Tiara bangun dengan tubuh lelah dan perasaan hancur. Cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela kamar mengingatkannya pada kenyataan pahit yang baru saja ia alami."Sakit sekali," lirihnya saat mencoba duduk.Tiara memegang perutnya, merasakan nyeri di bawah sana. Tadi malam Arya tak hanya melakukannya sekali, tetapi berulang kali sampai lelaki itu tidur. Tiara susah memohon, tetapi Arya tak peduli. Lelaki itu seperti orang kesetanan, menikmati dirinya tanpa ampun."Mengapa rasamu begini?" ujar Arya dalam kondisi mabuk. Bisa-bisanya dia kecanduan pada seorang gadis muda. Hiks!Tiara hanya menangis di bawah kungkungan lelaki itu tanpa bisa melawan. "Seperti mimpi tapi itu nyata."Tiara bangkit perlahan, mencoba untuk berdiri. Dia menuju kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Air yang megalir membasahi tubuhnya, sedikit menyegarkan. Walau rasa sakit di sekujur tubuh masih belum hilang.Ketika hendak berpakaian, Tiara terjejut melihat ada banyak tanda di tubuhnya. Arya benar-b
"Aku harus bicara dengan Tiara."Arya langsung keluar dari ruang meeting dan menuju mobilnya. Pikirannya hanya terpusat pada Tiara. Arya harus tahu bagaimana keadaannya. Apakah Tiara baik-baik saja setelah kejadian itu. Entah mengapa rasa bersalah yang menghantuinya sejak malam itu kini semakin kuat.***Saat tiba di rumah, Arya dengan cepat berjalan ke belakang dan melihat Tinah sedang menata beberapa barang di meja makan. Ia langsung menghampirinya."Di mana Tiara?"Tinah terlihat sedikit terkejut dengan kedatangan Arya yang mendadak. "Tiara di kamar, Den. Sepertinya lagi kurang sehat."Arya mengernyit mendengar itu. "Sakit? Sejak kapan?""Dari pagi, Den. Badannya lemas. Jalannya pincang. Mungkin kelelahan setelah acara tahlilan itu.""Jalannya pincang?""Iya, Den. Mungkin.... kecapean mencuci piring. Soalnya banyak sekali," ucap Tinah takut-takut. Arya terdiam dan entah mengapa merasa cemas. Ia ingin segera melihat Tiara, tetapi tiba-tiba rasa ragu menghampirinya. Setelah semu
Hoek!Tiara berlari menuju kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya. Tadi, saat membuka mata, wanita itu merasakan mual yang hebat. Hoek!Tiara berpegangan pada ujung bak mandi agar tak jatuh. Selain karena mual, kepalanya tiba-tiba pusing sehingga limbung."Aku kenapa ini?"Tiara melangkah keluar setelah merasa perutnya lebih baik. Dia duduk di depan cermin kamar, menatap wajahnya yang semakin hari semakin pucat. Rasa mual yang sering menyerang di pagi hari kini semakin sulit diabaikan. Sudah beberapa kali, Tiara muntah tanpa alasan yang jelas. Namun, ia menyembunyikan kondisinya kepada orang lain, termasuk Arya. Meskipun statusnya sebagai istri siri Arya, Tiara tetaplah pelayan yang dipekerjakan. Dia tetap menjaga segala hal tetap berjalan normal, setidaknya di mata orang-orang di rumah.Tiara berbisik pada dirinya sendiri, menatap perutnya yang masih rata. "Apa aku benar-benar hamil?"Pikiran itu semakin menghantuinya setiap hari. Namun, ia belum siap untuk menghadapi kenyataan
"Apa benar kau hamil?"Tiara terdiam, lalu mengangguk lemah. Wanita itu bahkan mengusap perutnya dengan lembut untuk melihat reaksi Arya.Jika Arya memang tak peduli kepadanya, setidaknya lelaki itu memperhatikan calon anaknya kelak. Sayanganya, yang Tiara dapatkan hanya sikap dingin dan ketidakpedulian. "Gugurkan!""Den--""Malam itu aku mabuk, jadi aku melakukannya. Jangan berpikir aku akan kasihan padamu sekalipun statusmu adalah istriku."Arya menatap Tiara dengan tajam. Ucapannya barusan menegaskan bahwa dia tak akan bertanggung jawab atas janin yang ada di kandungan wanita itu. "Aku akan memberimu uang dan meminta Karjo mengantarmu ke tempat itu." Tiara kembali tersentak. Tubuh wanita itu gemetaran menahan emosi. Jika tak ingat resiko, maka dia akan berteriak dan mengamuk kepada Arya."Ingat, Tiara. Kau hanya pembantu di rumah ini."Arya kembali menegaskan."Jangankan mengakui anak itu. Aku bahkan tak sudi mempunyai darah daging dari anak pembunuh bapakku!"*** Pagi itu, dap
Tiara duduk termenung di tepi ranjang. Tangannya perlahan mengelus perut yang semakin membesar. Dia belum siap untuk menjadi ibu, terlebih dengan situasi yang begitu rumit ini. Rasa takut, marah, dan putus asa bercampur aduk di dalam dirinya. Tiara memikirkan satu keputusan yang sangat berat, yaitu melarikan diri. Tiara tidak ingin anaknya lahir dalam situasi yang penuh tekanan seperti ini. Hati yang hancur menbuat pikirannya mulai mengarah ke keputusan paling drastis, yaitu menggugurkan kandungan.Saat sedang larut dalam pikirannya, pintu kamarnya diketuk dengan kasar. Salah satu pengawal Arya masuk tanpa menunggu jawaban."Den Arya sudah memberikan instruksi. Saya akan mengantar kamu ke tempat yang sudah ditentukan."Tiara mengangguk pelan, merasa tubuhnya lemas. Tidak ada lagi pilihan lain yang tersisa. Di bawah tekanan Arya, Tiara tahu bahwa lelaki itu tidak ingin anak mereka lahir. Arya sudah memutuskan untuknya, termasuk keputusan untuk menggugurkan kandungan itu. Tiara hanya
Tiara duduk di kursi belakang bus, menatap keluar jendela dengan pikiran kalut. Angin yang masuk melalui jendela sedikit menyejukkan keningnya yang panas, karena rasa takut dan khawatir yang terus menggelayut. Setelah Arya memintanya untuk mengugurkan kandungan, akhirnya Tiara memutuskan untuk pergi. Meninggalkan semua yang berkaitan dengan lelaki itu dan hidup yang penuh penderitaan. Tidak ada lagi jalan kembali. Satu-satunya jalan adalah melarikan diri, sejauh mungkin dari cengkeraman Arya.Cincin yang diberikan Arya saat mereka menikah siri sudah ia jual pagi tadi. Dengan uang itu, Tiara berhasil membeli tiket bus menuju kota yang dulu pernah menjadi tempat tinggalnya saat masih kuliah. Kota itu bukan hanya penuh kenangan manis, tapi juga menjadi tempat tinggal salah satu sahabat terbaiknya, Rani. Sahabat yang ia harap bisa memberinya perlindungan, setidaknya untuk sementara waktu."Hoek!"Tiara kembali merasakan mual yang menghebat. Wanita itu sudah muntah sesaat sebelum naik b
Di sebuah kamar kos kecil yang hanya berukuran sekitar 3x4 meter, Tiara duduk termenung di atas kasur tipis yang beralaskan sprei sederhana. Matahari pagi mulai menyinari ruangan melalui jendela yang setengah terbuka. Namun suasana hatinya masih kelabu.Sudah beberapa hari Tiara menumpang tinggal di kos Rani, sahabat baiknya. Meski ia merasa aman untuk sementara, ketidakpastian terus membayangi. Tiara tahu dirinya tidak bisa berlama-lama di sini. Namun, untuk saat ini, ini satu-satunya tempat yang membuatnya merasa sedikit terlindungi dari dunia luar, terutama dari Arya.Pagi itu, rasa mual yang kerap menghampirinya belakangan ini kembali datang. Tiara merasakan perutnya bergejolak, dan ia langsung berlari ke kamar mandi. Suara muntahannya terdengar jelas, memecah keheningan pagi yang baru saja dimulai. Setelah selesai, wanita itu berjalan terhuyung-huyung kembali ke kamar.Wajah Tiara begitu pucat dan tubuhnya lemah. Rani yang baru saja selesai mandi, menghampiri sahabatnya dengan t
Di ruang kerja Arya yang megah, suasana tegang tergambar jelas. Seorang pengawal masuk dengan langkah tergesa-gesa. Wajahnya terlihat khawatir dan serius. Arya duduk di belakang meja kerja. Mata tajamnya menatap penuh tuntutan ke arah pengawal yang baru saja tiba."Ada apa? Apa yang kamu temukan?" tanya Arya dengan nada dingin tetapi penuh tekanan.Pengawal itu mengusap peluh di dahinya sebelum menjawab. "Tuan Arya, kami menemukan jejak Tiara. Sepertinya dia melarikan diri ke kota. Kami dapat informasi dari beberapa saksi mata yang melihat seorang wanita dengan ciri-ciri mirip Tiara di terminal bus."Arya langsung berdiri dari kursinya. "Kota mana? Apa kalian sudah memastikan dia?""Kami belum bisa memastikan sepenuhnya, tapi dia terlihat menaiki bus menuju arah kota. Kami sudah mengejar. Namun dia menghilang di tengah perjalanan," jelas pengawal itu sambil menunduk.Arya menggebrak meja dengan keras, membuat pengawal itu sedikit mundur karena kaget. "Kenapa kalian bisa lengah seper