Acara kemarin sudah selesai dan berjalan dengan lancar. Halaman depan rumah besar keluarga Diningrat yang tadinya penuh, kini kembali bersih seperti semula. Arya berdiri di teras. Tangannya terlipat di dada, memandang ke arah pintu pagar. Lelaki itu mengawasi orang-orang masih hilir mudik mengangkut barang.Keluarga besarnya sedang menikmati sarapan di dalam. Sebentar lagi mereka akan pulang. Arya termenung sejenak, mencoba menyakinkan diri atas apa yang akan dia utarakan nanti.Momen berkumpulnya keluarga besar jarang terjadi. Mungkin, inilah saatnya dia bicara. Arya mengumpulkan semua keberanian yang tersisa dan berjalan ke ruang tamu, tempat keluarganya berkumpul. Di sana ada kakeknya—ayah dari bapaknya—datang dari luar kota dan terlihat paling tenang di antara mereka. Kakek duduk di kursi dengan tongkatnya tergeletak di samping. Sementara tante, om dan sepupunya duduk makan sembari berbincang. Arya berdiri tegak di tengah ruangan, lalu duduk di sebelah kakenya. Saat lelaki it
"Aku tidak butuh bantuanmu."Bruk!Arya terjatuh saat menaiki tangga. Lelaki itu kesulitan berdiri hingga Tiara membantunya. Sejujurnya gadis itu takut. Namun, rumah begitu sepi karena pekerja yang lain sudah tertidur. "Mari saya bantu, Den."Tiara memapah Arya walau berat. Tubuh mungilnya tak sanggup menahan bobot lelaki itu. Dengan tertatih-tatih, akhirnya mereka tiba di atas.Tiara melepaskan lengan Arya yang langsung luruh di lantai. Dia membuka pintu dengan pelan. Lalu membawa Arya ke ranjang."Berat sekali."Tubuh Arya yang berat terasa seperti beban. Namun Tiara tetap kuat, mencoba yang terbaik untuk memastikan lelaki itu merasa nyaman."Huek!"“Den Arya kenapa?” Tiara akhirnya memberanikan diri bertanya.Arya hanya merespons dengan geraman pelan. Lelaki itu menekan perutnya yang terasa mual. Arya berguling ke samping, mencoba menahan rasa tak nyaman yang semakin menguasainya. Kepalanya terasa berat, seolah dihimpit batu besar. Lambungnya terasa bergejolak. Membuat mual yang
Tiara bangun dengan tubuh lelah dan perasaan hancur. Cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela kamar mengingatkannya pada kenyataan pahit yang baru saja ia alami."Sakit sekali," lirihnya saat mencoba duduk.Tiara memegang perutnya, merasakan nyeri di bawah sana. Tadi malam Arya tak hanya melakukannya sekali, tetapi berulang kali sampai lelaki itu tidur. Tiara susah memohon, tetapi Arya tak peduli. Lelaki itu seperti orang kesetanan, menikmati dirinya tanpa ampun."Mengapa rasamu begini?" ujar Arya dalam kondisi mabuk. Bisa-bisanya dia kecanduan pada seorang gadis muda. Hiks!Tiara hanya menangis di bawah kungkungan lelaki itu tanpa bisa melawan. "Seperti mimpi tapi itu nyata."Tiara bangkit perlahan, mencoba untuk berdiri. Dia menuju kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Air yang megalir membasahi tubuhnya, sedikit menyegarkan. Walau rasa sakit di sekujur tubuh masih belum hilang.Ketika hendak berpakaian, Tiara terjejut melihat ada banyak tanda di tubuhnya. Arya benar-b
"Aku harus bicara dengan Tiara."Arya langsung keluar dari ruang meeting dan menuju mobilnya. Pikirannya hanya terpusat pada Tiara. Arya harus tahu bagaimana keadaannya. Apakah Tiara baik-baik saja setelah kejadian itu. Entah mengapa rasa bersalah yang menghantuinya sejak malam itu kini semakin kuat.***Saat tiba di rumah, Arya dengan cepat berjalan ke belakang dan melihat Tinah sedang menata beberapa barang di meja makan. Ia langsung menghampirinya."Di mana Tiara?"Tinah terlihat sedikit terkejut dengan kedatangan Arya yang mendadak. "Tiara di kamar, Den. Sepertinya lagi kurang sehat."Arya mengernyit mendengar itu. "Sakit? Sejak kapan?""Dari pagi, Den. Badannya lemas. Jalannya pincang. Mungkin kelelahan setelah acara tahlilan itu.""Jalannya pincang?""Iya, Den. Mungkin.... kecapean mencuci piring. Soalnya banyak sekali," ucap Tinah takut-takut. Arya terdiam dan entah mengapa merasa cemas. Ia ingin segera melihat Tiara, tetapi tiba-tiba rasa ragu menghampirinya. Setelah semu
Hoek!Tiara berlari menuju kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya. Tadi, saat membuka mata, wanita itu merasakan mual yang hebat. Hoek!Tiara berpegangan pada ujung bak mandi agar tak jatuh. Selain karena mual, kepalanya tiba-tiba pusing sehingga limbung."Aku kenapa ini?"Tiara melangkah keluar setelah merasa perutnya lebih baik. Dia duduk di depan cermin kamar, menatap wajahnya yang semakin hari semakin pucat. Rasa mual yang sering menyerang di pagi hari kini semakin sulit diabaikan. Sudah beberapa kali, Tiara muntah tanpa alasan yang jelas. Namun, ia menyembunyikan kondisinya kepada orang lain, termasuk Arya. Meskipun statusnya sebagai istri siri Arya, Tiara tetaplah pelayan yang dipekerjakan. Dia tetap menjaga segala hal tetap berjalan normal, setidaknya di mata orang-orang di rumah.Tiara berbisik pada dirinya sendiri, menatap perutnya yang masih rata. "Apa aku benar-benar hamil?"Pikiran itu semakin menghantuinya setiap hari. Namun, ia belum siap untuk menghadapi kenyataan
"Apa benar kau hamil?"Tiara terdiam, lalu mengangguk lemah. Wanita itu bahkan mengusap perutnya dengan lembut untuk melihat reaksi Arya.Jika Arya memang tak peduli kepadanya, setidaknya lelaki itu memperhatikan calon anaknya kelak. Sayanganya, yang Tiara dapatkan hanya sikap dingin dan ketidakpedulian. "Gugurkan!""Den--""Malam itu aku mabuk, jadi aku melakukannya. Jangan berpikir aku akan kasihan padamu sekalipun statusmu adalah istriku."Arya menatap Tiara dengan tajam. Ucapannya barusan menegaskan bahwa dia tak akan bertanggung jawab atas janin yang ada di kandungan wanita itu. "Aku akan memberimu uang dan meminta Karjo mengantarmu ke tempat itu." Tiara kembali tersentak. Tubuh wanita itu gemetaran menahan emosi. Jika tak ingat resiko, maka dia akan berteriak dan mengamuk kepada Arya."Ingat, Tiara. Kau hanya pembantu di rumah ini."Arya kembali menegaskan."Jangankan mengakui anak itu. Aku bahkan tak sudi mempunyai darah daging dari anak pembunuh bapakku!"*** Pagi itu, dap
Tiara duduk termenung di tepi ranjang. Tangannya perlahan mengelus perut yang semakin membesar. Dia belum siap untuk menjadi ibu, terlebih dengan situasi yang begitu rumit ini. Rasa takut, marah, dan putus asa bercampur aduk di dalam dirinya. Tiara memikirkan satu keputusan yang sangat berat, yaitu melarikan diri. Tiara tidak ingin anaknya lahir dalam situasi yang penuh tekanan seperti ini. Hati yang hancur menbuat pikirannya mulai mengarah ke keputusan paling drastis, yaitu menggugurkan kandungan.Saat sedang larut dalam pikirannya, pintu kamarnya diketuk dengan kasar. Salah satu pengawal Arya masuk tanpa menunggu jawaban."Den Arya sudah memberikan instruksi. Saya akan mengantar kamu ke tempat yang sudah ditentukan."Tiara mengangguk pelan, merasa tubuhnya lemas. Tidak ada lagi pilihan lain yang tersisa. Di bawah tekanan Arya, Tiara tahu bahwa lelaki itu tidak ingin anak mereka lahir. Arya sudah memutuskan untuknya, termasuk keputusan untuk menggugurkan kandungan itu. Tiara hanya
Tiara duduk di kursi belakang bus, menatap keluar jendela dengan pikiran kalut. Angin yang masuk melalui jendela sedikit menyejukkan keningnya yang panas, karena rasa takut dan khawatir yang terus menggelayut. Setelah Arya memintanya untuk mengugurkan kandungan, akhirnya Tiara memutuskan untuk pergi. Meninggalkan semua yang berkaitan dengan lelaki itu dan hidup yang penuh penderitaan. Tidak ada lagi jalan kembali. Satu-satunya jalan adalah melarikan diri, sejauh mungkin dari cengkeraman Arya.Cincin yang diberikan Arya saat mereka menikah siri sudah ia jual pagi tadi. Dengan uang itu, Tiara berhasil membeli tiket bus menuju kota yang dulu pernah menjadi tempat tinggalnya saat masih kuliah. Kota itu bukan hanya penuh kenangan manis, tapi juga menjadi tempat tinggal salah satu sahabat terbaiknya, Rani. Sahabat yang ia harap bisa memberinya perlindungan, setidaknya untuk sementara waktu."Hoek!"Tiara kembali merasakan mual yang menghebat. Wanita itu sudah muntah sesaat sebelum naik b