“Nyonya! Tuan Zafir membawa seorang wanita asing masuk ke dalam Mansion!"
Ucapan Kate, asisten pribadinya, membuat Naura langsung mengalihkan pandangan dari tumpukkan dokumen di atas meja.
"Pekerja baru?" tanya Naura.
Kate menggeleng. "Bukan, Nyonya! Wanita itu adalah kekasih Tuan Zafir!!"
Naura terkejut. Zafir adalah pria yang telah dia nikahi selama enam tahun, lalu apa maksudnya pria itu membawa seorang kekasih ke kediaman mereka?
"Bawa aku menemui mereka," titah Naura, membuat Kate menganggukkan kepala dan mengantarnya ke tempat Zafir berada.
Baru saja mereka sampai di ruang tamu, Naura bisa mendengar percakapan antara dua orang di dalam sana.
“Rumahmu indah sekali, Zafir! Aku sangat menyukainya!”
“Kamu akan tinggal di sini, jadi bagus kalau kamu suka.”
Tampak seorang wanita dengan rambut hitam panjang bergelombang sedang tersenyum dan tertawa manis ke arah seorang pria.
Wajah wanita itu begitu cantik, ditambah dengan ekspresi polosnya, siapa pun yang melihat pasti akan jatuh hati dan ingin melindunginya.
Di sisi lain, sang pria yang tidak lain adalah Zafir, terlihat mengusap kepala wanita tersebut dengan lembut.
Kalau orang yang tidak tahu, pasti akan mengiranya keduanya adalah sepasang kekasih.
“Apa yang kalian lakukan?”
Pertanyaan Naura membuat dua orang di dalam ruangan tersentak.
Zafir yang tadi sibuk menyentuh kepala wanita asing itu, langsung berdiri dengan wajah kaget. “Naura?”
Naura memandang Zafir dingin sebelum beralih menatap wanita asing di sebelah pria itu tajam. “Siapa wanita ini?”
Seakan tidak ada yang salah, Zafir memasang senyum lebar. "Perkenalkan, Sayang... Ini Evelyn." Dia menggenggam tangan Evelyn tanpa ragu dan membawanya menghampiri sang istri.
Berdiri berhadapan dengan Naura, Evelyn memberikan senyum yang sangat manis. “Salam kenal, Kak Naura. Aku Evelyn.”
Melirik tangan Zafir yang terkait dengan tangan Evelyn, Naura berujar, "Membawa seorang wanita asing ke dalam kediaman dan berperilaku intim di depan semua orang. Apa kamu sedang mengumumkan bahwa kamu memiliki kekasih baru, Zafir?"
Pertanyaan dan pandangan tajam Naura membuat Zafir kaget selagi Evelyn takut.
Melihat wanita di sebelahnya bergetar, Zafir langsung mengusap kepala Evelyn untuk menenangkannya.
“Tenang, jangan takut. Kamu akan baik-baik saja,” ucapnya. “Tunggu di sini sebentar ya. Aku dan Naura akan bicara dulu. Kami tidak akan lama."
Naura melihat Evelyn mengangguk patuh selagi memaksakan senyuman ketika ditenangkan oleh Zafir.
Hal tersebut membuat perasaan Naura semakin tidak nyaman. Jadi, dia pun berbalik untuk melangkah lebih dulu meninggalkan ruang tamu.
Mereka kemudian masuk ke dalam salah satu kamar kosong di dekat ruang tamu utama mansion.
"Jadi, apa maksudnya ini?" Naura langsung berkata begitu pintu ditutup rapat.
Sembari tersenyum tipis, Zafir menggenggam tangan Naura dan berkata dengan santai, "Dia adalah wanita yang akan mengandung anak kita, Sayang.”
“Apa?” Mata Naura membesar dan langsung menepis tangan sang suami. “Apa maksudmu?”
Reaksi besar sang istri sama sekali tidak mengejutkan Zafir. Pria itu hanya memasukkan tangannya yang ditepis ke dalam saku celana dan menjelaskan,
“Kita sudah enam tahun menikah, tapi kamu masih belum melahirkan seorang anak. Ibuku sudah tidak bersedia menunggu lagi. Jadi ….”
“Kamu akan menikah lagi?” tanya Naura dengan tubuh bergetar.
Zafir menggeleng cepat, "Tidak, Sayangku. Dia tidak akan menjadi istriku, karena dia hanya akan mengandung anak kita.”
“Kamu akan menyewa rahimnya?” tanya Naura, membuat Zafir menganggukkan kepala. “Tapi aku masih bisa mengandung, Zafir! Bukankah kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya?!”
"Keluarga besar Wajendra menuntut kehadiran penerus, Naura!” balas Zafir, mulai kehilangan kesabaran.
Dia menyisir rambutnya ke belakang dengan frustrasi sebelum menambahkan, “Kesehatan Ibu semakin memburuk, dan aku sudah seharusnya diumumkan sebagai pewaris. Apa karena kamu masih belum mampu melahirkan, maka kami harus terus menunggu? Tidakkah kamu merasa dirimu terlalu egois?”
Ucapan Zafir membuat hati Naura berdarah. Apa suaminya baru saja menyalahkannya?
Memang, ibu mertua Naura sedari dulu menuntut kehadiran seorang penerus kepada Naura dan Zafir selagi mengungkit kondisi kesehatannya.
Namun, bukankah Zafir sendiri yang mengatakan pada Naura untuk jangan khawatir karena itu hanyalah akal-akalan wanita tersebut belaka?
Lalu, terkait pengumuman Zafir sebagai pewaris, memang hal itu sedang ditunda oleh keluarga besar hingga dia bisa mendapatkan keturunan.
Namun, bukankah Zafir sendiri yang menyatakan dia rela menunggu sampai Naura bisa mengandung anaknya setelah beberapa bulan lalu keguguran?
Lalu, kenapa sekarang Zafir menyatakan Naura sebagai wanita yang egois?
Melihat Naura diam, Zafir meraih tangan sang istri dan berucap lembut, “Bukan maksudku membentakmu, tapi mengertilah, Naura. Kita hanya perlu menyewa rahim Evelyn dan menahan semua ini selama sembilan bulan. Setelah itu, Evelyn tidak akan muncul lagi di hadapan kita dan anak itu mutlak milik kita," sambung Zafir.
Naura terdiam, masih berpikir keras. Hatinya yang terluka dan pikirannya yang kacau membuat wanita itu sulit mencapai keputusan.
"Aku berjanji, rencana ini akan berjalan lancar dan berlalu begitu saja. Evelyn tidak akan mengusikmu dan kami akan melakukannya jauh darimu. Bagaimana?"
Naura menautkan alis. Dia barusan tidak salah dengar, bukan?
“Kau akan tidur dengannya?”
Setelah terdiam beberapa saat, Zafir menganggukkan kepala. “Ya.”
Naura membelalak. “Kamu bisa menggunakan cara bayi tabung. Kenapa harus sampai tidur dengannya?!”
“Ibuku percaya kalau cara terbaik untuk mengandung adalah melalui rahim, bukan bayi tabung.”
Naura tidak percaya dengan apa yang dia dengar. “Bukan hanya kamu membawa wanita asing untuk menjadi ibu pengganti tanpa persetujuanku, tapi kamu juga berniat meniduri wanita itu hanya karena ibumu berkata demikian?! Kenapa kamu tidak menceraikanku dan menikahi wanita itu saja?!”
Saat kalimat itu terlontar, wajah Zafir berubah gelap. Pria itu tampak terluka sekaligus kecewa.
“Kalau bukan karena terpaksa untuk kebaikan kita semua, apa kamu kira aku akan melakukan hal ini?” Pria itu melepaskan tangan Naura dan menjauhkan diri. “Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu padaku?”
“Aku–”
“Aku lelah berdebat,” potong Zafir, tidak lagi ingin mendengar ucapan Naura. “Aku tahu kamu sedang marah. Jadi, aku akan menganggap kamu salah bicara.”
Pria itu berbalik ke arah pintu seraya berkata, “Untuk sekarang, dinginkan kepalamu dan berpikirlah dengan matang. Setelah tenang, baru temui aku lagi dengan jawabanmu.”
Kemudian, pria itu berjalan pergi meninggalkan ruangan.
Naura berniat mengejar, tapi Zafir telah terlebih dahulu menutup pintu. Hal tersebut membuat Naura mengepalkan tangan dengan kedua matanya mulai berkaca-kaca.
Naura akui, dirinya memang bersalah karena belum mampu memberikan keturunan untuk Zafir. Akan tetapi, itu pun hanya untuk sementara karena rahimnya sehat.
Lagipula, wanita mana yang rela membiarkan suaminya tidur dengan wanita lain untuk mendapatkan seorang anak!?
Bahkan bila rencana ini berhasil dan Evelyn bisa memberikan mereka seorang anak, apa Naura bahkan bisa mengatakan itu adalah anaknya dan Zafir?!
Menutup wajahnya yang berurai air mata, Naura hanya bisa bertanya, “Apa … yang harus kulakukan?”
**
Setelah beberapa jam berlalu, Naura sudah berada di hadapan Zafir dengan wajah yang berbekas uraian air mata dan tampak lelah.
Berbalik dengan Naura, wajah Zafir tampak berseri.
“Kamu setuju!?”
Setelah Naura mengangguk, Zafir langsung memeluk erat istrinya dengan bahagia.
“Aku tahu kalau kamu pasti mengerti, Sayang!”
Saat ini hati Naura terasa dingin. Padahal, biasanya pelukan suaminya adalah sesuatu yang bisa membuat perasaannya menghangat.
Tak hanya itu, hatinya benar-benar berat. Namun, senyuman cerah Zafir membuatnya merasa telah melakukan keputusan benar.
“Berjanjilah agar tidak mengkhianati kepercayaanku, Zafir.” ucap Naura.
Zafir melepaskan pelukannya terhadap Naura selagi tersenyum lembut. “Tentu saja, Naura. Aku berjanji.”
Namun, apakah janji selalu ditepati?
"Kenapa wanita itu berada di mansion utama? Bukankah kamu sudah berjanji akan membiarkannya tinggal di paviliun samping!?” Terlihat Naura sedang berdiri di hadapan Zafir dengan wajah marah. “Hanya karena masalah sepele seperti itu, kamu berani menerobos ruang kerjaku dan membentakku?” tanya Zafir dengan wajah kesal.“Melanggar janji adalah hal sepele untukmu, Zafir, tapi tidak untukku!” balas Naura dingin.Tepat hari ini, sudah lebih dari dua minggu semenjak Evelyn benar-benar tinggal di kediaman Naura dan Zafir. Di waktu yang bersamaan, sudah dua minggu pula Naura dan Zafir terus bersitegang akibat wanita tersebut.Ketika Naura setuju untuk menjadikan Evelyn ibu penggantinya, dia sudah memberikan sejumlah persyaratan kepada Zafir, termasuk membiarkan Evelyn untuk tinggal di paviliun samping dan bukan di mansion utama. Semua demi menghindari ketidaknyamanan saat bertemu dengan wanita tersebut.Namun, siapa yang sangka bahwa setelah dua minggu Naura pergi mengurus bisnis di negara
“Sayang, makan ini. Kata Ibu, ini bagus untuk kehamilanmu.”“Minum ini juga. Ini akan memperkuat janinnya.”“Pegang tanganku, Sayang! Aku tidak mau kamu terjatuh!”Kalimat manis penuh perhatian terus-menerus dilontarkan oleh Zafir di setiap saat kepada Evelyn, dan hal itu juga didengar oleh orang lain di kediaman, termasuk Naura.Walau kehamilan Evelyn membuat suasana mansion menjadi lebih cerah, tapi untuk Naura … dia merasa tempat tersebut semakin asing dan dingin baginya.Bagaimana tidak? Bagi seorang istri yang sebelumnya sudah berusaha keras untuk memberikan keturunan dan gagal, kenyataan Evelyn hamil dan diberikan sejuta macam perhatian oleh Zafir sama saja dengan sebuah tamparan keras untuk Naura. Meski begitu, Naura berusaha untuk tetap tegar. Wanita itu berusaha sekeras mungkin untuk menanamkan kepercayaan pada suaminya, dan fokus pada tujuan akhir mereka yang ingin memiliki anak–meskipun harus dari rahim wanita lain. Oleh karena itu, Naura pun rutin mengirim vitamin serta
Suasana ruangan VIP itu begitu tegang. Semua orang tampak terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.Tidak ada yang menyangka Arjuna akan begitu marah dengan tindakan Evelyn!Namun, Naura sudah menduganya, karena ini adalah salah satu hal yang paling dia takuti akan terjadi, di mana Evelyn yang tidak tahu tata krama kalangan atas, akan menyinggung Arjuna dengan kebiasaannya yang abai terhadap aturan.Zafir tampak memeluk pundak Evelyn, mencoba untuk melindungi wanita itu dan memastikan dia baik-baik saja. “Kamu tidak apa-apa?”“T-tidak, tapi tanganku sakit.” jawab Evelyn manja, tampak lemah dan begitu takut.Naura memaki dalam hati, bukan karena sikap Evelyn, melainkan karena tindakan Zafir. Tidak bisakah pria itu sadar kalau tamu penting mereka tengah marah besar akibat wanita yang dia lindungi itu!? Bisa-bisanya dia malah abai terhadap Arjuna dan hanya fokus sepenuhnya kepada Evelyn?Khawatir Arjuna tersinggung, Naura gegas maju menghadap pria itu. “Maaf, Tuan Renjana, Evelyn t
"Naura!" Setelah Arjuna Renjana meninggalkan mereka begitu saja, Naura justru memberikan tatapan merendahkan pada dirinya. Zafir tidak terima!Setelah sampai di mansion, Zafir mengikuti Naura ke kamar. Ia membuka pintu cepat dan menutupnya kembali, lalu menatap Naura dari ambang pintu. "Apa yang membuatmu menjadi semarah ini?" tanya Zafir, wajahnya menunjukkan perasaan frustasi. Banyak pikiran yang berkecamuk di kepalanya.Naura menatap tajam suaminya, kemudian menunjuk Zafir dengan jari telunjuknya. “Kamu tidak tahu–!”“Kamu yang tidak tahu diri!”Zafir memotong kalimat penuh amarah Naura, lalu menuduh Naura yang tidak tahu diri! Naura menahan amarah dengan mengepalkan tangan di kedua sisinya. “Kamu bilang, aku tidak tahu diri?”“Kalau kamu tidak berbuat onar, Tuan Renjana tidak mungkin meninggalkan pertemuan penting itu begitu saja.”Naura menatap Zafir dengan pandangan tidak percaya. Naura bahkan kehilangan kata-katanya.Sekarang Zafir menyebutnya berbuat onar, padahal dia send
Keesokan harinya, Naura sibuk bekerja di ruang kerja. Setelah menandatangani semua dokumen, wanita itu menyandarkan punggungnya ke kursi dan menghela napas. Dia masih terganggu dengan acara makan malam yang berakhir memalukan kemarin.Sembari dipenuhi rasa canggung, Naura mulai melakukan panggilan ke nomor Arjuna yang baru saja ia minta dari Kate. Tak kemudian, suara berat dari Arjuna terdengar di telinganya."Halo.”Naura mengepalkan kedua tangannya. "Selamat sore, Tuan Renjana. Saya Naura Wajendra. Apakah telepon dari saya mengganggu waktu berharga Anda?"."Nyonya Wajendra? Tidak. Apa ada hal yang ingin anda bicarakan?" tanya pria itu berterus terang. "Ah ya. Sebenarnya, secara pribadi saya ingin meminta maaf terkait pengalaman tidak mengenakkan yang terjadi saat makan malam kemarin, Tuan Renjana. Saya harap Anda tidak menyimpannya dalam hati,” ujar Naura dengan lancar meski jantungnya sudah berdegup dengan tempo yang tidak nyaman.“Mengenai masalah itu, tidak perlu dirisaukan,
"Jika seperti itu masalahnya, maka lebih baik menggunakan langkah yang kamu usulkan. Namun, sejujurnya aku sedikit terkejut karena pihak Renjana akan menyerahkan masalah ini pada kita." kata Zafir sambil duduk di kursi kerjanya. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang berpikir serius. Naura mengangguk setuju. "Benar, aku juga berpikir demikian. Aku berpikir mereka akan serakah dan mengisi posisi kosong itu dengan orang-orang dari pihak mereka." Zafir tersenyum tipis. "Itu bagus, berarti kita tidak salah dalam memilih partner bisnis." Naura mengangguk lagi. Di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba Zafir terdiam beberapa saat dan memperhatikan wajah Naura. Saat pandangan mereka bertemu, suasana tiba-tiba menjadi canggung. Zafir terbatuk pelan, kemudian tangan kanannya bergerak menarik laci kerjanya dan mengeluarkan kotak perhiasan kecil berwarna merah. Pria itu kemudian berdiri dan berjalan ke arah Naura. "Soal kemarin... Aku minta maaf, itu... Sepertinya aku memang terlalu be
"Hati-hati, Evelyn!!" Suara itu membuat Naura memandang ke luar jendela mobil.Di sana, Zafir terlihat sedang membantu Evelyn untuk berjalan masuk ke mobilnya karena wanita itu terlihat lemah dan rapuh. Naura lalu mengalihkan pandangannya ke arah iPad dan berusaha untuk fokus ke laporan keuangan yang sedang ia analisis.Tak lama setelahnya, Zafir menyusul ke dalam mobil dan duduk tepat di samping Naura. "Sebaiknya Evelyn tetap beristirahat di mansion kalau kesehatannya memburuk" ucap Naura dengan mata yang masih terpaku pada iPad.Zafir menggeleng pelan, "Wanita itu menolak untuk ditinggal. Aku juga khawatir kalau dia ditinggal begitu saja bersama para pelayan."“Begitu? Aku tidak tahu kalau sekarang kamu merangkap tugas sebagai pengasuh ibu hamil”.Zafir menghela napas tanpa mau memperpanjang masalah, "Anggap saja ini menjadi bagian dari menyenangkan perasaannya agar janin impian kita ikut sehat."Naura mengangguk-angguk kecil sambil bergumam rendah, "Entah janin atau wanita itu y
“Bawa Evelyn ke belakang dan lepas kalung yang dikenakan wanita itu”.Kening Naura sedikit terlipat dan perasaan marah kembali bergejolak di dalam dirinya. Bagaimana bisa Evelyn mengenakan kalung yang sama persis dengan yang ia kenakan? Tidak hanya bentuknya yang sama, tapi momen yang dipilih juga sama.Kemunculan Evelyn yang sudah anomali bisa berkembang menjadi skandal besar. Terlebih, kalung yang mereka kenakan juga merupakan kalung seharga miliaran rupiah yang dipesan secara khusus oleh Zafir.Kate lalu bergerak dengan cepat dan membawa Evelyn untuk keluar dari kerumunan. Sosoknya yang tak dikenal oleh wartawan membuat pergerakan mereka menjadi lebih mudah. Kepergian Evelyn dengan Kate membuat segalanya menjadi lebih mudah. Naura tak lagi perlu mengawasi Evelyn dan dapat fokus menjawab pertanyaan para kolega bersama Zafir.Sesampainya di ruang utama, Naura dan Zafir berjalan menyusul Arjuna yang sudah lebih dulu sampai dan menyerahkan gunting pada Naura.Mereka hendak memotong
Naura berbaring di ranjang besarnya dengan kaki dan tangan yang dirantai. Matanya menatap kosong ke arah jendela kamar, dia benar-benar seperti setengah mati. Tak lama pintu kamarnya dibuka, Naura tetap tidak menunjukkan reaksi apa pun. Dia tetap berbaring memunggungi pintu. Suara langkah kaki pria terdengar, tanpa menoleh pun Naura tahu siapa yang datang. Althaf. Hanya pria itu yang dapat dengan mudah masuk dan keluar tanpa mengetuk pintu. "Kamu belum bangun?" Pria itu berbisik di telinga Naura, tangannya mengusap lembut bahu Naura. Naura memejamkan matanya erat, tidak berkenan menjawab. Napas lembut pria itu menabrak telinga serta kulit leher Naura, membuat lipatan ringan terbentuk di dahinya. "Sudah dua hari kamu tidak bicara, mau sampai kapan seperti ini?" tanya Althaf sambil mencium helaian rambut Naura. "Kamu tahu, aku tidak akan menyakitimu, tetapi justru melindungimu. Apa yang kamu pikirkan, Naura? Mengapa kamu tidak mau menerima kemuliaan ini dengan patuh?" sambung
Dua hari setelah kejadian besar, yaitu hilangnya sang nyonya besar Tirta secara misterius, kini gelombang baru kembali muncul. Saham perusahaan raksasa Renjana, hari ini resmi menurun dengan sangat tajam. Total kerugian mereka tak terhitung jumlahnya, membuat jajaran dan investor besar kepalang gila. Rapat besar diadakan secara mendadak, tidak ada yang tahu hari sial seperti ini akan menimpa Renjana. Tidak hanya dalam satu jenis bisnis, tetapi hampir seluruh bisnis yang dinaungi Renjana mengalami kerugian besar.Semua berdiri begitu Arjuna memasuki ruang rapat, tidak ada yang berani duduk sebelum sang pemimpin besar itu duduk. Rapat dimulai begitu Arjuna melirik Damian untuk membuka topik yang akan mereka bahas. Damian mengangguk cepat, lalu tangannya gesit menggerakkan kursor laptop untuk menjelaskan data yang baru saja ia buat. "Sesuai angka saham hari ini, titik terendah perusahaan dipegang oleh 'Renjana Oil', ia berada di angka lima ribu rupiah per lot dari lima belas ribu r
Naura menatap tajam Althaf, meskipun raut wajahnya nampak tenang, kini kedua tangannya diam-diam gemetar. Althaf menyadari ketakutan Naura. Matanya berubah menjadi sangat berbeda, seperti hewan buas, tak jauh berbeda dengan apa yang dia rasakan dari orang-orang sekitar sebelumnya. Pria itu menatap tangan Naura yang gemetar, lalu semakin menyeringai tipis. "Kamu takut?" tanya Althaf. "Bajingan," balas Naura tajam, membuat Althaf mengerutkan keningnya. "Harus aku akui, kamu hebat karena hampir membuatku tertipu," ucap Althaf lalu melirik pecahan tajam vas bunga, dia masih berada di atas tubuh Naura untuk menahan gerakan wanita itu. "Menjijikkan," ucap Naura, matanya memerah penuh kebencian. Althaf terkekeh, lalu melepaskan pecahan vas itu dengan sangat hati-hati dari genggaman tangan Naura. "Apa ada yang terluka karena ini?" tanya Althaf sambil terus memastikan tidak ada luka di tangan Naura meskipun tangannya sendiri telah berdarah-darah. Naura menarik tangannya cepat, napasny
"Nyonya sempat keluar berkeliling, tetapi kemudian ia kembali ke dalam kamar dengan patuh." Dua pria penjaga di depan pintu melaporkan kegiatan Naura begitu Althaf kembali. Althaf hanya mengangguk singkat, lalu membuka pintu bilik Naura. Bibirnya kembali tersenyum lembut, tatapan mati dan dinginnya berubah menjadi hangat. "Naura?" Suaranya lembut seperti malaikat. Sosok Naura yang tengah berdiri di dekat jendela besar menatap pemandangan kosong di luar pun segera menoleh. "Kamu sudah kembali?" tanya Naura, lalu tersenyum tipis ke arah Althaf. Althaf mengangguk. "Maaf jika aku terlalu lama, pihak dapur tidak menyiapkannya dengan baik tadi." Kemudian dia memberi kode di belakangnya untuk segera masuk. Pelayan datang dengan troli makanan, lalu meletakkan satu persatu piring dan gelas di atas meja. Sepergian pelayan, Althaf pun melangkah menghampiri Naura. "Ada apa? Kamu tidak nyaman?" tanya Althaf. Naura menggeleng. "Tidak, aku hanya merindukan ibu dan Kate. Kapan mereka akan m
Naura melangkah menuju pintu kamarnya, ia kemudian menempelkan kupingnya untuk memeriksa suara di luar sana. Sepi. Tidak ada suara kegiatan atau percakapan apa pun kecuali langkah kaki yang berat dan sibuk. Tempat apa ini? Mengapa Althaf membawanya ke tempat seperti ini?Penjualan manusia? Memilih seorang nyonya keluarga berkuasa adalah pilihan ceroboh, Althaf tidak mungkin sebodoh itu. Saat tangan Naura iseng menarik gagang pintu, dia sedikit terkejut karena ternyata pintunya tidak terkunci. Meskipun ragu, Naura memberanikan dirinya untuk membuka pintu tersebut dan langsung mendapati dua sosok pria asing yang berjaga di depannya. Mata Naura menatap dingin ke arah keduanya, dua pria itu memperhatikannya sangat intens. Tetapi hal yang lebih mengejutkan terjadi begitu keduanya tiba-tiba membungkuk ke arah Naura. Naura menatap mereka heran, kenapa mereka membungkuk ke arahnya? Ada apa?"Siapa kalian?" tanya Naura, nada bicaranya penuh dengan kewaspadaan. "Apa ada sesuatu yang And
Naura membuka matanya cepat begitu mendapatkan kesadaran. Tubuhnya seolah tersentak kaget, keringat dingin membasahi pelipisnya. "Kamu baik-baik saja?" Suara Althaf yang lembut dan hangat terdengar, membuat Naura menoleh cepat dan mendapati sosok pria itu yang bersandar di jendela ruangan. Angin lembut menerpa wajahnya, membuat rambut hitam pria itu menari indah. Matanya yang cokelat pun selalu berhasil menyalurkan kehangatan. Naura tidak menjawab, matanya langsung sibuk memperhatikan sekelilingnya. Ini di mana? Jelas sekali bukan bagian dari Mansion Tirta. Tatapannya bergeser pada cermin, Naura tertegun saat melihat dirinya kini sudah memakai dress putih polos. Pakaian yang ia gunakan sebelum sadarkan diri di sini adalah kemeja kerja, namun entah bagaimana sekarang berubah?Banyak sekali pikiran kasar yang menumpuk di kepala Naura. Dia masih belum bisa mencerna, terakhir kali mengingat bahwa dirinya sadar adalah setelah mengangkat panggilan Kate. Berikutnya dia memakan cheesec
"Sebenarnya ini... Ada apa? Naura menghilang?" Suara Mela yang khawatir terdengar, membuat semuanya menoleh ke ambang pintu. Kate dengan cepat menghampiri Mela. "Nyonya, Anda--""Naura...." gumam Mela sambil meletakkan tangan kanannya di atas dada sebagai bentuk takut dan khawatir. "Aku akan mencarinya, ibu." Arjuna berusaha menenangkan Mela. Kedua mata Mela mulai berkaca-kaca, matanya menatap Arjuna. "Putriku... Putriku dalam bahaya...." Lalu perlahan tubuhnya mulai berdiri tidak stabil. Kate dengan sigap menahan tubuh Mela bersama pelayan pribadinya. "Cepat, bawa nyonya besar ke kamar."Begitu Mela pergi, mereka bertiga pun akhirnya memutuskan untuk pergi ke Mansion Renjana. Arjuna tetap menjalankan mobil dengan kecepatan yang sama, matanya menatap tajam ke sekitar. Phantom. Dia tidak akan mengizinkan mereka mengambil wanitanya.Kali ini Arjuna tidak akan menahan diri, karena mereka sendirilah yang telah melanggar perjanjian. Mereka berjanji tidak akan menyentuh Naura jika A
Arjuna berlari cepat menuju mobilnya, seluruh pelayan menatap heran ke arahnya.Selain karena hujan dan petir, malam itu terasa sangat mencekam untuk Arjuna karena ini menyangkut keselamatan Naura. Pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tak masuk akal, kedua tangannya mencengkeram kuat stir mobil. Sampai di Mansion Tirta, Arjuna turun tanpa peduli guyuran air hujan. Seluruh pelayan dibuat terkejut oleh kehadiran Arjuna, sampai akhirnya Mela muncul. "Ada apa ini?" tanya Mela khawatir begitu mendapati sosok Arjuna yang basah karena hujan. "Di mana Naura, bu?" tanya Arjuna cepat. Mela mengerutkan keningnya bingung. "Naura... Dia ada di ruang kerja. Ada apa, nak?"Arjuna tetap terlihat sangat khawatir. "Apa ibu baik-baik saja?" Mela mengangguk kebingungan. "Iya... Aku baik-baik saja, ada ap--""Perketat keamanan Mansion, bu." Potong Arjuna, lalu melangkah cepat menuju ruang kerja Arjuna. Mela masih mematung bingung di posisinya, hingga tak lama Kate dan Damian muncul. "Nyon
Kate tiba di studio kerja pribadinya, kemudian meletakkan tas dan mulai menyalakan mesin komputer. Sesuai perintah Naura, wanita itu meneliti rekaman CCTV yang diberikan atasannya. Tatapan Kate berubah tajam, sesekali menyipit untuk mendeteksi keanehan di rekaman. Tetapi seperti yang Naura katakan, dia juga tidak berhasil menemukan keanehan, kecuali saat adegan penusukan Arjuna. "Di mana bagian yang salah?" gumam Kate sambil terus memaju mundurkan kursor. Tak lama suara dering ponselnya terdengar, Kate berdecak kesal karena pekerjaannya terganggu. Dengan malas dia meraih tas-nya dan mengeluarkan ponsel, namun saat melihat nama kontak yang menghubunginya, amarahnya seketika menghilang. "Iya, tuan Damian? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Kate, matanya kembali menatap layar komputer lagi. "Mengantarkan obat? Terima kasih banyak, namun saya baik-baik saja." Kate melirik sekilas ke arah ponselnya begitu mendengar Damian hendak mengantarkan obat. Mendengar Damian yang sepertinya tid