Bandara udara internasional Soekarno-Hatta.Tiara duduk di salah satu bangku dekat ruang tunggu. Wajahnya tampak lelah, bukan karena fisik semata, melainkan emosional. Keputusan untuk pergi bekerja ke luar negeri adalah keputusan terberat dalam hidupnya. Bayangan wajah mungil Shara, putrinya terus terbayang di kepala. Terutama saat-saat terakhir di panti asuhan.Tiara memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya kembali terbang pada perpisahan yang begitu menyayat hati."Apa kamu sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu ini? Meninggalkan putrimu bukan keputusan yang mudah." Bu Dewi menyentuh pundak Tiara dengan lembut.Tiara menghela napas berat dengan mata berkaca-kaca."Saya sudah memikirkan ini matang-matang, Bu. Ini memang Tapi saya ndak punya pilihan lain. Saya harus bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan Shara. Saya ingin memberikan masa depan yang lebih baik untuknya."Bu Dewi menatap Tiara penuh pengertian."Ibu tahu kamu melakuka
Aroma daging kambing serta sapi panggang menguar di udara. Hari ini seluruh keluarga Diningrat berpesta. Pintu gerbang dibuka. Makanan berlimpah ruah disajikan untuk masyarakat. Narendra Mayangkara, putra Arya bersama Clarisa berulang tahun yang pertama. Lelaki itu tentu saja ingin merayakannya. Setelah melakukan prosesi tedak sinten di usia Narendra yang ke delapan bulan, kini mereka kembali mengadakan acara. Tak ada tiup lilin atau potong kue. Arya lebih memillih pesta rakyat. Awalnya Clarisa merasa keberatan. Wanita itu ingin pesta yang modern. Namun, Arya memilih untuk melestarikan budaya.Pesta rakyat, akan sangat membantu warga yang kesusahan. Tak hanya makanan, Arya juga membagikan ratusan bingkisan untuk dibawa pulang. "Itu Papa datang."Clarisa yang menggendong Narendra dengan sayang. "Hai anak papa. Lagi apa sama mama?" sapa Arya ramah."Lagi main, Pa.""Kok kamu ganteng banget. Mirip mama, ya," ucap Arya senang. Clarisa tersenyum bangga. "Iya, dia ganteng banget. Tapi
Lima tahun kemudian. Tiara duduk di sudut kamar mewah tempat dia bekerja. Matanya lelah menatap Nyonya Ling yang terbaring tak berdaya di ranjang. Nyonya Ling telah dirawat Tiara selama hampir lima tahun, sejak serangan stroke yang melumpuhkan sebagian tubuhnya. Namun, hari ini kondisinya tampak lebih buruk daripada sebelumnya."Nenek, ayo makan sedikit. Saya sudah buatkan bubur kesukaan Nenek."Tiara menyuapkan bubur itu dengan lembut. Namun, Nyonya Ling hanya memalingkan wajah. Bibirnya mengerut, menolak makanan seperti yang sering dilakukannya saat merasa tak nyaman.Tiara masih sabar membujuk, ketika pintu kamar Nyonya Ling terbuka. Salah satu anaknya masuk untuk melihat kondisi kesehatan ibu mereka. "Selamat sore, Tuan. Nona," sapa Tiara ramah. "Sore, Tiara."Tiara memberi kode agar anak Nyonya Ling mendekat ke arah tempat tidur ibu mereka. "Tiara, bagaimana hari ini? Apa kondisi ibu makin parah?" Anak tertua Nyonya Ling, seorang lelaki berusia empat puluhan, bertanya dengan
Bandara Internasional Taoyuan Taiwan.Suasana ramai tapi teratur. Tiara duduk di area tunggu kelas bisnis, sesekali menatap layar ponselnya sambil menghela napas. Setelah bertahun-tahun hidup di luar negeri, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Ada banyak hal yang harus dihadapi Tiara, terutama terkait masa lalunya dengan Arya dan keluarganya. Namun, ia sudah siap. Ia menatap paspornya sejenak, membayangkan bagaimana kehidupannya akan berubah lagi setelah kembali ke tanah air.Di sebelahnya, seorang lelaki muda mengenakan kemeja putih duduk sambil meminum kopi. Wajahnya tampan, dengan postur yang tegap. Tiara tak sengaja melirik ke arah lelaki itu dan mereka saling bertatapan. Lelaki itu tersenyum sopan, lalu meletakkan cangkir kopinya di atas meja.“Penerbangan ke Indonesia juga?” tanya pria itu ramah, memulai percakapan.Tiara tersenyum kecil, mengangguk. “Iya, Jakarta.”Pria itu mengulurkan tangan, memperkenalkan diri. “Nama saya Reyhan, kebetulan saya juga menuju Ja
Tiara memasuki mobil sewaan yang menunggunya di bandara. Hati dan pikirannya tak henti-hentinya memikirkan Shara, putrinya yang kini tinggal di panti asuhan. Tiara merindukan Shara dengan sangat. Meskipun mereka sering terhubung dengan video call, rasanya tak sebanding dengan pertemuan langsung. Tiara menatap cermin, memastikan cadarnya terpasang rapi. Ia tak ingin ada yang mengenali sebelum waktunya tepat.“Ke Panti Asuhan Bunga Harapan, ya, Pak,” ucap Tiara pada sopir.Sopir mengangguk sopan. “Siap, Bu.”Sepanjang perjalanan, Tiara hanya bisa memandangi jalanan Jakarta yang ramai. Jantungnya berdegup tak karuan. Rasa khawatir dan harapan bercampur menjadi satu. Sudah lama Amara tak bertemu Shara secara langsung, meskipun komunikasi mereka tetap terjaga. Tiara tak bisa menyingkirkan kekhawatiran bahwa putrinya mungkin merasa asing.Setelah beberapa waktu, mobil mulai memasuki jalan kecil menuju panti. Tiara menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Begitu tiba, ia
Tiara melangkah anggun memasuki ballroom hotel, tempat acara gala berlangsung malam itu. Gaun panjang berwarna merah marun yang ia kenakan memeluk tubuhnya dengan sempurna. Sementara rambut cokelatnya dibiarkan terurai.Tiara sengaja menggunakan kacamata berwarna. Wajahnya kini tampak dewasa dan berkarisma, berbeda jauh dari sosok Tiara lima tahun lalu. Kehidupan yang keras di luar negeri telah mengajari Tiara banyak hal. Dan malam ini, dia kembali ke Indonesia dengan rencana yang matang."Hai, Cantik."Tiara menoleh dan mendapati orang yamg mengundangnya ke acara ini, sedang berdiri di belakang.Reyhan."Hai.""Kamu datang juga," ucap Reyhan senang. Tiara sedikit canggung tetapi mencoba percaya diri. Sekalipun saat ini kondisi ekonominya membaik, tetapi tetap saja dia awam tentang bisnis.Untunglah Tiara sering mengikuti acara pesta majikannya di Tiawan, walau tugasnya menjaga Nyonya Ling selama acara berlangsung. Sehingga dia bisa meniru cara mereka makan dan berbincang. "Pasti. A
Arya menatap wanita itu dari kejauhan. Matanya tak bisa lepas sejak pertama kali mereka bertemu di acara gala semalam. Ada sesuatu yang berbeda dari sosok wanita itu—sikapnya yang tenang tetapi penuh misteri. Auranya yang terasa asing tetapi begitu akrab. Arya tak bisa mengenyahkan perasaan bahwa dia pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya. Namun, kapan dan di mana, dia tak tahu pasti.Hari ini, Arya kembali melihat wanita itu, duduk sendirian di sudut kafe. Memandangi secangkir kopi dengan tenang. Pakaian simpel tetapi elegan, semakin menambah pesona wanita tersebut. Arya memutuskan bahwa kali ini, ia harus mendekatinya.Dengan langkah percaya diri, Arya menghampirinya. “Boleh saya duduk di sini?”Tiara, mengangkat pandangannya perlahan. Di balik kacamata hitam, wanita itu mengamati Arya sejenak sebelum mengangguk singkat. “Silakan.”Arya tersenyum dan duduk di hadapannya. “Hai, Sofia. Kita ketemu lagi.”Tiara mengangkat alis sedikit, tapi tetap mempertahankan sikap tenang.
Tiara berdiri di depan cermin, menatap sosoknya yang terpantul di sana. Dia menarik napas dalam-dalam dan berusaha menguatkan hati. Semuanya harus berjalan sempurna. Rencana untuk membalas dendam terhadap Arya kini dimulai. Tiara tahu bahwa untuk melakukannya, dia harus merancang langkah-langkah dengan sangat hati-hati.“Tiara, kamu siap?” sahabatnya, Rina, masuk ke dalam kamar dan menghampirinya. “Kamu terlihat cemas.”“Aku harus membuat Arya jatuh cinta padaku,” jawab Tiara gugup. Rina mengerutkan dahi. “Jatuh cinta? Tapi kamu bukan orang yang seperti itu. Kenapa harus jatuh cinta? Bukankah tujuan kamu adalah membalas dendam?”Tiara tersenyum tipis. “Aku tahu. Tapi untuk membalas dendam, aku harus membuatnya merasakan rasa sakit yang dalam. Dan cara terbaik adalah dengan memanipulasinya.”Rina mengangguk, mulai mengerti. “Jadi, kamu akan menggunakan perasaannya melawan dirinya sendiri?”“Persis,” Tiara menjawab dengan penuh keyakinan. “Aku akan menunjukkan padanya betapa menyedihk