Naura memejamkan kedua matanya sambil bersandar pada kursi mobil, pertemuan dengan Zafir tadi sangat menguras emosi maupun tenaganya. "Kita ke kantor, nyonya?" tanya Kate sebelum meminta supir menjalankan kendaraan. Naura mengangguk singkat. "Iya."Tak lama mobilnya melaju meninggalkan restoran tersebut, sepanjang jalan Naura hanya diam sambil memejamkan matanya. Saat kedua matanya terbuka, ia menatap kosong suasana di luar mobil. Entah karena suasana hatinya atau pemandangan di luar yang terlihat sangat hampa dan dingin. Kalimat dan nada bicara pria itu berputar lama di otak Naura, tanpa sadar kedua tangannya pun terkepal erat. Setelah hampir satu tahun dari kejadian itu, Zafir akhirnya meminta maaf. Tetapi apa permintaan maafnya dapat mengubah sesuatu? Tidak. Permintaan maaf Zafir justru membuat luka lama Naura kembali basah, setiap katanya seakan dapat mengiris bagian tubuhnya menjadi bentuk-bentuk kecil tak tersisa. Sakit. Sangat sakit. Naura memang sudah tidak memiliki p
Seperti biasa setiap kali pulang bekerja, Naura menyempatkan diri untuk mampir ke Mansion Renjana. Kali ini dia hanya ingin mengunjungi Helena seperti biasa, sebab seharusnya Arjuna tidak ada di sana karena masih mengurus pekerjaannya di Amsterdam. "Kamu baik-baik saja, sayang?" tanya Helena khawatir saat menyadari raut wajah Naura sedikit berbeda dari biasanya. Naura menatap Helena kembali setelah sebelumnya sempat melamun. "Iya? Tentu, aku baik-baik saja. Ada apa, bu?" tanya Naura balik. Helena menggeleng, lalu mengelus lengan wanita itu. "Tapi wajahmu mengatakan sebaliknya, nak. Apa ada masalah dengan Arjuna?"Naura dengan cepat menggeleng juga. "Tentu saja tidak, kami baik-baik saja. Aku juga baik-baik saja." Helena mengerutkan keningnya, menatap Naura dengan tatapan menyelidik. "Jika Arjuna berbuat masalah katakan saja pada ibu, ibu akan membantumu," ucapnya. Naura tersenyum tipis, mengangguk. "Tentu saja." Tak lama suara gaduh terdengar dari luar Mansion, membuat Naura
Suasana terlihat biasa dari luar Mansion Wajendra, tetapi tidak dengan ruang kerja Evelyn. Wanita itu berkali-kali membanting pulpen atau buku yang berada di atas mejanya karena gagal membuat laporan kas Mansion. Wanita itu menghela napas frustasi, mengapa dia harus mengerjakan ini semua?!"Nyonya, apa Anda mengalami kesulitan lagi?" tanya pelayan wanita senior Mansion. Evelyn mengangguk. "Aku selalu lupa anggaran yang harus dimasukkan dalam kolom debit atau kredit. Seperti tidak ada bedanya."Pelayan itu segera berjalan mendekat, lalu membolak-balik beberapa lembar kertas laporan kas tahun lalu yang pernah dikerjakan Naura. Laporan kas yang Naura kerjakan sudah dalam bentuk tabel digital yang kemudian di print, tetapi karena Evelyn masih perlu belajar dasar menyusun kas dan anggaran rumah tangga, wanita itu harus membuatnya secara manual di buku. "Jika ada pengeluaran seperti listrik dan air Anda bisa memasukkannya ke dalam beban, baru kemudian kredit. Seperti yang ada di contoh
Naura tidak pergi ke kantor atau butik hari ini, dia mengerjakan seluruh pekerjaannya di Mansion. Wanita itu sejak pagi berkutat di ruang kerjanya, hanya berhenti saat jam makan atau perlu singgah ke kamar kecil. Tak lama ketukan pintu terdengar, membuat matanya melirik singkat ke pintu. "Masuk," ucapnya mempersilahkan. Tetapi meskipun sudah dipersilahkan, sosok di balik pintu itu gak kunjung masuk. Sebaliknya, dia justru kembali mengetuk. Naura mulai menatap pintu ruangannya dengan kening sedikit terlipat. "Masuk saja," ucap Naura lagi, tidak ada Kate di ruangannya saat ini jadi dia tidak bisa meminta bantuan siapapun. Seolah sengaja menguji kesabaran Naura, suara ketukan pintunya kembali terdengar. Naura memijit keningnya, ada apa sebenarnya? Sudah dipersilahkan kenapa tidak langsung masuk? Naura berdiri, lalu melangkah dengan emosi tertahan. Saat pintunya terbuka, kemeriahan konfeti segera menimpanya. "Selamat ulang tahun!" ucap seluruh penghuni Mansion. Naura masih meme
"Buang itu," ucap Naura dingin, menatap bouquet mawar putih pemberian Zafir yang tergeletak di lantai. Tidak banyak bertanya, Kate dengan cepat mengangguk dan mengambil bouquet tersebut. Naura dengan cepat berbalik dan melangkah kembali menuju ruang makan. Sebelum pintu ruang makan ia buka, wanita itu menyempatkan diri untuk menarik napas dalam dan mengatur ulang emosinya. Saat pintu terbuka, senyum Naura kembali seperti semula. "Kamu sudah kembali? Cepat makan makananmu, Arjuna secara spesial menyiapkannya untukmu loh..." ucap Helena dengan senyum lembut menggoda putrinya. Naura tentu saja tersenyum semakin dalam, mengangguk sambil melangkah untuk duduk di kursinya semula. "Terima kasih," ucap Naura sambil mengelus lengan Arjuna. Arjuna mengangguk singkat, pembicaraan mereka pun berlanjut. "Naura sangat menyukai seafood, terutama cumi basah. Dia pernah diam-diam pergi ke dapur Mansion untuk mengambil cumi basah di luar jam makan, namun sayang ketahuan karena terpeleset tepung
Evelyn duduk di sofa tengah kamar utama mereka, tangannya sibuk membolak-balikan katalog perhiasan selagi putranya tertidur. "Anda tertarik dengan salah satunya, nyonya?" tanya pelayannya Mona. Evelyn mengangguk. "Tidakkah yang berwarna biru ini sangat indah? Berbahan dasar safir, sangat memukau!"Mona balas mengangguk juga dengan senyum yang sama. "Itu benar, nyonya. Anda akan terlihat sangat luar biasa jika mengenakan satu set perhiasan tersebut, apa ingin saya buatkan pesanannya langsung?"Tatapan mata Evelyn berubah sulit, dia ingin tapi apa uang anggaran pribadinya cukup? Jika harus menggunakan seluruh tabungannya Evelyn juga tidak rela. Evelyn tidak mengelola kekayaan Wajendra sepenuhnya seperti Naura dulu, karena Zafir membatasi anggarannya dan hanya pria itu yang tahu jumlah pasti kekayaan Wajendra. Evelyn tidak mengetahui alasannya, dia selalu merasa kesulitan jika ingin membeli sesuatu seperti perhiasan ini contohnya. Sementara nyonya keluarga lain dapat membeli apa pun
Sepanjang jalan Naura dibuat terpukau, tidak ada sudut kota yang tidak memiliki mawar putih. Begitu dia mulai memasuki gedung-gedung besar, Naura jauh lebih terkejut karena layar iklan LED raksasa mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. "Astaga, siapa wanita itu?" ucap Naura di tengah senyum dan tawanya, menunjuk papan iklan LED gedung-gedung besar. "Dia cantik, bukan?" jawab Arjuna sembari fokus menyetir. "Sejak kapan kamu mempersiapkan semua ini?" tanya Naura, matanya masih sibuk memperhatikan suasana di luar mobil. "Tidak penting jika kamu menyukainya," jawab Arjuna sambil melirik sekilas untuk melihat senyuman Naura. "Itu foto kita?" tanya Naura begitu melihat salah satu layar iklan LED yang menampilkan foto berdua mereka. Wajah Naura memerah membayangkan seluruh penduduk Jakarta dapat melihat foto mereka."Kamu tidak menyukainya?" tanya Arjuna, mengerutkan keningnya saat melihat wajah Naura memerah malu. Naura menggeleng cepat. "Aku menyukainya, tetapi malu jika mereka
Naura sibuk mengetik di laptopnya, suasana kantor ramai dan tertib seperti biasa. Tetapi fokus wanita itu sempat terputus saat Kate mengetuk ruangannya. Setelah dipersilahkan, ia masuk dan melangkah mendekati Naura. "Maafkan saya, nyonya. Beberapa hari lalu saya menerima undangan pernikahan dari keluarga Bara, putri bungsu mereka akan menikah. Saya lupa memberikannya pada Anda karena tertimbun berkas-berkas penting," ucap Kate dengan penuh raut wajah menyesal. Naura tersenyum tipis, mengangguk. "Tidak masalah, Kate. Berikan padaku."Keluarga Bara adalah salah satu dari sembilan pilar di Indonesia, dia ada di urutan kelima. Wilayah kekuasaan utama mereka berada di Solo, banyak perusahaan dan pabrik yang berdiri di bawah naungan mereka. "Saya akan segera menghubungi pihak butik untuk menyiapkan pakaian Anda," ujar Kate penuh semangat jika mendengar atasannya akan datang ke acara pesta. Naura balas tersenyum. "Tentu, aku akan membicarakannya dengan Arjuna setelah pulang nanti." Sa
"Mama papa keren! Keren! Itu mama papa Zevan!" Suara riang anak kecil terdengar begitu musik dansa berhenti. Naura menggenggam erat tangan Zafir, sementara tangannya yang lain memegang bahu pria itu. Zafir pun sama, dia merangkul erat pinggang rampung Naura dan tangan wanita itu. Keduanya saling tatap, Naura masih menatapnya penuh kebencian. Zafir lagi-lagi tidak keberatan.Zevan berlari lincah ke arah mereka, membuat Naura tersadar dan segera melepas pegangannya dari Zafir. "Mama! Mama cantik sekali!" Puji Zevan dengan senyum lebar, membuat Naura tak bisa menahan senyum. "Jangan berlari lagi, Zevan." Naura mencubit hidung anak itu. Tak lama suara tepuk tangan mulai terdengar, lalu menjadi jauh lebih ramai dan meriah dibandingkan tepuk tangan dansa sebelumnya. Naura mulai sadar dan memperhatikan sekitar, semua orang menatap mereka dengan senyuman. Konyol, ini konyol. Saat hendak memutuskan untuk pergi, tiba-tiba saja tak jauh dari posisi mereka terdengar suara teriakan wanit
"Bagaimana?" tanya Naura saat mereka telah tiba di balkon. Keduanya berdiri bersebelahan, mata masing-masing memperhatikan pemandangan danau di depan. Langit semakin menggelap, udara pun semakin terasa dingin. "Seperti yang Anda lihat," jawab Tiara, kedua tangannya memijit ringan keningnya bersamaan. Naura kali ini memilih diam, Tiara pasti akan mulai mencurahkan seluruh perasaannya seperti panggilan telefon mereka semalam. "Saya tidak mengerti lagi kenapa pria itu semakin berani, wanita itu juga tak ada malunya. Saya baru pergi sehari namun keadaan Mansion sudah banyak berubah, pelayan lebih patuh pada mereka dibanding saya. Beruntung saya cepat kembali, jika tidak maka semuanya akan semakin sulit. Wanita itu, dia berlagak seperti nyonya rumah."Naura tersenyum tipis. "Lalu? Apa yang Anda lakukan?""Tentu saja saya tidak tinggal diam, saya menggunakan saran Anda. Lambat waktu, saya kini memahami betapa berharganya posisi saya," jawab Tiara, matanya seolah memandang jauh sesuatu
"Boleh saya tahu nama Anda, nona?" tanya salah satu kepala keluarga saat Tiara dan Jovan telah berkumpul bersama mereka. Sela melingkarkan tangannya erat di lengan Jovan, berusaha sembunyi pada pria itu karena malu. Sosoknya yang mungil dan wajah cantik manisnya sekilas membuat semua orang menganggapnya gemas. Naura hanya diam memperhatikan, dia merasa lucu karena Jovan benar-benar berani membawa selingkuhannya lagi setelah keributan di mega grand opening Zafir. Berbeda dengan Jovan yang tersenyum, Tiara justru hanya memasang raut wajah datar. Meskipun tidak saling bicara, Naura tahu bahwa saat ini Tiara tengah mengatur emosinya setengah mati. "Kemari, tidak perlu takut. Ada aku," ucap Jovan lembut pada Sela, seketika membuat semua orang saling tatap dan menatap penasaran ke arah Tiara. "Mama... Kenapa tante itu murung?" tanya Zevan tiba-tiba, menggoyangkan kecil genggaman tangan mereka. Naura menoleh, lalu tersenyum tipis. "Dengar, Zevan. Jika kamu dewasa nanti, jangan pernah
"Mama!" Zevan tersenyum riang ke arahnya, membuat Naura tak memiliki pilihan lain selain membalas senyumannya. Naura mengelus kepala Zevan lembut. "Jangan berlari seperti tadi lagi, ya. Berbahaya."Zevan mengangguk. "Kalau begitu Zevan harus menggandeng tangan mama!" ucapnya sambil meraih tangan Naura. Tak lama, dari kejauhan Naura melihat sosok Zafir yang melangkah ke arahnya. Pria itu tersenyum, setelah tiba tepat di hadapan Naura, Zafir menarik lembut anaknya. "Maafkan anakku, nyonya. Dia sepertinya sangat menyukai nyonya," ujarnya. "Anda membiarkan anak sendiri lepas berlarian itu sangat berbahaya, tuan Wajendra. Lain kali tolong lebih diperhatikan." Kalimat Naura mengandung sindiran yang tersirat untuk Zafir. Tetapi seolah tak mengerti, Zafir hanya terkekeh dan membalas santai. "Kalau Anda sebegitu khawatirnya dengan Zevan, mengapa tidak Anda saja yang menggandengnya? Putra saya juga sepertinya memiliki selera yang cukup bagus, jarang sekali ia bersedia disentuh oleh semba
Setelah semalam puas bercerita pada Naura, Tiara kini perlu kembali pada realita kehidupannya. Wanita itu menatap datar dirinya sendiri di cermin sebelum akhirnya berdiri dan melangkah keluar kamar. Dia menuruni tangga dengan tenang, kupingnya menangkap suara tawa bahagia milik suami dan kekasih gelapnya. Tiba di ruang makan, kedua sudut alis Tiara sedikit menyatu saat melihat Jovan berani mendudukkan wanita itu satu meja dengan ibunya. Meskipun hubungan Tiara dan ibunya sendiri pun tidak begitu baik, tetapi tidak sampai saling membenci. "Selamat pagi, nyonya Bara." Sela menyapa ramah Tiara dari kursinya, sedangkan Tiara hanya melirik singkat tanpa membalas. Dia duduk dengan tenang di kursi utama meja makan, kemudian menatap dingin suaminya. "Sejak kapan keluarga ini bertindak seenaknya?'Jovan yang awalnya tidak melirik Tiara sedikitpun menoleh ke istrinya, seluruh mata kita tertuju padanya. Ibu Tiara, sang nyonya besar Bara hanya diam dan terus menikmati makanannya. Wanita i
Naura baru saja selesai mengurus pekerjaannya, dia kini duduk di hadapan meja rias setelah usai membersihkan diri. Di tengah ini, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Naura menoleh sekilas, itu pasti bukan Kate karena wanita itu sudah berpamitan saat dirinya mandi. "Masuk," jawab Naura. Tak lama pintu terbuka, sesuai dugaannya, yang mengetuk adalah pelayan Mansion. "Ada apa?" tanya Naura sambil menyisir rambutnya. "Ada kiriman bouquet bunga, nyonya. Saya sudah memerintahkan mereka untuk meletakkannya di ruang tengah." Naura menaikkan alis kirinya sekilas, lalu dia segera berdiri dan melangkah menuju ruang tengah.Bibirnya tersenyum samar, Naura menebak bunga itu adalah pemberian Arjuna. Sampai di ruang tengah, Naura tersenyum tipis. Bouquet mawar putih besar bersandar jelas di sofa ruangannya. Tak lama ponselnya berdering, panggilan dari Arjuna masuk. "Bagaimana, apa kau suka?" tanya Arjuna begitu sambungan mereka terhubung. Naura menyentuh lembut kelopak bunga mawar t
"Pergi lalu datang tiba-tiba, memalukan! Kini kamu menampar Sela hanya karena masalah ringan? Tidak puaskah kamu bertingkah hingga membuat masalah internal kita tersebar?!" Jovan menatap muak ke arah istrinya, lalu menarik Sela ke dalam pelukannya. "Sudah marahnya?" tanya Tiara tenang, menatap datar suami serta orang ketiga di pernikahannya. Melihat respon Tiara yang cukup berbeda dari sebelumnya, keduanya pun sempat tertegun. Tiara tidak mempedulikan ekspresi mereka, dia segera melirik Sela sekilas dan kembali menatap Jovan. "Ajari kekasihmu untuk tidak menyentuh sesuatu yang bukan miliknya. Kedepannya aku tidak akan mentoleransi kesalahan seperti ini lagi, bahkan aku tidak ragu mengusir kalian dari sini." Tegas Tiara, lalu melangkah melewati Jovan dan Sela. Diam-diam hatinya kembali berdenyut sambil berdarah, tetapi dia mengingat pesan Naura dan kembali membulatkan keberanian. Jovan dan Sela menatap heran ke arah Tiara, kenapa wanita itu tidak mengamuk dan pecah seperti sebel
Naura duduk berhadapan dengan Zafir di ruang tengah Tirta. Zafir benar-benar terlihat santai, pria itu selalu tersenyum setiap kali mata mereka bertemu. Naura hanya diam dan memasang raut wajah tidak bersahabat, dia tidak mengerti mengapa Zafir bergerak lebih agresif dibandingkan sebelumnya. "Apa kamu sudah menerima email yang pihak kami kirim?" tanya Zafir, membuka pembicaraan. Naura tanpa ekspresi menjawab. "Ya, tapi aku tidak bisa menyetujuinya.""Kenapa?" tanya Zafir. Naura mengerutkan keningnya. "Anda lah yang kenapa, bukankah dulu yang membatalkan semuanya adalah Anda?"Zafir mengangguk ringan. "Itu benar, tetapi aku akui itu adalah sebuah kesalahan. Tidak seharusnya aku memutuskan hubungan dua keluarga begitu saja. Wajendra dan Tirta sudah berhubungan sangat lama, namun kemarin emosiku sedang sangat tidak stabil, aku minta maaf. Tujuanku kemari hanya ingin mengembalikan semuanya seperti semula, aku tidak ingin mengecewakan upaya para senior keluarga di masa lalu."Naura me
"Terima kasih banyak, nyonya Tirta. Maaf... Aku merepotkanmu. Sejujurnya aku merasa sangat malu." Tiara tersenyum lemah ke arah Naura, mereka berdua berdiri di halaman depan Mansion Tirta. Setelah diskusi serta diiringi dorongan semangat dari Naura, Tiara pun berani melangkah kembali ke Mansion Bara. Meskipun rasa takut dan gugup menggerogotinya, pada akhirnya dia tidak bisa menghindar dari takdirnya sebagai kepala keluarga. "Bukan masalah besar, terkadang perempuan memang tidak memiliki tempat untuk kembali di situasi seperti ini," jawab Naura, sekali lagi dia mulai mengingat kepingan masa sulitnya. "Saya tidak tahu harus bagaimana berterima kasih pada Anda, jika--""Berjanjilah pada saya untuk menjadi pemenang di masalah ini. Setelah selesai, Anda baru bisa memikirkan bagaimana caranya berterima kasih pada saya." Potong Naura, kembali memberikan dorongan pada Tiara. Tiara tertegun, lalu ia mengangguk mantap. "Tentu." Setelahnya, Tiara masuk ke dalam mobil yang diperintahkan N