Mobil yang Hans kendarai berhenti di area parkir apartemen. Ia mematikan mesin mobil, lalu melepas seatbelt."Kita sudah sampai, Shen," ujarnya, sambil menoleh pada Shenka yang ternyata ketiduran di bawah dashboard.Hans menggeleng-geleng melihat tingkah gadis itu. Padahal Hans sudah menyuruhnya untuk kembali duduk di jok, tapi dia bersikeras untuk tetap di sana dengan alasan yang Hans tidak bisa mengerti.Shenka membuka matanya yang terasa berat, mengedarkan pandangan ke kiri dan kanan, baru ia sadar jika dirinya duduk di lantai mobil Hans."Bisa-bisa kamu tidur pulas di sepanjang jalan. Memangnya enak ya duduk di bawah jok begitu?"Shenka menggeliat lalu menguap tanpa menjawab kata-kata Hans."Dimana ini? Sepertinya bukan parkiran hotel," tanya Shenka dengan ekspresi bingung."Memang bukan. Ini 'kan area parkir apartemenku. Ayo, keluar. Badanku pegal kelamaan nyetir," jawab Hans seraya membuka pintu di sebelah kanannya.
"Setelah hari ini, aku tidak bisa lagi menikmati masakanmu karena ... ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Kita tidak akan bertemu lagi, Hans," ucap Shenka dengan sepasang mata yang menatap lurus menembus hati. Hans membeku, udara di sekitarnya mendadak terasa dingin sedingin hatinya yang patah. "Memangnya kamu mau ke mana?" "Aku ... akan pindah, pergi dari kota ini." "Kamu pasti bercanda, 'kan?" Hans bertanya sambil menahan kecewa di dalam dada. "Tidak, Hans. Aku berkata yang sebenarnya. Ini adalah pertemuan terakhir kita," jawab Shenka. Tiba-tiba Hans bangkit dari tempat duduknya, memegang kepalanya yang mendadak terasa pusing. Ia tahu, bukan haknya untuk mencegah Shenka, bahkan untuk bertanya alasannya pun ia tak pantas. Namun, Hans tidak bisa membohongi hatinya jika kata-kata Shenka terlalu mengejutkan. Hans bahkan sempat merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. "Aku tahu ... aku tak pantas menanyaka
Hans berjalan mondar-mandir di depan pintu toilet. Ia bingung harus berbuat apa mendengar pengakuan Shenka yang begitu mengejutkan. Sebuah ide terlintas di kepalanya, Hans pun segera mengetuk pintu kamar mandi."Ya, ada apa?" tanya Shenka sambil menjulurkan kepala pada celah pintu yang terbuka."Itu ... kalau pakai tisu dulu bisa, gak? Maksudku ... kalau pakai tisu bisa tahan berapa lama?"Shenka menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Hans karena memang belum pernah menggunakan tisu sebagai pembalut. Namun, untuk menenangkan pria itu ia pun menjawab seadanya."Sepertinya menjelang besok pagi aku butuh tiga pack tisu, Hans. Sekali pakai setidaknya aku butuh sepuluh lembar biar ga tembus, dan itu pun harus diganti setiap lima belas menit.""Oh, tenang saja. Aku punya banyak tisu, berarti kamu bisa pakai itu dulu menjelang pagi."Terlihat kelegaan di wajahnya saat mengucapkan itu."Sudah, 'kan
Suasana romantis begitu kental terasa di apartemen itu. Shenka yang awalnya terkesan dingin, sekarang justru terbawa arus permainan Hans yang terus memancing gairahnya. Ia bahkan tanpa sadar melentingkan tubuhnya memberi akses penuh pada Hans untuk mencumbu tubuhnya. Hingga pada satu titik, ketika tangan Hans bergerak turun Shenka pun tersadar, spontan mendorong tubuh Hans menjauh, sementara dirinya sendiri beringsut mundur."Maaf, Hans. Kita tidak bisa melakukannya," ucap Shenka dengan napas tersengal. Masih dengan debaran jantung yang sangat bising, Shenka berusaha menetralkan semua rasa yang bergejolak di tubuhnya.Hans mengusap wajahnya, berusaha untuk menenangkan diri agar bisa berpikir jernih. Awalnya ia bingung dengan penolakan Shenka, tetapi setelah beberapa saat ia baru ingat jika Shenka sedang mendapatkan tamu bulanannya. Jadi memang wajar jika Shenka bersikap begitu."Ah ... maaf, aku lupa. Kamu sedang haid, tentu saja kita tidak bisa melakukannya," u
Masih dalam posisi berbaring Shenka mengamati paket berukuran besar itu sebelum membukanya. Untungnya paket itu tidak dilapisi banyak plastik pembungkus, jadi dalam satu sentakan saja ia berhasil melepaskan perekatnya. Shenka membuka paket itu, dan langsung tertawa terbahak saat melihat isinya. Ada berbagai macam pembalut berbagai merek dan tipe, juga beberapa set pakaian dalam, serta pakaian wanita, mulai dari piyama, baju rumahan, dan beberapa lembar tunik."Kamu mau membuka toko, Hans? Banyak banget belanjaannya?" "Aku cuma asal memasukkan ke keranjang. Aku 'kan tidak tahu kamu pakai merek apa. Mana tipenya banyak banget, pake sayap, tanpa sayap, fragrance, no fragrance. Tau ah, pusing. Mending aku beli aja semua, kamu pilih sendiri mana yang mau dipakai," jawab Hans.Shenka mengangguk. Dia menghargai usaha pria itu. Untung saja dia terpikir untuk membeli online pagi ini, jika tidak Shenka tidak tah harus bagaimana saat bangun nanti. Saat ini
"Apa kamu bilang? Shenka bersama Tuan Muda Adalrich? Bagaimana bisa?" Kali ini adalah suara Adhiwan yang meradang. Bagaimana dia tidak marah saat tahu cucu kesayangannya bersama dengan cucu musuh bebuyutannya.Bianca yang melihat kemarahan Adhiwan cepat-cepat menenangkannya kembali. "Masih dikonfirmasi, Pa. Tenanglah, jangan emosi. Ingat kesehatan Papa.""Konfirmasi apa lagi? Cepat beritahu aku alamatnya, biar aku sendiri yang menjemputnya dari sarang penyamun itu!""Baik, Pa. Nanti aku kirimkan alamatnya."Adhiwan pergi membawa amarahnya yang membara. Sementara itu Bianca bergegas menghubungi orang kepercayaannya kembali. Dia harus mendahului Adhiwan menemui Shenka. Sebisa mungkin ia harus mencegah anak tirinya itu kembali ke rumah. 'Mita yang berkerja keras, kenapa anak itu yang menikmati hasilnya? Tidak akan aku biarkan dia kembali. Bila perlu, akan aku habisi dia agar tak muncul lagi di hadapan Adrian dan kakeknya.'***Sesuai rencana mereka saat sarapan tadi, siangnya Hans men
Kediaman keluarga Zeny gempar. Penyebabnya adalah sebuah panggilan misterius yang mengaku telah menculik Shenka, dan mereka meminta sejumlah tebusan jika keluar Zeny ingin Shenka selamat.Adrian yang mempercayakan urusan Shenka pada Bianca pun menjadi murka. "Dasar tidak becus! Mengurus seorang anak perempuan saja kau tak bisa. Aku tidak mau tau, Bianca. Apa pun caranya, kau harus membawa Shenka pulang dengan selamat," titah Adrian dengan wajah merah padam.Bianca yang telah merencanakan hal ini dengan piawainya memasang wajah cemas di hadapan Adrian. "Apa yang harus aku lakukan, Suamiku? Mereka meminta sejumlah uang. Haruskah kita membayarnya? Bagaimana kalau mereka berbohong?""Itu yang harus kau cari tahu terlebih dahulu, Bianca! Jangan coba-coba menggunakan uang habis sia-sia. Kau harus pastikan Shenka memang bersama mereka atau tidak.""Huh! Dasar pelit. Untuk anak sendiri pun perhitungan," cibir Bianca di dalam hati."Bagaimana kalau kita lapor polisi saja, Sayang?""Kau ingin
Adrian tidak percaya dengan perkataan pelayannya itu, tetapi mana mungkin juga pelayannya berani berbohong. Akan tetapi, kalau memang orang itu adalah Tuan Muda Adalrich, ada urusan apa dia ke sini? Selama berpuluh-puluh tahun belum pernah kejadian aksi saling mengunjungi di antara keluarga Zeny dan Adalrich karena permusuhan keluarga mereka yang telah berlangsung selama dua generasi. Tak ingin menanggung rasa penasaran lebih lama, Adrian pun bergegas keluar dari ruang kerjanya. Lelaki paruh baya yang masih terlihat muda itu langsung menuju ruang tamu di mana Hans menunggu."Ternyata benar yang orang-orang katakan. Tuan Muda Adalrich ternyata lebih tampan jika dilihat secara langsung." Adrian langsung menyapa Hans dengan cirinya yang khas saat melihat pria tampan itu sedang mematut lukisan besar yang terpajang di dinding rumahnya.Beberapa detik Hans terkesiap, tetapi ia segera mengendalikan diri karena sadar saat ini sedang berhadapan dengan Adrian Zeny, ayah Shenka, wanita yang ia c