Masjid Baiturrahman, pukul sembilan lewat dua puluh lima menit.Hari ini merupakan momen bersejarah di mana Wisnu akan mengucapkan ijab kabul untuk mempersunting kekasih hatinya, Nita.Rencana pernikahan dua orang berbeda usia yang sangat kentara itu dilakukan tak lama setelah kedatangan Reisa ke rumah papanya. Mereka bertindak cepat dengan melamar langsung Nita kepada orang tuanya.Wisnu didampingi oleh Andra dan Reisa saat memasuki pelataran masjid. Sementara para keluarga sudah berkumpul di titik yang telah ditentukan.Awalnya, proses lamaran berlangsung alot karena orang tua pihak perempuan tidak setuju anaknya menikah dengan Wisnu. Apalagi calon menantu mereka seumuran dengan ayah mertuanya.Ditambah lagi dengan riwayat Reisa yang pernah membatalkan pernikahan dengan Dimas. Pihak Nita terang-terangan menolak.Sungguh rumit dan memakan waktu yang lama hingga dua bulan lamanya. Namun, dalam rentang waktu itu, semua orang memilih untuk bersabar menunggu.Mereka sampai mengadakan med
"Ketemu lagi ya, Rei."Wajah Dimas merona. Melihat Reisa yang tampak anggun dengan memakai kebaya pas ditubuh, membuatnya salah tingkah. Setelah menikah dan mempunyai anak, mengapa mantannya terlihat semakin cantik. Dimas membatin apakah Reisa bahagia hidup bersama dengan suaminya. Setelah apa yang dilakukan Andra, kenapa mereka berdua malah semakin mesra?"Ada apa?" Reisa bertanya dengan sopan. Sebenarnya dia cukup terkejut karena Dimas tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Dari mana lelaki itu datang?"Gak, gue cuma mau ketemu lu."Senyum terukir di wajah Dimas. Dia ingin menyapa dan berbicara seperti layaknya seorang teman. Ah, bahkan hubungan mereka dulu cukup hangat, walaupun tidak kebablasan.Dimas masih ingat sekali bagaimana rona wajah Reisa saat berada dalam pelukannya."Masuk ke dalam aja, Mas. Kan, acaranya di sana."Reisa menunjuk ke arah belakang mereka."Aku mau ngasih asi buat Rendra," lanjutnya.Dimas mengarahkan pandangan ke tempat Reisa menunjuk tadi.Mas, itulah pan
Bunyi notif di ponsel berbunyi dari aplikasi W******p. Reisa mengambil benda pipih itu dan membukanya. Ada sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal."Siapa ya?"[Lagi ngapain?]Dahi Reisa berkerut. Dalam hati bertanya siapa ini.[Maaf, ini dengan siapa]Jari lentik Reisa membalas lewat ketikan. Bahasanya masih sopan karena menduga itu nomor dari orang yang dikenal. Bisa saja dia lupa menyimpannya.[Mas]Reisa terdiam sesaat, lalu mengusap dada dan tak dapat berkata. Wanita itu menepis semua prasangka di benak.Reisa menilik kembali nomor pengirim pesan itu. Bukan wilayah Indonesia, uni nomor luar."Apa si pengirim pesan tinggal di luar negeri? Bisa jadi salah kirim," gumamnya.[Maaf saya gak kenal. Mungkin anda salah orang]Ponsel diletakkan kembali di nakas. Rendra sedang tidur, jadi Reisa sedikit bebas. Inah dan Susi berbenah di dapur.Hari ini Reisa meminta dimasakkan bebek goreng berbumbu dengan sambal korek, yang mirip seperti di sebuah tempat makan terkenal.[Dimas]Pesan masuk
Dua orang duduk dengan canggung. Cukup lama mereka terdiam hingga salah satu memulai pembicaraan. "Suami lu jam berapa pulangnya?" tanya Dimas gugup."Biasanya sore tapi kayaknya hari ini agak malam," jawab Reisa."Oh.""Kamu sendiri kapan pulangnya?"Nada suara Reisa terdengar ketus. Sudah sejak tadi papanya dan Nita pulang, tetapi Dimas masih saja betah berada di sini.Dimas hanya tersenyum saat disindir. Matanya lekat menatap wajah cantik di sampingnya."Enak ya nikah sama Andra. Gue liat lu bahagia.""Memang dia baik dari dulu," jawab Reisa jujur. Dimas mengangguk, padahal dalam hatinya sesak. Lelaki itu masih berat menerima kenyataan bahwa mereka tak akan pernah bersama. "Kalau gitu gue balik. Ntar Andra pulang bisa kena amuk."Dimas akhirnya mengalah dan berpamitan. Reisa mengantarnya keluar rumah."Baiknya gak usah datang ke sini lagi, Mas.""Terus, gimana kita mau ketemuan?"Dimas menatap Reisa dengan harap-harap cemas. Lelaki itu masih berpikir bahwa mereka akan menjalin s
"Masak apa, Rei?"Andra melingkarkan lengannya di pinggang istrinya dan memeluk erat dari belakang. Harum aroma tubuh Reisa membuatnya mabuk kepayang. Andra mengelus perut istrinya yang mulai membuncit. Ini memasuki bulan ke empat. Tubuh Reisa sendiri sudah sangat melar, padahal kehamilannya belum terlalu besar. "Biasa kesukaan kamu, nasi goreng sosis," jawab Reisa. Tangannya masih mengaduk nasi yang mengebul panas di dalam wajan. "Sosisnya dimasukkan sekalian aja disitu. Enak," bisik Andra di telinga Reisa. Hidungnya mulai menjelajah. Dari menghirup aroma rambut, sekarang beralih ke leher."Ndra! Jangan begini nanti gosong." Reisa menolehkan kepala, lalu mendapati suaminya sedang tersenyum nakal sembari mengedipkan mata."Biarin, mumpung cuma berdua," rayu Andra. Memang pagi ini rumah sepi. Inah pergi ke pasar bersama Susi diantar Tarno. Rendra sudah dua hari ini menginap di rumah kakeknya.Nita ingin sekali merasakan memomong bayi, karena sampai sekarang rahimnya masih kosong.
"Halo, Ndra?"Reisa yang sudah terlelap, harus terbangun ketika ponselnya berdering pukul dua pagi. Wanita itu sebenarnya enggan menerima telepon. Namun, Andra tak mungkin menghubunginya jika tak penting. Akhirnya Reisa mengangkat panggilan itu. Rasa khawatir lebih kuat daripada kantuknya. "Bisa jemput dia sekarang?" tanya seorang wanita di seberang sana. "Kamu siapa?"Suara Reisa terdengar emosi ketika mendengar wanita itu berbicara dengan santai melalui ponsel Andra, sahabatnya. "Tolong jemput aja dia. Teman kamu mabuk.""Andra mabuk?" tanya Reisa tak percaya. "Iya, udah teler nih.""Kalian dimana?""The Paradise." Wanita di telepon tadi menyebutkan sebuah kelab yang lokasinya terletak di pusat kota. Setelah mengetahui semua secara detail, Reisa bergegas mengambil sweater beserta dompetnya. Dia menyalakan mesin mobil tanpa berpikir dia kali bahwa ini sudah larut malam. "Astagfirullah."Sampai di sana, Reisa hanya bisa menggeleng saat melihat keadaan Andra. Lelaki itu sedang t
Pukul lima, subuh hari. "Non Rei!" Inah menutup mulut, setengah tak percaya melihat keadaan Reisa yang tak seperti biasanya."Bik. Tolong." Reisa melangkah tertatih-tatih. Rasa sakit di sekujur tubuhnya sudah tidak dapat ditahan. "Astagfirullah, Non. Kenapa?" Inah memapah dan membantu Reisa berjalan. Pakaian wanita itu sebagian robek dengan rambut acak-acakan. Ada bekas lebam di pergelangan tangannya. Dan ada bercak darah. "Panggilkan taksi, Bik. Aku mau pulang," lirih Reisa. Matanya bengkak dengan air matanya tak berhenti menetes. "Ada Tarno, Non. Sebentar bibik panggilkan di belakang. Tadi barusan dia datang." Inah berlari ketakutan. Dalam hati menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. Wanita paruh baya itu tidak mau berprasangka. Namun, melihat kondisi Reisa seperti itu, dia mencurigai sesuatu. Tuannya tak keluar kamar sejak tadi. Pintu kamarnya setengah terbuka, walau tidak ada suara apa pun dari dalam sana. Inah tidak berani mengintip karena itu tidak sopan."Nok, Nok.
Wisnu tergopoh-gopoh keluar dari kamar ketika salah satu pengurus rumah mengabari kondisi putrinya yang baru saja diantar pulang."Ada apa?""Non Rei, Pak. Kayaknya dirampok."Wisnu berlari ke ruang tamu dan mendapati putrinya terbaring di sofa. Dia mengucap istigfar berulang kali sembari memeriksa beberapa bagian tubuh Reisa yang lebam. "Pak Nok?" tanya laki-laki paruh baya itu kaget ketika melihat siapa yang mengantar putrinya pulang.Tarno sering ke rumah ini mengantar Reisa pulang. Putrinya memang sudah bersahabat sejak lama dengan Andra. Wisnu bahkan kenal siapa saja yang bekerja di rumah itu. Wisnu bahkan sudah menganggap Andra seperti anak sendiri. Anak itu baik dan sopan karena sudah terbiasa datang ke rumah. "Iya, Pak. Ini ... saya antar Non Rei pulang.""Sebenarnya ada apa ini?" Wisnu menarik kerah baju Tarno dengan penuh amarah. "Bukan saya, Pak. Saya cuma diminta nganterin Non Rei pulang.""Terus Reisa diapain sampai begini?"Dengan terbata, Tarno menceritakan apa y