"Bukannya dari tadi lo menghindar?"
Arma menarik kedua tangan Vezy dari pinggangnya. Dia memilih berenang ke arah lain daripada meladeni lelaki itu. Memang, dia menghindari Vezy. Saat di festival jajanan tadi sebisa mungkin dia menjaga jarak. Untungnya, Vezy disibukkan dengan si pembawa acara yang terus memintanya untuk mencoba makanan.Sepertinya sekarang, Arma tidak bisa menghindar lagi. Belum apa-apa Vezy mendekatinya. Ayolah, seharusnya tidak sampai seperti itu. Dia yakin, Razi lama kelamaan akan mencurigainya."Bener, kan, menghindar?"Arma berhenti berenang dan menoleh. Vezy menatapnya dengan senyum segaris. Lelaki itu lalu berenang dengan gaya punggung dan tampak menikmati air laut yang bergerak pelan.Jepret.... Dari arah boat ada yang memoto Vezy.Razi melihat dua orang yang berada cukup jauh itu. "Jangan jauh-jauh!"Arma tersenyum. "Oke!" Dia kembali mendekati Razi. Jika Vezy bertanya, dia akan menjadikan itu a"Mereka bahagia?" tanya Vezy membuat Arma langsung menangis.Arma berkali-kali tidak ingin terlihat lemah, tetapi air mata itu menghianatinya. Dia mengepalkan tangan lalu menunduk. "Gue nggak nyangka setelah enam tahu ketemu mereka lagi. Gue...."Vezy menarik Arma ke dalam pelukan. "Andai lo ngomong udah pasti gue cari tuh cowok!" geramnya. "Gue bikin babak belur."Tangis Arma kian kencang. Ini pertama kalinya dia menangis dalam dekapan orang lain, selain Fei. Sebelumnya dia susah untuk terbuka. Tetapi, perhatian Vezy membuat pertahanan kokohnya hancur."Rumah dia di daerah sini?"Arma menggeleng. "Enggak," jawabnya. "Gue juga nggak tahu kenapa mereka diundang.""Sial! Harusnya lo yang lebih bahagia.""Mungkin belum waktunya." Arma mengurai pelukan lalu mengusap sudut mata. "Udah, gue nggak mau cerita lagi."Vezy memandang wajah Arma yang memerah dengan air mata yang berdesakan turun. Dia mengusap air mata itu s
"Gila! Capek banget gue!"Keluhan itu mungkin sudah puluhan kali Razi dan Arma dengar selama kurang dari dua jam. Tentu yang mengeluh adalah Vezy. Sejak keluar dari hotel, lelaki itu sudah ogah-ogahan. Bahkan beberapa kali menghentakkan kaki, katanya lelah."Duh! Capek banget!" Vezy menyelonjorkan kaki. Saat diam, dia merasa di dalam tubuhnya ada yang bergerak dan membuat lelah itu semakin bertambah. "Ngapain, sih, pake delay? Nggak tahu orang capek apa?" Seketika Vezy berdiri dan mengibaskan tangan.Razi geleng-geleng. "Udah biasa.""Sering kayak gitu?" tanya Arma pelan."Ya. Siap-siap aja orang di sekitarnya bakal disalahin."Arma menatap Vezy yang berjalan menjauh lalu kembali sambil mengacak rambut. Dia menahan tawa, ingat saat semalam Vezy tertidur di samping kolam. Entah pukul berapa lelaki itu terbangun. Saat pagi, Arma mengecek keluar dan Vezy sudah tidak ada."Pegel banget punggung gue!" keluh Vezy setelah berdi
Mobil yang dikendarai Vezy mulai melewati jalanan yang semakin sempit. Dia menatap GPS yang terus mengarahkan ke jalan itu. "Yakin, nih?"Arma ikut khawatir karena jalanan hanya bisa dilalui oleh satu mobil saja. Bahkan motor yang didepanpun terpaksa berbalik dan mengalah. "Nggak salah, kan?""Informasi dari Tedo ini," jawab Vezy."Tapi, jalanan makin kecil Vez!"Kreek.... Bagian samping mobil Vezy sepertinya ada yang bersenggolan dengan papan depan tembok."Nggak bisa, deh ini!" Arma menatap depan, jalanan terus sempit."Udah, yakin aja!"Arma memegang sabuk pengaman dengan erat. Dia berdoa semoga jalanan kembali lebar. Satu yang terpenting, semoga tidak ada yang membahayakan.Tak lama, mereka sampai di ujung jalan. Vezy membelokkan mobil ke kiri dan melihat motor-motor yang berjajar di sebuah rumah. "Ini lokasinya?"Arma menatap rumah yang tampak ramai itu. "Mungkin."Vezy menghentikan kendar
"Salma!"Arma berjalan sambil menyeret kaki. Makin lama, kakinya semakin bengkak dan terasa sakit. Vezy udah membujuk untuk periksa, tetapi Arma tetap tidak mau."Loh, kenapa?" Salam baru keluar kamar dan melihat kakaknya yang berjalan menyeret kaki. Dia mendekat dan membantu kakaknya itu ke kamar."Kaki gue terkilir.""Ko bisa, sih?""Gue kurang hati-hati," jawab Arma tidak ingin menceritakan apa yang terjadi. Adiknya itu parnoan. Jika sudah begitu pasti akan mengadu ke mamanya yang sama parnonya juga. Kemudian bisa jadi heboh karena kekhawatirkan dua orang itu.Salma membantu kakaknya duduk lalu membantu kakinya agak berselonjor. Dia memperhatikan wajah Arma yang memerah dan agak berkeringat. "Yakin?" tanyanya. "Lo jatuh dari motor?"Arma mengangkat wajah. "Gue nggak bawa motor kali.""Kalau gitu diserempet?""Enggak," jawab Arma sambil mencoba berbaring. "Gue aja yang kurang hati-hati."Perh
Esok harinya, Arma kembali bekerja. Dia telah menggunakan ponsel barunya dan sudah menghubungi Vezy. Dia juga baru tahu Razi, jika kemarin lusa Vezy telah resmi melaporkan Ojan. Sekarang, laporan itu sedang di proses."Gue pengen break dulu!" ujar Vezy lalu memakan kentang gorengnya.Razi mengangkat tablet, menunjukkan sisa jadwal Vezy. "Setelah ini semua selesai, baru break. Bisa, kan?""Nggak bisa, ya, kalau besok?"Arma memperhatikan dua orang yang berdebat itu. Vezy kembali bertingkah menyebalkan dengan merengek enggan bekerja. Sementara Razi membujuk habis-habisan."Nggak bisa! Nanti sore lo ketemu klien!" Razi meletakkan tablet di meja lantas berdiri. "Aaaa! Stres gue!" Dia mengacak rambut lalu menatap Vezy.Vezy tetap terlihat santai, sambil menyantap kentang goreng. "Karena udah stres, mending istirahat.""Tapi, selesaiin jadwal lo."Lama-lama Arma kasihan melihat Razi yang susah membujuk. "Lo harus tang
Sesuai ucapan Vezy tadi, lelaki itu mengajak dinner. Dia mengajak serta Razi dan Pak Eben. Arma? Tentu saja diajak.Wanita itu tadi ingin langsung pulang, tetapi Vezy menahannya. Bahkan, lelaki itu mengancam tidak akan mengajak dinner jika Arma tidak ikut. Melihat ekspresi Razi dan Pak Eben yang sudah bahagia karena akan ditraktir, Arma tidak enak hati. Akhirnya dia memilih ikut, meski agak terpaksa."Wah...." Vezy melihat bebek peking yang disajikan. Aroma khas bebek dengan bumbu yang khas membuat cacing di perutnya terbangun. Dia mengambil sumpit, mengambil daging itu lalu memakannya. "Aaa. Panas!"Arma yang duduk di samping Vezy menoleh. "Jelas panas, masih kelihatan asepnya." Dia geleng-geleng melihat keanehan lelaki itu. Lantas dia melahap nasi hainan pesanannya."Coba, deh!" pinta Vezy sambil menyenggol lengan Arma sekilas."Nggak suka bebek.""Gue dulu juga nggak suka," jawab Vezy. "Tapi, setelah coba bebek peking di sini,
"Gue kangen lo," ujar Vezy dengan satu tangan menarik pundak Arma. "Kangen juga?"Arma berbalik menatap Vezy dan terkejut melihat sorot mata lembut itu. Dia bergerak mundur hingga punggungnya bersentuhan dengan pintu. "Nih, pakai.""Jawab dulu.""Enggak!" jawab Arma apa adanya."Yah. Cuma gue doang dong yang kangen?" Vezy meletakkan jaket denimnya ke pundak Arma lalu mengambil alih kausnya.Arma melihat Vezy yang mulai memakai kaus. Padahal, lelaki itu bisa melakukan sendiri. Tetapi, kenapa harus meminta bantuan? "Gue keluar, ya!""No!" tolak Vezy sambil menatap Arma. "Bantu pakaiin jaketnya.""Huh. Oke!" Arma mengambil jaket denim di pundak dan memakaikannya ke Vezy.Vezy tersenyum karena wanita itu menurut. Lantas, ide jail itu muncul. Kedua tangan Vezy melingkar ke pinggang Arma dan menariknya mendekat."Bisa nggak, nggak usah pegang-pegang?""Nggak bisa," jawab Vezy tanpa suara.Ar
Saat masih menjadi pekerja kantoran, Arma sangat jarang sarapan di rumah. Dia memilih membawa bekal dan memakannya jika kelaparan. Jika tidak, dia baru memakan bekal itu saat siang. Dia cukup jarang makan siang di luar. Tentu saja karena enggan bertemu karyawan yang selalu menggodanya.Sekarang, kebiasaan itu mulai berubah. Sejak bekerja bersama Vezy, Arma lebih sering sarapan bersama keluarganya. Terlebih jika Salma masuk pagi. Otomatis semua anggota keluarga akan makan bersama."Gimana kerjamu? Nyaman?"Arma menoleh ke sisi kiri. Di kursi ujung, seorang lelaki yang mengenakan kemeja batik tengah memakan nasi goreng dan tidak memperhatikannya. "Nyaman, Pa.""Ehm...." Salma berdeham mendengar kalimat itu.Perhatian Arma sekarang tertuju ke adiknya yang tersenyum menggoda. Dia mendengus dan melanjutkan sarapannya. "Nanti pulang jam berapa, Dek?"Bahu Salma seketika turun. "Agak sore," keluhnya. "Ada bab yang harus dibenerin."