Di ruang kunjungan penjara, Arya duduk di belakang sekat kaca, menatap sosok Darsih di seberang. Wajah wanita paruh baya itu tampak letih dan pucat, tetapi tatapan matanya tajam dan penuh luka. Di samping Arya, Rama, pengacaranya, duduk diam, membiarkan Arya berbicara."Saya datang ke sini dengan niat baik," ucap Arya tebata-bata. Meminta maaf kepada orang yang statusnya lebih rendah merupakan satu hal yang tabu bagi keluarganya. Namun, kali ini Arya melanggar itu. "Saya tahu… semua yang kami lakukan kepada ibu selama ini tidak bisa dimaafkan."Arya menoleh ke arah Rama, merasa ragu-ragu akan ucapannya. "Kami terlalu dibutakan amarah, terlalu cepat mengambil kesimpulan tanpa mempertimbangkan kebenaran yang sebenarnya."Darsih hanya menatap Arya dengan ekspresi datar. Ia tidak berkata apa-apa, hanya senyum pahit yang tersungging di bibirnya, seolah perkataan Arya tidak berarti banyak baginya."Saya benar-benar menyesal," lanjut Arya, suara penuh getaran."Saya menuduh ibu tanpa bukt
Arya duduk di ruang tunggu kantor polisi dengan tangan yang mengepal kuat. Sudah beberapa hari ini ia terus berada di sini. Arya ingin memastikan bahwa semua proses penyidikan berjalan lancar. Di depannya, Rama, pengacaranya, tengah berbicara dengan seorang penyidik.“Jadi, ada perkembangan baru, Pak?” tanya Rama, serius menatap penyidik yang duduk di seberangnya.Penyidik mengangguk sambil menunjukkan beberapa berkas di tangannya. “Iya, setelah penyelidikan mendalam dan informasi yang kami dapat dari Mas Arya serta bukti-bukti yang muncul, kami menangkap Karjo.”Mendengar nama itu, Arya tersentak. “Jadi, benar Karjo terlibat dalam kematian Bapak saya?”Penyidik mengangguk pelan. “Iya, berdasarkan keterangan beberapa saksi yang berada di tempat kejadian perkara. Karjo terlihat membantu Darsih membawa nampan berisi kopi dan gorengan dari dapur. Setelah itu, ia langsung menyajikannya ke Tuan Baskoro.”Rama menatap Arya dengan wajah serius. “Ini berarti kemungkinan besar Karjo tahu a
“Apa Anda bisa memberikan ciri-ciri orang yang memerintahkan Anda?”Karjo menggigit bibir, tampak berpikir keras. “Yang Mulia, orang itu memang selalu memakai masker dan kacamata hitam, tapi... suaranya berat, mungkin berusia sekitar empat puluhan. Dia memiliki cara bicara yang berwibawa. Seperti orang yang biasa memerintah. Dia selalu memberikan perintah dengan sangat jelas.”Di barisan pengunjung, Tiara dan pengacaranya saling pandang. Mereka menyadari bahwa konspirasi ini jauh lebih dalam dari sekadar dendam biasa.Tiara membisik pada pengacaranya.“Sepertinya kita berurusan dengan seseorang yang memiliki kedudukan dan pengaruh. Ini bukan hanya tentang balas dendam pribadi.”Pengacaranya mengangguk, berpikir keras.“Mungkin ada lebih banyak orang di belakang semua ini. Ini bukan hanya tentang Darsih atau Karjo, tapi tentang kekuasaan dan pengaruh.”Arya yang mendengar setiap perkataan Karjo menatapnya dengan penuh kebencian dan kekecewaan.“Setelah semua yang kau lakukan, Karjo… se
Di ruang sidang yang penuh sesak, Darsih duduk di kursi saksi dengan tangan yang sedikit bergetar. Di depannya, hakim bersiap untuk memulai sidang kedua kasus kematian Tuan Baskoro. Para pengunjung yang hadir memperhatikan dengan seksama. Termasuk Tiara, yang membawa putrinya, Shara, ke persidangan. Tiara terlihat tegar. Sementara Shara tampak kebingungan di tengah suasana yang tegang.Hakim menatap Darsih dengan tatapan serius. "Darsih, silakan ceritakan kronologi kejadian yang menimpa Tuan Baskoro. Ceritakan sedetail mungkin apa yang terjadi malam itu."Darsih menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara, mencoba mengumpulkan ketenangannya. "Malam itu, saya sedang bekerja di dapur warung saya, seperti biasa. Tuan Baskoro datang agak larut dan meminta secangkir kopi dan beberapa gorengan."Darsih menarik napas panjang. Wanita itu merasa lelah dengan semua ini. Dia sudah ikhlas menjalani hukuman walau tak bersalah. Namun, justru sekarang kasusnya dibuka kembali. "Saya menyiap
Raka menatap Arya dengan ekspresi serius sambil meletakkan dokumen di meja. Suaranya tenang tetapi tegas. "Arya, aku sudah menyelidiki lebih dalam dan menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kau mungkin harus mendengarkan ini dengan tenang."Arya mengerutkan kening, terlihat kebingungan. "Apa yang kau temukan, Raka? Apa lagi yang belum aku ketahui tentang kasus ini?" tanyanya dengan nada cemas."Setelah kematian Tuan Baskoro, tender yang dimenangkan perusahaan bapakmu untuk ekspor pakaian ke luar negeri justru dialihkan ke pengusaha lain."Rama menjelaskan sambil menyerahkan beberapa dokumen yang berisi daftar transaksi dan kontrak bisnis."Dan pengusaha yang memenangkan tender itu adalah seseorang yang pernah kalah tender dari bapakmu. Orang itu memiliki riwayat persaingan bisnis dengan perusahaan keluarga kalian."Arya mengambil dokumen tersebut dan memeriksanya dengan teliti, wajahnya tampak semakin serius. "Maksudmu... pengusaha ini merasa dendam sama Bapak karena kalah dalam tende
Di ruang sidang yang penuh sesak, suasana terasa tegang. Sidang ketiga akhirnya dimulai. Darsih duduk di kursi terdakwa, menunduk dalam diam. Di sekelilingnya, mata-mata penuh harapan menanti keputusan hakim. Tiara duduk tak jauh dari sana, menggenggam tangan Shara dengan penuh harapan.Hakim membuka persidangan dengan suara lantang, "Sidang ini kembali digelar untuk mendengarkan pembacaan keputusan terkait terdakwa, Darsih, yang dituduh terlibat dalam kematian Tuan Baskoro."Darsih mengangkat kepalanya, menatap hakim dengan mata yang berkaca-kaca. Pengacaranya berdiri di sisinya, memberi senyuman tipis penuh dukungan."Setelah meninjau ulang semua bukti yang diajukan, serta mempertimbangkan kesaksian saksi-saksi tambahan, kami telah menemukan bukti baru yang mengindikasikan bahwa terdakwa, Darsih, tidak terlibat dalam tindakan kriminal ini," lanjut hakim dengan nada tegas.Darsih tak kuasa menahan air mata, tapi ia tetap menahan diri. Sementara itu, Tiara menutup mulutnya, terharu d
"Bu, nanti kalau ibu tau yang sebenarnya, Ibu juga pasti akan bersikap yang sama denganku.""Apa maksudnya?" tanya Darsih kebingungan."Sebaiknya kita bicarakan ini di tempat lain, Bu. Rasanya nggak etis kalau di sini. Apalagi banyak orang," saran Arya."Tapi ibuku baru saja bebas. Kenapa harus mendengarkan semua ocehanmu?" tanya Tiara kesal."Bu Darsih harus tau semuanya, Tiara."Arya melirik Rama untuk meminta dukungan. Lelaki itu masih mengingat bahwa dia harus mengambilnhati Darsih untuk menaklukan Tiara. "Bu, ayo kita pulang!" desak Tiara. Darsih menatap mereka secara bergantian. Lalu, matanya tertuju pada Shara. Wanita paruh baya itu tersentak saat melihat ada kemiripan wajah antara Arya dan cucunya."Ibu harus beristirahat."Tiara hendak menarik tangan ibunya ketika Darsih mengatakan sesuatu yang membuatnya tersentak. "Ibu setuju dengan Nak Arya. Jadi, mari kita dengarkan penjelasannya."***Di sebuah tempat makan yang tenang, Darsih duduk bersama Arya, Tiara, dan Shara. Ar
Clarisa duduk di ruang tamu dengan tatapan yang sulit diartikan. Di tangannya, ada kemeja Arya yang ia temukan di keranjang cucian, dengan noda lipstik samar di kerahnya dan aroma parfum yang aneh.Bukan aroma yang biasa dikenakan Arya. Clarisa mencoba menenangkan diri, tetapi rasa penasaran dan kecurigaan menguasai dirinya.Tak lama kemudian, Arya masuk ke rumah dengan wajah lelah. Melihat Clarisa yang duduk di ruang tamu, ia tersenyum dan menyapa."Hai, Sayang. Sudah pulang duluan rupanya," Arya berbicara sambil melepaskan jasnya.Clarisa menatap suaminya dengan tatapan tenang, seakan-akan tak terjadi apa-apa. Ia tersenyum kecil sambil mengangguk. "Iya, aku pulang lebih awal hari ini. Ada yang mau aku bicarakan denganmu."Arya sedikit terkejut, tetapi ia menutupinya dengan senyum."Oh, ada apa? Tentang apa?"Clarisa diam sejenak sebelum akhirnya ia mengangkat kemeja itu dan menunjukkan noda lipstik yang ia temukan."Aku hanya ingin tahu," kata Clarisa dengan suara lembut, "ini noda