Di ruang sidang yang penuh sesak, suasana terasa tegang. Sidang ketiga akhirnya dimulai. Darsih duduk di kursi terdakwa, menunduk dalam diam. Di sekelilingnya, mata-mata penuh harapan menanti keputusan hakim. Tiara duduk tak jauh dari sana, menggenggam tangan Shara dengan penuh harapan.Hakim membuka persidangan dengan suara lantang, "Sidang ini kembali digelar untuk mendengarkan pembacaan keputusan terkait terdakwa, Darsih, yang dituduh terlibat dalam kematian Tuan Baskoro."Darsih mengangkat kepalanya, menatap hakim dengan mata yang berkaca-kaca. Pengacaranya berdiri di sisinya, memberi senyuman tipis penuh dukungan."Setelah meninjau ulang semua bukti yang diajukan, serta mempertimbangkan kesaksian saksi-saksi tambahan, kami telah menemukan bukti baru yang mengindikasikan bahwa terdakwa, Darsih, tidak terlibat dalam tindakan kriminal ini," lanjut hakim dengan nada tegas.Darsih tak kuasa menahan air mata, tapi ia tetap menahan diri. Sementara itu, Tiara menutup mulutnya, terharu d
"Bu, nanti kalau ibu tau yang sebenarnya, Ibu juga pasti akan bersikap yang sama denganku.""Apa maksudnya?" tanya Darsih kebingungan."Sebaiknya kita bicarakan ini di tempat lain, Bu. Rasanya nggak etis kalau di sini. Apalagi banyak orang," saran Arya."Tapi ibuku baru saja bebas. Kenapa harus mendengarkan semua ocehanmu?" tanya Tiara kesal."Bu Darsih harus tau semuanya, Tiara."Arya melirik Rama untuk meminta dukungan. Lelaki itu masih mengingat bahwa dia harus mengambilnhati Darsih untuk menaklukan Tiara. "Bu, ayo kita pulang!" desak Tiara. Darsih menatap mereka secara bergantian. Lalu, matanya tertuju pada Shara. Wanita paruh baya itu tersentak saat melihat ada kemiripan wajah antara Arya dan cucunya."Ibu harus beristirahat."Tiara hendak menarik tangan ibunya ketika Darsih mengatakan sesuatu yang membuatnya tersentak. "Ibu setuju dengan Nak Arya. Jadi, mari kita dengarkan penjelasannya."***Di sebuah tempat makan yang tenang, Darsih duduk bersama Arya, Tiara, dan Shara. Ar
Clarisa duduk di ruang tamu dengan tatapan yang sulit diartikan. Di tangannya, ada kemeja Arya yang ia temukan di keranjang cucian, dengan noda lipstik samar di kerahnya dan aroma parfum yang aneh.Bukan aroma yang biasa dikenakan Arya. Clarisa mencoba menenangkan diri, tetapi rasa penasaran dan kecurigaan menguasai dirinya.Tak lama kemudian, Arya masuk ke rumah dengan wajah lelah. Melihat Clarisa yang duduk di ruang tamu, ia tersenyum dan menyapa."Hai, Sayang. Sudah pulang duluan rupanya," Arya berbicara sambil melepaskan jasnya.Clarisa menatap suaminya dengan tatapan tenang, seakan-akan tak terjadi apa-apa. Ia tersenyum kecil sambil mengangguk. "Iya, aku pulang lebih awal hari ini. Ada yang mau aku bicarakan denganmu."Arya sedikit terkejut, tetapi ia menutupinya dengan senyum."Oh, ada apa? Tentang apa?"Clarisa diam sejenak sebelum akhirnya ia mengangkat kemeja itu dan menunjukkan noda lipstik yang ia temukan."Aku hanya ingin tahu," kata Clarisa dengan suara lembut, "ini noda
Tiara dan Darsih, duduk berdua di ruang tamu yang sederhana. Wanita oatuh baya itu memperhatikan wajah putrinya yang tampak lelah dan dipenuhi rasa sakit yang berusaha disembunyikan. Setelah semua yang mereka alami, Darsih tahu bahwa anaknya telah melalui banyak hal yang berat, tapi Tiara jarang membahasnya. Kini, dia merasa saatnya tiba bagi Tiara untuk menceritakan segalanya.“Bu, ada banyak hal yang selama ini aku simpan sendiri…” Tiara membuka pembicaraan dengan nada pelan, matanya tak sanggup bertatapan langsung dengan ibunya. “Hal-hal yang mungkin membuat Ibu kecewa atau marah.”Darsih menggenggam tangan Tiara dengan lembut. “Nak, apapun yang kamu ceritakan, Ibu selalu di sini untuk mendukung kamu. Ceritakan saja, Ibu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”Tiara menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita. “Setelah... Arya menculik aku waktu itu, aku dipaksa tinggal bersamanya. Semua akses komunikasiku diputus. Aku nggak bisa ke mana-mana. Rasanya seperti jadi tawan
Darsih menatap Arya yang berdiri di depan pintu dengan raut wajah penuh harap. Perlahan, ia tersenyum tipis dan mengangguk, menyilakan pria itu masuk ke dalam rumahnya."Masuklah, Den Arya. Sudah beberapa kali kamu datang. Mari kita bicara di dalam," ujar Darsih lembut, memberikan isyarat kepada Arya untuk duduk.Arya melangkah masuk, mengamati sekeliling rumah sederhana itu. Ada perasaan campur aduk di hatinya setiap kali ia berada di sini. Terutama ketika melihat Darsih menyambutnya dengan baik meskipun tahu betapa besar kesalahannya terhadap Tiara dan keluarganya.“Den Arya, apa ada yang ingin kamu sampaikan?” tanya Darsih sambil menuangkan teh hangat untuknya.Arya menghela napas panjang, “Saya hanya ingin bertemu dengan Shara, Bu. Saya ingin mendekatkan diri pada anak saya. Dia berhak tahu siapa ayah kandungnya.”Darsih mengangguk penuh pengertian. “Saya mengerti, Den. Shara sudah mulai terbiasa melihatmu datang. Tapi... kamu harus sabar. Tiara masih belum bisa menerima semua in
Clarisa mengamati Arya yang sedang duduk di ruang tamu, sibuk meneliti berkas-berkas yang tampak rumit. Sudah beberapa bulan terakhir, Arya tidak spergi ke kota seperti biasanya. Entah bagaimana perkrmbangan restoran, dia bahkan tak berani bertanya. Clarisa merasa ada yang janggal. Terutama karena biasanya Arya sering memberi alasan bahwa ada urusan bisnis di kota, terutama restoran. “Mas,” panggil Clarisa lembut, duduk di seberang suaminya.Arya mengangkat wajahnya, menatap Clarisa dengan senyum tipis.“Ada apa, Sayang?”Clarisa berpura-pura tersenyum, mencoba menyembunyikan rasa curiganya. “Kamu sudah lama sekali nggak bepergian ke kota. Biasanya setiap bulan kamu ada saja urusan di sana. Apa restoran baik-baik saja?”Arya mengernyit, mencoba menduga apa maksud pertanyaan Clarisa. Namun, lelaki itu memutuskan untuk menjawabnya. "Restoran masih berjalan. Temanku Reyhan yang membantu mengelolanya."Setelah itu Arya mengumpat dalam hati saat teringat bahwa Tiara membawa kabur seba
Clarisa membuka pintu kamar dengan tangan gemetar dan segera menutupnya kembali. Hati wanita itu terasa hancur. Begitu ia terduduk di tepi ranjang, air matanya langsung tumpah. Clarisa menundukkan dengam tangan yang menutupi wajah. Dia berusaha menahan tangis yang seolah tak bisa terbendung lagi.“Kenapa, Arya?” Suaranya hampir tak terdengar. "Kenapa harus ada wanita lain? Apa salahku?"Clarisa memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tetapi ingatan itu kembali menghantuinya. Pertemuan Arya dengan Tiara berputar dalam pikirannya, seperti film yang tak mau berhenti."Aku sudah berkorban banyak untuk kita, Arya," lirihnya, suara gemetar di antara tangis. “Apa selama ini aku tak cukup?”Clarisa mengusap wajahnya, merasa lelah, tak hanya fisik tetapi juga hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari jawaban yang tak pernah bisa ia temukan.“Kenapa harus begini?” Clarisa bertanya pada dirinya sendiri. “Kenapa harus aku yang mengalami ini? Kita punya Narendra... bukankah kita sudah c
Di dalam kamar yang sunyi, Clarisa duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya tegang menunggu kepulangan Arya. Sudah berjam-jam ia menunggu, pikirannya dipenuhi berbagai prasangka dan kecurigaan. Pintu kamar terbuka, dan Arya melangkah masuk tanpa menyadari intensitas tatapan Clarisa.“Mas, kita perlu bicara,” suara Clarisa terdengar dingin, hampir menggigil.Arya tampak terkejut sejenak sebelum meletakkan tasnya di kursi. “Bicara tentang apa lagi, Clarisa? Aku lelah,” sahutnya dengan nada malas.Clarisa menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Lelah? Kau lelah dari mana? Dari bertemu dengan Sofia?” tanya Clarisa tajam. Matanya menyala penuh kecurigaan.Arya terdiam, ekspresinya berubah kaku. “Aku nggak tahu apa yang sedang kau bicarakan.”Clarisa mendekat, tak bisa lagi menahan emosi yang meluap. “Berhenti berpura-pura, Arya! Aku tahu kau sering ke rumah Sofia. Apa hubunganmu dengannya? Siapa dia sebenarnya?”Arya mengalihkan pandangannya, menghindari