Arma merasa, dunia kembali mengajaknya bercanda. Setelah sekian lama, dia kembali mengalami hidup yang jungkir balik dan itu semua karena perbuatan seseorang. Bagaimana mungkin, niat hati ingin interview tapi berakhir di Bali? Itu semua karena ulah Vezy.
Saat di perjalanan, Razi memberi tahu pekerjaan yang harus Arma tangani. Dia sempat protes, karena dia lulusan akuntansi. Seharusnya, dia mengatur hal-hal yang berbau keuangan. Tetapi, pekerjaannya kali ini mengurus keperluan artis muda bernama Vezy. Arma pernah mengurus suami. Seperti menyiapkan makan, membantu menyiapkan pakaian, memberi tahu jadwal harian. Tetapi, sekarang dia mengurus Vezy seorang artis. Bagaimanapun, pasti akan ada yang berbeda. Dia melakukannya karena pekerjaan. Sekarang, Arma sudah berada di hotel dengan pintu penghubung ke kamar Vezy. Dia tidak bisa protes karena manajer Vezy sudah memesankan. Sungguh, dia seperti sedang diculik oleh lelaki tampan. Jika dalam angan-angan, pasti ini terasa menyenangkan. Tetapi secara kenyataan, ini menakutkan. Ceklek.... Arma berjingkat saat pintu penghubung tiba-tiba terbuka. Dia mendapati Vezy yang mengenakan kaus tanpa lengan dengan celana pendek. Rambut lelaki itu basah dan wajahnya terlihat lebih segar. "Makanan gue udah dateng?" tanya Vezy sambil memperhatikan Arma yang masih mengenakan kemeja dan rok panjang. "Emang tadi pesen minta makan?" Vezy menggaruk kepala. "Nggak ada dicatatan Razi?" Seketika Arma mengambil kertas yang terlipat menjadi empat dan membaca tulisan yang tidak begitu rapi. Hingga, dia menemukan poin yang mengharuskan menyiapkan makanan begitu sampai hotel. Arma menghela napas berat lalu menatap Vezy. "Tadi nggak sarapan?" "Gue bangun terus lihat kamar kayak kapal pecah. Terus, duit gue diambil. Menurut lo gue sempet sarapan nggak?" "Ya udah...." Arma seketika berdiri, tidak ingin berdebat. "Mau pesen apa?" "Terserah asal jangan makanan pedes." "Ayam betutu?" tawar Arma sambil mengeluarkan ponsel. Dia hendak memesan makanan, tetapi melihat saldo yang tertera dia menahan senyuman. "Emm, uangnya." "Razi belum ngasih?" Arma menggeleng pelan. "Tadi cuma bahas kerjaan lo hari ini." "Sini!" ajak Vezy sambil menuju kamar. Dia mengambil ponsel lantas berbalik. Tetapi, tidak menemukan Arma. "Asisten gue!" Arma menghela napas panjang. Dia mendekati pintu penghubung dan mengintip. Bagaimanapun tidak etis masuk ke kamar lelaki. "Nomor lo? Gue transfer," ujar Vezy. "Oh, ya gue juga harus tahu nomor lo buat komunikasi." "Iya." Arma lalu memberi tahu nomornya. Vezy segera melakukan top up, lalu menatap Arma. "Lebih," jawab Arma melihat dana tiga juta yang masuk. "Saya pesankan dulu." Vezy menahan tawa. "Nggak usah terlalu sopan gitu. Biasa aja." Arma tidak menjawab dan memilih kembali ke kamar. Tak lupa, dia menutup pintu. Dia mencari restoran terdekat dan memesankan ayam betutu. Ceklek.... Pintu penghubung itu kembali terbuka. Seketika Arma berbalik, melihat Vezy yang bersedekap dan bersandar di kusen pintu. "Ada lagi?" Vezy memperhatikan penampilan Arma. "Cari baju lebih nyaman," ujarnya. "Nanti gue ada party setelah manggung. Lo harus ikut." "Iya," jawab Arma. "Party biasa, kan?" "Ya. Lo bisa sesuaiin, kan?" "Bisa!" "Oke! Gue tunggu makanannya." Vezy berdiri tegak lalu kembali menuju kamar. Dia kembali berbaring dan bersiap tidur. Nanti siang, dia bertemu promotor sebelum manggung di salah satu festival. Kemudian malamnya, dia mendapat undangan dari teman-temannya untuk party. Besok dia juga harus tampil di festival itu. "Oh, ya Asisten!" Arma baru saja memesan makanan, tetapi Vezy kembali berteriak. "Apa?" "Sebenernya kita di sini tiga hari." "What?" Arma seketika berlari ke pintu penghubung dan melihat Vezy yang berbaring terlentang. "Janjinya cuma sehari." Verzy perlahan bangkit. "Khusus buat lo sehari," ujarnya. "Besok kasih tahu lo mau lanjut atau enggak." Arma menghela napas lega. "Oke!" "Tapi, gue yakin lo bakal lanjut, sih." "Jangan terlalu percaya diri," gumam Arma lantas berbalik. "Lo bakal jadi asisten gue terus!" Arma tidak menggubris. Dia mengambil kertas dari Razi dan membaca catatan yang diberikan. Jika dipikir, rasanya berat. Pasalnya, dia terbiasa bekerja di ruangan dan menghadap komputer. Tetapi, pekerjaannya kali ini mengharuskannya mengikuti Vezy. "Pasti bakal capek banget," keluh Arma lantas berbaring miring. "Gue mimpi apa dapet apes lagi?" Dia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. *** Suara berisik di luar kian bertambah kala Vezy menaiki panggung. Arma yang berada di salah satu tenda menutup telinga. Suara bising membuatnya pusing. Ditambah, cuaca yang begitu panas. "Selamat sore!" Teriakan Vezy terdengar. Arma menatap layar yang menampilkan keadaan di panggung. Dia memperhatikan Vezy yang mengenakan kemeja pantai berwarna biru, celana pendek krem dan topi yang dipakai terbalik. Dia yang menyiapkan pakaian itu, meski Razi yang sebelumnya membawa baju-baju kebutuhan Vezy. Sebenarnya, Arma kurang mengerti fashion. Dia hanya mendandani Vezy berdasarkan kenyamanan. Untungnya Razi tadi juga memberi tahu, jika Arma tidak perlu belajar fashion. Karena sudah ada tim yang mengurus. Arma hanya diminta benar-benar memperhatikan Vezy. Dia tadi juga menyiapkan minuman isotonik permintaan Vezy. "Gimana? Nyaman kerja?" Razi masuk ke tenda setelah mengantar Vezy ke panggung. Arma menatap Razi yang tidak terlihat kelelahan. "Bukan tipe kerjaan gue," jawabnya. "Kayaknya gue bakal nolak." "Kalau nggak bisa jangan dipaksa." Razi mengambil minuman isotonik dan menegaknya. "Baju ganti Vezy udah lo siapin?" "Setelah ini dia ke mana?" "Dia biasa ganti setelah manggung," jawab Rezi. "Dia cuma bawain tiga lagu." "Bentar lagi kita pergi?" "Iyalah." Bahu Arma turun. Tadi siang dia menemani Vezy bertemu dengan promotor dan makan siang bersama. Setelah itu ke lokasi manggung dan menemani Vezy latihan sebentar. Sekarang, Vezy sedang manggung dan sebentar lagi akan pindah. Kaki Arma sudah nyut-nyutan ingin segera istirahat. "Thank you, Denpasar!" Arma menatap ke layar, melihat Vezy yang melepas topi lantas melemparnya ke penonton. Lelaki itu lalu berlari ke panggung. Dia menoleh ke samping meja, tetapi Razi sudah menghilang. "Ya ampun. Sigap-sigap banget orang-orang!" "Baju ganti gue!" Vezy masuk tenda dan langsung melepas kemejanya yang basah. Seketika Arma berdiri. Dia bahkan belum menyiapkan baju ganti untuk Vezy. Lantas dia mengambil sebuah kemeja berwarna biru. "Ini." Vezy terdiam. "Percuma gue ganti kalau badan gue keringetan!" "Oh, iya!" Arma segera mengambil handuk di tas dan menyerahkan ke Vezy. Vezy menerima handuk itu dan menghapus keringatnya. "Gimana penampilan gue?" Arma melirik Razi yang membereskan barang-barang. "Keren!" jawabnya lalu memperhatikan Vezy yang masih mengeringkan tubuhnya. Dia terdiam melihat perut Vezy yang rata tanpa lemak. Meski tidak seperti binaragawan yang berotot, tetapi tubuh Vezy tetap terlihat maco. Lelaki itu memiliki bahu lebar dan pinggang yang ramping. "Minum!" "Eh...." Arma tersadar dari lamunannya. Dia mengambil air mineral dan menyerahkan ke Vezy. Tetapi, lelaki itu hanya memperhatikannya. "Nggak tahu tangan gue lagi ngapain?" "Oh, oke!" Arma segera membukakan botol dan menyerahkan ke Vezy. Tetapi, lelaki itu tetap tidak menerima. Seketika Arma mendekatkan ujung botol itu ke bibir. Barulah lelaki itu meminumnya. Vezy meminum dengan haus. Dia gampang gerah, terlebih cuaca di luar juga sangat panas. Rasa haus itu seketika bermunculan. "Thanks..." Vezy memundurkan kepala. Arma menjauhkan botol. Dia melihat ada tetesan air yang berada di sekitaran dagu Vezy. Seketika dia mengusap dagu itu dengan punggung tangan. Perhatian Vezy seketika tertuju ke Arma. Wanita itu terlihat biasa saja, artinya tidak ada niat lain selain membersihkan tetesan air itu. "Ini momen baru." "Apanya?" Arma berbalik sambil menutup botol air mineral itu. "Mau ganti celananya sekalian?" tanyanya mengalihkan pembicaraan lain. "Iya. Kalau bisa celana kain," jawab Vezy. "Tapi, nanti aja sebelum acara. Gue mau jalan-jalan dulu." Arma mengambil tas Vezy dan menyampirkan ke pundak. Setelah itu dia mengambil kacamata dan jaket yang sempat digunakan lelaki itu. "Sudah?" Vezy mengedarkan pandang, Razi sudah pergi lebih dulu. "Oke!" Dia mengambil kemeja biru yang menyampir di pundak Arma dan memakainya. *** "Awas... Awas...." Duk.... "Kan, gue bilang awas!" geram Arma saat kaki Vezy membentur tembok. Dia menarik tubuh lelaki itu agar kembali berjalan tegak. Arma baru saja menemani Vezy party. Sudah bisa ditebak lelaki itu banyak minum. Tentu saja dengan beberapa wanita yang menemani. Hanya saja, Vezy menolak ajakan wanita itu untuk lanjut. Razi ternyata juga minum dan sekarang sudah ke kamar lebih dulu. Tinggal Arma yang membantu Vezy. "Gue capek!" keluh Vezy karena terus berjalan dan tidak kunjung sampai ranjang. "Gue lebih capek!" jawab Arma tidak terima. "Apalagi, harus mapah lo yang segede ini!" Dia menelan ludah karena tenggorokannya begitu tercekat. Vezy melingkarkan lengan ke pundak Arma dan menariknya semakin mendekat. "Lo kecil banget, ya!" Arma berhenti melangkah dan mengambil kartu akses dari saku belakang celana. Dia menempelkan kartu itu lantas pintu terbuka. Arma mendorong pintu dengan kaki lalu membantu Vezy berjalan. "Biasanya gue nggak secapek ini," racau Vezy. Dia melepas pegangan dan tubuhnya hampir limbung. Beruntung, Arma masih memegangi. "Gue nggak mau kerja sama lo." Arma merasa harus segera memutuskan. "Gue mau pulang sekarang." Vezy berdiri tegak lalu mengerjab. Dia tidak bisa melihat jelas seseorang di depannya, hanya terlihat siluetnya saja. Terlihat begitu indah. Lekuk tubuh Arma sempurna dengan bagian wajah yang lebih bercahaya. "Lo udah ada pasangan?" Arma mengerjab. "Lo belum sadar juga!" "Jawab!" Vezy maju selangkah, membuat Arma bergerak mundur. Punggung Arma bersentuhan dengan pintu. Dia melirik pintu penghubung yang terbuka, seperti saat ditinggalkan. Lantas dia bergeser ke samping, tetapi ada kedua tangan yang mengukungnya hingga punggungnya bersandar di tembok. Vezy tersenyum melihat wajah Arma. Dia memiringkan wajah, tetapi Arma mendorong keningnya. Lantas kepalanya tertunduk, menyandarkan kening di pundak Arma. "Temenin gue," bisiknya. "Please, malam ini temenin gue."Beberapa jam sebelumnya.Suara musik menghentak membuat kepala Arma kian pusing. Belum lagi sorot lampu yang terus bergerak. Matanya terasa panas dan terus berair. Dia heran ke orang-orang yang justru tampak biasa saja. Mereka asyik meminum dan menggoyangkan tubuh mereka."Nggak minum lo?"Arma menoleh ke Razi yang sebelumnya sibuk dengan minumannya. Lelaki itu mengulurkan sebuah botol lalu mengangguk pelan. "Gue nggak bisa minum," jawabnya lalu membuang muka. "Kita masih lama?""Yah. Besok cuma ada jadwal sore," jawab Razi. "Jadi, gue kasih dia kebebasan.""Gue besok balik, kan?" tanya Arma cepat.Razi hendak meminum minumannya saat Arma melontarkan pertanyaan. Dia meletakkan gelas di meja lalu menatap Arma sepenuhnya. "Gue rasa Vezy nggak akan biarin lo balik.""Kenapa gitu?" Arma refleks duduk tegak. "Dari awal gue dipaksa. Gue bisa loh laporin ini ke polisi.""Jangan memperpanjang masalah.""Tapi, ini cara yang salah," tekan Arma. "Apapun yang terjadi, besok gue balik."Razi terse
"Gila! Gue beneran gila!"Wanita yang berbaring terlentang di atas ranjang itu terus menggumam. Dia tidak sadar jika waktu berjalan cepat dan semakin larut. Padahal, dia sudah lelah tetapi tidak kunjung tidur. Itu semua karena godaan Vezy beberapa saat yang lalu."Kerja sama dia bahaya banget!" keluh Arma sambil membingkai kepala. Bibirnya mengerucut lalu ekspresinya berubah frustrasi. "Dia duluan, kan, tadi?"Arma ingat saat bibirnya bersentuhan pelan dengan bibir Vezy, walau hanya sedetik. Dia masih bisa merasakan rasa kenyal dari bibir itu. Tentu itu tidak termasuk ke dalam ciuman. Tetapi, mengecup seseorang yang baru dia kenal itu merupakan hal gila."Nggak boleh! Gue nggak boleh terus mikirin itu!" Arma menarik selimut lebih tinggi lantas bergerak miring. Dia memejamkan mata berusaha untuk terlelap. Sayangnya, bayangan kecupan tadi kembali bermunculan.Arma mencoba biasa saja meski rasanya aneh. Apa karena selama ini dia tidak pernah dekat dengan lelaki? Makanya, hanya kecupan ta
Kemarin begitu sampai rumah, Arma langsung diinterogasi mama dan adiknya. Beruntung, dia sudah menyiapkan alasan pergi bersama teman kampusnya dan ponselnya mati. Meski agak kurang diterima karena manusia sekarang tidak bisa berjauhan dari ponsel. Beruntung pula, Arma memang bukan tipe orang yang selalu peduli dengan ponsel. Hal itu membuat mama dan adiknya sedikit percaya. Meski, mereka masih terlihat marah."Sebenernya lo dari mana?"Arma sedang santai sambil memakan kentang goreng saat adiknya masuk kamar. "Gue udah cerita," jawabnya. "Lo nggak ke kampus?""Tinggal skripsi doang. Ngapain sering-sering ke kampus?" Salma duduk di samping kakaknya lalu mengeluarkan ponsel. Berbeda dengan sang kakak, Salma paling tidak bisa meninggalkan ponselnya."Vezy datang ke kantor polisi diduga telah melakukan pembu....!"Suara dari ponsel itu membuat Arma menoleh. Dia melihat adiknya yang sibuk melihat tayangan video dengan ekspresi kaget. Lantas Arma bergeser, melihat Vezy yang mengenakan hoodi
"Bukan salah dia," jawab Vezy. "Polisi udah kasih tahu, kan? Kenapa diperpanjang?" Vezy menggenggam tangan Arma dan meremasnya pelan. Arma menatap lelaki itu yang melindunginya."Masalahnya banyak klien....""... bagus! Gue nggak mau kerja sama mereka yang terlalu percaya omongan orang!" potong Vezy. "Masih banyak klien yang mau kerja sama karena kemampuan gue."Tedo menghela napas berat. "Apa itu?"Vezy melirik Arma yang terdiam. "Surat kontak kerja sama Arma," jawabnya. "Kayaknya dia nggak mau kerja di sini."Arma memperhatikan wajah Vezy yang begitu pucat. Sorot mata menggoda lelaki itu mendadak hilang. Dia seperti tidak berhadapan dengan Vezy."Ya udah, kalau dia nggak mau," jawab Tedo.Vezy mengambil berkas yang paling atas dan membuangnya. "Tapi, gue bakal pekerjain Arma." Lantas dia menyerahkan berkas lain ke Arma."Agensi nggak bisa bayar kalau gitu.""Tenang. Biar gue yang bayar!" jawab Vezy tanpa menatap lawan bicaranya. "Bisa keluar dari sini? Gue lagi nemuin klien penting.
Sepulang dari kantor agensi, Arma mampir ke rumah Fei. Untungnya wanita itu ada di rumah. Jika teman datang, maka terpikir untuk makan bersama. Pilihannya pasti makanan pedas. Fei kali ini memesan mi pedas dan seblak, makanan pedas favorit mereka."Lo sebenernya dari mana? Pakaian lo rapi," tanya Fei sambil memperhatikan kemeja pink dan rok putih panjang yang dikenakan Arma."Kantor agensi.""Fix kerja di sana?"Arma mengambil air mineral dan menegaknya beberapa kali. "Enggak. Hu...," jawabnya sambil menahan rasa pedas yang membakar."Terus?""Gue diminta kerja di sana. Terus, diinterogasi sama CEO-nya.""Diinterogasi?""Lo nggak lihat berita?" tanya Arma yang langsung dijawab gelengan Fei. Dia mengeluarkan ponsel dari tas dan mencari video tentang Vezy. "Lihat dulu."Fei memakan mi pedasnya sambil melihat video pemberitaan. "Loh, dia?""Cuma dimintai keterangan," jawab Arma cepat. "Tapi, orang-orang pada salah paham duluan.""Terus? Lo diinterogasi gara-gara ini?"Arma mengangguk. "C
Tet....Lelaki yang sedang duduk menonton televisi itu tersenyum begitu mendengar suara bel. Dia mematikan televisi lalu berdiri. Lantas dia berjalan pelan menuju pintu.Tet...."Siapa?" Vezy membuka pintu dan mendapati Arma. Sesuai dugaannya. Yah, bertanya sebagai formalitas saja.Arma memperhatikan wajah Vezy yang tidak sepucat tiga hari lalu. "Saya....""Masuk," ajak Vezy lalu membuka pintu lebih lebar. Dia menggerakkan tangan meminta Arma berjalan lebih dulu."Permisi," ujar Arma lantas berjalan masuk. Dia melepas flatshoes-nya lalu berjalan menuju ruang tamu. Dia terdiam, melihat ruang tamu yang merangkap sebagai ruang santai. Terdapat sofa berwarna putih berukuran agak besar, tampak nyaman. Di samping sofa itu terdapat lemari dengan piala penghargaan yang diterima Vezy.Vezy tersenyum memperhatikan Arma yang mengenakan kemeja krem dengan rok di bawah lutut. Baru kali ini dia melihat wanita itu mengenakan bawahan yang agak pendek. Kaki Arma cukup kecil, padahal tubuhnya agak ber
Kedua kalinya, Arma dibuat kalang kabut oleh Vezy. Bedanya, dia masih diberi kesempatan pulang untuk mengambil pakaian dan berpamitan. Tidak seperti sebelumnya yang terkesan seperti diculik.Papa dan mamanya tentu kaget mengetahui Arma harus ke Bali. Tetapi, karena memang urusan pekerjaan, mereka mencoba mengerti. Sangat berbeda dengan Salma yang sempat curiga. Tetapi, ujungnya iri karena ingin ikut serta.Pukul tujuh, Arma baru sampai bandara. Dia menggeret koper berwarna hijau neon di tangan kiri. Sementara tangannya menenteng tas berukuran kecil. Dia mengedarkan pandang, mencari Vezy dan Razi yang katanya sudah datang."Arma!"Langkah Arma terhenti mendengar panggilan itu. Dia menoleh dan melihat Razi yang mengenakan topi hitam agak ke bawah. Di belakangnya ada lelaki yang mengenakan topi yang sama sedang meminum kopi.Arma mendekat sambil melirik kanan kiri. Beberapa orang ada yang menatap dua lelaki itu, tetapi tidak ada yang berani mendekat. "Kalian udah lama?""Daritadi," jawab
Glek... Glek....Arma menegak minuman yang rasanya aneh. Tetapi, dia tetap meminum karena tenggorokannya terasa sakit. Rasanya dia ingin bercerita, tetapi tidak sanggup.Vezy memperhatikan Arma yang menghabiskan minumannya. Dia yakin, wanita itu tidak sadar apa yang telah diminum. "Arma...."Tak.... Arma meletakkan gelas di depannya dengan kasar. Kepalanya terasa berat dan pandangannya berkunang-kunang. Seketika dia menyandarkan kepala dan memejamkan mata."Lo nggak akan kuat, Arma.""Gue harus kuat," jawab Arma tidak mengerti maksud ucapan Vezy.Klek.... Razi berjalan masuk dengan sebotol minuman. Saat melihat Arma yang duduk bersandar seketika dia menatap Vezy. "Lo apain?" tuduhnya lalu melihat minuman Vezy yang telah habis."Dia minum sendiri.""Wah? Nyerah juga dia." Razi meletakkan botol air mineral di meja. "Tadi ketemu temen, makanya agak lama.""Bilang aja ketemu cewek," jawab Vezy lalu menatap Razi yang menahan tawa. Perhatiannya lalu kembali ke Arma. "Arma...."Arma tidak ta