Tiara duduk di sofa ruang tamu, menggigit bibirnya yang mulai kering. Perasaan cemas masih memenuhi hatinya meskipun tubuhnya sudah lebih tenang setelah beristirahat semalam.Di hadapannya duduk pemilik rumah, orang yang telah menyelamatkannya kemarin saat dia pingsan. Wanita paruh baya itu menatap Tiara dengan lembut, mencoba memahami situasi yang sebenarnya."Kamu sudah merasa lebih baik hari ini?"Tiara mengangguk pelan. "Iya, Bu. Terima kasih banyak sudah menolong saya kemarin. Saya ndak tahu apa yang akan terjadi kalau Ibu ndak menemukan saya."Pemilik rumah tersenyum lembut, tangannya menyentuh tangan Tiara. "Tidak apa-apa, Nak. Setiap orang pasti butuh pertolongan di saat-saat sulit. Kamu bisa tinggal di sini lebih lama kalau kamu mau, tapi... sepertinya kamu punya banyak pikiran, ya?"Tiara menghela napas panjang, menunduk menatap perutnya yang semakin membesar. "Saya... ndak bisa terus-terusan merepotkan Ibu. Suami saya pasti akan mencari. Saya ndak mau melibatkan orang lain
Suasana di panti asuhan sore itu terasa tenang. Suara riuh rendah anak-anak yang bermain di halaman terdengar dari jauh. Tiara duduk di ruang tengah, membantu Bu Dewi mengurus beberapa berkas adopsi yang akan dikirimkan ke kantor yayasan. Hari-hari di panti telah memberinya sedikit kedamaian. Tiara tak lagi merasa tercekam oleh bayang-bayang Arya, meski setiap malam wajah pria itu masih menghantui pikirannya.Sambil mengelus perutnya yang semakin besar, Tiara tersenyum melihat anak-anak panti yang berlari-lari di halaman. Kehadiran mereka, meski bukan anak kandungnya, telah memberinya rasa hangat.Namun, setiap hari, perasaan cemas juga semakin menguat di dalam hatinya. Waktu kelahiran anaknya semakin dekat.Bu Dewi, yang duduk di sebelah Tiara, menatapnya dengan lembut. "Tiara, jamu sudah mendekati HPL, loh. Sudah siap menyambut bayimu?"Tiara tersenyum tipis, meski di dalam hatinya ada perasaan khawatir yang sulit diungkapkan. "Iya, Bu. Saya sudah mempersiapkan semuanya. Tapi...
Bandara udara internasional Soekarno-Hatta.Tiara duduk di salah satu bangku dekat ruang tunggu. Wajahnya tampak lelah, bukan karena fisik semata, melainkan emosional. Keputusan untuk pergi bekerja ke luar negeri adalah keputusan terberat dalam hidupnya. Bayangan wajah mungil Shara, putrinya terus terbayang di kepala. Terutama saat-saat terakhir di panti asuhan.Tiara memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya kembali terbang pada perpisahan yang begitu menyayat hati."Apa kamu sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu ini? Meninggalkan putrimu bukan keputusan yang mudah." Bu Dewi menyentuh pundak Tiara dengan lembut.Tiara menghela napas berat dengan mata berkaca-kaca."Saya sudah memikirkan ini matang-matang, Bu. Ini memang Tapi saya ndak punya pilihan lain. Saya harus bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan Shara. Saya ingin memberikan masa depan yang lebih baik untuknya."Bu Dewi menatap Tiara penuh pengertian."Ibu tahu kamu melakuka
Aroma daging kambing serta sapi panggang menguar di udara. Hari ini seluruh keluarga Diningrat berpesta. Pintu gerbang dibuka. Makanan berlimpah ruah disajikan untuk masyarakat. Narendra Mayangkara, putra Arya bersama Clarisa berulang tahun yang pertama. Lelaki itu tentu saja ingin merayakannya. Setelah melakukan prosesi tedak sinten di usia Narendra yang ke delapan bulan, kini mereka kembali mengadakan acara. Tak ada tiup lilin atau potong kue. Arya lebih memillih pesta rakyat. Awalnya Clarisa merasa keberatan. Wanita itu ingin pesta yang modern. Namun, Arya memilih untuk melestarikan budaya.Pesta rakyat, akan sangat membantu warga yang kesusahan. Tak hanya makanan, Arya juga membagikan ratusan bingkisan untuk dibawa pulang. "Itu Papa datang."Clarisa yang menggendong Narendra dengan sayang. "Hai anak papa. Lagi apa sama mama?" sapa Arya ramah."Lagi main, Pa.""Kok kamu ganteng banget. Mirip mama, ya," ucap Arya senang. Clarisa tersenyum bangga. "Iya, dia ganteng banget. Tapi
Lima tahun kemudian. Tiara duduk di sudut kamar mewah tempat dia bekerja. Matanya lelah menatap Nyonya Ling yang terbaring tak berdaya di ranjang. Nyonya Ling telah dirawat Tiara selama hampir lima tahun, sejak serangan stroke yang melumpuhkan sebagian tubuhnya. Namun, hari ini kondisinya tampak lebih buruk daripada sebelumnya."Nenek, ayo makan sedikit. Saya sudah buatkan bubur kesukaan Nenek."Tiara menyuapkan bubur itu dengan lembut. Namun, Nyonya Ling hanya memalingkan wajah. Bibirnya mengerut, menolak makanan seperti yang sering dilakukannya saat merasa tak nyaman.Tiara masih sabar membujuk, ketika pintu kamar Nyonya Ling terbuka. Salah satu anaknya masuk untuk melihat kondisi kesehatan ibu mereka. "Selamat sore, Tuan. Nona," sapa Tiara ramah. "Sore, Tiara."Tiara memberi kode agar anak Nyonya Ling mendekat ke arah tempat tidur ibu mereka. "Tiara, bagaimana hari ini? Apa kondisi ibu makin parah?" Anak tertua Nyonya Ling, seorang lelaki berusia empat puluhan, bertanya dengan
Bandara Internasional Taoyuan Taiwan.Suasana ramai tapi teratur. Tiara duduk di area tunggu kelas bisnis, sesekali menatap layar ponselnya sambil menghela napas. Setelah bertahun-tahun hidup di luar negeri, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Ada banyak hal yang harus dihadapi Tiara, terutama terkait masa lalunya dengan Arya dan keluarganya. Namun, ia sudah siap. Ia menatap paspornya sejenak, membayangkan bagaimana kehidupannya akan berubah lagi setelah kembali ke tanah air.Di sebelahnya, seorang lelaki muda mengenakan kemeja putih duduk sambil meminum kopi. Wajahnya tampan, dengan postur yang tegap. Tiara tak sengaja melirik ke arah lelaki itu dan mereka saling bertatapan. Lelaki itu tersenyum sopan, lalu meletakkan cangkir kopinya di atas meja.“Penerbangan ke Indonesia juga?” tanya pria itu ramah, memulai percakapan.Tiara tersenyum kecil, mengangguk. “Iya, Jakarta.”Pria itu mengulurkan tangan, memperkenalkan diri. “Nama saya Reyhan, kebetulan saya juga menuju Ja
Tiara memasuki mobil sewaan yang menunggunya di bandara. Hati dan pikirannya tak henti-hentinya memikirkan Shara, putrinya yang kini tinggal di panti asuhan. Tiara merindukan Shara dengan sangat. Meskipun mereka sering terhubung dengan video call, rasanya tak sebanding dengan pertemuan langsung. Tiara menatap cermin, memastikan cadarnya terpasang rapi. Ia tak ingin ada yang mengenali sebelum waktunya tepat.“Ke Panti Asuhan Bunga Harapan, ya, Pak,” ucap Tiara pada sopir.Sopir mengangguk sopan. “Siap, Bu.”Sepanjang perjalanan, Tiara hanya bisa memandangi jalanan Jakarta yang ramai. Jantungnya berdegup tak karuan. Rasa khawatir dan harapan bercampur menjadi satu. Sudah lama Amara tak bertemu Shara secara langsung, meskipun komunikasi mereka tetap terjaga. Tiara tak bisa menyingkirkan kekhawatiran bahwa putrinya mungkin merasa asing.Setelah beberapa waktu, mobil mulai memasuki jalan kecil menuju panti. Tiara menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Begitu tiba, ia
Tiara melangkah anggun memasuki ballroom hotel, tempat acara gala berlangsung malam itu. Gaun panjang berwarna merah marun yang ia kenakan memeluk tubuhnya dengan sempurna. Sementara rambut cokelatnya dibiarkan terurai.Tiara sengaja menggunakan kacamata berwarna. Wajahnya kini tampak dewasa dan berkarisma, berbeda jauh dari sosok Tiara lima tahun lalu. Kehidupan yang keras di luar negeri telah mengajari Tiara banyak hal. Dan malam ini, dia kembali ke Indonesia dengan rencana yang matang."Hai, Cantik."Tiara menoleh dan mendapati orang yamg mengundangnya ke acara ini, sedang berdiri di belakang.Reyhan."Hai.""Kamu datang juga," ucap Reyhan senang. Tiara sedikit canggung tetapi mencoba percaya diri. Sekalipun saat ini kondisi ekonominya membaik, tetapi tetap saja dia awam tentang bisnis.Untunglah Tiara sering mengikuti acara pesta majikannya di Tiawan, walau tugasnya menjaga Nyonya Ling selama acara berlangsung. Sehingga dia bisa meniru cara mereka makan dan berbincang. "Pasti. A
Malam di Taiwan itu begitu indah, langit dipenuhi bintang-bintang yang bersinar terang. Seakan memberikan cahaya pada perjalanan baru Tiara dan Reyhan sebagai pasangan suami istri. Suasana kota yang ramai di siang hari kini berubah menjadi tenang dan damai. Dengan suara langkah kaki mereka yang bergema pelan di sepanjang jalan.Di sebelah mereka, Shara berjalan dengan ceria, menggandeng tangan Tiara. Sementara Darsih, berjalan di samping mereka."Aku nggak percaya kita akhirnya bisa liburan bareng kayak begini," kata Tiara sambil tersenyum lebar ke arah Reyhan. "Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan."Reyhan tersenyum dan merangkul bahu Tiara, "Aku juga merasa begitu. Kita sudah melewati banyak hal untuk sampai di titik ini, Tiara. Ini saat yang tepat untuk menikmati hidup."Mereka berjalan menyusuri jalanan yang dipenuhi dengan lampu-lampu warna-warni, menciptakan suasana yang romantis dan hangat.Shara terlihat sangat bahagia. Matanya berbinar-binar melihat lampu-lampu di sepa
Malam itu, suasana rumah Tiara begitu berbeda. Lampu-lampu kecil berbinar lembut di sepanjang taman belakang, memancarkan nuansa hangat dan romantis.Meja makan yang dihiasi lilin serta kelopak bunga mawar merah menjadi pusat perhatian. Reyhan telah merencanakan semuanya dengan sempurna.Ketika Tiara turun dari tangga, mengenakan gaun panjang berwarna biru lembut, Reyhan menatapnya tanpa berkedip. "Kamu cantik sekali malam ini," ucap Reyhan tulus, berdiri dan meraih tangan Tiara.Tiara tersenyum kecil, menyembunyikan kegugupannya. "Dan kamu selalu tampan," balasnya sambil tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana.Reyhan menarik kursi untuk Tiara. “Silakan, istriku.”Tiara duduk dengan anggun. Reyhan mengisi gelas untuk mereka berdua. Hidangan makan malam pun dimulai dengan suasana hangat. Mereka menikmati makanan favorit Tiara. Ternyata Reyhan sendiri pesan secara khusus dari restoran ternama.“Ini terlalu sempurna,” ucap Tiara setelah menyantap hidangan utamanya.Mata Tiara berb
Tiara berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan. Gaun itu tidak terlalu mencolok, tapi sangat pas dengan konsep intimate wedding yang mereka rencanakan. Di belakangnya, Shara berdiri memandangi sang mama dengan mata berbinar."Mama cantik sekali," ucap Shara penuh kekaguman.Tiara tersenyum, lalu membungkuk untuk memeluk Shara. "Makasih, Sayang. Kamu juga cantik dengan gaun kecilmu itu."Terdengar ketukan di pintu, lalu Reyhan masuk, mengenakan setelan jas abu-abu yang terlihat santai tapi tetap berkelas. "Apa aku boleh melihat calon istriku?" tanyanya sambil tersenyum.Tiara menoleh dan tersenyum lembut. "Kamu datang terlalu cepat. Kita belum mulai acaranya.""Kalau begitu, aku akan menunggu di luar. Tapi aku harus bilang, kamu terlihat sangat cantik hari ini, Tiara," Reyhan berkata sambil menatapnya penuh cinta.Saat Tiara hendak menjawab, salah satu panitia kecil mereka datang memanggil. "Semua sudah siap. Kita bisa mulai kapan saja."Tiara dan Reyha
Acara pertunangan Tiara dan Reyhan digelar sederhana namun penuh kehangatan di sebuah restoran yang disewa khusus. Dekorasi ruangan yang didominasi warna pastel dengan lampu gantung kecil menciptakan suasana romantis. Keluarga dan sahabat terdekat hadir, menyaksikan momen penting itu. Tiara, yang mengenakan dress anggun berwarna peach, tampak menawan. Sementara Reyhan tampil gagah dengan setelan jas abu-abu.Reyhan berdiri di depan semua tamu, mengambil mikrofon, dan mulai berbicara. “Selamat malam semuanya. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir di acara yang sangat spesial ini. Hari ini, saya ingin mengungkapkan rasa syukur karena bisa berdiri di sini. Di samping wanita yang luar biasa, Tiara. Dia adalah alasan aku ingin menjadi pria yang lebih baik setiap hari.”Tiara tersipu, menundukkan wajahnya sambil tersenyum malu-malu. Tepuk tangan terdengar dari para tamu. Termasuk Shara yang duduk di meja depan bersama Darsih, ibu Arya.Setelah pidato singkat Reyhan, seorang pela
Reyhan berdiri di tengah ruangan yang sudah dihias dengan indah untuk opening kedua usaha Tiara, yaitu monuman boba. Tempat itu dipenuhi dengan teman, keluarga, dan rekan bisnis yang datang untuk memberikan dukungan. Bu Dewi dan Rina juga datang. Bahkan anak-anak panti semua ikut serta dan diberikan seragam. Karena usaha yang ini letaknya di ruko dengan halaman luas, Tiara mengundang semua orang yang dikenalnya. Tiara mengenakan gaun simpel berwarna pastel yang membuatnya terlihat anggun. Ia sibuk menyambut tamu, mengobrol dengan beberapa mitra, dan memastikan semuanya berjalan lancar.Saat acara berjalan, Reyhan tampak lebih tenang dari biasanya, meski ada sesuatu yang mengganjal di wajahnya. Ia sering melirik Tiara, menunggu momen yang tepat."Reyhan, kenapa melamun? Semua sudah siap?" tanya Tiara saat menghampirinya dengan segelas minuman di tangan.Reyhan tersenyum. "Iya, semuanya sudah siap. Kamu tenang saja. Hari ini akan berjalan sempurna."Tiara mengangguk sambil membenahi r
Arya duduk di kursi belakang mobil, menatap kosong ke luar jendela. Langit mendung seperti hatinya. Pikirannya dipenuhi kekacauan. Bayangan Tiara yang dingin, pelukan Shara yang erat, dan kenangan pahit masa lalu. Ia merasa seperti orang yang kehilangan arah.Arya bergumam pelan."Apa semua ini salahku? Kalau aku dulu tidak gegabah bersikap… mungkin Tiara masih di sisiku. Tapi apa? Aku malah menghancurkan semua."Supir, yang mendengar gumaman itu, bertanya hati-hati."Den Arya, apa Anda baik-baik saja? Perlu kita berhenti sebentar?"Arya menggeleng sambil memaksakan senyum kecil. "Lanjutkan saja, Pak. Kita harus cepat sampai."Tiba-tiba, ponsel Arya bergetar. Ia merogoh benda itu dari saku jas. Nama Raka, salah satu polisi yang menyrlidiki kasus bapaknya, tertera di layar. Dengan cepat, Arya menjawab."Halo, Pak. Ada apa?" tanya Arya sedikit cemas.Suara di ujung telepon terdengar serius. "Mas Arya, kami punya perkembangan penting soal kasus kematian Tuan Baskoro. Kalau memungkinka
Arya memberhentikan mobilnya di depan lokasi yang Tiara kirimkan melalui pesan singkat. Sebuah rumah sederhana tapi nyaman terlihat dari luar. Shara, yang duduk di kursi belakang, tampak murung. Arya mematikan mesin mobil lalu menoleh ke putrinya, dan tersenyum lembut.“Shara, ayo turun. Papa antar kamu ke Mama,” katanya dengan suara penuh kasih.Shara menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak mau, Papa. Aku masih mau sama Papa.”Arya menelan ludah, hatinya mencelos melihat ekspresi Shara. “Sayang, Papa nggak akan pergi jauh kok. Papa selalu ada buat kamu, meskipun kita nggak tinggal bareng.”Shara tetap terdiam, mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Arya mencoba membujuknya lagi. “Gimana kalau Papa janji nanti kita jalan-jalan lagi? Kamu suka, kan, jalan-jalan sama Papa?”Shara akhirnya mengangguk, meski wajahnya masih muram. Arya keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Shara. Sambil menggandeng tangan putrinya, lelaki itu melangkah ke pintu depan rumah.
Opening usaha baru Tiara berlangsung meriah di dalam sebuah mall yang ramai pengunjung. Dekorasi minimalis dengan balon berwarna pastel menghiasi booth miliknya. Sementara staf berseragam rapi dan casual menyambut tamu-tamu yang datang. Tiara mengenakan seragam yang sama, berdiri di depan booth dengan Reyhan yang setia di sisinya. Mereka tersenyum pada setiap tamu yang datang memberikan ucapan selamat."Semangat, Cantik," ujar Reyhan sambil merapikan rambut Tiara yang sedikit terjatuh di wajahnya. "Ini adalah langkah besar untuk kita."Tiara mengangguk, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Beberapa hari terkahir ini, Reyhan kerap menyentuhnya tanpa sungkan. "Semoga semuanya berjalan lancar. Aku sedikit gugup."Reyhan merangkul Tiara dengan lembut. "Kamu pasti bisa. Semua ini hasil kerja kerasmu."Namun, kegugupan Tiara bertambah ketika dia melihat Arya tiba-tiba berdiri di antara kerumunan tamu yang memadati area sekitar booth. Arya mengenakan kemeja putih polos dan celana jean
Tiara dan Reyhan duduk berseberangan di sebuah meja kafe kecil di pinggir jalan, katalog franchise berserakan di atas meja. Tiara mengambil salah satu brosur dan membaca dengan serius. "Rey, ini kelihatannya menarik," katanya sambil menunjukkan brosur tentang franchise makanan penutup premium. "Mereka punya banyak pilihan menu yang unik. Dan tren dessert seperti ini sedang naik daun."Reyhan mengangguk, mengambil brosur itu dan membacanya. "Memang bagus. Konsepnya modern, dan kalau kita bisa dapat lokasi strategis, pasti ramai. Tapi lihat ini," ujarnya sambil mengambil brosur lain. "Franchise minuman boba ini juga menarik. Brand-nya sudah terkenal. Dan mereka punya konsep drive-thru yang jarang ada di Indonesia."Tiara tertawa kecil, lalu menggeleng. "Aku suka, tapi aku lebih tertarik sama yang dessert. Lebih cocok sama gaya dan seleraku."Reyhan tersenyum, meletakkan brosur boba itu kembali di meja. "Oke, jadi kita shortlist dua ini ya? Dessert premium dan boba. Selanjutnya kit