Clarisa membuka pintu kamar dengan tangan gemetar dan segera menutupnya kembali. Hati wanita itu terasa hancur. Begitu ia terduduk di tepi ranjang, air matanya langsung tumpah. Clarisa menundukkan dengam tangan yang menutupi wajah. Dia berusaha menahan tangis yang seolah tak bisa terbendung lagi.“Kenapa, Arya?” Suaranya hampir tak terdengar. "Kenapa harus ada wanita lain? Apa salahku?"Clarisa memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tetapi ingatan itu kembali menghantuinya. Pertemuan Arya dengan Tiara berputar dalam pikirannya, seperti film yang tak mau berhenti."Aku sudah berkorban banyak untuk kita, Arya," lirihnya, suara gemetar di antara tangis. “Apa selama ini aku tak cukup?”Clarisa mengusap wajahnya, merasa lelah, tak hanya fisik tetapi juga hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari jawaban yang tak pernah bisa ia temukan.“Kenapa harus begini?” Clarisa bertanya pada dirinya sendiri. “Kenapa harus aku yang mengalami ini? Kita punya Narendra... bukankah kita sudah c
Di dalam kamar yang sunyi, Clarisa duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya tegang menunggu kepulangan Arya. Sudah berjam-jam ia menunggu, pikirannya dipenuhi berbagai prasangka dan kecurigaan. Pintu kamar terbuka, dan Arya melangkah masuk tanpa menyadari intensitas tatapan Clarisa.“Mas, kita perlu bicara,” suara Clarisa terdengar dingin, hampir menggigil.Arya tampak terkejut sejenak sebelum meletakkan tasnya di kursi. “Bicara tentang apa lagi, Clarisa? Aku lelah,” sahutnya dengan nada malas.Clarisa menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Lelah? Kau lelah dari mana? Dari bertemu dengan Sofia?” tanya Clarisa tajam. Matanya menyala penuh kecurigaan.Arya terdiam, ekspresinya berubah kaku. “Aku nggak tahu apa yang sedang kau bicarakan.”Clarisa mendekat, tak bisa lagi menahan emosi yang meluap. “Berhenti berpura-pura, Arya! Aku tahu kau sering ke rumah Sofia. Apa hubunganmu dengannya? Siapa dia sebenarnya?”Arya mengalihkan pandangannya, menghindari
Nyonya Gayatri duduk di ruang tamu dengan kursi roda. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Ia sudah lama memperhatikan ada yang berbeda dengan Clarisa. Hari itu, ia meminta para pembantu memanggil menantunya ke ruang tamu.“Ningsih, tolong panggil Clarisa. Bilang Ibu ingin bicara dengannya,” ucap Nyonya Gayatri tegas.“Baik, Nyonya,” jawab Ningsih sebelum bergegas menuju kamar Clarisa.Beberapa menit kemudian, Clarisa muncul, wajahnya masih tampak lelah dan sedikit pucat. Ia melangkah pelan menuju ruang tamu, berusaha memasang senyuman yang terlihat dipaksakan."Ibu memanggil saya?" tanya Clarisa lembut sambil duduk di sofa di samping Nyonya Gayatri.Nyonya Gayatri mengamati menantunya sejenak sebelum menjawab. “Iya, Clarisa. Ada yang ingin Ibu tanyakan. Tapi, pertama-tama, kau baik-baik saja? Belakangan ini kau terlihat tidak seperti biasanya.”Clarisa menghela napas, menghindari pandangan langsung dari ibu mertuanya. “Saya baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit lelah.”“Cla
"Karena saya tahu ibu saya.... mencintai Tuan Baskoro lebih dari dirinya sendiri. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri gimana dia menceritakan kebaikan Tuan Baskoro."Tiara menjeda ceritanya saat Nyonya Gayatri mulai menangis. Hati wanita paruh haya itu pasti sakit saat mengetahui suaminya mencintai wanita lain. "Mereka mungkin nggak menikah secara resmi, tapi cinta mereka nyata. Ibu saya nggak punya alasan untuk membunuhnya."Nyonya Gayatri menggelengkan kepalanya, suaranya terdengar lirih. "Tapi Karjo mengaku, Tiara. Dia bilang ibumu yang menyuruhnya meracuni Baskoro. Kenapa dia harus berbohong seperti itu?"Tiara mengepalkan tangannya dengan erat, mencoba menahan emosinya. "Saya nggak tahu kenapa Karjo berbohong, Bu. Tapi saya yakin dia menyembunyikan semua. Entah ada orang lain yang memaksanya atau ada rahasia yang belum terungkap. Karena itu, saya pergi ke luar negeri. Saya butuh uang, banyak uang, untuk menyewa pengacara dan mencari keadilan bagi ibu saya."Nyonya Gay
Arya duduk gelisah di sofa ruang tamu. Matanya menatap kosong ke lantai, sementara tangan kanannya menggenggam ujung celana panjangnya erat. Ruangan yang biasanya tenang itu berubah mencekam. Nyonya Gayatri, dengan langkah mantap, turun dari tangga. Raut wajahnya menunjukkan kekecewaan mendalam. Ia berhenti tepat di depan Arya, menatapnya dengan tajam.“Jadi, ini yang kau lakukan selama ini?” suara Nyonya Gayatri terdengar dingin, menusuk seperti belati.Arya mendongak perlahan, tapi tak berani menatap mata ibunya. “Bu, biar aku jelaskan.”PLAK!Tangan Nyonya Gayatri melayang ke pipi kanan Arya dengan keras. Suara tamparan itu menggema, membuat Clarisa, yang berdiri di dekat pintu, tersentak. Dia hanya bisa menggigit bibir, berusaha menahan emosi.“Apa yang mau kamu jelaskan, Le?” suara Nyonya Gayatri meninggi. “Kamu pikir Ibu ndak tahu? Kamu pikir Ibu buta? Kamu membawa Clarisa ke sini. Sementara Tiara kau abaikan dan perlakukan seperti pembantu!”Arya memegang pipinya yang memerah
"Utang nyawa harusnya dibayar nyawa. Tapi tuan kami masih berbaik hati. Beliau cuma minta kamu sebagai gantinya. Bukannya bersyukur, kamu justru mempersulit keadaan."Tiara menatap semua orang di ruangan itu dengan gamang. Terutama Darsih, sang ibu, yang tampak lemas dengan tangan gemetaran. Ada banyak bekas luka di tubuh ibunya tersebut setelah melewati penyiksaan. Sungguh, hatinya tak rela jika terus berlanjut.Gadis itu menoleh ke arah suara yang bicara padanya tadi. Kepada sosok lelaki paruh baya yang mendapatkan tugas dari seseorang untuk menyiksa ibunya jika ia tidak ingin ikut pergi bersama mereka.Namun, bagaimana ia sanggup untuk meninggalkan sang ibu sekarang?Selama ini, Tiara tidak tinggal di kampung dan memang diminta ibunya untuk menetap di kota. Ia tidak tahu, bahwa sebenarnya sang ibu telah berutang banyak pada Tuan Baskoro untuk menyekolahkannya waktu itu.Tiara juga tidak tahu bahwa alih-alih uang, Tuan Baskoro meminta bayaran dalam bentuk lain: pelayanan Darsih deng
“Jangan berani-beraninya kamu melarikan diri.”Setelah mengucapkan itu, tanpa menunggu respons Tiara, Arya mengalihkan pandangan pada tangan kanannya. “Kamu sudah menyiapkan segalanya untuk besok?”“Sudah, Mas.” Lawan bicaranya mengangguk. “Tapi … apakah Mas yakin?”Arya kembali melirik Tiara, membuat gadis itu langsung bergidik dan menunduk dalam-dalam dengan tangan gemetar sembari menggigit bibirnya, menahan isak tangis.Beberapa hari yang lalu, ia masih kuliah di kota. Dan sekarang Tiara sudah menjadi tahanan pria iblis penuh dendam ini."Tolong kuatkan hamba." Ia membatin.“Ya.” Tiara kemudian mendengar Arya menyahut. “Bukankah tidak ada penjara yang lebih sempurna untuknya selain pernikahan?”Setelah mengatakan itu, Arya keluar bersama orang-orangnya. Pintu kembali dikunci, meninggalkan Tiara yang terjebak di dalamnya.Karena tidak memiliki hal lain untuk dilakukan sebagai tahanan dan Tiara enggan membiarkan pikiran buruk terus merusak otak serta hatinya, membuatnya khawatir tanp
"Antarkan ini ke depan. Den Arya mau makan siang."Tiara menatap nampan tersebut dengan tatapan tidak berdaya, lalu menerimanya.IIa tidak bisa menolak, meskipun gadis itu sudah bangun sejak pukul lima pagi dan pontang-panting dengan segala tugas yang dibebankan padanya hingga siang.Padahal ia sama sekali belum makan sejak semalam.“Bik, apa aku boleh makan dulu? Aku lapar, Bik." Tiara mengucapkannya dengan ragu. Entah mengapa gadis itu selalu merasa ketakutan setiap kali bertemu dengan penghuni rumah ini. Semua orang tampak memusuhinya. Ucapan ketus dan wajah masam adalah makanannya sehari-hari. "Antarkan ini dulu. Habis itu kamu boleh makan.” Lawan bicaranya membalas dengan ketus. “Di dapur ada nasi sisa sama ikan asin. Nanti kamu makan itu."Tiara menelan ludah saat mendengarnya. Perut gadis itu kembali berbunyi. Tak apalah nasi sisa, yang penting ia bisa makan.Dengan gemetaran dia mengantarkan makanan ke tempat Arya.“Bismillah.”Jarak dari dapur menuju ruang makan sebenarnya