"Bukan salah dia," jawab Vezy. "Polisi udah kasih tahu, kan? Kenapa diperpanjang?" Vezy menggenggam tangan Arma dan meremasnya pelan. Arma menatap lelaki itu yang melindunginya.
"Masalahnya banyak klien...." "... bagus! Gue nggak mau kerja sama mereka yang terlalu percaya omongan orang!" potong Vezy. "Masih banyak klien yang mau kerja sama karena kemampuan gue." Tedo menghela napas berat. "Apa itu?" Vezy melirik Arma yang terdiam. "Surat kontak kerja sama Arma," jawabnya. "Kayaknya dia nggak mau kerja di sini." Arma memperhatikan wajah Vezy yang begitu pucat. Sorot mata menggoda lelaki itu mendadak hilang. Dia seperti tidak berhadapan dengan Vezy. "Ya udah, kalau dia nggak mau," jawab Tedo. Vezy mengambil berkas yang paling atas dan membuangnya. "Tapi, gue bakal pekerjain Arma." Lantas dia menyerahkan berkas lain ke Arma. "Agensi nggak bisa bayar kalau gitu." "Tenang. Biar gue yang bayar!" jawab Vezy tanpa menatap lawan bicaranya. "Bisa keluar dari sini? Gue lagi nemuin klien penting." Tedo menggaruk dagu. Dari sekian artisnya, hanya Vezy yang berani melawan. Memang, Vezy artis yang menyumbang paling banyak pendapatan agensi. Dia jadi tidak bisa terlalu memaksa Vezy daripada lelaki itu kabur. "Oke! Tapi, pikirin mateng-mateng." Setelah itu dia berjalan menjauh. Arma melirik lelaki angkuh yang berjalan keluar itu. Dia lalu menatap Vezy yang masih mengulurkan berkas. "Gue nggak mau." "Coba lihat dulu," pinta Vezy. Arma mengambil kertas itu dan melihat kontrak kerja sama sebagai pengelola keuangan. Dia menatap Vezy yang memilih menunduk dengan kening mengernyit. "Yakin?" "Iya," jawab Vezy. "Lo kayaknya nggak nyaman jadi asisten gue." "Karena bukan bidang gue." "Gue kehilangan banyak duit karena nggak ngerti ngelolanya. Gue harap lo bisa bantu," ujar Vezy. "Apalagi, asisten lama bawa kabur duit di brankas gue. Padahal, itu gaji pertama yang pengen gue simpen sampai kapanpun." Arma menarik napas panjang. "Kalau kayak gitu, gue bakal pikir ulang." "Gue kasih waktu dua hari." Vezy mengangkat wajah, memperhatikan wajah suntuk dengan lingkar hitam yang terlihat jelas. Ada perasaan sedih yang tiba-tiba muncul di hati Arma. Vezy terlihat lelah dan tidak memiliki semangat. "Gue tahu lo nggak salah." "Terus, kenapa lo ninggalin gue?" tanya Vezy dengan napas tercekat. "Lo nggak tahu berapa kali gue dimarahin Razi tiap ada masalah." Arma tidak tahu itu. Dia pikir, Razi menganggap Vezy sebagai adik yang harus diayomi. "Sorry...." Dia mendekat dan menepuk lengan Vezy. Vezy lantas memeluk Arma erat. "Pusing banget kepala gue." "Udah minum obat?" tanya Arma lalu menepuk puncak kepala Vezy. Dalam kondisi normal, sudah pasti dia akan menendang. Tetapi, kali ini dia sangat kasihan ke lelaki itu. *** Setelah pembicaraan di aula, Arma tidak kunjung pulang. Dia menemani Vezy yang memakan ayam goreng di salah satu ruangan. Sementara Razi mengurus sisa kekacauan bersama Tedo. Arma memperhatikan, bagaimana Vezy terlihat enggan saat memakan. Beberapa kali lelaki itu mendorong ayam goreng lalu menyangga kening. Setelah itu dia memakan lagi. Seolah tidak ada pilihan lain selain makan. "Lo udah makan?" tanya Vezy tanpa menatap Arma. "Udah, mama tadi masak." "Enak banget dimasakin mama." "Lo tinggal sendiri?" tanya Arma hati-hati. Vezy mengangguk. "Nyokap gue di Aussie. Dia nggak setuju gue jadi penyanyi." "Bokap sama saudara lo?" "Gue anak tunggal," jawab Vezy lalu mengambil cola. "Jangan!" Arma seketika berdiri dan menahan gerakan Vezy. Dia mengambil gelas berisi cola lalu menggantinya dengan air mineral. "Bentar lagi lo minum obat." Vezy tidak ada kuasa untuk mendebat. Dia membuka botol air mineral itu dan menegaknya beberapa kali. Setelah itu ada tangan yang terulur dengan obat yang dipegang. "Gue paling benci minum obat." "Kalau nggak mau, istirahat aja." Arma yakin, Vezy tidak kuat. Wajahnya saja sudah terlihat selemah itu. "Nggak bisa tidur," jawab Vezy lalu mengambil obat dari telapak tangan Arma. Dia meminum obat itu dan menegak air mineral. Arma tersenyum melihat Vezy yang menjadi penurut. "Gue boleh pergi?" tanyanya. Rasanya tidak nyaman berada di kantor orang. Vezy menatap Arma. "Temenin gue sampai tidur." "Lo...." Mata Arma memicing melihat ekspresi Vezy. Tetapi, tidak terlihat ada sorot mata jail seperti sebelumnya. "Ya udah, kalau nggak mau." Vezy beranjak menuju sofa panjang dan berbaring miring. "Gue temenin lima menit," putus Arma. Dia ingat kemarin Vezy gampang tidur. Bahkan, tidak sampai lima menit. Vezy bergerak mencari posisi nyaman dan memejamkan mata erat-erat. Tetapi, kantuk itu tidak kunjung datang. Dia bersedekap lalu menarik kakinya agar terlipat. Lagi, kantuk itu belum juga datang. Arma mengernyit melihat Vezy yang kesulitan tidur. "Beneran nggak bisa?" "Nggak bisa," keluh Vezy lalu mengacak rambut. "Kemarin lo bisa tidur nyenyak." "Karena ada orang di sebelah gue." "Lo penakut?" Arma menahan tawa. Vezy membuka mata dan menatap Arma. "Gue dari kecil tidur dipeluk mama," ceritanya. "Gue nggak bisa tidur kalau nggak ada yang meluk. Setidaknya ditemenin badan gue ada yang nempel sama tuh orang, pasti gue tidur." Arma ingat ketika Vezy tiba-tiba tidur pangkuannya. Jadi karena itu? "Harus banget?" tanyanya. "Waktu habis minum...." "... namanya habis minum. Nggak begitu sadar," potong Vezy lalu membuka mata. "Silakan keluar." "Huh...." Arma menghela napas berat. Dia mengambil tas dan berkas yang tergeletak di meja lantas berjalan keluar. Vezy kecewa saat mendengar suara pintu dibuka lalu ditutup lagi. Dia tidak modus atau apapun. Memang dia susah mengawali tidur, terlebih saat sendirian. Dia memang anak manja yang terpaksa menjalani hidup mandiri demi impiannya. Mama Vezy, tidak setuju anaknya mengikuti ajang pencarian bakat. Vezy sejak kecil dikenalkan dengan dunia bisnis agar melanjutkan bisnis kedua orangtuanya. Tetapi, dia dari kecil lebih tertarik ke musik. Papanya juga suka dengan musik, tapi lebih suka berbisnis. Sedangkan dia tidak menyukai sesuatu yang banyak berpikir. Tidak salah, kan, jika Vezy mengikuti kata hatinya? Meski hal itu membuatnya berjauhan dari sang mama. Wanita itu memiliki bisnis lain yang baru dikembangkan di Aussie, jadilah mereka lebih sering berjauhan. Vezy dan mamanya sama-sama gengsi untuk mengungkapkan kerinduan. Di depan, Arma mengintip dari kaca pintu. Dia melihat Vezy yang terus bergerak mencari posisi nyaman. "Kasihan, dapet masalah bertubi-tubi," gumamnya lantas berbalik. "Dia pernah bantuin gue. Nggak tahu diri banget gue!" Arma lalu menatap ke kaca. Vezy masih belum juga tidur. Dia berbalik menghadap sandaran kursi dan memeluk benda itu seolah memeluk seseorang. Dia memejamkan mata erat-erat, berharap kali ini bisa terlelap. "Kasihan!" Arma seketika membuka pintu. "Udah selesai? Gue bisa pulang?" Vezy hendak bangkit, tetapi sisi ranjangnya diduduki seseorang. Aroma parfum bunga seketika menguar. Lantas dia mendongak dan melihat Arma yang kembali. "Lo?" "Cepet tidur!" pinta Arma sambil menatap jendela yang tertutup gorden. Vezy kembali menghadap sandaran kursi lalu memejamkan mata. "Gue hampir tidur kok. Sambil meluk kursi." Arma melihat tangan Vezy yang terangkat ke atas memeluk sandaran. Baru kali ini dia bertemu dengan lelaki aneh. "Kalau diusap gini bisa tidur, kan?" Kemudian dia mengusap pinggang Vezy. Tetapi, lelaki itu menggeliat. "Geli, tahu!" "Udah, cepet tidur!" Vezy menarik tangan Arma dan meletakkan di kepalanya. "Mending diusap di sini aja." Jantung Arma berdegup lebih cepat. Dia mencoba mengusap rambut yang terasa lembut itu membuat telapak tangannya terasa geli. Lantas dia mengusap agak lebih kencang. Kantuk yang dari semalam berkumpul akhirnya muncul. Vezy menguap lalu tangannya terkuai lemas. Napasnyapun mulai teratur. Arma tidak mendapati Vezy yang kembali bergerak. Dia memelankan usapan tangannya lalu mengintip. Mata Vezy terpejam erat. Arma menghela napas lega lantas berdiri pelan. "Ada-ada aja!" gumam Arma lantas keluar. "Lo belum balik?" Arma berjingkat. Dia melihat Razi berjalan dari lorong ujung. Dia menoleh ke kaca pintu, Vezy masih terlelap. "Ini mau balik." "Vezy mau makan, kan?" tanya Razi setelah berdiri di depan Arma. "Udah kok. Meski dikit." Razi lega mendengar itu. Perhatiannya lalu tertuju ke berkas yang berada di tangan Arma. "Baru kali ini Vezy pengen banget kerja sama seseorang." "Oh, ini?" Arma menggerakkan berkas di tangan kirinya. "Masih gue pikir-pikir lagi, sih." "Vezy nggak senakal itu kok. Meski kadang kebangetan." "Alasan gue bukan itu." "Terus?" "Yang namanya mau kerja tetep butuh dipikirin dulu, kan?" tanya Arma. "Selama ini gue kerja di bawah pengawasan orang. Gue takut nggak sanggup." Razi menahan tawa. "Gue udah lihat CV lo. Nggak kalah sama karyawan lain yang coba lamar," jawabnya. "Selain dari kemampuan, khemistri itu juga penting. Kayaknya itu yang udah didapet Vezy dari lo." "Nggak mungkinlah. Cuma ketemu beberapa kali doang." Arma tidak mau besar kepala karena perkatan Razi. "Pikirin mateng-mateng." Razi melewati Arma dan membuka pintu dengan kencang. "Dia baru aja tidur!" ingat Arma cepat. Dia menatap Razi yang terdiam, mungkin menyesal telah membuka pintu dengan kencang. Razi menoleh. "Lo udah peduli ke dia," ujarnya lalu tersenyum. "Artinya khemistri udah dapet." Dia mengedipkan mata lalu memutuskan masuk. Arma mendengus. "Apa-apaan?" Dia berbalik dan berjalan menjauh. Begitu sampai luar, Arma merasa lega. Dia menatap pintu agensi dengan logo huruf D di bagian tengah. Arma lalu menatap berkas di tangan kirinya. Tanpa diminta dia terbayang saat Vezy melindunginya dari Tedo. Apakah mungkin Vezy dan Tedo tidak akur? Tetapi, mengapa Vezy tetap berada dinaungan Tedo? "Untung kamu belum pulang." Perhatian Arma teralih. Dia melihat Tedo yang berjalan keluar sambil tersenyum, berbeda dengan tadi. Arma seketika berdiri tegak dan menatap lelaki itu waspada. "Saya minta maaf," ujar Tedo setelah berdiri di samping Arma. "Vezy artis kesayangan saya. Mungkin saya berlebihan." "Ya. Masih bisa dimaklumi." Tedo melirik ke berkas di tangan Arma. "Pertimbangin baik-baik. Vezy nggak pernah minta seseorang buat kerja sama dia." "Maksudnya?" tanya Arma tak mengerti. Bukannya menjawab, Tedo justru berjalan menjauh. "Kok gue merasa agak spesial," gumamnya lalu menggeleng tegas. Nggak boleh!Sepulang dari kantor agensi, Arma mampir ke rumah Fei. Untungnya wanita itu ada di rumah. Jika teman datang, maka terpikir untuk makan bersama. Pilihannya pasti makanan pedas. Fei kali ini memesan mi pedas dan seblak, makanan pedas favorit mereka."Lo sebenernya dari mana? Pakaian lo rapi," tanya Fei sambil memperhatikan kemeja pink dan rok putih panjang yang dikenakan Arma."Kantor agensi.""Fix kerja di sana?"Arma mengambil air mineral dan menegaknya beberapa kali. "Enggak. Hu...," jawabnya sambil menahan rasa pedas yang membakar."Terus?""Gue diminta kerja di sana. Terus, diinterogasi sama CEO-nya.""Diinterogasi?""Lo nggak lihat berita?" tanya Arma yang langsung dijawab gelengan Fei. Dia mengeluarkan ponsel dari tas dan mencari video tentang Vezy. "Lihat dulu."Fei memakan mi pedasnya sambil melihat video pemberitaan. "Loh, dia?""Cuma dimintai keterangan," jawab Arma cepat. "Tapi, orang-orang pada salah paham duluan.""Terus? Lo diinterogasi gara-gara ini?"Arma mengangguk. "C
Tet....Lelaki yang sedang duduk menonton televisi itu tersenyum begitu mendengar suara bel. Dia mematikan televisi lalu berdiri. Lantas dia berjalan pelan menuju pintu.Tet...."Siapa?" Vezy membuka pintu dan mendapati Arma. Sesuai dugaannya. Yah, bertanya sebagai formalitas saja.Arma memperhatikan wajah Vezy yang tidak sepucat tiga hari lalu. "Saya....""Masuk," ajak Vezy lalu membuka pintu lebih lebar. Dia menggerakkan tangan meminta Arma berjalan lebih dulu."Permisi," ujar Arma lantas berjalan masuk. Dia melepas flatshoes-nya lalu berjalan menuju ruang tamu. Dia terdiam, melihat ruang tamu yang merangkap sebagai ruang santai. Terdapat sofa berwarna putih berukuran agak besar, tampak nyaman. Di samping sofa itu terdapat lemari dengan piala penghargaan yang diterima Vezy.Vezy tersenyum memperhatikan Arma yang mengenakan kemeja krem dengan rok di bawah lutut. Baru kali ini dia melihat wanita itu mengenakan bawahan yang agak pendek. Kaki Arma cukup kecil, padahal tubuhnya agak ber
Kedua kalinya, Arma dibuat kalang kabut oleh Vezy. Bedanya, dia masih diberi kesempatan pulang untuk mengambil pakaian dan berpamitan. Tidak seperti sebelumnya yang terkesan seperti diculik.Papa dan mamanya tentu kaget mengetahui Arma harus ke Bali. Tetapi, karena memang urusan pekerjaan, mereka mencoba mengerti. Sangat berbeda dengan Salma yang sempat curiga. Tetapi, ujungnya iri karena ingin ikut serta.Pukul tujuh, Arma baru sampai bandara. Dia menggeret koper berwarna hijau neon di tangan kiri. Sementara tangannya menenteng tas berukuran kecil. Dia mengedarkan pandang, mencari Vezy dan Razi yang katanya sudah datang."Arma!"Langkah Arma terhenti mendengar panggilan itu. Dia menoleh dan melihat Razi yang mengenakan topi hitam agak ke bawah. Di belakangnya ada lelaki yang mengenakan topi yang sama sedang meminum kopi.Arma mendekat sambil melirik kanan kiri. Beberapa orang ada yang menatap dua lelaki itu, tetapi tidak ada yang berani mendekat. "Kalian udah lama?""Daritadi," jawab
Glek... Glek....Arma menegak minuman yang rasanya aneh. Tetapi, dia tetap meminum karena tenggorokannya terasa sakit. Rasanya dia ingin bercerita, tetapi tidak sanggup.Vezy memperhatikan Arma yang menghabiskan minumannya. Dia yakin, wanita itu tidak sadar apa yang telah diminum. "Arma...."Tak.... Arma meletakkan gelas di depannya dengan kasar. Kepalanya terasa berat dan pandangannya berkunang-kunang. Seketika dia menyandarkan kepala dan memejamkan mata."Lo nggak akan kuat, Arma.""Gue harus kuat," jawab Arma tidak mengerti maksud ucapan Vezy.Klek.... Razi berjalan masuk dengan sebotol minuman. Saat melihat Arma yang duduk bersandar seketika dia menatap Vezy. "Lo apain?" tuduhnya lalu melihat minuman Vezy yang telah habis."Dia minum sendiri.""Wah? Nyerah juga dia." Razi meletakkan botol air mineral di meja. "Tadi ketemu temen, makanya agak lama.""Bilang aja ketemu cewek," jawab Vezy lalu menatap Razi yang menahan tawa. Perhatiannya lalu kembali ke Arma. "Arma...."Arma tidak ta
Pukul enam lebih tiga puluh, Vezy, Razi dan Arma sampai di sebuah hotel tempat Vezy harus manggung. Arma terdiam melihat mobil-mobil mewah yang terparkir di depan. Di depan pintu hotel, juga tersedia karpet mewah dan beberapa orang yang berjejer menyambut.Arma baru kali ini datang ke acara pernikahan yang begitu mewah. Tanpa sadar, dia membayangkan pesta pernikahannya kala itu yang cukup sederhana. Tetapi, terasa begitu membahagiakan."Jangan ngelamun." Vezy menepuk punggung Arma.Lamunan singkat Arma seketika terputus. Dia menatap Vezy yang berjalan di sebelahnya. Kemudian, ada dua orang yang menghampiri dari arah samping."Silakan lewat sini, Pak," ujar lelaki yang mengenakan setelan berwarna hitam.Razi menggerakkan tangan ke arah kiri. Dia lalu menarik Vezy agar berjalan di sampingnya. "Gila, kayak showroom."Vezy menahan tawa. "Mau lo? Ambil.""Besoknya gue masuk penjara."Arma mendengar candaan dua lelaki
Sudah dua puluh menit Arma berusaha menahan tangisannya. Tetapi, air matanya tetap turun. Dia mengusap sudut mata hingga terasa agak nyeri. Air mata itu tetap keluar hingga napasnya terasa sesak."Kenapa gue selemah ini, sih?" Arma menghela napas panjang lalu mendongak. Dia ingat terlalu lama meninggalkan ruangan, tetapi dia tidak kunjung beranjak. Tentu, dia tidak ingin orang lain tahu jika dia bersedih."Huh. Gue nggak boleh kayak gini!" Arma berdiri tegak lalu mengedipkan mata beberapa kali. Setelah dirasa bisa menahan air mata, dia berjalan ke ruangan.Ceklek...."Eh...." Arma berjingkat saat hendak membuka pintu, ternyata benda itu dibuka dari dalam. Dia mengangkat wajah, melihat Vezy yang telah berganti pakaian dan wajahnya terlihat segar setelah mencuci muka. Seketika Arma sadar sudah terlalu lama pergi."Dari mana, sih, lo?" Razi melewati Vezy dan melihat Arma yang terdiam. "Gue minta tunggu malah pergi." Setelah itu dia berjalan
Kepala Arma pening oleh desakan sesuatu yang sudah lama tidak dirasakan. Bersama Vezy, dia menembus batas-batas yang telah ditentukan untuk tidak berdekatan dengan lelaki. Bersama Vezy, sudah tidak terhitung berapa kali lelaki itu menggoda dan mengecupnya. Sekarang, meledak semuanya.Begitu pula dengan Vezy. Baginya mudah berciuman dengan seorang wanita tanpa status. Meski begitu, dia tidak pernah mencium sembarang wanita. Hanya beberapa wanita saja yang menarik perhatiannya. Arma termasuk di dalamnya.Vezy merasa ada sesuatu yang menarik dari diri Arma. Wanita itu memiliki paras yang cantik dengan penampilan sederhana. Gaya berpakaian wanita itu sopan. Tetapi, tetap memiliki magnet untuk menarik para lelaki. Vezy berani bertaruh, banyak wanita cantik di luar sana dengan tubuh kurus dan tinggi seperti yang diidamkan para lelaki. Sayangnya, Vezy tidak menyukai seperti itu. Dia justru tertarik dengan tubuh Arma yang ideal. Berisi di tempat-tempat yang seharusnya.
"Bukannya dari tadi lo menghindar?"Arma menarik kedua tangan Vezy dari pinggangnya. Dia memilih berenang ke arah lain daripada meladeni lelaki itu. Memang, dia menghindari Vezy. Saat di festival jajanan tadi sebisa mungkin dia menjaga jarak. Untungnya, Vezy disibukkan dengan si pembawa acara yang terus memintanya untuk mencoba makanan.Sepertinya sekarang, Arma tidak bisa menghindar lagi. Belum apa-apa Vezy mendekatinya. Ayolah, seharusnya tidak sampai seperti itu. Dia yakin, Razi lama kelamaan akan mencurigainya."Bener, kan, menghindar?"Arma berhenti berenang dan menoleh. Vezy menatapnya dengan senyum segaris. Lelaki itu lalu berenang dengan gaya punggung dan tampak menikmati air laut yang bergerak pelan.Jepret.... Dari arah boat ada yang memoto Vezy.Razi melihat dua orang yang berada cukup jauh itu. "Jangan jauh-jauh!"Arma tersenyum. "Oke!" Dia kembali mendekati Razi. Jika Vezy bertanya, dia akan menjadikan itu a