"Aku tidak butuh bantuanmu."Bruk!Arya terjatuh saat menaiki tangga. Lelaki itu kesulitan berdiri hingga Tiara membantunya. Sejujurnya gadis itu takut. Namun, rumah begitu sepi karena pekerja yang lain sudah tertidur. "Mari saya bantu, Den."Tiara memapah Arya walau berat. Tubuh mungilnya tak sanggup menahan bobot lelaki itu. Dengan tertatih-tatih, akhirnya mereka tiba di atas.Tiara melepaskan lengan Arya yang langsung luruh di lantai. Dia membuka pintu dengan pelan. Lalu membawa Arya ke ranjang."Berat sekali."Tubuh Arya yang berat terasa seperti beban. Namun Tiara tetap kuat, mencoba yang terbaik untuk memastikan lelaki itu merasa nyaman."Huek!"“Den Arya kenapa?” Tiara akhirnya memberanikan diri bertanya.Arya hanya merespons dengan geraman pelan. Lelaki itu menekan perutnya yang terasa mual. Arya berguling ke samping, mencoba menahan rasa tak nyaman yang semakin menguasainya. Kepalanya terasa berat, seolah dihimpit batu besar. Lambungnya terasa bergejolak. Membuat mual yang
Tiara bangun dengan tubuh lelah dan perasaan hancur. Cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela kamar mengingatkannya pada kenyataan pahit yang baru saja ia alami."Sakit sekali," lirihnya saat mencoba duduk.Tiara memegang perutnya, merasakan nyeri di bawah sana. Tadi malam Arya tak hanya melakukannya sekali, tetapi berulang kali sampai lelaki itu tidur. Tiara susah memohon, tetapi Arya tak peduli. Lelaki itu seperti orang kesetanan, menikmati dirinya tanpa ampun."Mengapa rasamu begini?" ujar Arya dalam kondisi mabuk. Bisa-bisanya dia kecanduan pada seorang gadis muda. Hiks!Tiara hanya menangis di bawah kungkungan lelaki itu tanpa bisa melawan. "Seperti mimpi tapi itu nyata."Tiara bangkit perlahan, mencoba untuk berdiri. Dia menuju kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Air yang megalir membasahi tubuhnya, sedikit menyegarkan. Walau rasa sakit di sekujur tubuh masih belum hilang.Ketika hendak berpakaian, Tiara terjejut melihat ada banyak tanda di tubuhnya. Arya benar-b
"Aku harus bicara dengan Tiara."Arya langsung keluar dari ruang meeting dan menuju mobilnya. Pikirannya hanya terpusat pada Tiara. Arya harus tahu bagaimana keadaannya. Apakah Tiara baik-baik saja setelah kejadian itu. Entah mengapa rasa bersalah yang menghantuinya sejak malam itu kini semakin kuat.***Saat tiba di rumah, Arya dengan cepat berjalan ke belakang dan melihat Tinah sedang menata beberapa barang di meja makan. Ia langsung menghampirinya."Di mana Tiara?"Tinah terlihat sedikit terkejut dengan kedatangan Arya yang mendadak. "Tiara di kamar, Den. Sepertinya lagi kurang sehat."Arya mengernyit mendengar itu. "Sakit? Sejak kapan?""Dari pagi, Den. Badannya lemas. Jalannya pincang. Mungkin kelelahan setelah acara tahlilan itu.""Jalannya pincang?""Iya, Den. Mungkin.... kecapean mencuci piring. Soalnya banyak sekali," ucap Tinah takut-takut. Arya terdiam dan entah mengapa merasa cemas. Ia ingin segera melihat Tiara, tetapi tiba-tiba rasa ragu menghampirinya. Setelah semu
Hoek!Tiara berlari menuju kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya. Tadi, saat membuka mata, wanita itu merasakan mual yang hebat. Hoek!Tiara berpegangan pada ujung bak mandi agar tak jatuh. Selain karena mual, kepalanya tiba-tiba pusing sehingga limbung."Aku kenapa ini?"Tiara melangkah keluar setelah merasa perutnya lebih baik. Dia duduk di depan cermin kamar, menatap wajahnya yang semakin hari semakin pucat. Rasa mual yang sering menyerang di pagi hari kini semakin sulit diabaikan. Sudah beberapa kali, Tiara muntah tanpa alasan yang jelas. Namun, ia menyembunyikan kondisinya kepada orang lain, termasuk Arya. Meskipun statusnya sebagai istri siri Arya, Tiara tetaplah pelayan yang dipekerjakan. Dia tetap menjaga segala hal tetap berjalan normal, setidaknya di mata orang-orang di rumah.Tiara berbisik pada dirinya sendiri, menatap perutnya yang masih rata. "Apa aku benar-benar hamil?"Pikiran itu semakin menghantuinya setiap hari. Namun, ia belum siap untuk menghadapi kenyataan
"Apa benar kau hamil?"Tiara terdiam, lalu mengangguk lemah. Wanita itu bahkan mengusap perutnya dengan lembut untuk melihat reaksi Arya.Jika Arya memang tak peduli kepadanya, setidaknya lelaki itu memperhatikan calon anaknya kelak. Sayanganya, yang Tiara dapatkan hanya sikap dingin dan ketidakpedulian. "Gugurkan!""Den--""Malam itu aku mabuk, jadi aku melakukannya. Jangan berpikir aku akan kasihan padamu sekalipun statusmu adalah istriku."Arya menatap Tiara dengan tajam. Ucapannya barusan menegaskan bahwa dia tak akan bertanggung jawab atas janin yang ada di kandungan wanita itu. "Aku akan memberimu uang dan meminta Karjo mengantarmu ke tempat itu." Tiara kembali tersentak. Tubuh wanita itu gemetaran menahan emosi. Jika tak ingat resiko, maka dia akan berteriak dan mengamuk kepada Arya."Ingat, Tiara. Kau hanya pembantu di rumah ini."Arya kembali menegaskan."Jangankan mengakui anak itu. Aku bahkan tak sudi mempunyai darah daging dari anak pembunuh bapakku!"*** Pagi itu, dap
Tiara duduk termenung di tepi ranjang. Tangannya perlahan mengelus perut yang semakin membesar. Dia belum siap untuk menjadi ibu, terlebih dengan situasi yang begitu rumit ini. Rasa takut, marah, dan putus asa bercampur aduk di dalam dirinya. Tiara memikirkan satu keputusan yang sangat berat, yaitu melarikan diri. Tiara tidak ingin anaknya lahir dalam situasi yang penuh tekanan seperti ini. Hati yang hancur menbuat pikirannya mulai mengarah ke keputusan paling drastis, yaitu menggugurkan kandungan.Saat sedang larut dalam pikirannya, pintu kamarnya diketuk dengan kasar. Salah satu pengawal Arya masuk tanpa menunggu jawaban."Den Arya sudah memberikan instruksi. Saya akan mengantar kamu ke tempat yang sudah ditentukan."Tiara mengangguk pelan, merasa tubuhnya lemas. Tidak ada lagi pilihan lain yang tersisa. Di bawah tekanan Arya, Tiara tahu bahwa lelaki itu tidak ingin anak mereka lahir. Arya sudah memutuskan untuknya, termasuk keputusan untuk menggugurkan kandungan itu. Tiara hanya
Tiara duduk di kursi belakang bus, menatap keluar jendela dengan pikiran kalut. Angin yang masuk melalui jendela sedikit menyejukkan keningnya yang panas, karena rasa takut dan khawatir yang terus menggelayut. Setelah Arya memintanya untuk mengugurkan kandungan, akhirnya Tiara memutuskan untuk pergi. Meninggalkan semua yang berkaitan dengan lelaki itu dan hidup yang penuh penderitaan. Tidak ada lagi jalan kembali. Satu-satunya jalan adalah melarikan diri, sejauh mungkin dari cengkeraman Arya.Cincin yang diberikan Arya saat mereka menikah siri sudah ia jual pagi tadi. Dengan uang itu, Tiara berhasil membeli tiket bus menuju kota yang dulu pernah menjadi tempat tinggalnya saat masih kuliah. Kota itu bukan hanya penuh kenangan manis, tapi juga menjadi tempat tinggal salah satu sahabat terbaiknya, Rani. Sahabat yang ia harap bisa memberinya perlindungan, setidaknya untuk sementara waktu."Hoek!"Tiara kembali merasakan mual yang menghebat. Wanita itu sudah muntah sesaat sebelum naik b
Di sebuah kamar kos kecil yang hanya berukuran sekitar 3x4 meter, Tiara duduk termenung di atas kasur tipis yang beralaskan sprei sederhana. Matahari pagi mulai menyinari ruangan melalui jendela yang setengah terbuka. Namun suasana hatinya masih kelabu.Sudah beberapa hari Tiara menumpang tinggal di kos Rani, sahabat baiknya. Meski ia merasa aman untuk sementara, ketidakpastian terus membayangi. Tiara tahu dirinya tidak bisa berlama-lama di sini. Namun, untuk saat ini, ini satu-satunya tempat yang membuatnya merasa sedikit terlindungi dari dunia luar, terutama dari Arya.Pagi itu, rasa mual yang kerap menghampirinya belakangan ini kembali datang. Tiara merasakan perutnya bergejolak, dan ia langsung berlari ke kamar mandi. Suara muntahannya terdengar jelas, memecah keheningan pagi yang baru saja dimulai. Setelah selesai, wanita itu berjalan terhuyung-huyung kembali ke kamar.Wajah Tiara begitu pucat dan tubuhnya lemah. Rani yang baru saja selesai mandi, menghampiri sahabatnya dengan t
Malam di Taiwan itu begitu indah, langit dipenuhi bintang-bintang yang bersinar terang. Seakan memberikan cahaya pada perjalanan baru Tiara dan Reyhan sebagai pasangan suami istri. Suasana kota yang ramai di siang hari kini berubah menjadi tenang dan damai. Dengan suara langkah kaki mereka yang bergema pelan di sepanjang jalan.Di sebelah mereka, Shara berjalan dengan ceria, menggandeng tangan Tiara. Sementara Darsih, berjalan di samping mereka."Aku nggak percaya kita akhirnya bisa liburan bareng kayak begini," kata Tiara sambil tersenyum lebar ke arah Reyhan. "Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan."Reyhan tersenyum dan merangkul bahu Tiara, "Aku juga merasa begitu. Kita sudah melewati banyak hal untuk sampai di titik ini, Tiara. Ini saat yang tepat untuk menikmati hidup."Mereka berjalan menyusuri jalanan yang dipenuhi dengan lampu-lampu warna-warni, menciptakan suasana yang romantis dan hangat.Shara terlihat sangat bahagia. Matanya berbinar-binar melihat lampu-lampu di sepa
Malam itu, suasana rumah Tiara begitu berbeda. Lampu-lampu kecil berbinar lembut di sepanjang taman belakang, memancarkan nuansa hangat dan romantis.Meja makan yang dihiasi lilin serta kelopak bunga mawar merah menjadi pusat perhatian. Reyhan telah merencanakan semuanya dengan sempurna.Ketika Tiara turun dari tangga, mengenakan gaun panjang berwarna biru lembut, Reyhan menatapnya tanpa berkedip. "Kamu cantik sekali malam ini," ucap Reyhan tulus, berdiri dan meraih tangan Tiara.Tiara tersenyum kecil, menyembunyikan kegugupannya. "Dan kamu selalu tampan," balasnya sambil tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana.Reyhan menarik kursi untuk Tiara. “Silakan, istriku.”Tiara duduk dengan anggun. Reyhan mengisi gelas untuk mereka berdua. Hidangan makan malam pun dimulai dengan suasana hangat. Mereka menikmati makanan favorit Tiara. Ternyata Reyhan sendiri pesan secara khusus dari restoran ternama.“Ini terlalu sempurna,” ucap Tiara setelah menyantap hidangan utamanya.Mata Tiara berb
Tiara berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan. Gaun itu tidak terlalu mencolok, tapi sangat pas dengan konsep intimate wedding yang mereka rencanakan. Di belakangnya, Shara berdiri memandangi sang mama dengan mata berbinar."Mama cantik sekali," ucap Shara penuh kekaguman.Tiara tersenyum, lalu membungkuk untuk memeluk Shara. "Makasih, Sayang. Kamu juga cantik dengan gaun kecilmu itu."Terdengar ketukan di pintu, lalu Reyhan masuk, mengenakan setelan jas abu-abu yang terlihat santai tapi tetap berkelas. "Apa aku boleh melihat calon istriku?" tanyanya sambil tersenyum.Tiara menoleh dan tersenyum lembut. "Kamu datang terlalu cepat. Kita belum mulai acaranya.""Kalau begitu, aku akan menunggu di luar. Tapi aku harus bilang, kamu terlihat sangat cantik hari ini, Tiara," Reyhan berkata sambil menatapnya penuh cinta.Saat Tiara hendak menjawab, salah satu panitia kecil mereka datang memanggil. "Semua sudah siap. Kita bisa mulai kapan saja."Tiara dan Reyha
Acara pertunangan Tiara dan Reyhan digelar sederhana namun penuh kehangatan di sebuah restoran yang disewa khusus. Dekorasi ruangan yang didominasi warna pastel dengan lampu gantung kecil menciptakan suasana romantis. Keluarga dan sahabat terdekat hadir, menyaksikan momen penting itu. Tiara, yang mengenakan dress anggun berwarna peach, tampak menawan. Sementara Reyhan tampil gagah dengan setelan jas abu-abu.Reyhan berdiri di depan semua tamu, mengambil mikrofon, dan mulai berbicara. “Selamat malam semuanya. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir di acara yang sangat spesial ini. Hari ini, saya ingin mengungkapkan rasa syukur karena bisa berdiri di sini. Di samping wanita yang luar biasa, Tiara. Dia adalah alasan aku ingin menjadi pria yang lebih baik setiap hari.”Tiara tersipu, menundukkan wajahnya sambil tersenyum malu-malu. Tepuk tangan terdengar dari para tamu. Termasuk Shara yang duduk di meja depan bersama Darsih, ibu Arya.Setelah pidato singkat Reyhan, seorang pela
Reyhan berdiri di tengah ruangan yang sudah dihias dengan indah untuk opening kedua usaha Tiara, yaitu monuman boba. Tempat itu dipenuhi dengan teman, keluarga, dan rekan bisnis yang datang untuk memberikan dukungan. Bu Dewi dan Rina juga datang. Bahkan anak-anak panti semua ikut serta dan diberikan seragam. Karena usaha yang ini letaknya di ruko dengan halaman luas, Tiara mengundang semua orang yang dikenalnya. Tiara mengenakan gaun simpel berwarna pastel yang membuatnya terlihat anggun. Ia sibuk menyambut tamu, mengobrol dengan beberapa mitra, dan memastikan semuanya berjalan lancar.Saat acara berjalan, Reyhan tampak lebih tenang dari biasanya, meski ada sesuatu yang mengganjal di wajahnya. Ia sering melirik Tiara, menunggu momen yang tepat."Reyhan, kenapa melamun? Semua sudah siap?" tanya Tiara saat menghampirinya dengan segelas minuman di tangan.Reyhan tersenyum. "Iya, semuanya sudah siap. Kamu tenang saja. Hari ini akan berjalan sempurna."Tiara mengangguk sambil membenahi r
Arya duduk di kursi belakang mobil, menatap kosong ke luar jendela. Langit mendung seperti hatinya. Pikirannya dipenuhi kekacauan. Bayangan Tiara yang dingin, pelukan Shara yang erat, dan kenangan pahit masa lalu. Ia merasa seperti orang yang kehilangan arah.Arya bergumam pelan."Apa semua ini salahku? Kalau aku dulu tidak gegabah bersikap… mungkin Tiara masih di sisiku. Tapi apa? Aku malah menghancurkan semua."Supir, yang mendengar gumaman itu, bertanya hati-hati."Den Arya, apa Anda baik-baik saja? Perlu kita berhenti sebentar?"Arya menggeleng sambil memaksakan senyum kecil. "Lanjutkan saja, Pak. Kita harus cepat sampai."Tiba-tiba, ponsel Arya bergetar. Ia merogoh benda itu dari saku jas. Nama Raka, salah satu polisi yang menyrlidiki kasus bapaknya, tertera di layar. Dengan cepat, Arya menjawab."Halo, Pak. Ada apa?" tanya Arya sedikit cemas.Suara di ujung telepon terdengar serius. "Mas Arya, kami punya perkembangan penting soal kasus kematian Tuan Baskoro. Kalau memungkinka
Arya memberhentikan mobilnya di depan lokasi yang Tiara kirimkan melalui pesan singkat. Sebuah rumah sederhana tapi nyaman terlihat dari luar. Shara, yang duduk di kursi belakang, tampak murung. Arya mematikan mesin mobil lalu menoleh ke putrinya, dan tersenyum lembut.“Shara, ayo turun. Papa antar kamu ke Mama,” katanya dengan suara penuh kasih.Shara menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak mau, Papa. Aku masih mau sama Papa.”Arya menelan ludah, hatinya mencelos melihat ekspresi Shara. “Sayang, Papa nggak akan pergi jauh kok. Papa selalu ada buat kamu, meskipun kita nggak tinggal bareng.”Shara tetap terdiam, mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Arya mencoba membujuknya lagi. “Gimana kalau Papa janji nanti kita jalan-jalan lagi? Kamu suka, kan, jalan-jalan sama Papa?”Shara akhirnya mengangguk, meski wajahnya masih muram. Arya keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Shara. Sambil menggandeng tangan putrinya, lelaki itu melangkah ke pintu depan rumah.
Opening usaha baru Tiara berlangsung meriah di dalam sebuah mall yang ramai pengunjung. Dekorasi minimalis dengan balon berwarna pastel menghiasi booth miliknya. Sementara staf berseragam rapi dan casual menyambut tamu-tamu yang datang. Tiara mengenakan seragam yang sama, berdiri di depan booth dengan Reyhan yang setia di sisinya. Mereka tersenyum pada setiap tamu yang datang memberikan ucapan selamat."Semangat, Cantik," ujar Reyhan sambil merapikan rambut Tiara yang sedikit terjatuh di wajahnya. "Ini adalah langkah besar untuk kita."Tiara mengangguk, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Beberapa hari terkahir ini, Reyhan kerap menyentuhnya tanpa sungkan. "Semoga semuanya berjalan lancar. Aku sedikit gugup."Reyhan merangkul Tiara dengan lembut. "Kamu pasti bisa. Semua ini hasil kerja kerasmu."Namun, kegugupan Tiara bertambah ketika dia melihat Arya tiba-tiba berdiri di antara kerumunan tamu yang memadati area sekitar booth. Arya mengenakan kemeja putih polos dan celana jean
Tiara dan Reyhan duduk berseberangan di sebuah meja kafe kecil di pinggir jalan, katalog franchise berserakan di atas meja. Tiara mengambil salah satu brosur dan membaca dengan serius. "Rey, ini kelihatannya menarik," katanya sambil menunjukkan brosur tentang franchise makanan penutup premium. "Mereka punya banyak pilihan menu yang unik. Dan tren dessert seperti ini sedang naik daun."Reyhan mengangguk, mengambil brosur itu dan membacanya. "Memang bagus. Konsepnya modern, dan kalau kita bisa dapat lokasi strategis, pasti ramai. Tapi lihat ini," ujarnya sambil mengambil brosur lain. "Franchise minuman boba ini juga menarik. Brand-nya sudah terkenal. Dan mereka punya konsep drive-thru yang jarang ada di Indonesia."Tiara tertawa kecil, lalu menggeleng. "Aku suka, tapi aku lebih tertarik sama yang dessert. Lebih cocok sama gaya dan seleraku."Reyhan tersenyum, meletakkan brosur boba itu kembali di meja. "Oke, jadi kita shortlist dua ini ya? Dessert premium dan boba. Selanjutnya kit