Darsih menatap Arya yang berdiri di depan pintu dengan raut wajah penuh harap. Perlahan, ia tersenyum tipis dan mengangguk, menyilakan pria itu masuk ke dalam rumahnya."Masuklah, Den Arya. Sudah beberapa kali kamu datang. Mari kita bicara di dalam," ujar Darsih lembut, memberikan isyarat kepada Arya untuk duduk.Arya melangkah masuk, mengamati sekeliling rumah sederhana itu. Ada perasaan campur aduk di hatinya setiap kali ia berada di sini. Terutama ketika melihat Darsih menyambutnya dengan baik meskipun tahu betapa besar kesalahannya terhadap Tiara dan keluarganya.“Den Arya, apa ada yang ingin kamu sampaikan?” tanya Darsih sambil menuangkan teh hangat untuknya.Arya menghela napas panjang, “Saya hanya ingin bertemu dengan Shara, Bu. Saya ingin mendekatkan diri pada anak saya. Dia berhak tahu siapa ayah kandungnya.”Darsih mengangguk penuh pengertian. “Saya mengerti, Den. Shara sudah mulai terbiasa melihatmu datang. Tapi... kamu harus sabar. Tiara masih belum bisa menerima semua in
Clarisa mengamati Arya yang sedang duduk di ruang tamu, sibuk meneliti berkas-berkas yang tampak rumit. Sudah beberapa bulan terakhir, Arya tidak spergi ke kota seperti biasanya. Entah bagaimana perkrmbangan restoran, dia bahkan tak berani bertanya. Clarisa merasa ada yang janggal. Terutama karena biasanya Arya sering memberi alasan bahwa ada urusan bisnis di kota, terutama restoran. “Mas,” panggil Clarisa lembut, duduk di seberang suaminya.Arya mengangkat wajahnya, menatap Clarisa dengan senyum tipis.“Ada apa, Sayang?”Clarisa berpura-pura tersenyum, mencoba menyembunyikan rasa curiganya. “Kamu sudah lama sekali nggak bepergian ke kota. Biasanya setiap bulan kamu ada saja urusan di sana. Apa restoran baik-baik saja?”Arya mengernyit, mencoba menduga apa maksud pertanyaan Clarisa. Namun, lelaki itu memutuskan untuk menjawabnya. "Restoran masih berjalan. Temanku Reyhan yang membantu mengelolanya."Setelah itu Arya mengumpat dalam hati saat teringat bahwa Tiara membawa kabur seba
Clarisa membuka pintu kamar dengan tangan gemetar dan segera menutupnya kembali. Hati wanita itu terasa hancur. Begitu ia terduduk di tepi ranjang, air matanya langsung tumpah. Clarisa menundukkan dengam tangan yang menutupi wajah. Dia berusaha menahan tangis yang seolah tak bisa terbendung lagi.“Kenapa, Arya?” Suaranya hampir tak terdengar. "Kenapa harus ada wanita lain? Apa salahku?"Clarisa memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tetapi ingatan itu kembali menghantuinya. Pertemuan Arya dengan Tiara berputar dalam pikirannya, seperti film yang tak mau berhenti."Aku sudah berkorban banyak untuk kita, Arya," lirihnya, suara gemetar di antara tangis. “Apa selama ini aku tak cukup?”Clarisa mengusap wajahnya, merasa lelah, tak hanya fisik tetapi juga hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari jawaban yang tak pernah bisa ia temukan.“Kenapa harus begini?” Clarisa bertanya pada dirinya sendiri. “Kenapa harus aku yang mengalami ini? Kita punya Narendra... bukankah kita sudah c
Di dalam kamar yang sunyi, Clarisa duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya tegang menunggu kepulangan Arya. Sudah berjam-jam ia menunggu, pikirannya dipenuhi berbagai prasangka dan kecurigaan. Pintu kamar terbuka, dan Arya melangkah masuk tanpa menyadari intensitas tatapan Clarisa.“Mas, kita perlu bicara,” suara Clarisa terdengar dingin, hampir menggigil.Arya tampak terkejut sejenak sebelum meletakkan tasnya di kursi. “Bicara tentang apa lagi, Clarisa? Aku lelah,” sahutnya dengan nada malas.Clarisa menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Lelah? Kau lelah dari mana? Dari bertemu dengan Sofia?” tanya Clarisa tajam. Matanya menyala penuh kecurigaan.Arya terdiam, ekspresinya berubah kaku. “Aku nggak tahu apa yang sedang kau bicarakan.”Clarisa mendekat, tak bisa lagi menahan emosi yang meluap. “Berhenti berpura-pura, Arya! Aku tahu kau sering ke rumah Sofia. Apa hubunganmu dengannya? Siapa dia sebenarnya?”Arya mengalihkan pandangannya, menghindari
Nyonya Gayatri duduk di ruang tamu dengan kursi roda. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Ia sudah lama memperhatikan ada yang berbeda dengan Clarisa. Hari itu, ia meminta para pembantu memanggil menantunya ke ruang tamu.“Ningsih, tolong panggil Clarisa. Bilang Ibu ingin bicara dengannya,” ucap Nyonya Gayatri tegas.“Baik, Nyonya,” jawab Ningsih sebelum bergegas menuju kamar Clarisa.Beberapa menit kemudian, Clarisa muncul, wajahnya masih tampak lelah dan sedikit pucat. Ia melangkah pelan menuju ruang tamu, berusaha memasang senyuman yang terlihat dipaksakan."Ibu memanggil saya?" tanya Clarisa lembut sambil duduk di sofa di samping Nyonya Gayatri.Nyonya Gayatri mengamati menantunya sejenak sebelum menjawab. “Iya, Clarisa. Ada yang ingin Ibu tanyakan. Tapi, pertama-tama, kau baik-baik saja? Belakangan ini kau terlihat tidak seperti biasanya.”Clarisa menghela napas, menghindari pandangan langsung dari ibu mertuanya. “Saya baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit lelah.”“Cla
"Karena saya tahu ibu saya.... mencintai Tuan Baskoro lebih dari dirinya sendiri. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri gimana dia menceritakan kebaikan Tuan Baskoro."Tiara menjeda ceritanya saat Nyonya Gayatri mulai menangis. Hati wanita paruh haya itu pasti sakit saat mengetahui suaminya mencintai wanita lain. "Mereka mungkin nggak menikah secara resmi, tapi cinta mereka nyata. Ibu saya nggak punya alasan untuk membunuhnya."Nyonya Gayatri menggelengkan kepalanya, suaranya terdengar lirih. "Tapi Karjo mengaku, Tiara. Dia bilang ibumu yang menyuruhnya meracuni Baskoro. Kenapa dia harus berbohong seperti itu?"Tiara mengepalkan tangannya dengan erat, mencoba menahan emosinya. "Saya nggak tahu kenapa Karjo berbohong, Bu. Tapi saya yakin dia menyembunyikan semua. Entah ada orang lain yang memaksanya atau ada rahasia yang belum terungkap. Karena itu, saya pergi ke luar negeri. Saya butuh uang, banyak uang, untuk menyewa pengacara dan mencari keadilan bagi ibu saya."Nyonya Gay
Arya duduk gelisah di sofa ruang tamu. Matanya menatap kosong ke lantai, sementara tangan kanannya menggenggam ujung celana panjangnya erat. Ruangan yang biasanya tenang itu berubah mencekam. Nyonya Gayatri, dengan langkah mantap, turun dari tangga. Raut wajahnya menunjukkan kekecewaan mendalam. Ia berhenti tepat di depan Arya, menatapnya dengan tajam.“Jadi, ini yang kau lakukan selama ini?” suara Nyonya Gayatri terdengar dingin, menusuk seperti belati.Arya mendongak perlahan, tapi tak berani menatap mata ibunya. “Bu, biar aku jelaskan.”PLAK!Tangan Nyonya Gayatri melayang ke pipi kanan Arya dengan keras. Suara tamparan itu menggema, membuat Clarisa, yang berdiri di dekat pintu, tersentak. Dia hanya bisa menggigit bibir, berusaha menahan emosi.“Apa yang mau kamu jelaskan, Le?” suara Nyonya Gayatri meninggi. “Kamu pikir Ibu ndak tahu? Kamu pikir Ibu buta? Kamu membawa Clarisa ke sini. Sementara Tiara kau abaikan dan perlakukan seperti pembantu!”Arya memegang pipinya yang memerah
"Utang nyawa harusnya dibayar nyawa. Tapi tuan kami masih berbaik hati. Beliau cuma minta kamu sebagai gantinya. Bukannya bersyukur, kamu justru mempersulit keadaan."Tiara menatap semua orang di ruangan itu dengan gamang. Terutama Darsih, sang ibu, yang tampak lemas dengan tangan gemetaran. Ada banyak bekas luka di tubuh ibunya tersebut setelah melewati penyiksaan. Sungguh, hatinya tak rela jika terus berlanjut.Gadis itu menoleh ke arah suara yang bicara padanya tadi. Kepada sosok lelaki paruh baya yang mendapatkan tugas dari seseorang untuk menyiksa ibunya jika ia tidak ingin ikut pergi bersama mereka.Namun, bagaimana ia sanggup untuk meninggalkan sang ibu sekarang?Selama ini, Tiara tidak tinggal di kampung dan memang diminta ibunya untuk menetap di kota. Ia tidak tahu, bahwa sebenarnya sang ibu telah berutang banyak pada Tuan Baskoro untuk menyekolahkannya waktu itu.Tiara juga tidak tahu bahwa alih-alih uang, Tuan Baskoro meminta bayaran dalam bentuk lain: pelayanan Darsih deng