Tiara berdiri di depan cermin kecil di kamar kos yang ia tempati bersama Rani. Perutnya yang semakin membesar kini sulit untuk disembunyikan.Tiara menghela napas panjang. Setiap hari perasaan khawatir menguasai hatinya. Takut jika seseorang mengenalinya atau lebih buruk lagi, Arya menemukannya. Tiara tahu bahwa dia tidak bisa terus-menerus bergantung pada Rani. Rasa bersalah karena terus menumpang membuatnya semakin merasa tidak nyaman."Kamu yakin mau kerja?" Suara Rani yang lembut terdengar dari balik pintu kamar. Tiara menoleh, mendapati sahabatnya berdiri dengan tatapan penuh kekhawatiran.Tiara tersenyum lemah. "Aku ndak bisa terus-terusan bergantung sama kamu. Kamu udah banyak bantu aku selama ini. Aku harus cari uang sendiri."Rani mendekat, duduk di sisi tempat tidur."Tapi kamu hamil. Kamu seharusnya istirahat, bukan malah kerja di kafe. Lagi pula, kalau ketahuan kamu hamil, mereka pasti nggak akan menerima kamu bekerja."Tiara menggeleng. "Aku bisa menyembunyikannya, Ran.
Tiara berlari dengan napas yang terengah-engah. Tangannya yang lemah memegang perut yang semakin besar. .encoba melindungi calon bayi yang semakin aktif bergerak di dalam rahimnya. Sore itu, matahari yang mulai tenggelam seakan menjadi saksi bisu perjuangannya untuk lari dari sosok bayangan yang terus mengikutinya. Tiara tahu, ini pasti salah satu orang suruhan Arya. Sudah beberapa kali dia merasa diikuti, tetapi kali ini berbeda. Orang itu lebih dekat, lebih gigih, dan seolah tidak ingin melepaskannya."Jangan lari! Kamu sudah diketahui.""Gusti Allah, tolong hamba."Dengan langkah cepat, Tiara berusaha masuk ke gang sempit di antara dua bangunan tinggi. Jalan ini mungkin tidak biasa dilalui orang-orang, tapi dia tidak punya pilihan lain. Langkah Tiara terhenti sejenak, menoleh ke belakang dan memastikan bahwa orang itu belum sepenuhnya mendekat. Namun, bayangan orang suruhan Arya masih terlihat di kejauhan, mengikuti setiap gerakannya."Aku ndak bisa terus begini. Aku harus seger
Tiara duduk di sofa ruang tamu, menggigit bibirnya yang mulai kering. Perasaan cemas masih memenuhi hatinya meskipun tubuhnya sudah lebih tenang setelah beristirahat semalam.Di hadapannya duduk pemilik rumah, orang yang telah menyelamatkannya kemarin saat dia pingsan. Wanita paruh baya itu menatap Tiara dengan lembut, mencoba memahami situasi yang sebenarnya."Kamu sudah merasa lebih baik hari ini?"Tiara mengangguk pelan. "Iya, Bu. Terima kasih banyak sudah menolong saya kemarin. Saya ndak tahu apa yang akan terjadi kalau Ibu ndak menemukan saya."Pemilik rumah tersenyum lembut, tangannya menyentuh tangan Tiara. "Tidak apa-apa, Nak. Setiap orang pasti butuh pertolongan di saat-saat sulit. Kamu bisa tinggal di sini lebih lama kalau kamu mau, tapi... sepertinya kamu punya banyak pikiran, ya?"Tiara menghela napas panjang, menunduk menatap perutnya yang semakin membesar. "Saya... ndak bisa terus-terusan merepotkan Ibu. Suami saya pasti akan mencari. Saya ndak mau melibatkan orang lain
Suasana di panti asuhan sore itu terasa tenang. Suara riuh rendah anak-anak yang bermain di halaman terdengar dari jauh. Tiara duduk di ruang tengah, membantu Bu Dewi mengurus beberapa berkas adopsi yang akan dikirimkan ke kantor yayasan. Hari-hari di panti telah memberinya sedikit kedamaian. Tiara tak lagi merasa tercekam oleh bayang-bayang Arya, meski setiap malam wajah pria itu masih menghantui pikirannya.Sambil mengelus perutnya yang semakin besar, Tiara tersenyum melihat anak-anak panti yang berlari-lari di halaman. Kehadiran mereka, meski bukan anak kandungnya, telah memberinya rasa hangat.Namun, setiap hari, perasaan cemas juga semakin menguat di dalam hatinya. Waktu kelahiran anaknya semakin dekat.Bu Dewi, yang duduk di sebelah Tiara, menatapnya dengan lembut. "Tiara, jamu sudah mendekati HPL, loh. Sudah siap menyambut bayimu?"Tiara tersenyum tipis, meski di dalam hatinya ada perasaan khawatir yang sulit diungkapkan. "Iya, Bu. Saya sudah mempersiapkan semuanya. Tapi...
Bandara udara internasional Soekarno-Hatta.Tiara duduk di salah satu bangku dekat ruang tunggu. Wajahnya tampak lelah, bukan karena fisik semata, melainkan emosional. Keputusan untuk pergi bekerja ke luar negeri adalah keputusan terberat dalam hidupnya. Bayangan wajah mungil Shara, putrinya terus terbayang di kepala. Terutama saat-saat terakhir di panti asuhan.Tiara memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya kembali terbang pada perpisahan yang begitu menyayat hati."Apa kamu sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu ini? Meninggalkan putrimu bukan keputusan yang mudah." Bu Dewi menyentuh pundak Tiara dengan lembut.Tiara menghela napas berat dengan mata berkaca-kaca."Saya sudah memikirkan ini matang-matang, Bu. Ini memang Tapi saya ndak punya pilihan lain. Saya harus bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan Shara. Saya ingin memberikan masa depan yang lebih baik untuknya."Bu Dewi menatap Tiara penuh pengertian."Ibu tahu kamu melakuka
Aroma daging kambing serta sapi panggang menguar di udara. Hari ini seluruh keluarga Diningrat berpesta. Pintu gerbang dibuka. Makanan berlimpah ruah disajikan untuk masyarakat. Narendra Mayangkara, putra Arya bersama Clarisa berulang tahun yang pertama. Lelaki itu tentu saja ingin merayakannya. Setelah melakukan prosesi tedak sinten di usia Narendra yang ke delapan bulan, kini mereka kembali mengadakan acara. Tak ada tiup lilin atau potong kue. Arya lebih memillih pesta rakyat. Awalnya Clarisa merasa keberatan. Wanita itu ingin pesta yang modern. Namun, Arya memilih untuk melestarikan budaya.Pesta rakyat, akan sangat membantu warga yang kesusahan. Tak hanya makanan, Arya juga membagikan ratusan bingkisan untuk dibawa pulang. "Itu Papa datang."Clarisa yang menggendong Narendra dengan sayang. "Hai anak papa. Lagi apa sama mama?" sapa Arya ramah."Lagi main, Pa.""Kok kamu ganteng banget. Mirip mama, ya," ucap Arya senang. Clarisa tersenyum bangga. "Iya, dia ganteng banget. Tapi
Lima tahun kemudian. Tiara duduk di sudut kamar mewah tempat dia bekerja. Matanya lelah menatap Nyonya Ling yang terbaring tak berdaya di ranjang. Nyonya Ling telah dirawat Tiara selama hampir lima tahun, sejak serangan stroke yang melumpuhkan sebagian tubuhnya. Namun, hari ini kondisinya tampak lebih buruk daripada sebelumnya."Nenek, ayo makan sedikit. Saya sudah buatkan bubur kesukaan Nenek."Tiara menyuapkan bubur itu dengan lembut. Namun, Nyonya Ling hanya memalingkan wajah. Bibirnya mengerut, menolak makanan seperti yang sering dilakukannya saat merasa tak nyaman.Tiara masih sabar membujuk, ketika pintu kamar Nyonya Ling terbuka. Salah satu anaknya masuk untuk melihat kondisi kesehatan ibu mereka. "Selamat sore, Tuan. Nona," sapa Tiara ramah. "Sore, Tiara."Tiara memberi kode agar anak Nyonya Ling mendekat ke arah tempat tidur ibu mereka. "Tiara, bagaimana hari ini? Apa kondisi ibu makin parah?" Anak tertua Nyonya Ling, seorang lelaki berusia empat puluhan, bertanya dengan
Bandara Internasional Taoyuan Taiwan.Suasana ramai tapi teratur. Tiara duduk di area tunggu kelas bisnis, sesekali menatap layar ponselnya sambil menghela napas. Setelah bertahun-tahun hidup di luar negeri, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Ada banyak hal yang harus dihadapi Tiara, terutama terkait masa lalunya dengan Arya dan keluarganya. Namun, ia sudah siap. Ia menatap paspornya sejenak, membayangkan bagaimana kehidupannya akan berubah lagi setelah kembali ke tanah air.Di sebelahnya, seorang lelaki muda mengenakan kemeja putih duduk sambil meminum kopi. Wajahnya tampan, dengan postur yang tegap. Tiara tak sengaja melirik ke arah lelaki itu dan mereka saling bertatapan. Lelaki itu tersenyum sopan, lalu meletakkan cangkir kopinya di atas meja.“Penerbangan ke Indonesia juga?” tanya pria itu ramah, memulai percakapan.Tiara tersenyum kecil, mengangguk. “Iya, Jakarta.”Pria itu mengulurkan tangan, memperkenalkan diri. “Nama saya Reyhan, kebetulan saya juga menuju Ja