Di sebuah kamar kos kecil yang hanya berukuran sekitar 3x4 meter, Tiara duduk termenung di atas kasur tipis yang beralaskan sprei sederhana. Matahari pagi mulai menyinari ruangan melalui jendela yang setengah terbuka. Namun suasana hatinya masih kelabu.Sudah beberapa hari Tiara menumpang tinggal di kos Rani, sahabat baiknya. Meski ia merasa aman untuk sementara, ketidakpastian terus membayangi. Tiara tahu dirinya tidak bisa berlama-lama di sini. Namun, untuk saat ini, ini satu-satunya tempat yang membuatnya merasa sedikit terlindungi dari dunia luar, terutama dari Arya.Pagi itu, rasa mual yang kerap menghampirinya belakangan ini kembali datang. Tiara merasakan perutnya bergejolak, dan ia langsung berlari ke kamar mandi. Suara muntahannya terdengar jelas, memecah keheningan pagi yang baru saja dimulai. Setelah selesai, wanita itu berjalan terhuyung-huyung kembali ke kamar.Wajah Tiara begitu pucat dan tubuhnya lemah. Rani yang baru saja selesai mandi, menghampiri sahabatnya dengan t
Di ruang kerja Arya yang megah, suasana tegang tergambar jelas. Seorang pengawal masuk dengan langkah tergesa-gesa. Wajahnya terlihat khawatir dan serius. Arya duduk di belakang meja kerja. Mata tajamnya menatap penuh tuntutan ke arah pengawal yang baru saja tiba."Ada apa? Apa yang kamu temukan?" tanya Arya dengan nada dingin tetapi penuh tekanan.Pengawal itu mengusap peluh di dahinya sebelum menjawab. "Tuan Arya, kami menemukan jejak Tiara. Sepertinya dia melarikan diri ke kota. Kami dapat informasi dari beberapa saksi mata yang melihat seorang wanita dengan ciri-ciri mirip Tiara di terminal bus."Arya langsung berdiri dari kursinya. "Kota mana? Apa kalian sudah memastikan dia?""Kami belum bisa memastikan sepenuhnya, tapi dia terlihat menaiki bus menuju arah kota. Kami sudah mengejar. Namun dia menghilang di tengah perjalanan," jelas pengawal itu sambil menunduk.Arya menggebrak meja dengan keras, membuat pengawal itu sedikit mundur karena kaget. "Kenapa kalian bisa lengah seper
Arya duduk di ruang meeting besar bersama para manager pabrik. Lelaki itu memimpin rapat pembahasan yang terasa begitu monoton di tengah tekanan yang menghantui pikirannya. Di depannya, layar proyektor menampilkan laporan tahunan, tetapi pikirannya terus melayang ke tempat lain, terutama tentang Tiara. Wanita itu telah menghilang dan Arya tak bisa berhenti memikirkan keberadaannya.Suara dering telepon tiba-tiba memecah konsentrasi Arya. Ponselnya bergetar di atas meja. Arya menunduk sejenak, melihat layar yang menunjukkan panggilan dari polisi kota. Tangannya dengan cepat meraih ponsel itu. Sementara para direksi di ruang meeting memandangnya dengan bingung."Maaf, ini penting," Arya berkata singkat, sebelum beranjak dari kursinya dan melangkah keluar ruangan untuk menjawab panggilan tersebut."Ya, halo?" suaranya tegang, penuh harap akan kabar tentang Tiara."Pak Arya, ini dari kantor polisi kota. Kami sudah melakukan pencarian lebih lanjut, dan ada perkembangan kecil. Kami menemu
Tiara berdiri di depan cermin kecil di kamar kos yang ia tempati bersama Rani. Perutnya yang semakin membesar kini sulit untuk disembunyikan.Tiara menghela napas panjang. Setiap hari perasaan khawatir menguasai hatinya. Takut jika seseorang mengenalinya atau lebih buruk lagi, Arya menemukannya. Tiara tahu bahwa dia tidak bisa terus-menerus bergantung pada Rani. Rasa bersalah karena terus menumpang membuatnya semakin merasa tidak nyaman."Kamu yakin mau kerja?" Suara Rani yang lembut terdengar dari balik pintu kamar. Tiara menoleh, mendapati sahabatnya berdiri dengan tatapan penuh kekhawatiran.Tiara tersenyum lemah. "Aku ndak bisa terus-terusan bergantung sama kamu. Kamu udah banyak bantu aku selama ini. Aku harus cari uang sendiri."Rani mendekat, duduk di sisi tempat tidur."Tapi kamu hamil. Kamu seharusnya istirahat, bukan malah kerja di kafe. Lagi pula, kalau ketahuan kamu hamil, mereka pasti nggak akan menerima kamu bekerja."Tiara menggeleng. "Aku bisa menyembunyikannya, Ran.
Tiara berlari dengan napas yang terengah-engah. Tangannya yang lemah memegang perut yang semakin besar. .encoba melindungi calon bayi yang semakin aktif bergerak di dalam rahimnya. Sore itu, matahari yang mulai tenggelam seakan menjadi saksi bisu perjuangannya untuk lari dari sosok bayangan yang terus mengikutinya. Tiara tahu, ini pasti salah satu orang suruhan Arya. Sudah beberapa kali dia merasa diikuti, tetapi kali ini berbeda. Orang itu lebih dekat, lebih gigih, dan seolah tidak ingin melepaskannya."Jangan lari! Kamu sudah diketahui.""Gusti Allah, tolong hamba."Dengan langkah cepat, Tiara berusaha masuk ke gang sempit di antara dua bangunan tinggi. Jalan ini mungkin tidak biasa dilalui orang-orang, tapi dia tidak punya pilihan lain. Langkah Tiara terhenti sejenak, menoleh ke belakang dan memastikan bahwa orang itu belum sepenuhnya mendekat. Namun, bayangan orang suruhan Arya masih terlihat di kejauhan, mengikuti setiap gerakannya."Aku ndak bisa terus begini. Aku harus seger
Tiara duduk di sofa ruang tamu, menggigit bibirnya yang mulai kering. Perasaan cemas masih memenuhi hatinya meskipun tubuhnya sudah lebih tenang setelah beristirahat semalam.Di hadapannya duduk pemilik rumah, orang yang telah menyelamatkannya kemarin saat dia pingsan. Wanita paruh baya itu menatap Tiara dengan lembut, mencoba memahami situasi yang sebenarnya."Kamu sudah merasa lebih baik hari ini?"Tiara mengangguk pelan. "Iya, Bu. Terima kasih banyak sudah menolong saya kemarin. Saya ndak tahu apa yang akan terjadi kalau Ibu ndak menemukan saya."Pemilik rumah tersenyum lembut, tangannya menyentuh tangan Tiara. "Tidak apa-apa, Nak. Setiap orang pasti butuh pertolongan di saat-saat sulit. Kamu bisa tinggal di sini lebih lama kalau kamu mau, tapi... sepertinya kamu punya banyak pikiran, ya?"Tiara menghela napas panjang, menunduk menatap perutnya yang semakin membesar. "Saya... ndak bisa terus-terusan merepotkan Ibu. Suami saya pasti akan mencari. Saya ndak mau melibatkan orang lain
Suasana di panti asuhan sore itu terasa tenang. Suara riuh rendah anak-anak yang bermain di halaman terdengar dari jauh. Tiara duduk di ruang tengah, membantu Bu Dewi mengurus beberapa berkas adopsi yang akan dikirimkan ke kantor yayasan. Hari-hari di panti telah memberinya sedikit kedamaian. Tiara tak lagi merasa tercekam oleh bayang-bayang Arya, meski setiap malam wajah pria itu masih menghantui pikirannya.Sambil mengelus perutnya yang semakin besar, Tiara tersenyum melihat anak-anak panti yang berlari-lari di halaman. Kehadiran mereka, meski bukan anak kandungnya, telah memberinya rasa hangat.Namun, setiap hari, perasaan cemas juga semakin menguat di dalam hatinya. Waktu kelahiran anaknya semakin dekat.Bu Dewi, yang duduk di sebelah Tiara, menatapnya dengan lembut. "Tiara, jamu sudah mendekati HPL, loh. Sudah siap menyambut bayimu?"Tiara tersenyum tipis, meski di dalam hatinya ada perasaan khawatir yang sulit diungkapkan. "Iya, Bu. Saya sudah mempersiapkan semuanya. Tapi...
Bandara udara internasional Soekarno-Hatta.Tiara duduk di salah satu bangku dekat ruang tunggu. Wajahnya tampak lelah, bukan karena fisik semata, melainkan emosional. Keputusan untuk pergi bekerja ke luar negeri adalah keputusan terberat dalam hidupnya. Bayangan wajah mungil Shara, putrinya terus terbayang di kepala. Terutama saat-saat terakhir di panti asuhan.Tiara memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya kembali terbang pada perpisahan yang begitu menyayat hati."Apa kamu sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu ini? Meninggalkan putrimu bukan keputusan yang mudah." Bu Dewi menyentuh pundak Tiara dengan lembut.Tiara menghela napas berat dengan mata berkaca-kaca."Saya sudah memikirkan ini matang-matang, Bu. Ini memang Tapi saya ndak punya pilihan lain. Saya harus bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan Shara. Saya ingin memberikan masa depan yang lebih baik untuknya."Bu Dewi menatap Tiara penuh pengertian."Ibu tahu kamu melakuka
Malam di Taiwan itu begitu indah, langit dipenuhi bintang-bintang yang bersinar terang. Seakan memberikan cahaya pada perjalanan baru Tiara dan Reyhan sebagai pasangan suami istri. Suasana kota yang ramai di siang hari kini berubah menjadi tenang dan damai. Dengan suara langkah kaki mereka yang bergema pelan di sepanjang jalan.Di sebelah mereka, Shara berjalan dengan ceria, menggandeng tangan Tiara. Sementara Darsih, berjalan di samping mereka."Aku nggak percaya kita akhirnya bisa liburan bareng kayak begini," kata Tiara sambil tersenyum lebar ke arah Reyhan. "Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan."Reyhan tersenyum dan merangkul bahu Tiara, "Aku juga merasa begitu. Kita sudah melewati banyak hal untuk sampai di titik ini, Tiara. Ini saat yang tepat untuk menikmati hidup."Mereka berjalan menyusuri jalanan yang dipenuhi dengan lampu-lampu warna-warni, menciptakan suasana yang romantis dan hangat.Shara terlihat sangat bahagia. Matanya berbinar-binar melihat lampu-lampu di sepa
Malam itu, suasana rumah Tiara begitu berbeda. Lampu-lampu kecil berbinar lembut di sepanjang taman belakang, memancarkan nuansa hangat dan romantis.Meja makan yang dihiasi lilin serta kelopak bunga mawar merah menjadi pusat perhatian. Reyhan telah merencanakan semuanya dengan sempurna.Ketika Tiara turun dari tangga, mengenakan gaun panjang berwarna biru lembut, Reyhan menatapnya tanpa berkedip. "Kamu cantik sekali malam ini," ucap Reyhan tulus, berdiri dan meraih tangan Tiara.Tiara tersenyum kecil, menyembunyikan kegugupannya. "Dan kamu selalu tampan," balasnya sambil tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana.Reyhan menarik kursi untuk Tiara. “Silakan, istriku.”Tiara duduk dengan anggun. Reyhan mengisi gelas untuk mereka berdua. Hidangan makan malam pun dimulai dengan suasana hangat. Mereka menikmati makanan favorit Tiara. Ternyata Reyhan sendiri pesan secara khusus dari restoran ternama.“Ini terlalu sempurna,” ucap Tiara setelah menyantap hidangan utamanya.Mata Tiara berb
Tiara berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan. Gaun itu tidak terlalu mencolok, tapi sangat pas dengan konsep intimate wedding yang mereka rencanakan. Di belakangnya, Shara berdiri memandangi sang mama dengan mata berbinar."Mama cantik sekali," ucap Shara penuh kekaguman.Tiara tersenyum, lalu membungkuk untuk memeluk Shara. "Makasih, Sayang. Kamu juga cantik dengan gaun kecilmu itu."Terdengar ketukan di pintu, lalu Reyhan masuk, mengenakan setelan jas abu-abu yang terlihat santai tapi tetap berkelas. "Apa aku boleh melihat calon istriku?" tanyanya sambil tersenyum.Tiara menoleh dan tersenyum lembut. "Kamu datang terlalu cepat. Kita belum mulai acaranya.""Kalau begitu, aku akan menunggu di luar. Tapi aku harus bilang, kamu terlihat sangat cantik hari ini, Tiara," Reyhan berkata sambil menatapnya penuh cinta.Saat Tiara hendak menjawab, salah satu panitia kecil mereka datang memanggil. "Semua sudah siap. Kita bisa mulai kapan saja."Tiara dan Reyha
Acara pertunangan Tiara dan Reyhan digelar sederhana namun penuh kehangatan di sebuah restoran yang disewa khusus. Dekorasi ruangan yang didominasi warna pastel dengan lampu gantung kecil menciptakan suasana romantis. Keluarga dan sahabat terdekat hadir, menyaksikan momen penting itu. Tiara, yang mengenakan dress anggun berwarna peach, tampak menawan. Sementara Reyhan tampil gagah dengan setelan jas abu-abu.Reyhan berdiri di depan semua tamu, mengambil mikrofon, dan mulai berbicara. “Selamat malam semuanya. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir di acara yang sangat spesial ini. Hari ini, saya ingin mengungkapkan rasa syukur karena bisa berdiri di sini. Di samping wanita yang luar biasa, Tiara. Dia adalah alasan aku ingin menjadi pria yang lebih baik setiap hari.”Tiara tersipu, menundukkan wajahnya sambil tersenyum malu-malu. Tepuk tangan terdengar dari para tamu. Termasuk Shara yang duduk di meja depan bersama Darsih, ibu Arya.Setelah pidato singkat Reyhan, seorang pela
Reyhan berdiri di tengah ruangan yang sudah dihias dengan indah untuk opening kedua usaha Tiara, yaitu monuman boba. Tempat itu dipenuhi dengan teman, keluarga, dan rekan bisnis yang datang untuk memberikan dukungan. Bu Dewi dan Rina juga datang. Bahkan anak-anak panti semua ikut serta dan diberikan seragam. Karena usaha yang ini letaknya di ruko dengan halaman luas, Tiara mengundang semua orang yang dikenalnya. Tiara mengenakan gaun simpel berwarna pastel yang membuatnya terlihat anggun. Ia sibuk menyambut tamu, mengobrol dengan beberapa mitra, dan memastikan semuanya berjalan lancar.Saat acara berjalan, Reyhan tampak lebih tenang dari biasanya, meski ada sesuatu yang mengganjal di wajahnya. Ia sering melirik Tiara, menunggu momen yang tepat."Reyhan, kenapa melamun? Semua sudah siap?" tanya Tiara saat menghampirinya dengan segelas minuman di tangan.Reyhan tersenyum. "Iya, semuanya sudah siap. Kamu tenang saja. Hari ini akan berjalan sempurna."Tiara mengangguk sambil membenahi r
Arya duduk di kursi belakang mobil, menatap kosong ke luar jendela. Langit mendung seperti hatinya. Pikirannya dipenuhi kekacauan. Bayangan Tiara yang dingin, pelukan Shara yang erat, dan kenangan pahit masa lalu. Ia merasa seperti orang yang kehilangan arah.Arya bergumam pelan."Apa semua ini salahku? Kalau aku dulu tidak gegabah bersikap… mungkin Tiara masih di sisiku. Tapi apa? Aku malah menghancurkan semua."Supir, yang mendengar gumaman itu, bertanya hati-hati."Den Arya, apa Anda baik-baik saja? Perlu kita berhenti sebentar?"Arya menggeleng sambil memaksakan senyum kecil. "Lanjutkan saja, Pak. Kita harus cepat sampai."Tiba-tiba, ponsel Arya bergetar. Ia merogoh benda itu dari saku jas. Nama Raka, salah satu polisi yang menyrlidiki kasus bapaknya, tertera di layar. Dengan cepat, Arya menjawab."Halo, Pak. Ada apa?" tanya Arya sedikit cemas.Suara di ujung telepon terdengar serius. "Mas Arya, kami punya perkembangan penting soal kasus kematian Tuan Baskoro. Kalau memungkinka
Arya memberhentikan mobilnya di depan lokasi yang Tiara kirimkan melalui pesan singkat. Sebuah rumah sederhana tapi nyaman terlihat dari luar. Shara, yang duduk di kursi belakang, tampak murung. Arya mematikan mesin mobil lalu menoleh ke putrinya, dan tersenyum lembut.“Shara, ayo turun. Papa antar kamu ke Mama,” katanya dengan suara penuh kasih.Shara menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak mau, Papa. Aku masih mau sama Papa.”Arya menelan ludah, hatinya mencelos melihat ekspresi Shara. “Sayang, Papa nggak akan pergi jauh kok. Papa selalu ada buat kamu, meskipun kita nggak tinggal bareng.”Shara tetap terdiam, mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Arya mencoba membujuknya lagi. “Gimana kalau Papa janji nanti kita jalan-jalan lagi? Kamu suka, kan, jalan-jalan sama Papa?”Shara akhirnya mengangguk, meski wajahnya masih muram. Arya keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Shara. Sambil menggandeng tangan putrinya, lelaki itu melangkah ke pintu depan rumah.
Opening usaha baru Tiara berlangsung meriah di dalam sebuah mall yang ramai pengunjung. Dekorasi minimalis dengan balon berwarna pastel menghiasi booth miliknya. Sementara staf berseragam rapi dan casual menyambut tamu-tamu yang datang. Tiara mengenakan seragam yang sama, berdiri di depan booth dengan Reyhan yang setia di sisinya. Mereka tersenyum pada setiap tamu yang datang memberikan ucapan selamat."Semangat, Cantik," ujar Reyhan sambil merapikan rambut Tiara yang sedikit terjatuh di wajahnya. "Ini adalah langkah besar untuk kita."Tiara mengangguk, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Beberapa hari terkahir ini, Reyhan kerap menyentuhnya tanpa sungkan. "Semoga semuanya berjalan lancar. Aku sedikit gugup."Reyhan merangkul Tiara dengan lembut. "Kamu pasti bisa. Semua ini hasil kerja kerasmu."Namun, kegugupan Tiara bertambah ketika dia melihat Arya tiba-tiba berdiri di antara kerumunan tamu yang memadati area sekitar booth. Arya mengenakan kemeja putih polos dan celana jean
Tiara dan Reyhan duduk berseberangan di sebuah meja kafe kecil di pinggir jalan, katalog franchise berserakan di atas meja. Tiara mengambil salah satu brosur dan membaca dengan serius. "Rey, ini kelihatannya menarik," katanya sambil menunjukkan brosur tentang franchise makanan penutup premium. "Mereka punya banyak pilihan menu yang unik. Dan tren dessert seperti ini sedang naik daun."Reyhan mengangguk, mengambil brosur itu dan membacanya. "Memang bagus. Konsepnya modern, dan kalau kita bisa dapat lokasi strategis, pasti ramai. Tapi lihat ini," ujarnya sambil mengambil brosur lain. "Franchise minuman boba ini juga menarik. Brand-nya sudah terkenal. Dan mereka punya konsep drive-thru yang jarang ada di Indonesia."Tiara tertawa kecil, lalu menggeleng. "Aku suka, tapi aku lebih tertarik sama yang dessert. Lebih cocok sama gaya dan seleraku."Reyhan tersenyum, meletakkan brosur boba itu kembali di meja. "Oke, jadi kita shortlist dua ini ya? Dessert premium dan boba. Selanjutnya kit