Dharma masuk ke ruang kerja tuannya dengan langkah tegas dan raut wajah serius. Arya, yang sedang memandangi laporan keuangan, langsung mengangkat wajahnya begitu anak buahnya datang."Permisi, Den.""Ada apa, Dharma? Kau punya kabar terbaru?" Arya bertanya dengan nada dingin tetapi penuh harap.Dharma menatap Arya dengan tenang. "Iya, Den. Saya baru mendapat kabar dari orang-orang kita di kampung. Mereka mengatakan bahwa Tiara ada di sini."Arya terdiam, mengepalkan tangannya di atas meja. “Tiara? Kau yakin dia ada di kampung ini?”Dharma mengangguk mantap. "Ya, Den. Tiara kembali ke kampung ini, kabarnya untuk mengurus peninjauan kembali kasus ibunya."Arya tertawa kecil, tapi terdengar lebih seperti ejekan. “Jadi dia kembali untuk Darsih? Setelah bertahun-tahun, dia pikir bisa menyelesaikan semuanya seolah-olah nggak pernah terjadi apa-apa? Sungguh wanita yang berani.”Dharma menatap Arya sejenak sebelum berkata, “Dia sudah mengambil langkah besar, Den. Mengurus peninjauan kemba
Arya melangkah masuk ke dalam ruangan dengan langkah mantap. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada sosok yang berdiri di tengah ruangan, yang memakai selendang menutupi rambutnya. Saat melihat wajah Tiara dengan lebih jelas, Arya mulai bertepuk tangan perlahan dengan senyum sinis."Bagus sekali."Arya berjalan mendekati Tiara dengan ucapan mengejek. "Jadi… Sofia, atau harus aku panggil Tiara?" ucap Arya, suaranya rendah tapi penuh ejekan. "Wow, ternyata wanita yang selama ini aku cari-cari ada di depan mataku, berkedok identitas lain."Tiara memandang Arya tanpa gentar, meski di dalam hatinya berdebar kencang. ""Panggil saja aku apa pun yang kau mau, Arya," balas Tiara tenang. "Aku memang kembali bukan untuk sembunyi lagi."Arya tersenyum miring, matanya menyiratkan kemarahan yang tertahan. "Luar biasa. Jadi selama ini kau mempermainkanku dengan berpura-pura sebagai Sofia. Apa yang sebenarnya kau inginkan, huh?"Tiara menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosi. "Tentu sa
Pesta malam itu di kediaman Diningrat berlangsung meriah. Arya, sebagai tuan rumah, mengawasi setiap sudut ruangan, memastikan semua tamu merasa nyaman. Lampu-lampu yang berkilau menerangi ruang tamu yang luas, menambah kesan glamor pada suasana. Di sudut, sebuah band kecil memainkan musik jazzy yang lembut, menciptakan suasana hangat dan bersahabat.Arya berpenampilan rapi dalam jas hitamnya, dengan dasi yang senada. Dia menyapa setiap tamu yang datang, dari pengusaha lokal hingga sahabat lama. Malam itu, Arya juga mengundang Tiara. Dia ingin tahu apakah wanita itu akan datang atau tidak. Arya juga menyusun banyak rencana, untuk menarik kembali Tiara ke dalam dekapannya. Sosok istrinya sekarang lebih menggoda, membuat lelaki itu mabuk kepayang. Arya penasaran bagaimana rasanya Tiara yang kini berubah menjadi Sofia. Dia ingin memiliki wanita itu seutuhnya. "Akhirnya aku kembali ke sini." Tiara datang tepat waktu. Saat wanita itu melangkah masuk, semua mata tertuju padanya. Gaun m
"Nyonya Gayatri...” bisik Tiara lirih karena terkejut.Wanita itu adalah Gayatri, ibu dari Arya, yang dulunya mengalami gangguan kejiwaan setelah kematian suaminya, Tuan Baskoro. Kini dia sudah mulai sehat meski masih dalam masa pemulihan.Rasa iba muncul di hati Tiara, melihat sosok yang pernah begitu berkuasa di kampung, kini terlihat rapuh.Tiara mendekat, lalu berjongkok agar sejajar dengan pandangan Gayatri. “Selamat malam, Nyonya Gayatri. Apakah saya mengganggu?”Gayatri menatap Tiara dengan lembut, dan senyum tipis tersungging di bibirnya. “Oh, tidak, tentu saja tidak. Sungguh, sudah lama sekali sejak saya terakhir kali menghadiri pesta seperti ini.”“Pesta ini tentu saja tidak lengkap tanpa kehadiran Ibu,” jawab Tiara dengan lembut, mencoba memberi rasa nyaman.Gayatri menghela napas pelan. "Aku tidak pernah menyangka bahwa keadaan akan membawa keluargaku ke titik ini.”Tiara terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa Gayatri sedang memendam perasaan yang dala
"Kalau kamu menganggap ibuku adalah mertua, maka layani aku sebagai suami."Setelah mengucapkan itu, Arya meraup apa yang tersembunyi di balik gaun merah itu. Dan bermain sesuka hatinya. Tiara mencoba meronta, tetapi jika berteriak maka semua orang akan tahu dimana keberadaan mereka."Kenapa kau diam?" tanya Arya serak."Apa kau mau aku berteriak sehingga semua orang tau?"Arya mengumpat, lalu melepaskan diri. Lelaki itu adalah sosok yang kuat dan kejam. Namun, dia lemah saat berhadapan dengan wanita ini."Kau--"Arya memandang Tiara dengan mata berkilat, menahan kesal. Semakin hari, sikap Tiara semakin tidak bisa diprediksi.Tiara bukan lagi sosok lemah yang ia kenal bertahun-tahun lalu. Namun wanita itu berubah menjadi seseorang yang tampaknya ingin membalas semua perlakuannya dulu. Di hadapannya, Tiara hanya tersenyum tipis, seolah menikmati kebingungan dan kemarahan yang jelas terpancar di wajah Arya."Dimana, Shara?" tanya Arya. Lelaki itu mencoba mengalihkan pembicaraan untuk
"Arya, aku tahu ini berat, tapi kita harus tetap fokus." Rama, pengacara memulai percakapan dengan nada hati-hati. Lelaki itu menatap Arya yang tampak lelah dan tegang. "Ada fakta-fakta baru yang kita temukan. Dan ini mungkin akan membuka sesuatu yang belum pernah kita duga sebelumnya."Arya menghela napas panjang, pandangannya kosong menatap meja di depannya. "Dulu, aku sudah mencoba mengikhlaskan kepergian Bapak.Tapi sekarang, muncul fakta-fakta baru yang membuatku ragu. Apakah selama ini aku hanya dibohongi?""Ketika penyelidik membuka kembali kasus ini, banyak hal yang muncul ke permukaan," ujar Rama dengan hati-hati. "Apa itu?""Darsih nggak bersalah.”Arya menatap pengacaranya dengan mata tajam, penuh harap."Kamu yakin?"Rama mengangguk pelan. “Dari semua bukti yang sudah kami kumpulkan, bukan Darsih pelakunya. Ada pihak lain yang sengaja menjadikannya kambing hitam.”Arya mengepalkan tangannya. “Selama ini aku menuduhnya tanpa pikir panjang. Hanya karena statusnya, hanya
Di ruang kunjungan penjara, Arya duduk di belakang sekat kaca, menatap sosok Darsih di seberang. Wajah wanita paruh baya itu tampak letih dan pucat, tetapi tatapan matanya tajam dan penuh luka. Di samping Arya, Rama, pengacaranya, duduk diam, membiarkan Arya berbicara."Saya datang ke sini dengan niat baik," ucap Arya tebata-bata. Meminta maaf kepada orang yang statusnya lebih rendah merupakan satu hal yang tabu bagi keluarganya. Namun, kali ini Arya melanggar itu. "Saya tahu… semua yang kami lakukan kepada ibu selama ini tidak bisa dimaafkan."Arya menoleh ke arah Rama, merasa ragu-ragu akan ucapannya. "Kami terlalu dibutakan amarah, terlalu cepat mengambil kesimpulan tanpa mempertimbangkan kebenaran yang sebenarnya."Darsih hanya menatap Arya dengan ekspresi datar. Ia tidak berkata apa-apa, hanya senyum pahit yang tersungging di bibirnya, seolah perkataan Arya tidak berarti banyak baginya."Saya benar-benar menyesal," lanjut Arya, suara penuh getaran."Saya menuduh ibu tanpa bukt
Arya duduk di ruang tunggu kantor polisi dengan tangan yang mengepal kuat. Sudah beberapa hari ini ia terus berada di sini. Arya ingin memastikan bahwa semua proses penyidikan berjalan lancar. Di depannya, Rama, pengacaranya, tengah berbicara dengan seorang penyidik.“Jadi, ada perkembangan baru, Pak?” tanya Rama, serius menatap penyidik yang duduk di seberangnya.Penyidik mengangguk sambil menunjukkan beberapa berkas di tangannya. “Iya, setelah penyelidikan mendalam dan informasi yang kami dapat dari Mas Arya serta bukti-bukti yang muncul, kami menangkap Karjo.”Mendengar nama itu, Arya tersentak. “Jadi, benar Karjo terlibat dalam kematian Bapak saya?”Penyidik mengangguk pelan. “Iya, berdasarkan keterangan beberapa saksi yang berada di tempat kejadian perkara. Karjo terlihat membantu Darsih membawa nampan berisi kopi dan gorengan dari dapur. Setelah itu, ia langsung menyajikannya ke Tuan Baskoro.”Rama menatap Arya dengan wajah serius. “Ini berarti kemungkinan besar Karjo tahu a