“Apa Anda bisa memberikan ciri-ciri orang yang memerintahkan Anda?”Karjo menggigit bibir, tampak berpikir keras. “Yang Mulia, orang itu memang selalu memakai masker dan kacamata hitam, tapi... suaranya berat, mungkin berusia sekitar empat puluhan. Dia memiliki cara bicara yang berwibawa. Seperti orang yang biasa memerintah. Dia selalu memberikan perintah dengan sangat jelas.”Di barisan pengunjung, Tiara dan pengacaranya saling pandang. Mereka menyadari bahwa konspirasi ini jauh lebih dalam dari sekadar dendam biasa.Tiara membisik pada pengacaranya.“Sepertinya kita berurusan dengan seseorang yang memiliki kedudukan dan pengaruh. Ini bukan hanya tentang balas dendam pribadi.”Pengacaranya mengangguk, berpikir keras.“Mungkin ada lebih banyak orang di belakang semua ini. Ini bukan hanya tentang Darsih atau Karjo, tapi tentang kekuasaan dan pengaruh.”Arya yang mendengar setiap perkataan Karjo menatapnya dengan penuh kebencian dan kekecewaan.“Setelah semua yang kau lakukan, Karjo… se
Di ruang sidang yang penuh sesak, Darsih duduk di kursi saksi dengan tangan yang sedikit bergetar. Di depannya, hakim bersiap untuk memulai sidang kedua kasus kematian Tuan Baskoro. Para pengunjung yang hadir memperhatikan dengan seksama. Termasuk Tiara, yang membawa putrinya, Shara, ke persidangan. Tiara terlihat tegar. Sementara Shara tampak kebingungan di tengah suasana yang tegang.Hakim menatap Darsih dengan tatapan serius. "Darsih, silakan ceritakan kronologi kejadian yang menimpa Tuan Baskoro. Ceritakan sedetail mungkin apa yang terjadi malam itu."Darsih menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara, mencoba mengumpulkan ketenangannya. "Malam itu, saya sedang bekerja di dapur warung saya, seperti biasa. Tuan Baskoro datang agak larut dan meminta secangkir kopi dan beberapa gorengan."Darsih menarik napas panjang. Wanita itu merasa lelah dengan semua ini. Dia sudah ikhlas menjalani hukuman walau tak bersalah. Namun, justru sekarang kasusnya dibuka kembali. "Saya menyiap
Raka menatap Arya dengan ekspresi serius sambil meletakkan dokumen di meja. Suaranya tenang tetapi tegas. "Arya, aku sudah menyelidiki lebih dalam dan menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kau mungkin harus mendengarkan ini dengan tenang."Arya mengerutkan kening, terlihat kebingungan. "Apa yang kau temukan, Raka? Apa lagi yang belum aku ketahui tentang kasus ini?" tanyanya dengan nada cemas."Setelah kematian Tuan Baskoro, tender yang dimenangkan perusahaan bapakmu untuk ekspor pakaian ke luar negeri justru dialihkan ke pengusaha lain."Rama menjelaskan sambil menyerahkan beberapa dokumen yang berisi daftar transaksi dan kontrak bisnis."Dan pengusaha yang memenangkan tender itu adalah seseorang yang pernah kalah tender dari bapakmu. Orang itu memiliki riwayat persaingan bisnis dengan perusahaan keluarga kalian."Arya mengambil dokumen tersebut dan memeriksanya dengan teliti, wajahnya tampak semakin serius. "Maksudmu... pengusaha ini merasa dendam sama Bapak karena kalah dalam tende
Di ruang sidang yang penuh sesak, suasana terasa tegang. Sidang ketiga akhirnya dimulai. Darsih duduk di kursi terdakwa, menunduk dalam diam. Di sekelilingnya, mata-mata penuh harapan menanti keputusan hakim. Tiara duduk tak jauh dari sana, menggenggam tangan Shara dengan penuh harapan.Hakim membuka persidangan dengan suara lantang, "Sidang ini kembali digelar untuk mendengarkan pembacaan keputusan terkait terdakwa, Darsih, yang dituduh terlibat dalam kematian Tuan Baskoro."Darsih mengangkat kepalanya, menatap hakim dengan mata yang berkaca-kaca. Pengacaranya berdiri di sisinya, memberi senyuman tipis penuh dukungan."Setelah meninjau ulang semua bukti yang diajukan, serta mempertimbangkan kesaksian saksi-saksi tambahan, kami telah menemukan bukti baru yang mengindikasikan bahwa terdakwa, Darsih, tidak terlibat dalam tindakan kriminal ini," lanjut hakim dengan nada tegas.Darsih tak kuasa menahan air mata, tapi ia tetap menahan diri. Sementara itu, Tiara menutup mulutnya, terharu d
"Bu, nanti kalau ibu tau yang sebenarnya, Ibu juga pasti akan bersikap yang sama denganku.""Apa maksudnya?" tanya Darsih kebingungan."Sebaiknya kita bicarakan ini di tempat lain, Bu. Rasanya nggak etis kalau di sini. Apalagi banyak orang," saran Arya."Tapi ibuku baru saja bebas. Kenapa harus mendengarkan semua ocehanmu?" tanya Tiara kesal."Bu Darsih harus tau semuanya, Tiara."Arya melirik Rama untuk meminta dukungan. Lelaki itu masih mengingat bahwa dia harus mengambilnhati Darsih untuk menaklukan Tiara. "Bu, ayo kita pulang!" desak Tiara. Darsih menatap mereka secara bergantian. Lalu, matanya tertuju pada Shara. Wanita paruh baya itu tersentak saat melihat ada kemiripan wajah antara Arya dan cucunya."Ibu harus beristirahat."Tiara hendak menarik tangan ibunya ketika Darsih mengatakan sesuatu yang membuatnya tersentak. "Ibu setuju dengan Nak Arya. Jadi, mari kita dengarkan penjelasannya."***Di sebuah tempat makan yang tenang, Darsih duduk bersama Arya, Tiara, dan Shara. Ar
Clarisa duduk di ruang tamu dengan tatapan yang sulit diartikan. Di tangannya, ada kemeja Arya yang ia temukan di keranjang cucian, dengan noda lipstik samar di kerahnya dan aroma parfum yang aneh.Bukan aroma yang biasa dikenakan Arya. Clarisa mencoba menenangkan diri, tetapi rasa penasaran dan kecurigaan menguasai dirinya.Tak lama kemudian, Arya masuk ke rumah dengan wajah lelah. Melihat Clarisa yang duduk di ruang tamu, ia tersenyum dan menyapa."Hai, Sayang. Sudah pulang duluan rupanya," Arya berbicara sambil melepaskan jasnya.Clarisa menatap suaminya dengan tatapan tenang, seakan-akan tak terjadi apa-apa. Ia tersenyum kecil sambil mengangguk. "Iya, aku pulang lebih awal hari ini. Ada yang mau aku bicarakan denganmu."Arya sedikit terkejut, tetapi ia menutupinya dengan senyum."Oh, ada apa? Tentang apa?"Clarisa diam sejenak sebelum akhirnya ia mengangkat kemeja itu dan menunjukkan noda lipstik yang ia temukan."Aku hanya ingin tahu," kata Clarisa dengan suara lembut, "ini noda
Tiara dan Darsih, duduk berdua di ruang tamu yang sederhana. Wanita oatuh baya itu memperhatikan wajah putrinya yang tampak lelah dan dipenuhi rasa sakit yang berusaha disembunyikan. Setelah semua yang mereka alami, Darsih tahu bahwa anaknya telah melalui banyak hal yang berat, tapi Tiara jarang membahasnya. Kini, dia merasa saatnya tiba bagi Tiara untuk menceritakan segalanya.“Bu, ada banyak hal yang selama ini aku simpan sendiri…” Tiara membuka pembicaraan dengan nada pelan, matanya tak sanggup bertatapan langsung dengan ibunya. “Hal-hal yang mungkin membuat Ibu kecewa atau marah.”Darsih menggenggam tangan Tiara dengan lembut. “Nak, apapun yang kamu ceritakan, Ibu selalu di sini untuk mendukung kamu. Ceritakan saja, Ibu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”Tiara menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita. “Setelah... Arya menculik aku waktu itu, aku dipaksa tinggal bersamanya. Semua akses komunikasiku diputus. Aku nggak bisa ke mana-mana. Rasanya seperti jadi tawan
Darsih menatap Arya yang berdiri di depan pintu dengan raut wajah penuh harap. Perlahan, ia tersenyum tipis dan mengangguk, menyilakan pria itu masuk ke dalam rumahnya."Masuklah, Den Arya. Sudah beberapa kali kamu datang. Mari kita bicara di dalam," ujar Darsih lembut, memberikan isyarat kepada Arya untuk duduk.Arya melangkah masuk, mengamati sekeliling rumah sederhana itu. Ada perasaan campur aduk di hatinya setiap kali ia berada di sini. Terutama ketika melihat Darsih menyambutnya dengan baik meskipun tahu betapa besar kesalahannya terhadap Tiara dan keluarganya.“Den Arya, apa ada yang ingin kamu sampaikan?” tanya Darsih sambil menuangkan teh hangat untuknya.Arya menghela napas panjang, “Saya hanya ingin bertemu dengan Shara, Bu. Saya ingin mendekatkan diri pada anak saya. Dia berhak tahu siapa ayah kandungnya.”Darsih mengangguk penuh pengertian. “Saya mengerti, Den. Shara sudah mulai terbiasa melihatmu datang. Tapi... kamu harus sabar. Tiara masih belum bisa menerima semua in