Tiara duduk termenung di tepi ranjang. Tangannya perlahan mengelus perut yang semakin membesar. Dia belum siap untuk menjadi ibu, terlebih dengan situasi yang begitu rumit ini. Rasa takut, marah, dan putus asa bercampur aduk di dalam dirinya. Tiara memikirkan satu keputusan yang sangat berat, yaitu melarikan diri. Tiara tidak ingin anaknya lahir dalam situasi yang penuh tekanan seperti ini. Hati yang hancur menbuat pikirannya mulai mengarah ke keputusan paling drastis, yaitu menggugurkan kandungan.Saat sedang larut dalam pikirannya, pintu kamarnya diketuk dengan kasar. Salah satu pengawal Arya masuk tanpa menunggu jawaban."Den Arya sudah memberikan instruksi. Saya akan mengantar kamu ke tempat yang sudah ditentukan."Tiara mengangguk pelan, merasa tubuhnya lemas. Tidak ada lagi pilihan lain yang tersisa. Di bawah tekanan Arya, Tiara tahu bahwa lelaki itu tidak ingin anak mereka lahir. Arya sudah memutuskan untuknya, termasuk keputusan untuk menggugurkan kandungan itu. Tiara hanya
Tiara duduk di kursi belakang bus, menatap keluar jendela dengan pikiran kalut. Angin yang masuk melalui jendela sedikit menyejukkan keningnya yang panas, karena rasa takut dan khawatir yang terus menggelayut. Setelah Arya memintanya untuk mengugurkan kandungan, akhirnya Tiara memutuskan untuk pergi. Meninggalkan semua yang berkaitan dengan lelaki itu dan hidup yang penuh penderitaan. Tidak ada lagi jalan kembali. Satu-satunya jalan adalah melarikan diri, sejauh mungkin dari cengkeraman Arya.Cincin yang diberikan Arya saat mereka menikah siri sudah ia jual pagi tadi. Dengan uang itu, Tiara berhasil membeli tiket bus menuju kota yang dulu pernah menjadi tempat tinggalnya saat masih kuliah. Kota itu bukan hanya penuh kenangan manis, tapi juga menjadi tempat tinggal salah satu sahabat terbaiknya, Rani. Sahabat yang ia harap bisa memberinya perlindungan, setidaknya untuk sementara waktu."Hoek!"Tiara kembali merasakan mual yang menghebat. Wanita itu sudah muntah sesaat sebelum naik b
Di sebuah kamar kos kecil yang hanya berukuran sekitar 3x4 meter, Tiara duduk termenung di atas kasur tipis yang beralaskan sprei sederhana. Matahari pagi mulai menyinari ruangan melalui jendela yang setengah terbuka. Namun suasana hatinya masih kelabu.Sudah beberapa hari Tiara menumpang tinggal di kos Rani, sahabat baiknya. Meski ia merasa aman untuk sementara, ketidakpastian terus membayangi. Tiara tahu dirinya tidak bisa berlama-lama di sini. Namun, untuk saat ini, ini satu-satunya tempat yang membuatnya merasa sedikit terlindungi dari dunia luar, terutama dari Arya.Pagi itu, rasa mual yang kerap menghampirinya belakangan ini kembali datang. Tiara merasakan perutnya bergejolak, dan ia langsung berlari ke kamar mandi. Suara muntahannya terdengar jelas, memecah keheningan pagi yang baru saja dimulai. Setelah selesai, wanita itu berjalan terhuyung-huyung kembali ke kamar.Wajah Tiara begitu pucat dan tubuhnya lemah. Rani yang baru saja selesai mandi, menghampiri sahabatnya dengan t
Di ruang kerja Arya yang megah, suasana tegang tergambar jelas. Seorang pengawal masuk dengan langkah tergesa-gesa. Wajahnya terlihat khawatir dan serius. Arya duduk di belakang meja kerja. Mata tajamnya menatap penuh tuntutan ke arah pengawal yang baru saja tiba."Ada apa? Apa yang kamu temukan?" tanya Arya dengan nada dingin tetapi penuh tekanan.Pengawal itu mengusap peluh di dahinya sebelum menjawab. "Tuan Arya, kami menemukan jejak Tiara. Sepertinya dia melarikan diri ke kota. Kami dapat informasi dari beberapa saksi mata yang melihat seorang wanita dengan ciri-ciri mirip Tiara di terminal bus."Arya langsung berdiri dari kursinya. "Kota mana? Apa kalian sudah memastikan dia?""Kami belum bisa memastikan sepenuhnya, tapi dia terlihat menaiki bus menuju arah kota. Kami sudah mengejar. Namun dia menghilang di tengah perjalanan," jelas pengawal itu sambil menunduk.Arya menggebrak meja dengan keras, membuat pengawal itu sedikit mundur karena kaget. "Kenapa kalian bisa lengah seper
"Utang nyawa harusnya dibayar nyawa. Tapi tuan kami masih berbaik hati. Beliau cuma minta kamu sebagai gantinya. Bukannya bersyukur, kamu justru mempersulit keadaan."Tiara menatap semua orang di ruangan itu dengan gamang. Terutama Darsih, sang ibu, yang tampak lemas dengan tangan gemetaran. Ada banyak bekas luka di tubuh ibunya tersebut setelah melewati penyiksaan. Sungguh, hatinya tak rela jika terus berlanjut.Gadis itu menoleh ke arah suara yang bicara padanya tadi. Kepada sosok lelaki paruh baya yang mendapatkan tugas dari seseorang untuk menyiksa ibunya jika ia tidak ingin ikut pergi bersama mereka.Namun, bagaimana ia sanggup untuk meninggalkan sang ibu sekarang?Selama ini, Tiara tidak tinggal di kampung dan memang diminta ibunya untuk menetap di kota. Ia tidak tahu, bahwa sebenarnya sang ibu telah berutang banyak pada Tuan Baskoro untuk menyekolahkannya waktu itu.Tiara juga tidak tahu bahwa alih-alih uang, Tuan Baskoro meminta bayaran dalam bentuk lain: pelayanan Darsih deng
“Jangan berani-beraninya kamu melarikan diri.”Setelah mengucapkan itu, tanpa menunggu respons Tiara, Arya mengalihkan pandangan pada tangan kanannya. “Kamu sudah menyiapkan segalanya untuk besok?”“Sudah, Mas.” Lawan bicaranya mengangguk. “Tapi … apakah Mas yakin?”Arya kembali melirik Tiara, membuat gadis itu langsung bergidik dan menunduk dalam-dalam dengan tangan gemetar sembari menggigit bibirnya, menahan isak tangis.Beberapa hari yang lalu, ia masih kuliah di kota. Dan sekarang Tiara sudah menjadi tahanan pria iblis penuh dendam ini."Tolong kuatkan hamba." Ia membatin.“Ya.” Tiara kemudian mendengar Arya menyahut. “Bukankah tidak ada penjara yang lebih sempurna untuknya selain pernikahan?”Setelah mengatakan itu, Arya keluar bersama orang-orangnya. Pintu kembali dikunci, meninggalkan Tiara yang terjebak di dalamnya.Karena tidak memiliki hal lain untuk dilakukan sebagai tahanan dan Tiara enggan membiarkan pikiran buruk terus merusak otak serta hatinya, membuatnya khawatir tanp
"Antarkan ini ke depan. Den Arya mau makan siang."Tiara menatap nampan tersebut dengan tatapan tidak berdaya, lalu menerimanya.IIa tidak bisa menolak, meskipun gadis itu sudah bangun sejak pukul lima pagi dan pontang-panting dengan segala tugas yang dibebankan padanya hingga siang.Padahal ia sama sekali belum makan sejak semalam.“Bik, apa aku boleh makan dulu? Aku lapar, Bik." Tiara mengucapkannya dengan ragu. Entah mengapa gadis itu selalu merasa ketakutan setiap kali bertemu dengan penghuni rumah ini. Semua orang tampak memusuhinya. Ucapan ketus dan wajah masam adalah makanannya sehari-hari. "Antarkan ini dulu. Habis itu kamu boleh makan.” Lawan bicaranya membalas dengan ketus. “Di dapur ada nasi sisa sama ikan asin. Nanti kamu makan itu."Tiara menelan ludah saat mendengarnya. Perut gadis itu kembali berbunyi. Tak apalah nasi sisa, yang penting ia bisa makan.Dengan gemetaran dia mengantarkan makanan ke tempat Arya.“Bismillah.”Jarak dari dapur menuju ruang makan sebenarnya
Rupanya Karjo, tangan kanan Arya yang paling ia percaya. Lelaki itu tampak marah dan kesal akan kejadian ini. "Dasar gak tau diri. Syukur saja kamu masih hidup," umpat Ningsih sembari terengah-engah. "Kamu jangan ganggu Tiara. Cuma Den Arya yang boleh menyentuhnya," bentak Karjo. Ningsih berlalu sembari menggerutu. Sementara Tiara tertegun dengan apa yang baru saja Karjo ucapkan.Menyentuh?**Malam mulai menyapa dengan hawa sejuk dan awan gelap di langit. Angin bertiup sepoi-sepoi dan suara guntur bersahut-sahutan. Gerimis mulai turun, tetapi hujan deras enggan menyapa. Tiara menatap mas kawin yang tersemat di jarinya. Tadi dia memakainya sendiri, setelah diberikan oleh salah satu pekerja Arya. Tiara menerimanya dengan tangan gemetar. Cincin yang dia pilih. Setelah salah seorang anak buah Arya mendatangi dan memperlihatkan kepadanya beberapa model."Ibu ...," lirih Tiara pedih.Semua wanita ingin menikah, tetapi bukan dengan cara seperti ini. Namun, Arya telah berjanji tak akan