"Nyonya Gayatri...” bisik Tiara lirih karena terkejut.Wanita itu adalah Gayatri, ibu dari Arya, yang dulunya mengalami gangguan kejiwaan setelah kematian suaminya, Tuan Baskoro. Kini dia sudah mulai sehat meski masih dalam masa pemulihan.Rasa iba muncul di hati Tiara, melihat sosok yang pernah begitu berkuasa di kampung, kini terlihat rapuh.Tiara mendekat, lalu berjongkok agar sejajar dengan pandangan Gayatri. “Selamat malam, Nyonya Gayatri. Apakah saya mengganggu?”Gayatri menatap Tiara dengan lembut, dan senyum tipis tersungging di bibirnya. “Oh, tidak, tentu saja tidak. Sungguh, sudah lama sekali sejak saya terakhir kali menghadiri pesta seperti ini.”“Pesta ini tentu saja tidak lengkap tanpa kehadiran Ibu,” jawab Tiara dengan lembut, mencoba memberi rasa nyaman.Gayatri menghela napas pelan. "Aku tidak pernah menyangka bahwa keadaan akan membawa keluargaku ke titik ini.”Tiara terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa Gayatri sedang memendam perasaan yang dala
"Kalau kamu menganggap ibuku adalah mertua, maka layani aku sebagai suami."Setelah mengucapkan itu, Arya meraup apa yang tersembunyi di balik gaun merah itu. Dan bermain sesuka hatinya. Tiara mencoba meronta, tetapi jika berteriak maka semua orang akan tahu dimana keberadaan mereka."Kenapa kau diam?" tanya Arya serak."Apa kau mau aku berteriak sehingga semua orang tau?"Arya mengumpat, lalu melepaskan diri. Lelaki itu adalah sosok yang kuat dan kejam. Namun, dia lemah saat berhadapan dengan wanita ini."Kau--"Arya memandang Tiara dengan mata berkilat, menahan kesal. Semakin hari, sikap Tiara semakin tidak bisa diprediksi.Tiara bukan lagi sosok lemah yang ia kenal bertahun-tahun lalu. Namun wanita itu berubah menjadi seseorang yang tampaknya ingin membalas semua perlakuannya dulu. Di hadapannya, Tiara hanya tersenyum tipis, seolah menikmati kebingungan dan kemarahan yang jelas terpancar di wajah Arya."Dimana, Shara?" tanya Arya. Lelaki itu mencoba mengalihkan pembicaraan untuk
"Arya, aku tahu ini berat, tapi kita harus tetap fokus." Rama, pengacara memulai percakapan dengan nada hati-hati. Lelaki itu menatap Arya yang tampak lelah dan tegang. "Ada fakta-fakta baru yang kita temukan. Dan ini mungkin akan membuka sesuatu yang belum pernah kita duga sebelumnya."Arya menghela napas panjang, pandangannya kosong menatap meja di depannya. "Dulu, aku sudah mencoba mengikhlaskan kepergian Bapak.Tapi sekarang, muncul fakta-fakta baru yang membuatku ragu. Apakah selama ini aku hanya dibohongi?""Ketika penyelidik membuka kembali kasus ini, banyak hal yang muncul ke permukaan," ujar Rama dengan hati-hati. "Apa itu?""Darsih nggak bersalah.”Arya menatap pengacaranya dengan mata tajam, penuh harap."Kamu yakin?"Rama mengangguk pelan. “Dari semua bukti yang sudah kami kumpulkan, bukan Darsih pelakunya. Ada pihak lain yang sengaja menjadikannya kambing hitam.”Arya mengepalkan tangannya. “Selama ini aku menuduhnya tanpa pikir panjang. Hanya karena statusnya, hanya
Di ruang kunjungan penjara, Arya duduk di belakang sekat kaca, menatap sosok Darsih di seberang. Wajah wanita paruh baya itu tampak letih dan pucat, tetapi tatapan matanya tajam dan penuh luka. Di samping Arya, Rama, pengacaranya, duduk diam, membiarkan Arya berbicara."Saya datang ke sini dengan niat baik," ucap Arya tebata-bata. Meminta maaf kepada orang yang statusnya lebih rendah merupakan satu hal yang tabu bagi keluarganya. Namun, kali ini Arya melanggar itu. "Saya tahu… semua yang kami lakukan kepada ibu selama ini tidak bisa dimaafkan."Arya menoleh ke arah Rama, merasa ragu-ragu akan ucapannya. "Kami terlalu dibutakan amarah, terlalu cepat mengambil kesimpulan tanpa mempertimbangkan kebenaran yang sebenarnya."Darsih hanya menatap Arya dengan ekspresi datar. Ia tidak berkata apa-apa, hanya senyum pahit yang tersungging di bibirnya, seolah perkataan Arya tidak berarti banyak baginya."Saya benar-benar menyesal," lanjut Arya, suara penuh getaran."Saya menuduh ibu tanpa bukt
Arya duduk di ruang tunggu kantor polisi dengan tangan yang mengepal kuat. Sudah beberapa hari ini ia terus berada di sini. Arya ingin memastikan bahwa semua proses penyidikan berjalan lancar. Di depannya, Rama, pengacaranya, tengah berbicara dengan seorang penyidik.“Jadi, ada perkembangan baru, Pak?” tanya Rama, serius menatap penyidik yang duduk di seberangnya.Penyidik mengangguk sambil menunjukkan beberapa berkas di tangannya. “Iya, setelah penyelidikan mendalam dan informasi yang kami dapat dari Mas Arya serta bukti-bukti yang muncul, kami menangkap Karjo.”Mendengar nama itu, Arya tersentak. “Jadi, benar Karjo terlibat dalam kematian Bapak saya?”Penyidik mengangguk pelan. “Iya, berdasarkan keterangan beberapa saksi yang berada di tempat kejadian perkara. Karjo terlihat membantu Darsih membawa nampan berisi kopi dan gorengan dari dapur. Setelah itu, ia langsung menyajikannya ke Tuan Baskoro.”Rama menatap Arya dengan wajah serius. “Ini berarti kemungkinan besar Karjo tahu a
“Apa Anda bisa memberikan ciri-ciri orang yang memerintahkan Anda?”Karjo menggigit bibir, tampak berpikir keras. “Yang Mulia, orang itu memang selalu memakai masker dan kacamata hitam, tapi... suaranya berat, mungkin berusia sekitar empat puluhan. Dia memiliki cara bicara yang berwibawa. Seperti orang yang biasa memerintah. Dia selalu memberikan perintah dengan sangat jelas.”Di barisan pengunjung, Tiara dan pengacaranya saling pandang. Mereka menyadari bahwa konspirasi ini jauh lebih dalam dari sekadar dendam biasa.Tiara membisik pada pengacaranya.“Sepertinya kita berurusan dengan seseorang yang memiliki kedudukan dan pengaruh. Ini bukan hanya tentang balas dendam pribadi.”Pengacaranya mengangguk, berpikir keras.“Mungkin ada lebih banyak orang di belakang semua ini. Ini bukan hanya tentang Darsih atau Karjo, tapi tentang kekuasaan dan pengaruh.”Arya yang mendengar setiap perkataan Karjo menatapnya dengan penuh kebencian dan kekecewaan.“Setelah semua yang kau lakukan, Karjo… se
Di ruang sidang yang penuh sesak, Darsih duduk di kursi saksi dengan tangan yang sedikit bergetar. Di depannya, hakim bersiap untuk memulai sidang kedua kasus kematian Tuan Baskoro. Para pengunjung yang hadir memperhatikan dengan seksama. Termasuk Tiara, yang membawa putrinya, Shara, ke persidangan. Tiara terlihat tegar. Sementara Shara tampak kebingungan di tengah suasana yang tegang.Hakim menatap Darsih dengan tatapan serius. "Darsih, silakan ceritakan kronologi kejadian yang menimpa Tuan Baskoro. Ceritakan sedetail mungkin apa yang terjadi malam itu."Darsih menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara, mencoba mengumpulkan ketenangannya. "Malam itu, saya sedang bekerja di dapur warung saya, seperti biasa. Tuan Baskoro datang agak larut dan meminta secangkir kopi dan beberapa gorengan."Darsih menarik napas panjang. Wanita itu merasa lelah dengan semua ini. Dia sudah ikhlas menjalani hukuman walau tak bersalah. Namun, justru sekarang kasusnya dibuka kembali. "Saya menyiap
Raka menatap Arya dengan ekspresi serius sambil meletakkan dokumen di meja. Suaranya tenang tetapi tegas. "Arya, aku sudah menyelidiki lebih dalam dan menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kau mungkin harus mendengarkan ini dengan tenang."Arya mengerutkan kening, terlihat kebingungan. "Apa yang kau temukan, Raka? Apa lagi yang belum aku ketahui tentang kasus ini?" tanyanya dengan nada cemas."Setelah kematian Tuan Baskoro, tender yang dimenangkan perusahaan bapakmu untuk ekspor pakaian ke luar negeri justru dialihkan ke pengusaha lain."Rama menjelaskan sambil menyerahkan beberapa dokumen yang berisi daftar transaksi dan kontrak bisnis."Dan pengusaha yang memenangkan tender itu adalah seseorang yang pernah kalah tender dari bapakmu. Orang itu memiliki riwayat persaingan bisnis dengan perusahaan keluarga kalian."Arya mengambil dokumen tersebut dan memeriksanya dengan teliti, wajahnya tampak semakin serius. "Maksudmu... pengusaha ini merasa dendam sama Bapak karena kalah dalam tende