“Mbak Viza, tolong! Berandal ngamuk itu mengejarku!” Runa menghambur masuk rumah dengan wajah panik. Viza menatap bingung pada adiknya yang ketakutan.Berandalan itu mungkin akan membunuhku. Lakukan sesuatu, Mbak.” Runa menenteng paper bag, ia baru saja pulang dari mall. Gayanya yang style memperlihatkan kalau kesehariannya suka berfoya-foya.“Kok bisa dikejar berandalan?” Viza yang sedang mencuci piring, segera mematikan keran. Ada tumpukan piring membukit mengantri untuk dicuci.“Duh, jangan bawel deh. Sana temui berandal itu! Cepetan!” Runa mengguncang lengan Viza, membuat piring yang dipegangi Viza terlepas dan pecah.Mendengar kegaduhan, Mulan dan Johan keluar dari kamar dengan wajah kucel, sehabis bangun tidur. Tak lain mereka adalah kedua orang tua Viza.“Kenapa lagi ini, Viza? Kok piring bisa pecah? Kamu ini kerja nggak pernah becus!” ketus Mulan.Selalu Viza yang disalahkan. Sejak kecil pasti begitu. Viza sudah bekerja keras mengurus warung makan, tapi salah terus d
Enteng sekali pria itu minta nikah? Viza dan Vikram tidak saling kenal, lantas apa yang membuat Vikram menginginkan Viza? Mustahil langsung minta nikah hanya karena sekilas lihat wajah saja. Vikram itu bermasalah dengan Runa, lalu kenapa Viza yang jadi sasaran?Viza menelan saliva panik.Orang-orang yang berkerumun di warung makan itu pun menatap Viza, gadis cantik yang setiap hari melayani pembeli. Meskipun ia adalah putri dari pemilik warung, namun ia selalu kelihatan lusuh dan lelah, tak berhenti melayani pembeli. Itu karena ayah dan ibunya menjadikan dia sebagai pekerja yang tak digaji.“Menikah? Memangnya kau punya apa untuk meminang putriku?” tanya Mulan berkacak pinggang, tidak takut meski sosok yang dia hadapi ini bukan orang sembarangan. Sekali tinju, kalau bukan lari ke rumah sakit, ya ke kuburan.“Bu, sudah! Jangan dilawan. Nggak lihat apa dia hebat begitu? Nanti kamu kenapa-napa loh,” bisik Johan pada istrinya.“Biarin, Pak. Nggak takut aku. Mana mungkin jagoan
“Ooh… itu. Kemarin pas keluar dari kampus, aku tuh nggak sengaja nyerempet si Vikram. Terus, ponsel miliknya jatuh dan retak. Aku kabur. Padahal aku udah ngebut, kupikir dia nggak bakalan bisa mengejarku. Nggak nyangka dia malah mengejarku sampai rumah. Dan yang lebih aneh lagi, dia bisa tahu namaku. Misterius banget tuh orang.” Runa tampak berpikir.“Sudah! Jangan kelamaan. Ayo cepat keluar!” Mulan menarik lengan Viza keluar kamar. “Jangan lupa, kasih tau nama lengkapmu ke Vikram supaya dia bisa menyebutkan namamu di ijab qabul! Viza Shanum Azalia binti Johan Al Kahfi.”“Johan Al Kahfi? Bukankah nama bapak Johan Ambarawa?”“Sudah, jangan kebanyakan protes. Johan Ambarawa itu cuma nama ganti saja, aslinya Johan Al Kahfi.”Viza malas berdebat. Ibunya tentu jauh lebih mengerti. Wajah Viza menunduk sepanjang berjalan menuju ruang tamu. Hampir tak ada ekspresi, bahkan kesedihan pun tak tampak lagi, air mata juga tak ada, lebih seperti sudah jengah dan kebal atas semua lelah
“Maharnya apa, Viza?” tanya wali hakim.Viza menggeleng. Ia tak tahu mahar apa yang dia mau. Tak pernah terlintas sedikit pun perihal mahar di hari pernikahan ini. Membayangkan menikah saja tidak, apa lagi kepikiran mahar.“Mahar itu bisa berupa uang, cincin, atau apa saja yang penting berfaedah. Nak Vikram sanggupnya kasih mahar apa?” tanya wali hakim.“Dengkul. Hi hi hi…” Runa berbisik dan terkekeh kecil, bahagia sekali saat bisa mengejek orang lain. Namun suaranya tetap kedengaran di telinga Viza.“Saya bisa kasih mahar ini.” Vikram melepas kalung hitam miliknya yang terbuat dari karet.Seisi ruangan dan orang-orang yang berjubel memadati pintu pun tertawa. “Nak Viza, apakah kamu ridha dinikahi dengan mahar ini?” tanya wali hakim.Beberapa detik Viza menatap kalung itu, kemudian ia berkata, “Maharnya surat Al Kahfi saja.”Tak tahu mengapa, lidah Viza berkata begitu. Setelahnya, ia tersadar bahwa bisa saja ia mempermalukan Vikram bila ternyata pria itu tak hafal surat tersebut. Se
“Viza, jangan!” Suara keras mengejutkan Viza bersamaan dengan tangan kokoh yang menahan tangannya di udara. Pisau di tangan Viza dirampas lalu dilempar.Tubuh Viza tak bisa bergerak, ada satu lengan besar dan kuat yang melingkar menahan badannya dari arah belakang supaya tak bergerak. Sedangkan tangan lain pria itu memegangi tangan Viza.Viza menoleh, menatap wajah Vikram yang sangat dekat dengannya. Tamparan hangat napas pria itu mengenai wajahnya. Vikram tampak panik sekali. Alis tebal pria itu sampai menyatu.“Apa yang kau lakukan? Jangan nekat! Berdosa! Dosa besar!” bisik Vikram lembut. Tatapannya teduh sekali.Dosa? Nekat? Apaan sih? Viza malah bingung. Oh.. Viza baru sadar maksud perkataan Vikram setelah beberapa detik otak kecilnya berpikir, Vikram mengira dia akan mengakhiri hidup. Padahal tadi Viza sedang ingin memuaskan kekesalan dengan mencincang tomat sepuasnya.“Jika sedang ada masalah, bicarakan saja! Jangan pendam sendiri! Itu akan memberatkan perasaanmu. Kamu sudah p
“Kok pakai tato, Mas?” tanya Viza.“Ini tidak permanen. Bisa dihapus," jawab Vikram.“Oh.” “Jadi kamu beneran tidak mau cerita nih? Biasanya, perempuan itu akan merasa lega saat bebannya diceritakan. Hatinya akan plong. Benar begitu kan?” sambung Vikram.“Aku nggak tahu.” “Berarti kamu tidak pernah punya teman curhat ya? Semua beban dipikul sendiri. Nanti cepat tua loh.” Vikram tersenyum. Tampan sekali. Viza pun tersenyum tipis. Inilah pertama kalinya Vikram melihat senyum di wajah cantik Viza setelah seharian wanita itu terlihat datar tanpa ekspresi.“Aku mau siapin makan malam dulu, Mas,” pamit Viza.“Bukankah ada Runa dan ibu? Mereka bisa siapkan. Kamu pengantin baru, setidaknya istirahat untuk malam ini.”Viza memutar mata canggung. “Aku ke dapur dulu, Mas.”Ia bergegas meninggalkan Vikram. Begitu cekatan tangannya mempersiapkan makan malam di meja makan. Menuangkan lauk pauk dan sayur dari kuali ke mangkuk, lalu menyajikannya ke meja. Tak lupa menyiapkan buah pencuci mulut.“
Lalu, dengan mulut berisi penuh makanan, Mulan melanjutkan perkataannya, “Ibu sudah mengurus Viza dari bayi sampai sekarang loh. Enak saja kamu mau main ambil begitu saja. setidaknya ada etika. Setelah kamu kasih ibu uang, baru kamu bisa bicara begitu. Modal dengkul saja, mana bisa berkuasa atas diri Viza.”Vikram menatap tajam pada Runa dan Mulan. Napasnya tersengal akibat emosi, namun ia tampak sedang berusaha menahan amarah supaya tidak meluap. “Viza bukan barang yang bisa dibeli,” sahut Vikram.“Bukan barang, tapi rongsokan. Hi hiii…” Mones menyahuti kemudian cekikikan.“Diam kau! di sini kau tidak ada hak bicara! Kau cuma pelayan warung kan?” tegas Vikram membuat Mones membungkam.“Kamu balik ke warung sana! Sudah malam. Tempat tidurmu di sana. Tugasmu jaga warung. Awas jangan sampai ada maling!” titah Mulan.“Iya siap, Bu. Lagian warung makan juga sudah ditutup, Bu. Ini juga belum larut. Saya Cuma mau nonton TV saja loh tadinya.” Meski menyahuti, Mones tetap bang
Viza membiarkan tangannya berada di pinggang Vikram, lalu tangan satunya pun berinisiatif maju dan memegangi pinggang sebelahnya.Viza mengira sosok garang seperti Vikram akan mengendarai motor ugal-ugalan, tapi ternyata tidak. “Kamu yakin bapakmu sakit?” tanya Vikram memecah keheningan.Viza tak tahu harus menjawab apa.Tak mendapat jawaban, Vikram pun berkata, “Mungkin saja bapakmu tidak sakit. Dia seperti sengaja menghindari pernikahan kita. Mungkin memang beliau tidak mau menikahkan kita. Makanya dia pura-pura sakit dan mencari wali hakim.”“Kenapa Mas Vikram berpendapat begitu?” tanya Viza pura-pura bod0h. Padahal dia juga berpikiran yang sama seperti yang dipikirkan Vikram. Tapi dia butuh penjelasan yang logis dari semua ini.“Tiba-tiba saja bapakmu dikabarkan jatuh sakit tapi seluruh keluargamu terlihat tak peduli. Mereka bahkan tidak menjenguk bapakmu atau minimal menunggu di puskesmas. Bukankah mereka menyayangi bapakmu? Lalu kenapa tidak ada tindakan apa pun saat bapakmu
“Oh ya, Tuan Leo silakan makan. Tapi itu lauknya kok sudah dicuil semua sama supir?” Mulan menatap kesal pada semua lauk yang disajikan.“Cukup supirku saja yang mencicipi. Jika kata supirku enak, maka aku percaya pasti enak. Aku tidak bisa makan sembarangan. Semua makanku harus teruji secara klinis. Bukan maksudku mengatakan makanan di sini tidak sehat, tapi aku harus menjaga kemungkinan yang tidak diduga-duga.”“Oh nggak masalah.”“Aku permisi.” Leo bangkit berdiri.Sial, dia malah menubruk Runa yang kebetulan melangkah maju. Keadaan yang tak diduga-duga pun terjadi. Gubrak!!!Leo dan Runa terjatuh bersamaan. Tubuh Leo menelungkup di atas badan Runa.Vikram mengangkat alis sambil garuk kepala. Lalu mengembuskan napas kasar. Bagaimana mungkin sosok yang berwibawa malah jatuh kejungkang begini? Vikram menyesalkan kejadian ini.Bahkan Leo kini tengah menatap wajah Runa yang berjarak sangat dekat dengannya. Mereka merasakan napas masing-masing lawan yang menampar wajah.“Aduh, sakit!”
“Makanlah. Kau bebas makan di sini.” Leo menunjuk meja.“Dengan senang hati, bos.” Vikram menarik kursi dan duduk, lalu menyantap makan dengan lahap, mencuil satu per satu lauk yang disajikan. “Enak sekali. Semua lauknya lezat bos.”“Tentu saja. Namanya gratis.” Leo tertawa kecil. Pandangannya kemudian kembali pada Mulan. “Jadi maksud kedatangan Tuan mengajak Vikram kemari hanya untuk memastikan apakah Vikram sudah menikah atau belum, begitu?” tanya Mulan.“Ya. Soalnya kabar pernikahan ini sangat mendadak, saya jadi ragu," jawab Leo. "Saya menyesal tidak menghadiri pernikahan supir saya ini. Sehubungan supir saya ini tidak punya uang, dia sampai harus menikahi Viza tanpa seserahan apa pun. Bahkan maharnya tanpa uang.”“Iya, maharnya baca doang. Nggak ada modal soalnya, tapi anehnya dia berani minta kawin,” celetuk Mulan sambil pura-pura senyum ramah kepada Leo.“Supir saya memang sudah lama ngebet kawin dan sekarang baru terlaksana,” ucap Leo membuat Vikram menghentikan makan sebent
“Kembali ke tujuan awal saya kemari. Bisakah saya bertemu Viza?” tanya Leo yang kelihatannya tak sadar kalau wanita yang dia cari ada di sini dan tengah sibuk mondar mandir malayani pelanggan di meja lain. “Viza itu putriku,” jelas Mulan.“Oh jadi saya berbicara langsung dengan ibunya? Tepat sekali kalau begitu. Tolong pertemukan saya dengan Viza. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan kepadanya,” sahut Leo.Pembicaraan terhenti ketika Runa muncul diantaranya dan menyuguhkan aneka macam lauk ke meja makan. Tak lupa senyum manis semanis madu dipersembahkan pula olehnya. “Silakan!” ucap Runa salah tingkah.Leo mengangguk dan menoleh singkat saja ke arah Runa.“Nah, ini putri bungsuku. Namanya Runa. Cantik kan ya? Dia masih kuliah. Sekitar setahun lagi masa kuliahnya selesai. Sudah bisa dinikahi.” Mulan merengkuh pundak Runa. “Kebetulan dia masih jomblo. Belum ada yang punya. He heee.. Tuan Leo ini sudah menikah atau belum?” “Umur memang sudah tiga puluh empat, tapi belum menikah.”
Seketika Mulan membeku di tempat. Mukanya langsung menegang. Sudah capek memamerkan gigi sejak tadi, tapi sia-sia. Berharap Runa yang menjadi tempat perhatian si pria tajir melintir, malah Viza yang dicari. Mulan kesal sekali.Runa kecewa. Kenapa justru Viza yang dicari oleh pria kaya ini? “Sebelumnya, Tuan ini siapa?” Mulan balik tanya.“Aku Leonardo. Panggil saja Leo.”Viza meninggalkan tempat itu dan berlalu ke balik etalase jus yang berdekatan dengan pintu menuju dapur.Melalui posisinya, ia masih bisa melihat interaksi di dalam warung karena mereka masih satu ruangan, hanya dibatasi oleh etalase kaca saja.Viza membuat teh es dua gelas, telinganya fokus mendengarkan pembicaraan antara Mulan dan si pemuda yang bernama Leo itu.“Ada keperluan apa Anda mencari Viza?” Mulan mewawancarai. Nadanya mulai kedengaran tak suka. Bukan tak suka pada pemuda itu, tapi tak suka bila pemuda itu mencari Viza.“Ini kartu nama saya.” Pemuda itu memberikan kartu nama.Mulan membelalak sembari menut
Viza menyimpan hp dan menyusul ke depan, ia menyusun teko untuk cuci tangan berisi air ke meja.Pantesan Mones teriak-teriak garang begitu, rupanya ada Mulan dan Runa di meja kasir. Dua insan itu tampak sibuk menghitung uang receh pendapatan semalam.Beberapa orang pelanggan sudah duduk mengisi meja, menunggu pelayanan.Mones segera mendatangi meja yang diduduki pelanggan. “Mau pesan apa, Mas?”“Maaf, aku dilayani Viza saja!” tolak pelanggan saat dilayani oleh Mones. Pelanggan sudah sangat hafal dengan Viza. Mayoritas mereka memang menyukai pelayanan Viza yang sopan dan ramah.“Ya ampun, Viza mulu. Udah meringis gigi ampe kering juga masih ditolak,” celetuk Mones sambil garuk kepala. “Viza, layani tuh custumer.”Mones mengambil alih pekerjaan lain.Viza menghampiri dua pria yang menunggu di meja sudut. Hanya ada delapan meja, keseringan meja penuh saking ramainya.“Pesan apa, Bang?” tanya Viza. Warung itu menyediakan makan dengan cara pelayan yang mengambilkan nasi dan lauk seporsi d
Viza mengulang pandangan. Siapa tahu ia salah lihat. Bisa jadi seratus ribu dan matanya kurang tepat saat melihatnya. Tapi… ternyata ia tidak salah. Setelah mengulang beberapa kali, bahkan sampai menghitung jumlah nol, memang itu seratus juta.Kok bisa? Uang dari mana ini? Banyak sekali. Fantastis.Viza tak pernah melihat angka sebanyak itu. Nominal terbesar di rekeningnya hanya tiga juta. Itu pun numpang lewat saja saat ada keperluan untuk bayar sesuatu via transfer.Viza mendadak gugup. Uang segitu membuatnya jadi panas dingin.Setelah selesai memasak, sekitar jam sepuluh dia sudah bisa membuka warung makan dan menjadi pelayan bersama Mones. Begitulah rutinitas kesehariannya.Lelah? Jangan ditanya. Badannya sering sakit karena terkadang tak sempat makan saking sibuknya.“Air kobokan di teko semua meja belum diisi tuh! Cepat isi! Meja ada yang belum dilap!” Mones cerewet sekali. Main tunjuk sana sini.Dia kemudian mengambili buah-buahan dari kulkas untuk dipajang di etalase. Meskip
“Aku jadi supir di pabrik. Gajiku memang kecil. Tapi nanti gajinya biar masuk ke rekeningmu saja," ucap Vikram.“Oh… jadi nanti kalau Mas Vikram butuh uang, minta saja sama aku ya, Mas?” Viza kemudian mengambil hp dan membacakan nomer rekeningnya. “Ini juga udah lama banget nggak diisi. Kosong terus isi rekeningnya. Palingan cuma diisi pas mau transfer uang buku atau apalah.”Vikram menyimpan nomer rekening Viza.“Besok pagi-pagi Viza sudah harus bangun dan memasak. Jadi, menantu pun harus bantu-bantu kalau nggak ada kerjaan. Jangan jadi beban! Besok bangun subuh terus bantuin di dapur buat keperluan masak. Punya mantu nggak bisa kasih apa-apa, bisanya numpang hidup!” Suara Mulan merepet terdengar keras di ruang sebelah.Viza menatap Vikram, seolah memberi isyarat dari tatapannya kalau Vikram tidak perlu mengambil pusing perkataan ibunya.“Aku duluan ke kamar, Mas!”“Kok buru-buru?”“Mau tidur, besok harus bangun pagi.”“Oh… Kirain mau ngajakin apa gitu.”Maksud perkataan Vikram apa
“Kulihat ibumu memperlakukanmu berbeda dengan Runa. Apakah setiap hari dia begitu?” tanya Vikram.Pertanyaan itu membuat Viza mengenang rutinitas hidupnya yang kelam. Tidak sekalipun dia mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, demikian juga Runa yang kerap semena-mena terhadapnya.Sikap lembut Vikram tiba-tiba membuat Viza merasa ingin berbagi. Sudah sangat lama ia menimbun tekanan batin sendirian tanpa sekalipun membagi kepada siapa saja.Baginya, rasa lelah batin dan raganya sudah basi, sudah biasa. Sampai dia lupa bagaimana rasanya bahagia.“Aku pernah bertanya-tanya dalam hati. Apakah aku ini anak pungut? Kenapa ibu dan ayah membedakan aku dan Runa?” Kalimat itu mengalir begitu saja. “Kadang aku merasa iri pada Runa, tapi aku berhasil menyingkirkan rasa itu. Setiap hari, aku harus memghabiskan waktuku di warung untuk bekerja.”“Runa tidak membantumu di warung?”Viza menggeleng. “Nggak pernah sekalipun Runa turun ke dapur. Bahkan untuk ceplok telur pun dia mungkin nggak t
Viza membiarkan tangannya berada di pinggang Vikram, lalu tangan satunya pun berinisiatif maju dan memegangi pinggang sebelahnya.Viza mengira sosok garang seperti Vikram akan mengendarai motor ugal-ugalan, tapi ternyata tidak. “Kamu yakin bapakmu sakit?” tanya Vikram memecah keheningan.Viza tak tahu harus menjawab apa.Tak mendapat jawaban, Vikram pun berkata, “Mungkin saja bapakmu tidak sakit. Dia seperti sengaja menghindari pernikahan kita. Mungkin memang beliau tidak mau menikahkan kita. Makanya dia pura-pura sakit dan mencari wali hakim.”“Kenapa Mas Vikram berpendapat begitu?” tanya Viza pura-pura bod0h. Padahal dia juga berpikiran yang sama seperti yang dipikirkan Vikram. Tapi dia butuh penjelasan yang logis dari semua ini.“Tiba-tiba saja bapakmu dikabarkan jatuh sakit tapi seluruh keluargamu terlihat tak peduli. Mereka bahkan tidak menjenguk bapakmu atau minimal menunggu di puskesmas. Bukankah mereka menyayangi bapakmu? Lalu kenapa tidak ada tindakan apa pun saat bapakmu