Beberapa jam sebelumnya.
Suara musik menghentak membuat kepala Arma kian pusing. Belum lagi sorot lampu yang terus bergerak. Matanya terasa panas dan terus berair. Dia heran ke orang-orang yang justru tampak biasa saja. Mereka asyik meminum dan menggoyangkan tubuh mereka. "Nggak minum lo?" Arma menoleh ke Razi yang sebelumnya sibuk dengan minumannya. Lelaki itu mengulurkan sebuah botol lalu mengangguk pelan. "Gue nggak bisa minum," jawabnya lalu membuang muka. "Kita masih lama?" "Yah. Besok cuma ada jadwal sore," jawab Razi. "Jadi, gue kasih dia kebebasan." "Gue besok balik, kan?" tanya Arma cepat. Razi hendak meminum minumannya saat Arma melontarkan pertanyaan. Dia meletakkan gelas di meja lalu menatap Arma sepenuhnya. "Gue rasa Vezy nggak akan biarin lo balik." "Kenapa gitu?" Arma refleks duduk tegak. "Dari awal gue dipaksa. Gue bisa loh laporin ini ke polisi." "Jangan memperpanjang masalah." "Tapi, ini cara yang salah," tekan Arma. "Apapun yang terjadi, besok gue balik." Razi tersenyum. "Besok orang agensi kirim surat kontrak ke lo," ujarnya. "Lo kayaknya bakal jadi asisten Vezy." "Kalau gue nggak mau?" "Itu terserah lo." Arma kembali duduk bersandar. Baru sehari bekerja saja rasanya sudah berat. Dia tidak bisa membayangkan jika pekerjaannya akan seperti ini. Arma mengedarkan pandang, melihat ruangan dengan lampu yang menyorot. Aroma minuman yang baru ini diketahui. Bahkan ada aroma rokok yang tercium. Dia lebih nyaman berada di ruangan dengan aroma pengharum lemon. Dia lebih nyaman duduk di kursi yang lama-lama terasa panas, daripada pindah-pindah tempat dan membuat kakinya lemah. "Vezy mana?" Perhatian Arma teralih ke Razi. Lelaki itu mengedarkan pandang dan terlihat panik. Seketika Arma berdiri dan menoleh ke sisi kiri. Tadi, Vezy duduk bersama teman-temannya di bangku tengah. Sekarang, tempat itu kosong. Prang.... Arma berjingkat. Dia menoleh dan melihat Razi yang terjatuh. "Lo nggak apa-apa?" "Enggak!" jawab Razi sambil duduk di lantai. Dia mengambil botol minuman yang masih utuh. Berbeda dengan gelas yang tadi digunakan, sekarang pecah menjadi beberapa bagian. "Tolong cari Vezy aja." "Gue?" Arma menunjuk wajahnya sendiri. "Lo yakin?" Kemudian dia mengedarkan pandang. Dia bergidik harus menembus gerombolan orang yang terbuai oleh minuman mereka. Belum lagi para lelaki yang terlihat mencari mangsa. "Please," ujar Razi. "Bentar lagi gue juga nyari." Arma menghela napas panjang. "Oke!" Kemudian dia berjalan ke tempat Vezy tadi. Dia mengedarkan pandang, tetapi tidak terlihat lelaki yang mengenakan kemeja biru. Lantas dia berjalan menuju sisi kiri dan menemukan sebuah ruangan outdoor. Asap rokok seketika mengepul, Arma refleks menutup hidung. "Vez!" Mendengar nama itu dipanggil, Arma berusaha mencari. Dia menemukan wanita berambut pendek dengan minuman di tangan. Seketika dia mengikuti wanita itu, hingga melihat Vezy yang duduk di kursi pojok dengan seorang wanita duduk di sebelahnya. Arma terdiam, melihat Vezy yang terlihat bahagia berbincang dengan rekan-rekannya. Seketika dia ingat kejadian tadi pagi, saat di hotel. Dia mencari tahu siapa Vezy sebenarnya. Lelaki itu memiliki nama asli Vezy Visandy, seorang penyanyi dari jebolan ajang pencarian bakat yang tahun ini berusia 23 tahun. Tiga tahun lebih muda dari Arma. Saat itu Vezy mengikuti kontes menyanyi saat berusia enam belas tahun, tetapi hanya mampu bertahan di lima besar. Setelah itu, Vezy tergabung ke dalam band dengan anggota peserta kontes lainnya. Hingga akhirnya, lelaki itu memutuskan solo karier. Arma memang tidak mengikuti dunia keartisan. Hidupnya sudah terlalu banyak menyita pikiran. Hingga dia tidak terpikir untuk mencari tahu kehidupan orang lain. "Asisten!" Lamunan singkat Arma terputus. Dia melihat Vezy yang melambaikan tangan. Di samping kiri lelaki itu sudah tidak ada seorang wanita. Meski di kursi itu masih di kelilingi para wanita. "Sini, cepet!" teriak Vezy tak sabaran. Arma berjalan mendekat. Perhatiannya tertuju ke Vezy yang menatapnya sambil tersenyum. Rasa gugup itu seketika melingkupi. Bagaimana tidak? Dia tengah diperhatikan lelaki tampan dengan mata yang memesona. "Nyari gue?" Vezy segera melingkarkan tangan ke pinggang Arma. "Sorry, gue nggak pamit," ujarnya lalu tersenyum. Satu tangan Arma berusaha mendorong tangan Vezy. "Razi nyariiin." "Oh, ya?" Vezy seketika mengedarkan pandang, hingga dia melihat Razi. "Kayaknya gue harus balik, Guys!" Seketika dia berdiri dan menatap enam wanita yang duduk di kursi. "Yah! Nggak mau lebih lama?" tanya salah seorang. "Nggak bisa," jawab Vezy sambil menarik pinggang Arma semakin mendekat. Arma melotot mendorong perut Vezy lalu bergeser. Tindakan itu, diperhatikan oleh teman wanita Vezy. Bahkan, ada yang menatap Arma intens dari ujung rambut hingga ujung kaki. Arma kian risih dan ingin kabur saja. "Dia siapa lo?" tanya wanita yang sejak tadi menemani Vezy. Vezy memperhatikan Arma yang mencepol rambutnya. Di antara wanita yang berada di ruangan, hanya Arma yang mengenakan kemeja bunga-bunga dengan lengan sepanjang siku dan celana kain panjang, cukup tertutup. Tetapi, semua lelaki pasti setuju jika Arma tetap terlihat menarik. "Asisten yang merangkap sebagai...." "... balik sekarang?" Razi menepuk pundak Vezy, menghentikan kalimat lelaki itu. Arma bergeser ke samping lalu berdiri agak mundur. "Saya asistennya," jawabnya ke teman wanita Vezy. "Udah! Gue duluan." Vezy melambaikan tangan lantas menjauh. Razi memberi kode ke Arma agar mengikuti. Wanita itu lantas berjalan menyusul Vezy. Sedangkan Razi berjalan paling belakang. "Vezy!" "Hai...." "Vezy...." "Hai!" Sepanjang perjalanan keluar, ada saja yang memanggil nama Vezy dan dibalas dengan sopan. Arma tentu memperhatikan wanita-wanita yang menyapa. Dia sadar, mereka semua terlihat cantik dan stylish. Lantas dia menunduk, melihat penampilan yang apa adanya. "Ayo!" Vezy berbalik lalu menggenggam tangan Arma. Arma menatap Vezy yang berjalan dengan dagu terangkat. Dia lalu menatap tautan tangan mereka. "Nggak usah," ujarnya sambil melepas genggaman. Tetapi, Vezy tetap mempertahankan. Arma melirik ke kiri, melihat orang-orang yang menatapnya ingin tahu. "Lo asisten gue sekarang. Jadi, harus di sebelah gue," ujar Vezy. "Lo juga harus mulai terbiasa dilihatin." "Tapi, harus banget sampai gandengan?" Arma berusaha menarik, tetapi Vezy tidak membiarkan. "Nggak nyaman!" Vezy menatap Arma. "Harus," jawabnya. Dia menoleh ke belakang, melihat Razi yang menatap heran. "Kayaknya gue mau minum bentar, deh. Di tempat yang lebih privat." Arma melotot. "Lo nggak capek apa?" "Ayo!" Vezy menarik Arma menuju lantai dua. Sementara Razi memesan minuman. Begitu mendapat ruangan yang masih kosong, Vezy segera duduk di sofa panjang dan tetap menggenggam Arma. Terpaksa, Arma ikut duduk di sebelahnya. "Gue udah capek, tapi pengen minum," jawab Vezy lalu melepas genggaman. Sesuai dugaan, Arma segera bergeser menjauh. "Ini yang gue mau." Dia lantas berbaring dan menjadikan paha Arma sebagai bantal. Arma melotot karena tindakan itu. "Ngapain?" "Gue butuh bantal yang empuk." "Tahu gitu bawa bantal dari hotel." Vezy mengedipkan mata. "Ini lebih dari cukup," jawabnya lalu memejamkan mata. "Kalau Razi udah dateng bangunin." Setelah itu dia bersiap tidur. Arma terdiam dengan napas tercekat. Dia tidak pernah dekat dengan lelaki sampai seperti ini, setelah bercerai. Hari ini tahu-tahu dia terlibat ke dalam hidup seorang artis yang menurutnya begitu modus. Arma membuang muka, berusaha menarik napas panjang. Sedetik kemudian, dia menunduk dan melihat Vezy yang terlihat pulas. Glek.... Arma menelan ludah. Vezy tetap terlihat tampan saat tertidur. Bahkan menurutnya lebih tampan. Wajah lelaki itu terlihat polos dan tampak menggemaskan. Berbeda saat terjaga, lelaki itu terlihat agak menyebalkan. "Gue beneran harus jauh dari lo," gumam Arma. "Lo nggak baik buat gue." *** "Temenin gue," bisik Vezy. "Please, malam ini temenin gue." Tubuh Arma meremang mendengar kalimat itu. Dia berusaha bergeser menjauh, tapi, Vezy tidak membiarkannya pergi begitu saja. Dugaannya kian menguat, bahwa Vezy tidak baik untuknya. "Gue nggak bisa!" Arma memegang kepala Vezy dan menariknya. Vezy yang hampir terlelap seketika terjaga. Dia menatap wajah Arma yang ketakutan. Lantas matanya bergerak ke bawah, menyadari Arma yang terhimpit tubuhnya. "Why?" "Ya nggak bisa! Lo udah nyulik gue," jawab Arma sambil menurunkan tangan dari kepala Vezy. Tetapi, kepala itu langsung terkuai dan kembali bersandar di pundaknya. "Gitu, ya?" tanya Vezy begitu pelan. "Gue minta lo jadi asisten. Bukan nyulik." "Tapi, cara lo salah," jawab Arma tidak mau mengalah. "Besok gue balik." Vezy mengangkat wajah lalu menggeleng. "Gue butuh asisten." "Ada Razi yang bakal bantuin lo." Arma yakin, bahkan jika dia tidak ikutpun Razi mampu mengurus Vezy. Dia bahkan tidak banyak membantu. "Gitu?" Vezy tersenyum samar. "Katanya pengen kerjaan yang bikin lo mati?" "Itu dulu. Sekarang enggak." "Are you happy?" Pertanyaan itu entah kenapa menohok hati Arma. Sebuah pertanyaan yang mungkin biasa saja, tetapi tidak baginya. Setelah bercerai, banyak orang yang mempertanyakan itu. Tetapi, justru membuatnya menangis. Hingga perlahan, orang disekitarnya tidak lagi banyak bertanya. Setelah sekian lama, akhirnya dia mendengar pertanyaan itu. Tetapi, tetap tidak memiliki jawaban yang pas. "Are you happy?" ulang Vezy kala Arma hanya diam memperhatikannya. Tes.... Air mata Arma seketika turun. Dia mendongak, berusaha menghalau air mata itu. Tetapi, cairan bening itu tetap berdesakan keluar. Vezy refleks menangkup pipi Arma dan menghapus air mata yang membasahi pipi. "Gue tahu lo sebenernya inget jelas gue siapa." "Enggak." "Lo nggak bisa bohong, Sayang." "Hiks...." Air mata Arma seketika turun. Vezy memeluk Arma erat. Dia mengecup puncak kepala wanita itu lalu mengeratkan pelukan. "Gue salah tanya." Arma tidak menjawab. Di pikirannya, sibuk memutar ke kejadian enam tahun silam. Bisa dibilang, masa itu adalah masa terburuknya. Tetapi, juga menjadi momen saat dia bisa bertemu dengan Vezy pertama kalinya. "Gue rasa cowok malam itu bukan lo." "Karena gue makin ganteng?" "Ck!" Arma mendorong Vezy hingga lolos dari pelukannya. Vezy memandang wajah Arma yang memerah dan mengkilat. "Jadi asisten gue," pintanya. "Gue beneran butuh asisten setelah ditipu." "Gue masih perlu mikir," jawab Arma. "Oke!" Vezy mengangguk. "Kalau malem ini temenin gue nggak perlu mikir, kan?" Kemudian dia menyejajarkan wajah. Bibirnya tinggal sedikit lagi bersentuhan dengan bibir Arma, tetapi dia diam. Hingga, sebuah kecupan singkat terasa di bibirnya."Gila! Gue beneran gila!"Wanita yang berbaring terlentang di atas ranjang itu terus menggumam. Dia tidak sadar jika waktu berjalan cepat dan semakin larut. Padahal, dia sudah lelah tetapi tidak kunjung tidur. Itu semua karena godaan Vezy beberapa saat yang lalu."Kerja sama dia bahaya banget!" keluh Arma sambil membingkai kepala. Bibirnya mengerucut lalu ekspresinya berubah frustrasi. "Dia duluan, kan, tadi?"Arma ingat saat bibirnya bersentuhan pelan dengan bibir Vezy, walau hanya sedetik. Dia masih bisa merasakan rasa kenyal dari bibir itu. Tentu itu tidak termasuk ke dalam ciuman. Tetapi, mengecup seseorang yang baru dia kenal itu merupakan hal gila."Nggak boleh! Gue nggak boleh terus mikirin itu!" Arma menarik selimut lebih tinggi lantas bergerak miring. Dia memejamkan mata berusaha untuk terlelap. Sayangnya, bayangan kecupan tadi kembali bermunculan.Arma mencoba biasa saja meski rasanya aneh. Apa karena selama ini dia tidak pernah dekat dengan lelaki? Makanya, hanya kecupan ta
Kemarin begitu sampai rumah, Arma langsung diinterogasi mama dan adiknya. Beruntung, dia sudah menyiapkan alasan pergi bersama teman kampusnya dan ponselnya mati. Meski agak kurang diterima karena manusia sekarang tidak bisa berjauhan dari ponsel. Beruntung pula, Arma memang bukan tipe orang yang selalu peduli dengan ponsel. Hal itu membuat mama dan adiknya sedikit percaya. Meski, mereka masih terlihat marah."Sebenernya lo dari mana?"Arma sedang santai sambil memakan kentang goreng saat adiknya masuk kamar. "Gue udah cerita," jawabnya. "Lo nggak ke kampus?""Tinggal skripsi doang. Ngapain sering-sering ke kampus?" Salma duduk di samping kakaknya lalu mengeluarkan ponsel. Berbeda dengan sang kakak, Salma paling tidak bisa meninggalkan ponselnya."Vezy datang ke kantor polisi diduga telah melakukan pembu....!"Suara dari ponsel itu membuat Arma menoleh. Dia melihat adiknya yang sibuk melihat tayangan video dengan ekspresi kaget. Lantas Arma bergeser, melihat Vezy yang mengenakan hoodi
"Bukan salah dia," jawab Vezy. "Polisi udah kasih tahu, kan? Kenapa diperpanjang?" Vezy menggenggam tangan Arma dan meremasnya pelan. Arma menatap lelaki itu yang melindunginya."Masalahnya banyak klien....""... bagus! Gue nggak mau kerja sama mereka yang terlalu percaya omongan orang!" potong Vezy. "Masih banyak klien yang mau kerja sama karena kemampuan gue."Tedo menghela napas berat. "Apa itu?"Vezy melirik Arma yang terdiam. "Surat kontak kerja sama Arma," jawabnya. "Kayaknya dia nggak mau kerja di sini."Arma memperhatikan wajah Vezy yang begitu pucat. Sorot mata menggoda lelaki itu mendadak hilang. Dia seperti tidak berhadapan dengan Vezy."Ya udah, kalau dia nggak mau," jawab Tedo.Vezy mengambil berkas yang paling atas dan membuangnya. "Tapi, gue bakal pekerjain Arma." Lantas dia menyerahkan berkas lain ke Arma."Agensi nggak bisa bayar kalau gitu.""Tenang. Biar gue yang bayar!" jawab Vezy tanpa menatap lawan bicaranya. "Bisa keluar dari sini? Gue lagi nemuin klien penting.
Sepulang dari kantor agensi, Arma mampir ke rumah Fei. Untungnya wanita itu ada di rumah. Jika teman datang, maka terpikir untuk makan bersama. Pilihannya pasti makanan pedas. Fei kali ini memesan mi pedas dan seblak, makanan pedas favorit mereka."Lo sebenernya dari mana? Pakaian lo rapi," tanya Fei sambil memperhatikan kemeja pink dan rok putih panjang yang dikenakan Arma."Kantor agensi.""Fix kerja di sana?"Arma mengambil air mineral dan menegaknya beberapa kali. "Enggak. Hu...," jawabnya sambil menahan rasa pedas yang membakar."Terus?""Gue diminta kerja di sana. Terus, diinterogasi sama CEO-nya.""Diinterogasi?""Lo nggak lihat berita?" tanya Arma yang langsung dijawab gelengan Fei. Dia mengeluarkan ponsel dari tas dan mencari video tentang Vezy. "Lihat dulu."Fei memakan mi pedasnya sambil melihat video pemberitaan. "Loh, dia?""Cuma dimintai keterangan," jawab Arma cepat. "Tapi, orang-orang pada salah paham duluan.""Terus? Lo diinterogasi gara-gara ini?"Arma mengangguk. "C
Tet....Lelaki yang sedang duduk menonton televisi itu tersenyum begitu mendengar suara bel. Dia mematikan televisi lalu berdiri. Lantas dia berjalan pelan menuju pintu.Tet...."Siapa?" Vezy membuka pintu dan mendapati Arma. Sesuai dugaannya. Yah, bertanya sebagai formalitas saja.Arma memperhatikan wajah Vezy yang tidak sepucat tiga hari lalu. "Saya....""Masuk," ajak Vezy lalu membuka pintu lebih lebar. Dia menggerakkan tangan meminta Arma berjalan lebih dulu."Permisi," ujar Arma lantas berjalan masuk. Dia melepas flatshoes-nya lalu berjalan menuju ruang tamu. Dia terdiam, melihat ruang tamu yang merangkap sebagai ruang santai. Terdapat sofa berwarna putih berukuran agak besar, tampak nyaman. Di samping sofa itu terdapat lemari dengan piala penghargaan yang diterima Vezy.Vezy tersenyum memperhatikan Arma yang mengenakan kemeja krem dengan rok di bawah lutut. Baru kali ini dia melihat wanita itu mengenakan bawahan yang agak pendek. Kaki Arma cukup kecil, padahal tubuhnya agak ber
Kedua kalinya, Arma dibuat kalang kabut oleh Vezy. Bedanya, dia masih diberi kesempatan pulang untuk mengambil pakaian dan berpamitan. Tidak seperti sebelumnya yang terkesan seperti diculik.Papa dan mamanya tentu kaget mengetahui Arma harus ke Bali. Tetapi, karena memang urusan pekerjaan, mereka mencoba mengerti. Sangat berbeda dengan Salma yang sempat curiga. Tetapi, ujungnya iri karena ingin ikut serta.Pukul tujuh, Arma baru sampai bandara. Dia menggeret koper berwarna hijau neon di tangan kiri. Sementara tangannya menenteng tas berukuran kecil. Dia mengedarkan pandang, mencari Vezy dan Razi yang katanya sudah datang."Arma!"Langkah Arma terhenti mendengar panggilan itu. Dia menoleh dan melihat Razi yang mengenakan topi hitam agak ke bawah. Di belakangnya ada lelaki yang mengenakan topi yang sama sedang meminum kopi.Arma mendekat sambil melirik kanan kiri. Beberapa orang ada yang menatap dua lelaki itu, tetapi tidak ada yang berani mendekat. "Kalian udah lama?""Daritadi," jawab
Glek... Glek....Arma menegak minuman yang rasanya aneh. Tetapi, dia tetap meminum karena tenggorokannya terasa sakit. Rasanya dia ingin bercerita, tetapi tidak sanggup.Vezy memperhatikan Arma yang menghabiskan minumannya. Dia yakin, wanita itu tidak sadar apa yang telah diminum. "Arma...."Tak.... Arma meletakkan gelas di depannya dengan kasar. Kepalanya terasa berat dan pandangannya berkunang-kunang. Seketika dia menyandarkan kepala dan memejamkan mata."Lo nggak akan kuat, Arma.""Gue harus kuat," jawab Arma tidak mengerti maksud ucapan Vezy.Klek.... Razi berjalan masuk dengan sebotol minuman. Saat melihat Arma yang duduk bersandar seketika dia menatap Vezy. "Lo apain?" tuduhnya lalu melihat minuman Vezy yang telah habis."Dia minum sendiri.""Wah? Nyerah juga dia." Razi meletakkan botol air mineral di meja. "Tadi ketemu temen, makanya agak lama.""Bilang aja ketemu cewek," jawab Vezy lalu menatap Razi yang menahan tawa. Perhatiannya lalu kembali ke Arma. "Arma...."Arma tidak ta
Pukul enam lebih tiga puluh, Vezy, Razi dan Arma sampai di sebuah hotel tempat Vezy harus manggung. Arma terdiam melihat mobil-mobil mewah yang terparkir di depan. Di depan pintu hotel, juga tersedia karpet mewah dan beberapa orang yang berjejer menyambut.Arma baru kali ini datang ke acara pernikahan yang begitu mewah. Tanpa sadar, dia membayangkan pesta pernikahannya kala itu yang cukup sederhana. Tetapi, terasa begitu membahagiakan."Jangan ngelamun." Vezy menepuk punggung Arma.Lamunan singkat Arma seketika terputus. Dia menatap Vezy yang berjalan di sebelahnya. Kemudian, ada dua orang yang menghampiri dari arah samping."Silakan lewat sini, Pak," ujar lelaki yang mengenakan setelan berwarna hitam.Razi menggerakkan tangan ke arah kiri. Dia lalu menarik Vezy agar berjalan di sampingnya. "Gila, kayak showroom."Vezy menahan tawa. "Mau lo? Ambil.""Besoknya gue masuk penjara."Arma mendengar candaan dua lelaki