Tubuh Shenka membeku dalam seketika. Bola matanya membesar, menatap Hans dengan tatapan tidak percaya.
"Sepertinya kau sudah tidak waras, Tuan. Bagaimana bisa kau memintaku jadi kekasihmu sementara kita tidak saling kenal?" protes Shenka.
"Aku tidak peduli! Pertemuan malam itu telah membuatku jatuh cinta padamu," tegas Hans.
"Aku juga tak peduli! Itu adalah perasaanmu, jadi tidak ada urusannya denganku. Sekarang pergilah, kau telah menyita waktuku," balas Shenka sambil mendorong tubuh Hans menjauh.
"Tunggu."
Hans mencegah kepergian Shenka dengan mencekal lengannya.
"Apakah begini karakter asli putra Adalrich yang terhormat?" sindir Shenka.
Ia menatap sinis pada tangan Hans yang mencengkeram lengannya. Sadar arah pandangan Shenka, Hans pun segera melepaskan tangannya.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu," kata Hans penuh sesal.
Ia menyesali kebodohannya yang tidak bisa mengendalikan diri di hadapan Shenka. Itu ia lakukan semata-mata karena rasa penasarannya ingin membuktikan apa yang tubuhnya rasakan sejak malam itu.
Shenka tidak menanggapi permintaan maaf Hans. Dia terus berlalu meninggalkan pria itu tanpa menoleh lagi ke belakang.
Sesampai di rumah, Mila langsung mencecarnya dengan pertanyaan.
"Kamu dari mana saja, Shen? Aku panggil-panggil sejak tadi," kata Mila khawatir.
"Oh ... ga kemana-mana, tadi seperti ada yang mengetuk pintu, pas aku lihat keluar ga ada siapa-siapa," jawab Shenka berbohong.
"Pasti kerjaan orang iseng. Lain kali gak usah ditanggapi. Bagaimana kalau kamu bertemu orang yang berniat jahat? Bahaya, Shen."
"Ya, ampun, Mil. Cuma di depan rumah aja orang bisa berbuat apa?"
"Di dalam rumah aja bisa kejadian, apa lagi di luar rumah. Ga ada yang ga bisa mereka lakukan kalau niat jahat itu sudah ada, Shen," tukas Mila.
"Ya, deh. Iya. Lain kali aku lebih berhati-hati," sahut Shenka mengalah. "Oh ya, aku menemukan selebaran ini di depan pintu. Seperti cocok deh buat kamu," sambung Shenka mengalihkan pembicaraan.
Mila mengambil selebaran itu dari tangan Shenka, lalu membacanya. Ternyata informasi lowongan perkerjaan di sebuah kafe.
"Aku kembali ke kelab aja deh, Shen. Ga enak sama Rovan, dia kan yang mengajakku ke sana. Sekarang dia pasti pusing kekurangan karyawan," tolak Mila.
"Mereka kan tinggal rekrut karyawan baru, Mil. Setelah perlakuan buruk member VIP mereka, kamu masih mau kembali ke sana?" tanya Shenka tidak mengerti.
"Masalah dengan member VIP itu kan masalah pribadi, Shen. Ga ada hubungan dengan perkerjaan. Lagi pula kamu pikir mudah mencari karyawan yang langsung hapal dengan ratusan merk minuman itu? Gak mudah, Shen," jelas Mila. "Kamu tenang saja, aku baik-baik saja kok. Lagi pula aku juga suka kerja di sana, gajinya lumayan, bonus pun banyak," jelas Mila panjang lebar.
Mendengar penjelasan Mila, Shenka pun tidak mau memaksakan pendapatnya lagi.
"Kalau kamu yakin memang ga ada masalah, ya sudah aku ga akan halangi lagi," ujar Shenka sambil melebarkan senyum.
Ia menepuk pundak Mila pelan, lalu lanjut masuk ke kamar.
***Hans kembali ke rumah dalam keadaan gusar. Baru kali ini ada wanita yang menolak dirinya. Biasanya mereka justru tebar pesona untuk menarik perhatiannya."Siapa gadis itu sebenarnya? Mengapa dia begitu berani melawanku padahal jelas-jelas dia tahu siapa aku?" gumam Hans kesal.
Masih diliputi amarah, Hans mengeluarkan ponselnya lalu dengan sigap menghubungi Jason, asisten pribadinya.
"Bantu aku mencari latar belakang seseorang," katanya begitu telepon itu tersambung.
"Siapa, Bos? Apakah gadis yang di kelab kemarin malam?" tebak Jason sambil tertawa.
Jason memang asisten pribadi Hans, tetapi ia juga sahabat Hans sejak di bangku kuliah. Hanya padanyalah Hans berbagi semua hal termasuk aib dirinya. Jadi tidak heran, di saat berdua saja, cara berbicara mereka tidak lagi terlihat seperti atasan dan bawahan.
"Sialan kau. Jangan tertawakan aku," protes Hans.
"Hahaha ... aku dengar dari Roby, katanya gadis itu masih muda sekali. Bagaimana rasa bibirnya, bro?" tanya Jason lagi, masih menggoda Hans yang semakin keki.
Hans terdiam mendengar pertanyaan Jason. Secara spontan tubuhnya kembali bereaksi karena ingatannya sendiri.
Sadar bahwa Hans tidak langsung merespon kata-katanya, Jason pun kembali bertanya.
"Hei, apakah kali ini kau benar-benar merasakan sesuatu? Benarkah?" tanya Jason, membuyarkan lamunan Hans akan ciumannya dengan Shenka.
"Ya. Untuk pertama kalinya, Bro. Aku merasakan reaksi atas sentuhan wanita," jawab Hans jujur.
"Wow! Congrats, bro. Ini berita bagus. Tunggu apa lagi, segeralah dekati dia. Jadikan dia kekasihmu," kata Jason memberi semangat.
Tidak ada orang yang lebih memahami kondisi Hans selain dirinya. Itulah sebabnya Jason merasa bahagia sekali begitu mendengar tubuh Hans bereaksi terhadap wanita. Sebagai pria, ia bisa merasakan betapa tersiksanya batin Hans selama ini. Harus berpura-pura normal di hadapan orang banyak.
Hans menghela napas panjang.
"Tidak semudah itu, Jas. Dia terang-terangan menolakku," jawab Hans lesu.
"Gadis itu menolakmu? Waaah ... ini baru berita luar biasa. Kena batunya juga kau, kawan. Hahaha." Jason meledek Hans habis-habisan.
"Sialan kau. Mau bantuin ga sih? Ketawa terus dari tadi," sungut Hans kesal.
"Hehehe ... bercanda, bro. Tenang saja, aku akan selidiki latar belakang gadis itu. Siapa namanya? Shena? Sheka?"
"Shenka. Lengkapnya aku gak tahu," ujar Hans meluruskan.
"Oh, tidak masalah. Nanti aku akan cari sendiri," jawab Jason percaya diri.
"Thank you, bro. Aku mengandalkanmu," kata Hans sepenuh hati.
Ia menutup sambungan telepon itu terlebih dahulu. Sekarang Hans bisa sedikit lega karena sebagian beban pikirannya sudah ia bagi dengan sahabatnya itu.
***
Keesokan malamnya, Mila kembali berkerja di kelab. Seolah tidak terjadi peristiwa apa pun, setelah datang ia langsung mengerjakan tugas yang biasa ia lakukan.
"Mil, tamu di ruang VIP nomor 5 menanyakanmu," kata Rossy, salah satu rekan kerjanya.
"Siapa?" tanya Mila.
"Aku tidak kenal. Wajah baru," jawab Rossy sambil berlalu.
"Kalau wajah baru bagaimana dia bisa tahu namaku?" tanya Mila.
Namun, Rossy yang ditanya sudah tak ada lagi di dekatnya. Dengan enggan akhirnya Mila mendatangi ruangan VIP itu.
"Selamat malam, Tuan. Saya Mila, ada yang bisa saya bantu?" tanya Mila dengan sopan.
Dua orang pria di dalam ruangan itu menatap Mila dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Jadi kamu yang namanya Mila?" tanya salah satu pria.
"Benar, Tuan. Saya Mila. Ada yang bisa saya bantu?" jawab Mila, lalu kembali bertanya dengan sopan.
"Kemarilah, temani kami minum," kata pria satunya lagi dengan arogan.
Pengalaman berkerja di kelab malam selama dua tahun terakhir membuat Mila bisa mengetahui niat tak beres dari dua pria di hadapannya.
"Maaf, Tuan. Saya bisa menyajikan minuman untuk Anda, tetapi saya tidak bisa menemani tamu," tolak Mila sopan. "Jika Anda ingin ditemani wanita, saya akan panggilkan rekan kerja yang bertugas untuk itu," sambung Mila.
"Hallllaah ... kerja di kelab malam pun berlagak sok suci. Jangan berlagak jual mahal kamu," tuding pria yang berbaju merah.
"Maaf, Tuan. Saya bukan berlagak jual mahal, tetapi memang mematuhi aturan kelab ini. Saya waitress, bukan pendamping tamu," jelas Mila.
"Banyak bacot kamu. Hans sudah cerita siapa kamu pada kami," sanggah pria satunya lagi.
Mendengar nama Hans, wajah Mila langsung memucat.
"Maksud Anda, Hans Daromesh?" tanya Mila untuk memastikan.
"Ya. Dia sudah cerita semua hal yang dia lakukan bersamamu," lanjut pria itu.
Wajah Mila semakin pucat, ia tidak menyangka jika mantan kekasihnya itu akan mengumbar aib dirinya pada orang lain.
"Sudaaah, jangan banyak mikir kamu, duduk sini, temani kami minum," kata pria itu lagi.
Dengan kasar dia menarik tangan Mila, hingga terduduk di sampingnya.
"Lepaskan saya, Tuan Anda tidak boleh melakukan ini!" protes Mila kembali berdiri.
Ia masih berusaha untuk bersikap sopan karena mereka adalah tamu VIP kelab itu.
"Saya bilang, kamu jangan jual mahal!"
Pria itu membentak Mila. Sebelah tangannya dengan lancang menarik baju Mila hingga robek.
"Apa yang Anda lakukan?!" pekik Mila sambil menutupi bagian pahanya yang terekspos.
Kedua pria itu bukannya bersimpati, justru tertawa dengan kuat.
"Kurang besar, Bro. Tambah lagi robekannya!" hasut teman pria itu.
Pria itu mengangguk, kembali menarik rok Mila yang sudah robek itu. Mila berteriak, berusaha melarikan diri, tetapi tidak bisa karena pria itu masih memegang belahan roknya yang robek.
Dalam suasana tegang itu, tiba-tiba terdengar suara bariton menggelegar.
"Ada apa ini? Siapa yang berani berbuat onar di kelabku?!"
"Ada apa ini? Siapa yang berani berbuat onar di kelabku?!" tanya Hans sambil berkacak pinggang di depan pintu.Mendengar bentakan Hans yang penuh wibawa, pria itu melepaskan tangannya dari rok Mila.Mila langsung berlari sambil memegangi roknya yang robek. Melihat itu Hans langsung melepaskan jasnya, lalu memberikannya pada Mila."Pakai ini," perintahnya.Mila mengangguk, menerima jas itu lalu melilitkannya ke pinggang. Setelah itu ia kembali ke tempatnya semula."Bereskan masalah ini. Tidak peduli siapa orangnya, aku menolak orang-orang cabul sebagai pelanggan kelab ini," perintah Hans pada Rovan, sang manajer kelab."Baik, Bos. Saya pastikan mereka akan menerima sanksinya," kata Rovan mantap.Hans pergi dari ruangan itu, lalu menyusul Mila yang sudah kembali ke balik meja bar."Kamu ... membawa baju ganti?" tanya Hans perhatian."Tidak, Pak. Tetapi jangan khawatir, teman saya dalam perjalanan mengantarkan seragam
"Kenapa kamu menatapku begitu? Apakah di tubuhku ada yang aneh?" tanya Shenka.Hans berdehem, membersihkan tenggorokannya yang mendadak terasa kesat."Bukan aneh," jawab Hans parau."Lalu?""Menggairahkan. Wajahmu, tubuhmu, semuanya ... membangkitkan gairahku," jawab Hans dalam hati."Hellooo ...," tegur Shenka sambil mengetuk meja, membuat Hans terperanjat."Oh ... bukan aneh, tetapi cantik. Kamu cantik sekali, Shenka," puji Hans.Wajah Shenka merona, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang mendengar pujian itu. Dengan elegan dia menanggapi pujian dari Hans."Kamu belum mengenalku dengan baik. Setelah mengenalku, kamu pasti menyesal telah berkata begitu," kata Shenka sambil tertawa."Oh, ya? Aku jadi penasaran ingin mengenalmu lebih jauh," kata Hans lagi.Shenka ingin membalas kata-kata Hans, tetapi batal karena tiba-tiba sebuah suara terdengar mendahuluinya."Shenka itu cuma cantik di luar aja, Pak. Aslinya
Hans tergugu mendengar pertanyaan Shenka. Ia tidak menyangka jika gadis itu juga memiliki hobi yang sama dengannya. Tidak hanya itu, gadis itu bahkan hapal dengan jalan cerita novel yang ia baca. Mendadak Hans merasa ada gumpalan pasir di tenggorokannya. ia tercekat, kesulitan untuk langsung menjawab."Oh, tidak ada yang spesifik. Hanya saja terkadang dalam beberapa dialog dan kejadian, aku merasa relate dengan perasaan tokohnya," jawab Hans berdalih.Ia menghembuskan napas lega diam-diam saat Shenka kembali melemparkan pandangannya ke lantai dansa.Setelah cukup lama terdiam, Shenka kembali memutar tubuhnya menghadap Hans. Ia menghabiskan minumannya, lalu melirik penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangannya."Sudah sangat larut, aku pulang dulu," pamit Shenka seraya berdiri dari kursinya."Tunggu," cegat Hans, tanpa sadar mencekal pergelangan tangan Shenka. Gadis itu mengernyit, melayangkan tatapan protes lewat sudut matanya."Ma-maaf," cicit Hans se
Shenka meradang mendengar kata-kata Hans yang menyudutkannya."Apa urusanmu menanyakan hal itu padaku? Terserah aku mau naik mobil siapa. Lagian kamu siapa, sih? Saudara bukan, pacar pun bukan. Apa hakmu mengatur-ngatur hidupku?" sergah Shenka emosi.Hans memukul pintu dengan kesal."Itu karena aku mengkhawatirkanmu, Shenka," tandas Hans dengan mengatupkan rahang."Sudahlah. Ini terakhir kalinya kamu bersikap begini. Lain kali aku tidak akan memaafkanmu. Aku paling benci dengan orang yang mencampuri urusanku. Pulanglah. Aku mau tidur," usir Shenka seraya menutup pintu.Namun, Hans menahan pintu itu dengan tangannya."Apa yang kamu lakukan?" tanya Shenka, nyaris berteriak."Shenka, please. Jangan lakukan itu lagi. Jangan pernah naik mobil orang asing lagi," pinta Hans dengan memelas.Shenka tertegun. Tatapan Hans terlihat sangat mengkhawatirkannya. 'Ada apa dengan pria ini? Mengapa tatapannya terlihat sangat hang
Melepaskan HasratHans kembali ke rumah dengan muka masam. Pertemuan dengan kakeknya saat makan siang tadi benar-benar menguras emosi."Tua bangka sialan!" maki Hans sambil memukul meja.Awalnya acara makan siang itu berlangsung damai sampai Richman—kakek Hans—membahas tentang perjodohannya. Hans yang sedang menyuap makanannya spontan membeku saat Richman menyodorkan tiga puluh foto wanita muda ke hadapannya."Pilih salah satu yang kau suka, informasi mereka ada di belakang setiap foto," ujar Richman siang itu.Hans ingin membanting sendok yang sedang berada di dalam genggamannya, tetapi ia tahan. Bagaimana pun juga lelaki tua di hadapannya itu adalah orang yang telah merawat dan menjaganya sejak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan."Kek, aku mohon. Berhentilah menjodohkanku dengan anak-anak teman bisnismu," pinta Hans setelah menghela napas panjang berkali-kali."Kamu itu sudah tiga puluh dua tahun, Hans. Sejak
KAMU YANG PERTAMAPerasaan Hans campur aduk saat melihat Shenka berdiri di depan pintu kamar hotelnya.'Ada apa ini? Apakah dia wanita yang akan menjadi partnerku malam ini? Shenka wanita semacam itu?' tanya Hans di dalam hati.Senyum Shenka serta merta hilang saat melihat Hans."Eh, ini kamar 608, 'kan?" tanyanya gugup."Benar. Ini kamarku," jawab Hans."Maaf, sepertinya aku salah kamar," cicit Shenka, lalu memutar tubuhnya untuk pergi, tetapi tangan Hans dengan cepat menahannya."Tidak. Karena kamu sudah ada di sini, berarti kamu tidak salah kamar," jawab Hans sambil menarik gadis itu masuk ke dalam kamarnya.Shenka terpekik, spontan berontak untuk melepaskan diri, tetapi percuma karena Hans sudah mengunci pintu kamar itu."A-apa yang ka-kamu lakukan?" tanya Shenka dengan wajah pucat.Sungguh berduaan bersama pria di kamar hotel adalah pertama kali baginya. Tubuh Shenka menggigil membayangkan s
Tubuh Hans membeku mendengar pertanyaan Shenka. Untuk pertama kalinya ada orang lain yang mengajukan pertanyaan itu padanya, tak ayal itu membuat Hans merasa sangat terpojok. 'Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku berkata jujur pada gadis ini? Bagaimana jika dia menjauh setelah mengetahui fakta ini? Bagaimana jika dia membuka aib ini pada orang lain?' "Kenapa kamu diam? Apakah kata-kataku ada yang salah?" todong Shenka. "Tidak," jawab Hans lesu. "Tidak ... apanya yang tidak?" "Kata-katamu tidak salah, Shenka. Aku ... memang tidak normal," jawab Hans dengan suara yang semakin samar. Mata indahnya membesar. Ia yang tadi sudah bangkit, tiba-tiba duduk kembali karena kaget. "Kamu tidak bercanda, 'kan?" Sudut bibir Hans tertarik, tipis saja nyaris tidak terlihat, tetapi sorot matanya sedih. Hans seperti sedang menyembunyikan rahasia besar yang menentukan hidup matinya. "Untuk seorang pria dengan semua kelebihan seperti yang kamu katakan tadi, apakah aku akan bercanda untuk hal y
Mobil yang Hans kendarai berhenti di area parkir apartemen. Ia mematikan mesin mobil, lalu melepas seatbelt."Kita sudah sampai, Shen," ujarnya, sambil menoleh pada Shenka yang ternyata ketiduran di bawah dashboard.Hans menggeleng-geleng melihat tingkah gadis itu. Padahal Hans sudah menyuruhnya untuk kembali duduk di jok, tapi dia bersikeras untuk tetap di sana dengan alasan yang Hans tidak bisa mengerti.Shenka membuka matanya yang terasa berat, mengedarkan pandangan ke kiri dan kanan, baru ia sadar jika dirinya duduk di lantai mobil Hans."Bisa-bisa kamu tidur pulas di sepanjang jalan. Memangnya enak ya duduk di bawah jok begitu?"Shenka menggeliat lalu menguap tanpa menjawab kata-kata Hans."Dimana ini? Sepertinya bukan parkiran hotel," tanya Shenka dengan ekspresi bingung."Memang bukan. Ini 'kan area parkir apartemenku. Ayo, keluar. Badanku pegal kelamaan nyetir," jawab Hans seraya membuka pintu di sebelah kanannya.