt.... Samar-samar terdengar suara getar ponsel. Arma menatap benda persegi panjang itu yang berada di antara lututnya. Rasa khawatir itu seketika muncul melihat nomor baru yang menghubungi. "Lo sih, ngomong gitu!" "Dia telepon?" Fei langsung menoleh ke ponsel Arma. "Lagian, kenapa nggak dimatiin dari tadi?" Arma mengambil benda itu dan memutuskan sambungan. Dia segera mematikan ponsel dan memasukkan di tas. "Aman." "Bisa aja dia lacak posisi lo." "Gue matiin GPS." "Ada teknologi yang lebih canggih," jawab Fei. "Tetep aja lo bisa dilacak." Bulu kuduk Arma seketika meremang. "Jangan nakut-nakutin!" Dia menggaruk tengkuk saat rasa khawatir itu kian bertambah besar. Dia tidak ingin Vezy dan Razi datang menemuinya. Terlebih, pihak agensi punya CV-nya. "Mereka nggak mungkin sebarin data orang lain, kan?" Fei menoleh. Ada rasa iba dengan kondisi Arma. "Gue coba tanya saudara gue. Kali aja butuh karyawan lain." Arma menoleh tanpa menjawab. "Gue nggak bisa diajak ngobrol." Dia memejamkan mata, berusaha untuk tenang. Tetapi, yang muncul justru saat dia mengecup pelan bibir Vezy. "Aduh!" Arma membingkai kepala. Semalam dia tidak minum, tetapi dirinya yang kehilangan kesadaran. *** Kruk.... Bangun tidur dengan kondisi perut lapar tentu bukan kombinasi yang pas. Vezy mengeliat, sebenarnya malas untuk bangun. Kepalanya masih terasa berat dan kantuknya masih mendominasi. Kruk.... Perut Vezy kembali berbunyi. Sontak dia membuka mata lalu mengernyit melihat sinar lampu yang cukup terang. Dia menutup mata dengan lengan sambil mengumpulkan kesadarannya, hingga ingat dengan Arma. "Asisten!" panggil Vezy dengan suara serak. "Asisten!" Tidak ada tanggapan. Vezy menjauhkan lengannya dari mata lantas bergeser ke samping. Dia turun dari ranjang dan hampir terjatuh karena kakinya agak nyeri. Kedua tangannya berpegangan di pinggir ranjang lalu kakinya berpijak pelan. "Asisten!" Vezy berjalan pelan menuju pintu penghubung yang tertutup rapat. "Asisten?" Dia menempelkan telinga di pintu, tetapi tidak mendapat jawaban. Akhirnya dia membuka pintu itu. "Asisten!" panggil Vezy kala melihat kamar itu kosong. "Asisten!" Dia berjalan masuk dan mengedarkan pandang. Perhatian Vezy lantas tertuju ke pakaian yang semalam dikenakan asistennya. Dia terdiam, merasa kamar tidak berpenghuni. "Asisten!" Kemudian dia berlari ke kamar mandi dan membukanya. Ternyata tempat itu kosong. Vezy kembali ke ranjang dan tidak menemukan tas, ponsel atau barang pribadi yang kemarin dibawa asistennya. "Hahaha...." Vezy tertawa sumbang. Sudah pasti asistennya kabur. "Gue juga bego transfer kebanyakan!" Dia mengacak rambut lantas kembali ke kamar. Vezy yakin, Arma pasti pulang. Tidak mungkin wanita itu pergi ke tempat lain. Dia tersenyum samar, yakin orang agensi pasti masih menyimpan data diri Arma. "Kabur aja kalau bisa," gumamnya lalu tersenyum penuh kemenangan. *** Tok... Tok... Tok.... "Vezy!" Lelaki yang masih terlelap itu tidak mendengar ketukan di pintu. Begitulah Vezy, jika tidur susah dibangunkan. Terlebih, semalam dia banyak minum. Otomatis akan bangun jauh lebih siang. Sisa hari di Denpasar Vezy habiskan dengan berkumpul bersama teman-temannya. Mereka mengobrol hingga tengah malam. Beruntung Razi mengingatkan. Jika tidak, mungkin sampai pagi Vezy tidak akan beranjak. Kemarin, Vezy bekerja hanya ditemani Razi. Sebenarnya itu bukan hal baru. Sebelum Ojan bekerja, dia lebih sering hanya bersama Razi. Terkadang lelaki itu cukup asyik, tetapi kadang pula bersikap menyebalkan. Seperti kemarin saat menemaninya kerja, kebanyakan marah-marah. Mungkin, karena Arma juga pergi tanpa pamit hingga Razi tidak sempat menyiapkan keperluan Vezy dengan detail. "Vezy!" Teriakan dari luar semakin tidak sabaran. Vezy akhirnya terbangun. Dia mengucek mata lalu terdiam. Kepalanya berdentum dan sekujur tubuhnya terasa lelah. "Vezy!" "Iya, bawel!" Vezy seketika terduduk dan membuat pandangannya berputar. Dia terdiam sejenak lalu mengacak rambut. Barulah dia berjalan menuju pintu dan membukanya. Terlihat Razi menyodorkan sebuah keras dengan wajah panik. "Lo dimintai keterangan." "Soal?" Vezy mengernyit melihat logo kepolisian. Razi mengacak rambut. "Gue baru aja dapet surat itu. Katanya Sasi bunuh diri." "Sasi siapa?" "Cewek yang beberapa kali nemenin lo minum," jawab Razi. "Kemarin lusa dia sama lo." Vezy menatap Razi tak percaya. "Gue nggak ngapa-ngapain dia." "Gue juga tahu!" jawab Razi. "Anak-anak lain juga pada dimintai keterangan." Vezy menatap Razi tak terima. "Gue nggak bisa diginiin!" "Udah, Cuma dimintai keterangan!" Razi menarik tangan Vezy. "Gue yakin nggak ada sangkut pautnya sama lo. Cuma kebetulan aja!" "Ck! Ada-ada aja masalah." "Cepet mandi!" Razi mengacak rambut Vezy lantas menjauh. Vezy menghela napas berat. Dia menatap Razi yang kembali menjauh. "Ih! Gue kurang amal apa gimana? Apes bener akhir-akhir ini." Dia menutup pintu dan melempar kertas yang masih dipegang. Dia memilih kembali ke ranjang dan tengkurap. "Di saat kayak ini asisten malah nggak ada! Awas aja lo!"Kemarin begitu sampai rumah, Arma langsung diinterogasi mama dan adiknya. Beruntung, dia sudah menyiapkan alasan pergi bersama teman kampusnya dan ponselnya mati. Meski agak kurang diterima karena manusia sekarang tidak bisa berjauhan dari ponsel. Beruntung pula, Arma memang bukan tipe orang yang selalu peduli dengan ponsel. Hal itu membuat mama dan adiknya sedikit percaya. Meski, mereka masih terlihat marah."Sebenernya lo dari mana?"Arma sedang santai sambil memakan kentang goreng saat adiknya masuk kamar. "Gue udah cerita," jawabnya. "Lo nggak ke kampus?""Tinggal skripsi doang. Ngapain sering-sering ke kampus?" Salma duduk di samping kakaknya lalu mengeluarkan ponsel. Berbeda dengan sang kakak, Salma paling tidak bisa meninggalkan ponselnya."Vezy datang ke kantor polisi diduga telah melakukan pembu....!"Suara dari ponsel itu membuat Arma menoleh. Dia melihat adiknya yang sibuk melihat tayangan video dengan ekspresi kaget. Lantas Arma bergeser, melihat Vezy yang mengenakan hoodi
"Bukan salah dia," jawab Vezy. "Polisi udah kasih tahu, kan? Kenapa diperpanjang?" Vezy menggenggam tangan Arma dan meremasnya pelan. Arma menatap lelaki itu yang melindunginya."Masalahnya banyak klien....""... bagus! Gue nggak mau kerja sama mereka yang terlalu percaya omongan orang!" potong Vezy. "Masih banyak klien yang mau kerja sama karena kemampuan gue."Tedo menghela napas berat. "Apa itu?"Vezy melirik Arma yang terdiam. "Surat kontak kerja sama Arma," jawabnya. "Kayaknya dia nggak mau kerja di sini."Arma memperhatikan wajah Vezy yang begitu pucat. Sorot mata menggoda lelaki itu mendadak hilang. Dia seperti tidak berhadapan dengan Vezy."Ya udah, kalau dia nggak mau," jawab Tedo.Vezy mengambil berkas yang paling atas dan membuangnya. "Tapi, gue bakal pekerjain Arma." Lantas dia menyerahkan berkas lain ke Arma."Agensi nggak bisa bayar kalau gitu.""Tenang. Biar gue yang bayar!" jawab Vezy tanpa menatap lawan bicaranya. "Bisa keluar dari sini? Gue lagi nemuin klien penting.
Sepulang dari kantor agensi, Arma mampir ke rumah Fei. Untungnya wanita itu ada di rumah. Jika teman datang, maka terpikir untuk makan bersama. Pilihannya pasti makanan pedas. Fei kali ini memesan mi pedas dan seblak, makanan pedas favorit mereka."Lo sebenernya dari mana? Pakaian lo rapi," tanya Fei sambil memperhatikan kemeja pink dan rok putih panjang yang dikenakan Arma."Kantor agensi.""Fix kerja di sana?"Arma mengambil air mineral dan menegaknya beberapa kali. "Enggak. Hu...," jawabnya sambil menahan rasa pedas yang membakar."Terus?""Gue diminta kerja di sana. Terus, diinterogasi sama CEO-nya.""Diinterogasi?""Lo nggak lihat berita?" tanya Arma yang langsung dijawab gelengan Fei. Dia mengeluarkan ponsel dari tas dan mencari video tentang Vezy. "Lihat dulu."Fei memakan mi pedasnya sambil melihat video pemberitaan. "Loh, dia?""Cuma dimintai keterangan," jawab Arma cepat. "Tapi, orang-orang pada salah paham duluan.""Terus? Lo diinterogasi gara-gara ini?"Arma mengangguk. "C
Tet....Lelaki yang sedang duduk menonton televisi itu tersenyum begitu mendengar suara bel. Dia mematikan televisi lalu berdiri. Lantas dia berjalan pelan menuju pintu.Tet...."Siapa?" Vezy membuka pintu dan mendapati Arma. Sesuai dugaannya. Yah, bertanya sebagai formalitas saja.Arma memperhatikan wajah Vezy yang tidak sepucat tiga hari lalu. "Saya....""Masuk," ajak Vezy lalu membuka pintu lebih lebar. Dia menggerakkan tangan meminta Arma berjalan lebih dulu."Permisi," ujar Arma lantas berjalan masuk. Dia melepas flatshoes-nya lalu berjalan menuju ruang tamu. Dia terdiam, melihat ruang tamu yang merangkap sebagai ruang santai. Terdapat sofa berwarna putih berukuran agak besar, tampak nyaman. Di samping sofa itu terdapat lemari dengan piala penghargaan yang diterima Vezy.Vezy tersenyum memperhatikan Arma yang mengenakan kemeja krem dengan rok di bawah lutut. Baru kali ini dia melihat wanita itu mengenakan bawahan yang agak pendek. Kaki Arma cukup kecil, padahal tubuhnya agak ber
Kedua kalinya, Arma dibuat kalang kabut oleh Vezy. Bedanya, dia masih diberi kesempatan pulang untuk mengambil pakaian dan berpamitan. Tidak seperti sebelumnya yang terkesan seperti diculik.Papa dan mamanya tentu kaget mengetahui Arma harus ke Bali. Tetapi, karena memang urusan pekerjaan, mereka mencoba mengerti. Sangat berbeda dengan Salma yang sempat curiga. Tetapi, ujungnya iri karena ingin ikut serta.Pukul tujuh, Arma baru sampai bandara. Dia menggeret koper berwarna hijau neon di tangan kiri. Sementara tangannya menenteng tas berukuran kecil. Dia mengedarkan pandang, mencari Vezy dan Razi yang katanya sudah datang."Arma!"Langkah Arma terhenti mendengar panggilan itu. Dia menoleh dan melihat Razi yang mengenakan topi hitam agak ke bawah. Di belakangnya ada lelaki yang mengenakan topi yang sama sedang meminum kopi.Arma mendekat sambil melirik kanan kiri. Beberapa orang ada yang menatap dua lelaki itu, tetapi tidak ada yang berani mendekat. "Kalian udah lama?""Daritadi," jawab
Glek... Glek....Arma menegak minuman yang rasanya aneh. Tetapi, dia tetap meminum karena tenggorokannya terasa sakit. Rasanya dia ingin bercerita, tetapi tidak sanggup.Vezy memperhatikan Arma yang menghabiskan minumannya. Dia yakin, wanita itu tidak sadar apa yang telah diminum. "Arma...."Tak.... Arma meletakkan gelas di depannya dengan kasar. Kepalanya terasa berat dan pandangannya berkunang-kunang. Seketika dia menyandarkan kepala dan memejamkan mata."Lo nggak akan kuat, Arma.""Gue harus kuat," jawab Arma tidak mengerti maksud ucapan Vezy.Klek.... Razi berjalan masuk dengan sebotol minuman. Saat melihat Arma yang duduk bersandar seketika dia menatap Vezy. "Lo apain?" tuduhnya lalu melihat minuman Vezy yang telah habis."Dia minum sendiri.""Wah? Nyerah juga dia." Razi meletakkan botol air mineral di meja. "Tadi ketemu temen, makanya agak lama.""Bilang aja ketemu cewek," jawab Vezy lalu menatap Razi yang menahan tawa. Perhatiannya lalu kembali ke Arma. "Arma...."Arma tidak ta
Pukul enam lebih tiga puluh, Vezy, Razi dan Arma sampai di sebuah hotel tempat Vezy harus manggung. Arma terdiam melihat mobil-mobil mewah yang terparkir di depan. Di depan pintu hotel, juga tersedia karpet mewah dan beberapa orang yang berjejer menyambut.Arma baru kali ini datang ke acara pernikahan yang begitu mewah. Tanpa sadar, dia membayangkan pesta pernikahannya kala itu yang cukup sederhana. Tetapi, terasa begitu membahagiakan."Jangan ngelamun." Vezy menepuk punggung Arma.Lamunan singkat Arma seketika terputus. Dia menatap Vezy yang berjalan di sebelahnya. Kemudian, ada dua orang yang menghampiri dari arah samping."Silakan lewat sini, Pak," ujar lelaki yang mengenakan setelan berwarna hitam.Razi menggerakkan tangan ke arah kiri. Dia lalu menarik Vezy agar berjalan di sampingnya. "Gila, kayak showroom."Vezy menahan tawa. "Mau lo? Ambil.""Besoknya gue masuk penjara."Arma mendengar candaan dua lelaki
Sudah dua puluh menit Arma berusaha menahan tangisannya. Tetapi, air matanya tetap turun. Dia mengusap sudut mata hingga terasa agak nyeri. Air mata itu tetap keluar hingga napasnya terasa sesak."Kenapa gue selemah ini, sih?" Arma menghela napas panjang lalu mendongak. Dia ingat terlalu lama meninggalkan ruangan, tetapi dia tidak kunjung beranjak. Tentu, dia tidak ingin orang lain tahu jika dia bersedih."Huh. Gue nggak boleh kayak gini!" Arma berdiri tegak lalu mengedipkan mata beberapa kali. Setelah dirasa bisa menahan air mata, dia berjalan ke ruangan.Ceklek...."Eh...." Arma berjingkat saat hendak membuka pintu, ternyata benda itu dibuka dari dalam. Dia mengangkat wajah, melihat Vezy yang telah berganti pakaian dan wajahnya terlihat segar setelah mencuci muka. Seketika Arma sadar sudah terlalu lama pergi."Dari mana, sih, lo?" Razi melewati Vezy dan melihat Arma yang terdiam. "Gue minta tunggu malah pergi." Setelah itu dia berjalan