Esok harinya, Arma kembali bekerja. Dia telah menggunakan ponsel barunya dan sudah menghubungi Vezy. Dia juga baru tahu Razi, jika kemarin lusa Vezy telah resmi melaporkan Ojan. Sekarang, laporan itu sedang di proses.
"Gue pengen break dulu!" ujar Vezy lalu memakan kentang gorengnya.Razi mengangkat tablet, menunjukkan sisa jadwal Vezy. "Setelah ini semua selesai, baru break. Bisa, kan?""Nggak bisa, ya, kalau besok?"Arma memperhatikan dua orang yang berdebat itu. Vezy kembali bertingkah menyebalkan dengan merengek enggan bekerja. Sementara Razi membujuk habis-habisan."Nggak bisa! Nanti sore lo ketemu klien!" Razi meletakkan tablet di meja lantas berdiri. "Aaaa! Stres gue!" Dia mengacak rambut lalu menatap Vezy.Vezy tetap terlihat santai, sambil menyantap kentang goreng. "Karena udah stres, mending istirahat.""Tapi, selesaiin jadwal lo."Lama-lama Arma kasihan melihat Razi yang susah membujuk. "Lo harus tangSesuai ucapan Vezy tadi, lelaki itu mengajak dinner. Dia mengajak serta Razi dan Pak Eben. Arma? Tentu saja diajak.Wanita itu tadi ingin langsung pulang, tetapi Vezy menahannya. Bahkan, lelaki itu mengancam tidak akan mengajak dinner jika Arma tidak ikut. Melihat ekspresi Razi dan Pak Eben yang sudah bahagia karena akan ditraktir, Arma tidak enak hati. Akhirnya dia memilih ikut, meski agak terpaksa."Wah...." Vezy melihat bebek peking yang disajikan. Aroma khas bebek dengan bumbu yang khas membuat cacing di perutnya terbangun. Dia mengambil sumpit, mengambil daging itu lalu memakannya. "Aaa. Panas!"Arma yang duduk di samping Vezy menoleh. "Jelas panas, masih kelihatan asepnya." Dia geleng-geleng melihat keanehan lelaki itu. Lantas dia melahap nasi hainan pesanannya."Coba, deh!" pinta Vezy sambil menyenggol lengan Arma sekilas."Nggak suka bebek.""Gue dulu juga nggak suka," jawab Vezy. "Tapi, setelah coba bebek peking di sini,
"Gue kangen lo," ujar Vezy dengan satu tangan menarik pundak Arma. "Kangen juga?"Arma berbalik menatap Vezy dan terkejut melihat sorot mata lembut itu. Dia bergerak mundur hingga punggungnya bersentuhan dengan pintu. "Nih, pakai.""Jawab dulu.""Enggak!" jawab Arma apa adanya."Yah. Cuma gue doang dong yang kangen?" Vezy meletakkan jaket denimnya ke pundak Arma lalu mengambil alih kausnya.Arma melihat Vezy yang mulai memakai kaus. Padahal, lelaki itu bisa melakukan sendiri. Tetapi, kenapa harus meminta bantuan? "Gue keluar, ya!""No!" tolak Vezy sambil menatap Arma. "Bantu pakaiin jaketnya.""Huh. Oke!" Arma mengambil jaket denim di pundak dan memakaikannya ke Vezy.Vezy tersenyum karena wanita itu menurut. Lantas, ide jail itu muncul. Kedua tangan Vezy melingkar ke pinggang Arma dan menariknya mendekat."Bisa nggak, nggak usah pegang-pegang?""Nggak bisa," jawab Vezy tanpa suara.Ar
Saat masih menjadi pekerja kantoran, Arma sangat jarang sarapan di rumah. Dia memilih membawa bekal dan memakannya jika kelaparan. Jika tidak, dia baru memakan bekal itu saat siang. Dia cukup jarang makan siang di luar. Tentu saja karena enggan bertemu karyawan yang selalu menggodanya.Sekarang, kebiasaan itu mulai berubah. Sejak bekerja bersama Vezy, Arma lebih sering sarapan bersama keluarganya. Terlebih jika Salma masuk pagi. Otomatis semua anggota keluarga akan makan bersama."Gimana kerjamu? Nyaman?"Arma menoleh ke sisi kiri. Di kursi ujung, seorang lelaki yang mengenakan kemeja batik tengah memakan nasi goreng dan tidak memperhatikannya. "Nyaman, Pa.""Ehm...." Salma berdeham mendengar kalimat itu.Perhatian Arma sekarang tertuju ke adiknya yang tersenyum menggoda. Dia mendengus dan melanjutkan sarapannya. "Nanti pulang jam berapa, Dek?"Bahu Salma seketika turun. "Agak sore," keluhnya. "Ada bab yang harus dibenerin."
Sore harinya, Vezy menjadi salah satu bintang tamu di sketsa komedi. Dia akan bernyanyi saat pembukaan dan penutupan. Sekaligus, ikut di beberapa scene sketsa komedi itu. Hal itu membuat Vezy, harus datang lebih awal.Beruntung, lelaki itu tidak bertingkah kekanak-kanakan lagi. Razi jadi lebih mudah mengarahkan. Terlebih saat salah satu kru memberikan naskah, Vezy terlihat bersemangat membaca dan mengikuti briefing.Sekarang, Vezy tengah menghafalkan naskah. Dia akan berperan sebagai penyanyi yang gagal audisi kemudian ditolong oleh salah seorang. Vezy kemudian menjadi seorang penyanyi, tetapi nanti si komedian yang akan bernyanyi."Gue demen kalau dia nurut ini," puji Razi sambil memperhatikan Vezy yang duduk di sofa panjang.Arma yang duduk di sebelahnya mengangguk. "Kayaknya dia lagi happy.""Emang kenapa?""Minggu depan mamanya dateng.""What?" Razi sontak menoleh.Arma mengernyit melihat ekspresi itu. "Mama
"Arma?"Arma memandang wanita yang mengenakan rok terusan tanpa lengan berwarna krem itu. Dia lalu menatap ke pintu. Tidak terlihat ada orang lain yang hendak masuk. Kemudian perhatian Arma tertuju ke wanita cantik itu."Temen lo?" Razi menatap Arma yang terdiam. Sementara Vezy menatap Arma dan pengunjung wanita itu bergantian."Gue keluar dulu, ya!" Arma seketika berdiri.Vezy menatap Arma yang mendadak panik. "Kenapa, Ar?""Ar, boleh ngomong bentar?" Wanita itu mendekati Arma.Arma menunduk dan berjalan menuju pintu. Saat berbelok ke kiri, dia melihat seorang lelaki yang tengah menggendong anak kecil. Kedua tangan Arma seketika terkepal. Dia berbelok ke arah kanan dan berlari menjauh."Ikutin!" Vezy seketika berdiri dan mengambil tiga kantung belanjaannya."Arma! Arma!" Pengunjung perempuan itu ikut keluar. "Sayang, itu Arma."Langkah Vezy terhenti. Dia melihat seorang lelaki yang terlihat panik. Kemu
"Are you okay?"Perhatian Arma seketika teralih. Dia mendapati Vezy yang menatapnya serius. Tangan kirinya terangkat, mendorong kening lelaki itu. "Gue cari meja yang cocok," ujarnya sengaja mengalihkan pembicaraan. Dia menurunkan tangannya, tetapi Vezy segera menggenggam.Vezy mengecup punggung tangan Arma lalu bergeser mendekat. "Kalau mau curhat gue siap dengerin.""Enggak! Gue nggak kenapa-napa." Arma menarik tangannya dan mencari meja kerja yang cocok. "Kayaknya meja warna krem ini cocok."Vezy tersenyum samar, terlihat sekali Arma tidak ingin menunjukkan kesedihannya lagi. "Coba lihat!" Dia menatap ponsel Arma, melihat sebuah meja dengan laci di sebelah kirinya. "Boleh juga.""Oke! Pesen dua, ya?" tanya Arma lalu memasukkan ke keranjang. "Kalau kursi, harus nyaman. Kalau enggak, punggung sakit.""Lo bebas pilih kursi semahal apapun."Arma tidak begitu menggubris. Dia mencari kursi dengan sandaran agak tinggi. Hingg
"Mau gue cium nggak?""Jangan macem-macem!" Arma mengepalkan tangan dan menunjukkan ke Vezy.Vezy sama sekali tidak takut, justru kian gemas dengan wajah Arma. Dia memandang mata bulat dengan bulu mata lentik itu sambil tersenyum. "Sampai kapan lo terus pura-pura?""Pura-pura apa?""Pura-pura nggak sedih. Pura-pura nggak terjadi apa-apa," jawab Vezy. "Dan pura-pura nggak tertarik ke gue."Glek.... Arma menelan ludah. "Gue emang nggak tertarik ke lo.""Terus, kenapa pipinya merah?"Refleks Arma menyentuh pipi. "Ya karena gerah." Dia mengibaskan tangan ke wajah lalu membuang muka. "Bisa minggir?"Vezy menggeleng. "Jujur aja, Sayang.""Jujur apa lagi, sih?" Arma menatap Vezy lelah."Lo juga tertarik ke gue.""Gue nggak tertarik ke lo.""Kalau gue tertarik," aku Vezy lalu tersenyum lebar. "Hehe. Terlalu jujur?"Arma memandang wajah Vezy yang putih bersih. Sudah tidak ada
"Terus gue apa? Lo lihat gue apa kalau lo nggak bahagia? Menyedihkan?"Wanita bernama Jola itu terdiam mendengar penuturan sahabatnya. Dia mengakui perbuatannya dulu. Tetapi, dia juga ingin berbaikan. "Gue mau minta maaf.""Nggak perlu. Nggak akan berubah.""Kita bisa temenan lagi?""Menurut lo kita bisa temenan lagi?" tanya Arma yang langsung diangguki Jola. "Nggak bisa! Nggak akan bisa."Air mata Jola seketika menetes. "Ayo, kita bicara di dalem.""Gue harus pergi.""Arma, please." Jola menarik tangan Arma, berusaha membujuknya. "Kalau nggak bisa anggap gue temen lama, setidaknya hargai orang yang pengen ajak ngobrol lo."Tenggorokan Arma tercekat. Dia menarik tangan Jola lalu menoleh ke kiri. Saat itulah dia melihat seorang lelaki yang memperhatikannya. "Gue udah ada janji."Perhatian Jola teralih. Dia melihat lagi seorang lelaki yang kemarin bersama Arma. Lantas dia menatap wanita di depannya. "Kafe