Share

6-PULANG

Kemarin begitu sampai rumah, Arma langsung diinterogasi mama dan adiknya. Beruntung, dia sudah menyiapkan alasan pergi bersama teman kampusnya dan ponselnya mati. Meski agak kurang diterima karena manusia sekarang tidak bisa berjauhan dari ponsel. Beruntung pula, Arma memang bukan tipe orang yang selalu peduli dengan ponsel. Hal itu membuat mama dan adiknya sedikit percaya. Meski, mereka masih terlihat marah.

"Sebenernya lo dari mana?"

Arma sedang santai sambil memakan kentang goreng saat adiknya masuk kamar. "Gue udah cerita," jawabnya. "Lo nggak ke kampus?"

"Tinggal skripsi doang. Ngapain sering-sering ke kampus?" Salma duduk di samping kakaknya lalu mengeluarkan ponsel. Berbeda dengan sang kakak, Salma paling tidak bisa meninggalkan ponselnya.

"Vezy datang ke kantor polisi diduga telah melakukan pembu....!"

Suara dari ponsel itu membuat Arma menoleh. Dia melihat adiknya yang sibuk melihat tayangan video dengan ekspresi kaget. Lantas Arma bergeser, melihat Vezy yang mengenakan hoodie putih berjalan bersama Razi menuju kantor polisi.

"Ck! Apa iya?" gumam Salma lalu beralih ke video berikutnya.

"Ih, lihat itu aja!"

"Apaan, sih? Banyak berita hoax akhir-akhir ini."

"Penasaran!" Arma mengambil alih ponsel adiknya dan melihat video itu. Hingga muncul sebuah berita tentang kasus bunuh diri.

"Tuh, kan, bener! Bunuh diri, bukan pembunuhan!" Salma merebut ponselnya kembali dan melihat video lain.

Arma terdiam. Untuk apa Vezy dicurigai? Dia ingat semalam ke hotel bersama Vezy dan Razi. Setelah itu Vezy tidur pulas. Tidak mungkin, kan, tengah malam Vezy menyelinap keluar? "Eh, bentar...."

Salma menoleh. Kakaknya kembali merebut ponselnya dan melihat berita tentang Vezy. "Tumben banget penasaran sama berita artis?"

Arma tidak peduli dengan komentar Salma. Dia sibuk melihat foto seorang wanita yang muncul. Dia mulai ingat, semalam ada wanita yang selalu setia berdiri di samping Vezy. Apakah wanita itu pacarnya?

"Kenapa? Lo kenal?" tanya Salma melihat wajah Arma mendadak panik.

Arma menatap adiknya dengan air mata menetes. "Sebenernya gue pergi sama Vezy."

"Wah, gila!" Salma menutup mulut dan menatap kakaknya penuh selidik. "Jangan bercanda, loh!"

"Kalau gue dimintai keterangan juga gimana?" Arma membingkai kepala. Rasa takut itu seketika melingkupi. "Ya ampun. Apes banget gue!"

***

Setelah melihat video tentang Vezy, Arma sama sekali tidak berani keluar. Mendadak dia takut. Terlebih saat mendengar suara kendaraan berhenti di depan rumah. Dia tidak berbuat salah, tapi tetap saja rasa takut itu muncul.

Arma akhirnya menceritakan semuanya ke Salma dan meminta adiknya itu tidak memberi tahu kedua orangtuanya. Beruntung Salma mau mengerti. Padahal, semalam ini adiknya itu selalu terbuka ke kedua orangtuanya. Mungkin, Salma berpikiran takut kedua orangtuanya berpikir macam-macam.

Brum....

Jantung Arma berdegup lebih cepat saat mendengar sebuah mobil berhenti di depan rumah. Dia meloncat turun dan membuka pintu. Lantas dia mengintip ke arah jendela. Terlihat dua lelaki turun dan menuju gerbang rumahnya.

"Aduh!" Arma kembali masuk dengan napas naik turun.

Tok... Tok... Tok...

"Bu Arma!"

Arma memejamkan mata. Dia mencoba berpikir tenang, tetapi pikirannya terasa buntu. Sungguh dia ingin kabur.

"Ada yang bisa saya bantu?" Suara Salma kemudian terdengar.

"Bu Arma ada? Kami dari Do Agensi."

Arma membuka mata. Dia sempat berpikir jika itu dari kepolisian. Lantas dia keluar kamar dan melihat Salma yang berdiri di depan pintu. "Ada yang bisa saya bantu?" Dia memutuskan mendekat dengan percaya diri.

Salma menatap kakaknya yang sebenarnya ketakutan. "Ngobrol di luar aja, Kak. Takut mama denger," ujarnya. "Biar gue yang nemenin mama."

"Thanks...." Arma lalu menatap dua orang yang berbeda saat hari wawancaranya.

"Dengan Ibu Arma?" tanya lelaki yang mengenakan kaus biru. "Saya ke sini karena Bu Arma tidak bisa dihubungi."

Arma tersenyum kecut. Memang dia belum mengaktifkan ponsel sejak tadi pagi.

"Saya mendapat kabar kalau Bu Arma diminta menjadi asisten Vezy."

Arma mengangguk. "Iya, kemarin lusa," jawabnya. "Tadi kemarin saya pulang."

"Maaf kami harus datang ke sini karena Vezy sama Razi nggak bisa dihubungi," jawab lelaki itu. "Soal berita yang beredar, bisa beri tahu sedikit informasi?"

"Saya yakin Vezy nggak ada sangkut pautnya." Arma menjawab mantap. Lantas dia menceritakan kesehariannya saat mengantar Vezy. "Mungkin, Vezy dan Razi sekarang sedang menenangkan diri."

"Oh, baik." Lelaki berkaus biru itu menatap temannya. "Untung kita coba ke sini. Kalau enggak bakal buntu."

Arma tersenyum. "Sudah tidak ada yang ingin ditanyakan, kan?"

"Satu lagi." Lelaki berjaket hitam membuka suara. "Besok Ibu diminta ke kantor agensi untuk membahas kontrak."

"Saya nggak mau kerja di sana."

"Ibu datang saja dan bicarakan langsung dengan karyawan yang lebih berwenang." Lelaki berkaus biru itu menjawab sopan. "Kalau begitu saya permisi." Dia membungkuk sopan lantas menjauh.

Arma membungkuk sopan ke dua orang yang telah membuatnya jantungan. Dia memegangi kusen pintu saat kakinya mendadak lemas. Saat melihat mobil itu menjauh, dia segera masuk dan mengunci pintu dari dalam.

***

Jadwal Vezy berantakan karena kasus Sastika. Dia dicoret dari daftar jajaran penyanyi yang mengisi festival selanjutnya. Itu semua karena media terlalu membesar-besarkan masalah. Ada pula yang menuduhnya pembunuh. Padahal, dia hanya dimintai keterangan.

"Vezy, kan? Vezy! Vezy!"

Razi segera merangkul Vezy dan berjalan dengan kepala tertunduk. Dia ikut pusing atas masalah yang tiba-tiba menimpa. Karena itu dia tidak sempat mengangkat panggilan yang masuk. Baginya, dia dan Vezy harus segera ke apartemen dan menunggu berita itu reda. Biarlah pihak berwajib yang memberi tahu faktanya.

"Vezy, benar Anda dicurigai sebagai pembunuh?"

Vezy tidak merespons. Dia memegang tangan Razi yang melingkar di pundaknya lalu berlari keluar bandara. Saat melihat taksi yang berhenti, dia segera masuk. Razi mengikuti dan tidak memberikan keterangan apapun.

"Gila! Berita cepet banget nyebarnya!" Razi melepas topi yang membuat kepalanya semakin gerah. Dia merogoh saku dan mengambil ponsel. "Pasti makin banyak yang hubungi."

"Tedo pasti udah telepon," ujar Vezy ingat CEO-nya.

"Udah pasti!" Razi menunjukkan ponsel ke Vezy. "Gue bilang kalau lo di apartemen. Lo butuh istirahat dulu atau gimana?"

Vezy yakin tidak akan bisa istirahat jika Tedo sudah bertindak. "Biarin. Kalau sembunyi dia makin marah," jawabnya lalu menyandarkan kepala yang terasa berat. Dua hari berturut-turut, dia terus mendapat masalah.

***

Semalam, Arma bertekad tidak akan datang ke Do Agensi. Tetapi pagi ini, dia memutuskan datang. Rasanya dia tidak bisa tenang menghindar begitu saja setelah salah satu orang yang bersamanya tertimpa masalah.

"Huh. Semoga nggak ada apa-apa!" gumam Arma sebelum menaiki tangga.

Tin... Tin....

Perhatian Arma teralih. Dia melihat sebuah mobil hitam yang berhenti. Lantas seorang lelaki yang mengenakan hoodie biru keluar. Arma terdiam melihat Vezy yang berjalan dengan kepala tertunduk.

"Pagi, Ar!" sapa Razi yang baru turun dari mobil.

Arma menoleh sekilas dan melambaikan tangan. Dia menatap Vezy yang menaiki tangga dan melewatinya begitu saja. Bibir Arma terbuka hendak menyapa, tetapi dia mengurungkan itu. "Ehm...." Tiba-tiba saja tenggorokannya tercekat.

"Ke sini mau ngapain?" tanya Razi.

"Emm, gue diminta ke sini."

"Pasti bahas kontrak."

"Iya," jawab Arma sambil menatap Razi. "Emm, soal masalah kemarin, udah kelar?"

Razi menggeleng. "Polisi udah bilang masalah kemarin nggak ada sangkut pautnya sama Vezy. Dia cuma dimintai keterangan doang. Tapi, banyak haters yang nyalahin dia," jawabnya. "Dibilang karena duit dia banyak makanya tutup mulut."

"Ck! Gue saksi kalau dia nggak ke mana-mana!" jawab Arma ikut emosi. Dia tidak habis pikir ada orang berpikiran sejahat itu.

"Kalau saksi kenapa ninggalin?"

Arma berjingkat. Dia menoleh ke pintu kaca yang terbuka dan Vezy berdiri dengan wajah lemas. "Emm, gue...." Arma kebingungan menjawab.

"Beliin gue sarapan," pinta Vezy ke Razi, kemudian berbalik masuk.

"Ayo, masuk!" ajak Razi. "Kasihan tuh anak dari semalem pasti belum makan."

"Hemm...." Arma berjalan mengikuti.

"Bu Arma, ya?"

Arma ingin mengikuti Vezy yang masuk lift. Tetapi, suara itu terdengar. Dia menatap seorang wanita yang berdiri di ruang interview. Dia menatap lift yang telah tertutup, lalu mendekati wanita itu. "Iya, Bu."

"Mari. Ibu sudah ditunggu." Wanita itu membukakan pintu untuk Arma.

Arma berjalan masuk dan melihat seorang lelaki berambut kemerahan yang menatapnya dengan rahang mengeras. Tiba-tiba hawa dingin terasa. Apakah mereka akan menyalahkannya? Tetapi, untuk apa?

"Kamu yang kemarin nemenin Vezy?" tanya lelaki itu.

"Iya, Pak."

"Saya Tedo. CEO Do Agensi." Lelaki bernama Tedo itu mengulurkan tangan.

Arma menjabat tangan yang terasa hangat itu. Dia segera menarik tangannya dan mengusapkan ke roknya. Matanya melirik ke kiri dan ke kanan, tidak melihat ada orang lain. "Emm, saya...."

"... bukan kamu, kan, yang menjebak Vezy?"

"Pak yang benar saja!" jawab Arma tak terima. "Justru Vezy yang sudah memaksa saya menjadi asistennya."

"Nggak mungkin!" Tedo menggeleng tegas. "Kasih tahu, kamu haters Vezy, kan?"

"Wah...." Arma geleng-geleng melihat kelakuan Tedo. "Saya mendapat satu alasan lain biar nggak terima kerjaan di sini."

"Maksudnya?"

"Apa ini kelakuan seorang CEO?" tanya Arma. "Menuduh orang tanpa mencari tahu bukti kebenaran."

"Vezy kehilangan banyak job setelah berita buruk itu. Saya nggak akan membiarkan itu terjadi!" Tedo mengatakan itu dengan tegas. "Apalagi, kalau itu gara-gara kamu."

"Bukan gara-gara dia!"

Arma sontak menoleh. Vezy masuk ruangan lalu mengulurkan map yang dibawa. "Bukan salah dia," ulang Vezy. "Polisi udah kasih tahu, kan? Kenapa diperpanjang?" Vezy menggenggam tangan Arma dan meremasnya pelan. Arma menatap lelaki itu yang melindunginya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status