Share

7-PENAWARAN LAIN

"Bukan salah dia," jawab Vezy. "Polisi udah kasih tahu, kan? Kenapa diperpanjang?" Vezy menggenggam tangan Arma dan meremasnya pelan. Arma menatap lelaki itu yang melindunginya.

"Masalahnya banyak klien...."

"... bagus! Gue nggak mau kerja sama mereka yang terlalu percaya omongan orang!" potong Vezy. "Masih banyak klien yang mau kerja sama karena kemampuan gue."

Tedo menghela napas berat. "Apa itu?"

Vezy melirik Arma yang terdiam. "Surat kontak kerja sama Arma," jawabnya. "Kayaknya dia nggak mau kerja di sini."

Arma memperhatikan wajah Vezy yang begitu pucat. Sorot mata menggoda lelaki itu mendadak hilang. Dia seperti tidak berhadapan dengan Vezy.

"Ya udah, kalau dia nggak mau," jawab Tedo.

Vezy mengambil berkas yang paling atas dan membuangnya. "Tapi, gue bakal pekerjain Arma." Lantas dia menyerahkan berkas lain ke Arma.

"Agensi nggak bisa bayar kalau gitu."

"Tenang. Biar gue yang bayar!" jawab Vezy tanpa menatap lawan bicaranya. "Bisa keluar dari sini? Gue lagi nemuin klien penting."

Tedo menggaruk dagu. Dari sekian artisnya, hanya Vezy yang berani melawan. Memang, Vezy artis yang menyumbang paling banyak pendapatan agensi. Dia jadi tidak bisa terlalu memaksa Vezy daripada lelaki itu kabur. "Oke! Tapi, pikirin mateng-mateng." Setelah itu dia berjalan menjauh.

Arma melirik lelaki angkuh yang berjalan keluar itu. Dia lalu menatap Vezy yang masih mengulurkan berkas. "Gue nggak mau."

"Coba lihat dulu," pinta Vezy.

Arma mengambil kertas itu dan melihat kontrak kerja sama sebagai pengelola keuangan. Dia menatap Vezy yang memilih menunduk dengan kening mengernyit. "Yakin?"

"Iya," jawab Vezy. "Lo kayaknya nggak nyaman jadi asisten gue."

"Karena bukan bidang gue."

"Gue kehilangan banyak duit karena nggak ngerti ngelolanya. Gue harap lo bisa bantu," ujar Vezy. "Apalagi, asisten lama bawa kabur duit di brankas gue. Padahal, itu gaji pertama yang pengen gue simpen sampai kapanpun."

Arma menarik napas panjang. "Kalau kayak gitu, gue bakal pikir ulang."

"Gue kasih waktu dua hari." Vezy mengangkat wajah, memperhatikan wajah suntuk dengan lingkar hitam yang terlihat jelas.

Ada perasaan sedih yang tiba-tiba muncul di hati Arma. Vezy terlihat lelah dan tidak memiliki semangat. "Gue tahu lo nggak salah."

"Terus, kenapa lo ninggalin gue?" tanya Vezy dengan napas tercekat. "Lo nggak tahu berapa kali gue dimarahin Razi tiap ada masalah."

Arma tidak tahu itu. Dia pikir, Razi menganggap Vezy sebagai adik yang harus diayomi. "Sorry...." Dia mendekat dan menepuk lengan Vezy.

Vezy lantas memeluk Arma erat. "Pusing banget kepala gue."

"Udah minum obat?" tanya Arma lalu menepuk puncak kepala Vezy. Dalam kondisi normal, sudah pasti dia akan menendang. Tetapi, kali ini dia sangat kasihan ke lelaki itu.

***

Setelah pembicaraan di aula, Arma tidak kunjung pulang. Dia menemani Vezy yang memakan ayam goreng di salah satu ruangan. Sementara Razi mengurus sisa kekacauan bersama Tedo.

Arma memperhatikan, bagaimana Vezy terlihat enggan saat memakan. Beberapa kali lelaki itu mendorong ayam goreng lalu menyangga kening. Setelah itu dia memakan lagi. Seolah tidak ada pilihan lain selain makan.

"Lo udah makan?" tanya Vezy tanpa menatap Arma.

"Udah, mama tadi masak."

"Enak banget dimasakin mama."

"Lo tinggal sendiri?" tanya Arma hati-hati.

Vezy mengangguk. "Nyokap gue di Aussie. Dia nggak setuju gue jadi penyanyi."

"Bokap sama saudara lo?"

"Gue anak tunggal," jawab Vezy lalu mengambil cola.

"Jangan!" Arma seketika berdiri dan menahan gerakan Vezy. Dia mengambil gelas berisi cola lalu menggantinya dengan air mineral. "Bentar lagi lo minum obat."

Vezy tidak ada kuasa untuk mendebat. Dia membuka botol air mineral itu dan menegaknya beberapa kali. Setelah itu ada tangan yang terulur dengan obat yang dipegang. "Gue paling benci minum obat."

"Kalau nggak mau, istirahat aja." Arma yakin, Vezy tidak kuat. Wajahnya saja sudah terlihat selemah itu.

"Nggak bisa tidur," jawab Vezy lalu mengambil obat dari telapak tangan Arma. Dia meminum obat itu dan menegak air mineral.

Arma tersenyum melihat Vezy yang menjadi penurut. "Gue boleh pergi?" tanyanya. Rasanya tidak nyaman berada di kantor orang.

Vezy menatap Arma. "Temenin gue sampai tidur."

"Lo...." Mata Arma memicing melihat ekspresi Vezy. Tetapi, tidak terlihat ada sorot mata jail seperti sebelumnya.

"Ya udah, kalau nggak mau." Vezy beranjak menuju sofa panjang dan berbaring miring.

"Gue temenin lima menit," putus Arma. Dia ingat kemarin Vezy gampang tidur. Bahkan, tidak sampai lima menit.

Vezy bergerak mencari posisi nyaman dan memejamkan mata erat-erat. Tetapi, kantuk itu tidak kunjung datang. Dia bersedekap lalu menarik kakinya agar terlipat. Lagi, kantuk itu belum juga datang.

Arma mengernyit melihat Vezy yang kesulitan tidur. "Beneran nggak bisa?"

"Nggak bisa," keluh Vezy lalu mengacak rambut.

"Kemarin lo bisa tidur nyenyak."

"Karena ada orang di sebelah gue."

"Lo penakut?" Arma menahan tawa.

Vezy membuka mata dan menatap Arma. "Gue dari kecil tidur dipeluk mama," ceritanya. "Gue nggak bisa tidur kalau nggak ada yang meluk. Setidaknya ditemenin badan gue ada yang nempel sama tuh orang, pasti gue tidur."

Arma ingat ketika Vezy tiba-tiba tidur pangkuannya. Jadi karena itu? "Harus banget?" tanyanya. "Waktu habis minum...."

"... namanya habis minum. Nggak begitu sadar," potong Vezy lalu membuka mata. "Silakan keluar."

"Huh...." Arma menghela napas berat. Dia mengambil tas dan berkas yang tergeletak di meja lantas berjalan keluar.

Vezy kecewa saat mendengar suara pintu dibuka lalu ditutup lagi. Dia tidak modus atau apapun. Memang dia susah mengawali tidur, terlebih saat sendirian. Dia memang anak manja yang terpaksa menjalani hidup mandiri demi impiannya.

Mama Vezy, tidak setuju anaknya mengikuti ajang pencarian bakat. Vezy sejak kecil dikenalkan dengan dunia bisnis agar melanjutkan bisnis kedua orangtuanya. Tetapi, dia dari kecil lebih tertarik ke musik. Papanya juga suka dengan musik, tapi lebih suka berbisnis. Sedangkan dia tidak menyukai sesuatu yang banyak berpikir.

Tidak salah, kan, jika Vezy mengikuti kata hatinya? Meski hal itu membuatnya berjauhan dari sang mama. Wanita itu memiliki bisnis lain yang baru dikembangkan di Aussie, jadilah mereka lebih sering berjauhan. Vezy dan mamanya sama-sama gengsi untuk mengungkapkan kerinduan.

Di depan, Arma mengintip dari kaca pintu. Dia melihat Vezy yang terus bergerak mencari posisi nyaman. "Kasihan, dapet masalah bertubi-tubi," gumamnya lantas berbalik. "Dia pernah bantuin gue. Nggak tahu diri banget gue!" Arma lalu menatap ke kaca.

Vezy masih belum juga tidur. Dia berbalik menghadap sandaran kursi dan memeluk benda itu seolah memeluk seseorang. Dia memejamkan mata erat-erat, berharap kali ini bisa terlelap.

"Kasihan!" Arma seketika membuka pintu.

"Udah selesai? Gue bisa pulang?" Vezy hendak bangkit, tetapi sisi ranjangnya diduduki seseorang. Aroma parfum bunga seketika menguar. Lantas dia mendongak dan melihat Arma yang kembali. "Lo?"

"Cepet tidur!" pinta Arma sambil menatap jendela yang tertutup gorden.

Vezy kembali menghadap sandaran kursi lalu memejamkan mata. "Gue hampir tidur kok. Sambil meluk kursi."

Arma melihat tangan Vezy yang terangkat ke atas memeluk sandaran. Baru kali ini dia bertemu dengan lelaki aneh. "Kalau diusap gini bisa tidur, kan?" Kemudian dia mengusap pinggang Vezy. Tetapi, lelaki itu menggeliat.

"Geli, tahu!"

"Udah, cepet tidur!"

Vezy menarik tangan Arma dan meletakkan di kepalanya. "Mending diusap di sini aja."

Jantung Arma berdegup lebih cepat. Dia mencoba mengusap rambut yang terasa lembut itu membuat telapak tangannya terasa geli. Lantas dia mengusap agak lebih kencang.

Kantuk yang dari semalam berkumpul akhirnya muncul. Vezy menguap lalu tangannya terkuai lemas. Napasnyapun mulai teratur.

Arma tidak mendapati Vezy yang kembali bergerak. Dia memelankan usapan tangannya lalu mengintip. Mata Vezy terpejam erat. Arma menghela napas lega lantas berdiri pelan.

"Ada-ada aja!" gumam Arma lantas keluar.

"Lo belum balik?"

Arma berjingkat. Dia melihat Razi berjalan dari lorong ujung. Dia menoleh ke kaca pintu, Vezy masih terlelap. "Ini mau balik."

"Vezy mau makan, kan?" tanya Razi setelah berdiri di depan Arma.

"Udah kok. Meski dikit."

Razi lega mendengar itu. Perhatiannya lalu tertuju ke berkas yang berada di tangan Arma. "Baru kali ini Vezy pengen banget kerja sama seseorang."

"Oh, ini?" Arma menggerakkan berkas di tangan kirinya. "Masih gue pikir-pikir lagi, sih."

"Vezy nggak senakal itu kok. Meski kadang kebangetan."

"Alasan gue bukan itu."

"Terus?"

"Yang namanya mau kerja tetep butuh dipikirin dulu, kan?" tanya Arma. "Selama ini gue kerja di bawah pengawasan orang. Gue takut nggak sanggup."

Razi menahan tawa. "Gue udah lihat CV lo. Nggak kalah sama karyawan lain yang coba lamar," jawabnya. "Selain dari kemampuan, khemistri itu juga penting. Kayaknya itu yang udah didapet Vezy dari lo."

"Nggak mungkinlah. Cuma ketemu beberapa kali doang." Arma tidak mau besar kepala karena perkatan Razi.

"Pikirin mateng-mateng." Razi melewati Arma dan membuka pintu dengan kencang.

"Dia baru aja tidur!" ingat Arma cepat. Dia menatap Razi yang terdiam, mungkin menyesal telah membuka pintu dengan kencang.

Razi menoleh. "Lo udah peduli ke dia," ujarnya lalu tersenyum. "Artinya khemistri udah dapet." Dia mengedipkan mata lalu memutuskan masuk.

Arma mendengus. "Apa-apaan?" Dia berbalik dan berjalan menjauh.

Begitu sampai luar, Arma merasa lega. Dia menatap pintu agensi dengan logo huruf D di bagian tengah. Arma lalu menatap berkas di tangan kirinya. Tanpa diminta dia terbayang saat Vezy melindunginya dari Tedo. Apakah mungkin Vezy dan Tedo tidak akur? Tetapi, mengapa Vezy tetap berada dinaungan Tedo?

"Untung kamu belum pulang."

Perhatian Arma teralih. Dia melihat Tedo yang berjalan keluar sambil tersenyum, berbeda dengan tadi. Arma seketika berdiri tegak dan menatap lelaki itu waspada.

"Saya minta maaf," ujar Tedo setelah berdiri di samping Arma. "Vezy artis kesayangan saya. Mungkin saya berlebihan."

"Ya. Masih bisa dimaklumi."

Tedo melirik ke berkas di tangan Arma. "Pertimbangin baik-baik. Vezy nggak pernah minta seseorang buat kerja sama dia."

"Maksudnya?" tanya Arma tak mengerti. Bukannya menjawab, Tedo justru berjalan menjauh. "Kok gue merasa agak spesial," gumamnya lalu menggeleng tegas. Nggak boleh!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status