Share

6. Kecurigaan Hans

Hans tergugu mendengar pertanyaan Shenka. Ia tidak menyangka jika gadis itu juga memiliki hobi yang sama dengannya. Tidak hanya itu, gadis itu bahkan hapal dengan jalan cerita novel yang ia baca. Mendadak Hans merasa ada gumpalan pasir di tenggorokannya. ia tercekat, kesulitan untuk langsung menjawab.

"Oh, tidak ada yang spesifik. Hanya saja terkadang dalam beberapa dialog dan kejadian, aku merasa relate dengan perasaan tokohnya," jawab Hans berdalih.

Ia menghembuskan napas lega diam-diam saat Shenka kembali melemparkan pandangannya ke lantai dansa.

Setelah cukup lama terdiam, Shenka kembali memutar tubuhnya menghadap Hans. Ia menghabiskan minumannya, lalu melirik penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Sudah sangat larut, aku pulang dulu," pamit Shenka seraya berdiri dari kursinya.

"Tunggu," cegat Hans, tanpa sadar mencekal pergelangan tangan Shenka. Gadis itu mengernyit, melayangkan tatapan protes lewat sudut matanya.

"Ma-maaf," cicit Hans seraya melepaskan tangan Shenka. "Aku hanya ingin menawarkan bantuan. Izinkan aku mengantarmu pulang," lanjutnya.

"Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri," jawab Shenka seraya berlalu dari hadapan Hans.

Namun, lelaki itu tidak mau menyerah. Dengan kaki panjangnya ia menyusul langkah Shenka dengan cepat.

"Sudah sangat larut, Shenka. Bahaya jika gadis cantik sepertimu jalan sendiri. Biarkan aku mengantarmu," tawar Hans lagi.

"Aku tidak suka dipaksa, Hans. Jangan buat aku menyesali keputusan untuk berteman denganmu," kecam Shenka.

Hans pun mengalah. Dengan berat hati ia membiarkan Shenka meninggalkan kelab sendiri.

Shenka terus berjalan meninggalkan kelab, sesekali menoleh ke jalan raya berharap taxi pesanannya datang, lalu menoleh lagi penunjuk waktu di pergelangan tangannya, ia mendesah samar. 'Sudah pukul dua dini hari, apa taxi sudah tidak beroperasi lagi?' tanyanya dalam hati.

Shenka berdiri gelisah, sementara itu Hans terus mengamatinya dari teras kelab. Tak lama kemudian, Hans melihat sebuah mobil sedan berwarna hitam mengkilat berhenti tepat di depan Shenka berdiri. Dua orang pria berbadan besar turun dari mobil itu. Mereka terlihat beradu mulut beberapa saat, tetapi sesaat kemudian Hans melihat Shenka masuk ke mobil yang langsung melaju kencang membelah jalanan ibu kota.

Kening Hans mengernyit seketika. 'Siapa pria-pria itu? Mengapa Shenka menurut saja dibawa mereka?' tanya Hans di dalam hati.

Tidak tenang dengan pemandangan yang dilihatnya, Hans pun menemui Mila yang malam itu bertugas sebagai bartender.

"Teman kamu itu, seberapa baik kamu mengenalnya?" tanya Hans penasaran.

"Maksud Bapak ... Shenka?" Mila balik bertanya.

"Siapa lagi?" jawab Hans ketus.

"Dua tahun tinggal di bawah atap yang sama, saya rasa lumayan kenal baiklah, Pak. Sampai-sampai saya hapal dengan kebiasaan buruknya," jawab Mila.

"Tetapi kamu tidak tahu pasti apa perkerjaannya, 'kan?" sindir Hans.

"Nah, untuk yang satu itu saya akui, Pak. Shenka tidak pernah mau mengaku perkerjaan pastinya apa. Tetapi saya sering mendapatinya mengetik semalaman. Saat ditanya dia cuma jawab pendek, "Lagi kejar deadline, Mil." Itu doang," jelas Mila.

"Dia bukan wanita malam, 'kan?" tanya Hans sangsi.

"Wanita malam? Hohoho ... Dengan lantang saya katakan, sudah pasti tidak, Pak. Seumur hidupnya Shenka itu baru satu kali menjalin hubungan dengan pria, itu pun dijodohkan orang tuanya. Hanya saja hubungan mereka tidak berlanjut karena cowoknya meninggal," papar Mila lagi.

Hans mengangguk-angguk, dia juga sudah mendengar kisah cinta Shenka itu dari orangnya langsung.

"Maaf, Pak. Sebenarnya ada apa, sih? Kenapa Bapak bertanya seperti itu? Sampai-sampai curiga kalau Shenka itu wanita malam?" tanya Mila bingung.

Tidak biasanya bossnya itu banyak tanya tentang kehidupan pribadi seseorang, bahkan kehidupan pribadi karyawannya saja ia tidak pernah mau tahu.

"Tadi saya menawarkan diri untuk mengantarnya pulang karena sudah larut, tetapi dia menolak. Lalu saat di jalan, saya melihat dia naik ke mobil yang baru saja berhenti di depannya," gumam Hans pelan.

Tangan Mila yang sedang mengeringkan gelas terhenti. Dia terlihat berpikir mendengar kata-kata Hans.

"Apakah mobil itu berupa sedan berwarna hitam metalik?" tanya Mila.

"Benar. Kamu mengenal orangnya?" tanya Hans lagi.

Mila meletakkan gelas-gelas yang sudah dikeringkan, lalu merapatkan tubuh ke arah Hans.

"Maaf, Pak. Sebenarnya hal itu juga menjadi pertanyaan saya selama ini. Saya juga pernah melihat Shenka turun dari mobil itu, cukup sering malah. Tetapii saat ditanya dia bilang cuma menumpang. Aneh, kan?" jawab Mila sambil berbisik.

Hans termenung. Ada hal yang mengganjal di pikirannya mendengar kata-kata Mila.

'Wanita muda, cantik, tanpa perkerjaan yang jelas, tetapi memiliki beberapa item branded di dirinya. Beberapa kali bertemu langsung dengan Shenka, Hans bisa melihat dengan jelas merek-merek benda yang melekat di tubuh wanita itu. Hampir semuanya, merupakan benda dengan mereka ternama.

'Hmm ... siapa kamu sebenarnya, Shenka?' batin Hans.

Tidak puas dengan berbagai pertanyaan yang tak kunjung terjawab, Hans pun bergegas ke tempat parkir. Tanpa membuang waktu lagi, ia menyalakan kuda besi miliknya itu, lalu memacunya menuju rumah kost Mila, tempat yang ia ketahui sebagai rumah Shenka juga.

Tidak membutuhkan waktu lama, Hans sampai di depan rumah berpagar usang itu. Ia mematikan mobil, lalu bergegas turun. Ia benar-benar tidak memedulikan lagi apa yang ada dalam pikiran orang lain jika melihat tingkahnya saat itu.

'Membunyikan bel rumah orang pada pukul setengah tiga dini hari? Kamu pasti sudah kehilangan akal, Hans,' makinya di dalam hati.

Ting ... tong ... ting ... tong.

Bunyi bel menggema di dalam rumah. Hans menunggu beberapa saat, tetapi tidak ada tanda-tanda ada orang di dalam rumah itu.

'Apakah dia belum pulang? Pergi kemana dia selarut ini?' pikir Hans risau.

Kecurigaannya pada Shenka semakin menjadi. Ia pun menekan bel itu untuk yang ke dua kalinya. Begitu terus hingga pada upayanya yang ke empat, barulah ia mendapatkan respon dari dalam.

Lampu ruang tamu menyala, disusul dengan suara langkah kaki yang diseret mendekati pintu.

"Siapa itu?" tanyanya dengan suara parau, sambil mengintip dari lubang pintu. Pupilnya membesar saat mengenali sosok yang berdiri di depan pintu rumahnya itu.

"Hans?! Apakah itu kamu?" tanyanya kaget, seraya membuka pintu yang terhalang oleh rantai grendel. Lewat celah berukuran sepuluh senti itu mereka bisa melihat wajah satu sama lain dengan cukup jelas.

"Ya. Ini aku," jawab Hans.

"Apakah kamu sudah tidak waras? Bagaimana bisa kamu membunyikan bel rumah perawan pada jam segini?" sergah Shenka emosi.

"Aku penasaran akan sesuatu. Aku tidak bisa tidur sebelum mendapatkan jawabannya," jelas Hans.

"Tidak bisa menunggu besok? Kau mengganggu tidurku! Aku mengantuk sekali, Hans. Belum satu jam, tapi kau sudah mengusikku!" protes Shenka.

"Maaf. Aku hanya ingin bertanya, setelah dapat jawabannya aku akan segera pergi," jawab Hans tidak mau kalah.

"Ya, udah. Buruan tanya, aku mau tidur lagi nih," titah Shenka sambil terus menguap.

"Tadi kamu pulang dengan siapa?" tanya Hans tanpa basa-basi.

"Dengan supir taxi. Tadi aku kan sudah bilang sama kamu, kalau aku mau pulang pakai taxi," jawab Shenka.

"Tidak perlu berbohong kamu. Aku melihat sendiri dengan kedua mataku, kamu naik ke mobil sedan berwarna hitam metalik. Siapa mereka? Pacar kamu?" tanya Hans posesif.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status