Keesokan paginya.
"Astaga! Ini orang maunya apa, sih?" seru Mila sambil menatap layar ponselnya.
"Kenapa sih, Mil? Pagi-pagi udah ngomel. Pamali, ntar rezekimu dipatuk ayam," omel Shenka sambil menarik selimutnya kembali.
"Salah, itu untuk orang yang malas bangun pagi kayak kamu," ralat Mila.
"Oh, iyakah? Hehehe," cengir Shenka. "Trus, apa yang bikin kamu sewot?"
"Manajer kelab ini lho, pagi buta SMS aku lagi, bilang aku ga jadi dipecat, tapi harus menghadap bos besar nanti malam," jelas Mila.
Shenka terduduk dengan cepat.
"Pria yang aku pukul tadi malam?" tanyanya untuk memastikan.
"Iya."
"Kalau begitu gak usah datang. Dia pasti mau ngerjain kamu," cetus Shenka.
"Trus kerjaan aku gimana?" sahut Mila.
"Kan aku udah bilang, ntar kita cari lagi di tempat lain," jawab Shenka pula.
"Cari kerja itu ga mudah, Shen. Apa lagi untuk gadis ga berpendidikan seperti aku," kata Mila dengan wajah sedih.
"Tenang aja. Aku yakin bentar lagi kamu pasti dapat kerja di tempat yang lain. Santai sajalah, hari ini mari kita anggap kamu sedang berlibur," tukas Shenka dengan semangat.
"Oke deh kalau begitu. Disuruh santai siapa yang nolak. Tapi ... kamu yang belanja, ya."
"Sip, tenang aja. Sekarang kamu bersihin kamar mandi, gih," ujar Shenka.
"Katanya disuruh bersantai," protes Mila.
"Iyaaa, tapi bukan molor juga kaleee," sahut Shenka.
"Sial. Ya, udah pergi belanja sana. Aku udah lapar, nih."
Shenka pun pergi ke minimarket terdekat. Setelah memastikan cukup jauh dari rumah, ia mengeluarkan ponselnya lalu menelepon seseorang.
"Temanku butuh perkerjaan. Tolong carikan perkerjaan yang cocok untuk gadis tamatan SMA," pintanya pada seseorang, lalu menutup sambungan telepon itu.
***Malamnya di kelab.
"Mana karyawan itu? Apakah dia sudah datang?" tanya Hans, begitu dirinya sampai di kelab.
"Belum, Pak. Sepertinya ... dia tidak akan datang," jawab Rovan pesimis.
"Kenapa? Apakah dia tidak butuh perkerjaan?" tanya Hans dengan nada remeh.
"Hanya feeling saja, Pak. Saya rasa temannya itu pasti keberatan Mila kembali berkerja," jelas Rovan.
Hans mengencangkan rahangnya karena kesal.
"Mana biodata karyawan itu? Berikan padaku."
Manajer itu berlalu dengan ribuan pertanyaan menggantung di kepala. "Ada apa dengan bos besar? Tidak biasanya dia meminta data karyawan kelab," katanya di dalam hati.
Hans pergi pun bergegas pergi setelah manajer kelab itu mengatakan sudah mengirimkan file yang ia minta melalui email.
Di dalam lift, ia membuka email lewat ponselnya, lalu membaca data Mila yang terlampir. Sudut bibirnya naik setelah mendapatkan alamat Mila. Tanpa membuang waktu, Hans bergerak cepat menuju tempat parkir.
Tidak sampai tiga puluh menit, Hans menemukan alamat rumah Mila. Dengan santai ia memarkir mobil di depan rumah itu. Sebuah rumah berukuran kecil, dengan pagar besi yang catnya sudah mengelupas. Dari balik kemudi, Hans mengamati sekitar rumah sementara otaknya berpikir mencari cara agar bisa bertemu dengan Mila dan Shenka.
Suara tawa mengusik lamunan Hans, ia melihat dua orang gadis berjalan beriringan sambil bersenda gurau menuju rumah.
"Ah, itu ... Shenka ... gadis yang kemarin," bisik Hans dengan hati berdebar. Gelenyar asing itu kembali menyapa tubuhnya.
"Hanya dengan melihatnya saja tubuhku sudah bereaksi begini? Kenapa, ya?" tanya Hans bingung.
Tawa kedua gadis itu masih terdengar jelas bahkan setelah tubuh mereka menghilang di balik pintu.
Hans ingin menghampiri Shenka, tetapi ia tidak memiliki alasan yang pas untuk menemuinya. Dalam keadaan bingung, tiba-tiba Hans melihat Shenka kembali berjalan keluar rumah. Gadis itu terlihat sedang menelepon seseorang.
Hans ingin turun untuk menyapa, tapi ia urungkan niat karena beberapa saat kemudian ia melihat seseorang datang menghampiri gadis itu, memberikan sesuatu lalu bergegas pergi.
"Wow, apa itu?" tanya Hans curiga.
Dari tempatnya berdiri Hans melihat Shenka memperhatikan benda itu lalu memasukkannya ke dalam saku baju. Hans tak tahan lagi, rasa penasaran menggelitiknya begitu kuat. Tanpa berpikir panjang lagi, ia pun turun dari mobilnya. Dengan kaki panjangnya, Hans menghampiri Shenk, meraih lengan gadis itu lalu menyeretnya menjauhi rumah.
"Hei, siapa kau? Apa yang kau lakukan?" protes Shenka marah.
"Ssst, diamlah jika kau tidak ingin teman baikmu itu menyusul keluar," ancam Hans.
Shenka mengenali suara Hans. Bahkan dari postur tubuh pria itu Shenka sudah bisa menebak identitasnya.
"Kau ... pria dari keluarga Adalrich itu, kan?" tebak Shenka.
Hans melepaskan tangannya, memutar tubuhnya dengan cepat, memposisikan dirinya tepat di hadapan gadis itu.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku dari keluarga Adalrich?" tanya Hans heran.
"Kenapa? Apa tebakanku salah?" Shenka balik bertanya.
"Kau ... bisa sopan sedikit, tidak?" tegur Hans tidak senang.
"Anda sopan, saya pun segan. Aku bersikap tergantung bagaimana sikap Anda, Tuan," jawab Shenka tanpa takut.
"Mengapa kau tidak meminta maaf padaku? Padahal jelas-jelas kau sudah salah orang malam itu. Kau telah menyerang orang yang salah, Nona," kecam Hans.
"Well ... awalnya aku ingin meminta maaf, tetapi begitu ingat perlakuanmu malam itu, aku merasa tidak ada hutang permintaan maaf lagi padamu."
Kata-kata Shenka mengingatkan Hans pada ciuman mereka malam itu, debaran jantungnya langsung berdetak tak menentu. Terlebih lagi, tepat di hadapan Hans saat ini bibir mungil Shenka seolah memanggil untuk disentuh.
Hans memejamkan mata, menahan gejolak di dalam dirinya yang semakin liar.
"Kau ... telah menguji kesabaranku. Tidak bisakah kau sedikit menurut?" kata Hans geram.
Kata-kata Hans tak ayal membuat Shenka terbahak.
"Kau bukan siapa-siapaku, Tuan. Saudara bukan, teman bukan, pacar pun bukan. Mengapa aku harus menurutimu?" jawab Shenka balik bertanya.
"Kau tahu siapa aku, kan?"
"Tahu."
"Puluhan wanita mengantre ingin jadi kekasihku. Jika dikumpulkan, mungkin mereka sudah bisa dimasukkan ke dalam etalase jodoh yang bisa aku pilih kapan saja," kata Hans dengan sombongnya.
"Maaf jika mengecewakan Anda, Tuan Adalrich yang terhormat. Tetapi aku bukan gadis-gadis itu, dan aku tidak tertarik untuk menjadi salah satu dari mereka," balas Shenka tak mau kalah.
Hans merapatkan tubuhnya pada Shenka, memaksa gadis itu melangkah mundur hingga berakhir pada tembok yang ada di belakangnya.
"A-apa yang kamu lakukan?" tanya Shenka terbata.
"Aku hanya ingin memastikan ... apakah kau benar-benar tidak tertarik padaku?" tanya Hans seraya bergerak semakin mendekat pada wajah Shenka.
Berada pada jarak yang begitu intim membuat dada Shenka langsung bergemuruh. Bagaimanapun juga, ciuman yang dilakukan Hans malam itu adalah yang pertama baginya. Jelas Shenka tidak akan bisa melupakannya dengan mudah.
Shenka memalingkan wajahnya yang semakin merona.
"Aku tidak tertarik padamu, menjauhlah," cicit Shenka.
Sudut bibir Hans naik beberapa derajat. Ia tahu gadis muda itu juga tertarik padanya. Hans meraih dagu Shenka, lalu memutar wajahnya sehingga sepasang mata mereka bertemu. Gelenyar asing semakin kuat mendera tubuh mereka.
"Aku menginginkanmu, Shenka. Jadilah kekasihku."
"Aku menginginkanmu, Shenka. Jadilah kekasihku," pinta Hans.Tubuh Shenka membeku dalam seketika. Bola matanya membesar, menatap Hans dengan tatapan tidak percaya."Sepertinya kau sudah tidak waras, Tuan. Bagaimana bisa kau memintaku jadi kekasihmu sementara kita tidak saling kenal?" protes Shenka."Aku tidak peduli! Pertemuan malam itu telah membuatku jatuh cinta padamu," tegas Hans."Aku juga tak peduli! Itu adalah perasaanmu, jadi tidak ada urusannya denganku. Sekarang pergilah, kau telah menyita waktuku," balas Shenka sambil mendorong tubuh Hans menjauh."Tunggu."Hans mencegah kepergian Shenka dengan mencekal lengannya."Apakah begini karakter asli putra Adalrich yang terhormat?" sindir Shenka.Ia menatap sinis pada tangan Hans yang mencengkeram lengannya. Sadar arah pandangan Shenka, Hans pun segera melepaskan tangannya."Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu," kata Hans penuh sesal.Ia menyesali kebod
"Ada apa ini? Siapa yang berani berbuat onar di kelabku?!" tanya Hans sambil berkacak pinggang di depan pintu.Mendengar bentakan Hans yang penuh wibawa, pria itu melepaskan tangannya dari rok Mila.Mila langsung berlari sambil memegangi roknya yang robek. Melihat itu Hans langsung melepaskan jasnya, lalu memberikannya pada Mila."Pakai ini," perintahnya.Mila mengangguk, menerima jas itu lalu melilitkannya ke pinggang. Setelah itu ia kembali ke tempatnya semula."Bereskan masalah ini. Tidak peduli siapa orangnya, aku menolak orang-orang cabul sebagai pelanggan kelab ini," perintah Hans pada Rovan, sang manajer kelab."Baik, Bos. Saya pastikan mereka akan menerima sanksinya," kata Rovan mantap.Hans pergi dari ruangan itu, lalu menyusul Mila yang sudah kembali ke balik meja bar."Kamu ... membawa baju ganti?" tanya Hans perhatian."Tidak, Pak. Tetapi jangan khawatir, teman saya dalam perjalanan mengantarkan seragam
"Kenapa kamu menatapku begitu? Apakah di tubuhku ada yang aneh?" tanya Shenka.Hans berdehem, membersihkan tenggorokannya yang mendadak terasa kesat."Bukan aneh," jawab Hans parau."Lalu?""Menggairahkan. Wajahmu, tubuhmu, semuanya ... membangkitkan gairahku," jawab Hans dalam hati."Hellooo ...," tegur Shenka sambil mengetuk meja, membuat Hans terperanjat."Oh ... bukan aneh, tetapi cantik. Kamu cantik sekali, Shenka," puji Hans.Wajah Shenka merona, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang mendengar pujian itu. Dengan elegan dia menanggapi pujian dari Hans."Kamu belum mengenalku dengan baik. Setelah mengenalku, kamu pasti menyesal telah berkata begitu," kata Shenka sambil tertawa."Oh, ya? Aku jadi penasaran ingin mengenalmu lebih jauh," kata Hans lagi.Shenka ingin membalas kata-kata Hans, tetapi batal karena tiba-tiba sebuah suara terdengar mendahuluinya."Shenka itu cuma cantik di luar aja, Pak. Aslinya
Hans tergugu mendengar pertanyaan Shenka. Ia tidak menyangka jika gadis itu juga memiliki hobi yang sama dengannya. Tidak hanya itu, gadis itu bahkan hapal dengan jalan cerita novel yang ia baca. Mendadak Hans merasa ada gumpalan pasir di tenggorokannya. ia tercekat, kesulitan untuk langsung menjawab."Oh, tidak ada yang spesifik. Hanya saja terkadang dalam beberapa dialog dan kejadian, aku merasa relate dengan perasaan tokohnya," jawab Hans berdalih.Ia menghembuskan napas lega diam-diam saat Shenka kembali melemparkan pandangannya ke lantai dansa.Setelah cukup lama terdiam, Shenka kembali memutar tubuhnya menghadap Hans. Ia menghabiskan minumannya, lalu melirik penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangannya."Sudah sangat larut, aku pulang dulu," pamit Shenka seraya berdiri dari kursinya."Tunggu," cegat Hans, tanpa sadar mencekal pergelangan tangan Shenka. Gadis itu mengernyit, melayangkan tatapan protes lewat sudut matanya."Ma-maaf," cicit Hans se
Shenka meradang mendengar kata-kata Hans yang menyudutkannya."Apa urusanmu menanyakan hal itu padaku? Terserah aku mau naik mobil siapa. Lagian kamu siapa, sih? Saudara bukan, pacar pun bukan. Apa hakmu mengatur-ngatur hidupku?" sergah Shenka emosi.Hans memukul pintu dengan kesal."Itu karena aku mengkhawatirkanmu, Shenka," tandas Hans dengan mengatupkan rahang."Sudahlah. Ini terakhir kalinya kamu bersikap begini. Lain kali aku tidak akan memaafkanmu. Aku paling benci dengan orang yang mencampuri urusanku. Pulanglah. Aku mau tidur," usir Shenka seraya menutup pintu.Namun, Hans menahan pintu itu dengan tangannya."Apa yang kamu lakukan?" tanya Shenka, nyaris berteriak."Shenka, please. Jangan lakukan itu lagi. Jangan pernah naik mobil orang asing lagi," pinta Hans dengan memelas.Shenka tertegun. Tatapan Hans terlihat sangat mengkhawatirkannya. 'Ada apa dengan pria ini? Mengapa tatapannya terlihat sangat hang
Melepaskan HasratHans kembali ke rumah dengan muka masam. Pertemuan dengan kakeknya saat makan siang tadi benar-benar menguras emosi."Tua bangka sialan!" maki Hans sambil memukul meja.Awalnya acara makan siang itu berlangsung damai sampai Richman—kakek Hans—membahas tentang perjodohannya. Hans yang sedang menyuap makanannya spontan membeku saat Richman menyodorkan tiga puluh foto wanita muda ke hadapannya."Pilih salah satu yang kau suka, informasi mereka ada di belakang setiap foto," ujar Richman siang itu.Hans ingin membanting sendok yang sedang berada di dalam genggamannya, tetapi ia tahan. Bagaimana pun juga lelaki tua di hadapannya itu adalah orang yang telah merawat dan menjaganya sejak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan."Kek, aku mohon. Berhentilah menjodohkanku dengan anak-anak teman bisnismu," pinta Hans setelah menghela napas panjang berkali-kali."Kamu itu sudah tiga puluh dua tahun, Hans. Sejak
KAMU YANG PERTAMAPerasaan Hans campur aduk saat melihat Shenka berdiri di depan pintu kamar hotelnya.'Ada apa ini? Apakah dia wanita yang akan menjadi partnerku malam ini? Shenka wanita semacam itu?' tanya Hans di dalam hati.Senyum Shenka serta merta hilang saat melihat Hans."Eh, ini kamar 608, 'kan?" tanyanya gugup."Benar. Ini kamarku," jawab Hans."Maaf, sepertinya aku salah kamar," cicit Shenka, lalu memutar tubuhnya untuk pergi, tetapi tangan Hans dengan cepat menahannya."Tidak. Karena kamu sudah ada di sini, berarti kamu tidak salah kamar," jawab Hans sambil menarik gadis itu masuk ke dalam kamarnya.Shenka terpekik, spontan berontak untuk melepaskan diri, tetapi percuma karena Hans sudah mengunci pintu kamar itu."A-apa yang ka-kamu lakukan?" tanya Shenka dengan wajah pucat.Sungguh berduaan bersama pria di kamar hotel adalah pertama kali baginya. Tubuh Shenka menggigil membayangkan s
Tubuh Hans membeku mendengar pertanyaan Shenka. Untuk pertama kalinya ada orang lain yang mengajukan pertanyaan itu padanya, tak ayal itu membuat Hans merasa sangat terpojok. 'Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku berkata jujur pada gadis ini? Bagaimana jika dia menjauh setelah mengetahui fakta ini? Bagaimana jika dia membuka aib ini pada orang lain?' "Kenapa kamu diam? Apakah kata-kataku ada yang salah?" todong Shenka. "Tidak," jawab Hans lesu. "Tidak ... apanya yang tidak?" "Kata-katamu tidak salah, Shenka. Aku ... memang tidak normal," jawab Hans dengan suara yang semakin samar. Mata indahnya membesar. Ia yang tadi sudah bangkit, tiba-tiba duduk kembali karena kaget. "Kamu tidak bercanda, 'kan?" Sudut bibir Hans tertarik, tipis saja nyaris tidak terlihat, tetapi sorot matanya sedih. Hans seperti sedang menyembunyikan rahasia besar yang menentukan hidup matinya. "Untuk seorang pria dengan semua kelebihan seperti yang kamu katakan tadi, apakah aku akan bercanda untuk hal y