Shenka meradang mendengar kata-kata Hans yang menyudutkannya."Apa urusanmu menanyakan hal itu padaku? Terserah aku mau naik mobil siapa. Lagian kamu siapa, sih? Saudara bukan, pacar pun bukan. Apa hakmu mengatur-ngatur hidupku?" sergah Shenka emosi.Hans memukul pintu dengan kesal."Itu karena aku mengkhawatirkanmu, Shenka," tandas Hans dengan mengatupkan rahang."Sudahlah. Ini terakhir kalinya kamu bersikap begini. Lain kali aku tidak akan memaafkanmu. Aku paling benci dengan orang yang mencampuri urusanku. Pulanglah. Aku mau tidur," usir Shenka seraya menutup pintu.Namun, Hans menahan pintu itu dengan tangannya."Apa yang kamu lakukan?" tanya Shenka, nyaris berteriak."Shenka, please. Jangan lakukan itu lagi. Jangan pernah naik mobil orang asing lagi," pinta Hans dengan memelas.Shenka tertegun. Tatapan Hans terlihat sangat mengkhawatirkannya. 'Ada apa dengan pria ini? Mengapa tatapannya terlihat sangat hang
Melepaskan HasratHans kembali ke rumah dengan muka masam. Pertemuan dengan kakeknya saat makan siang tadi benar-benar menguras emosi."Tua bangka sialan!" maki Hans sambil memukul meja.Awalnya acara makan siang itu berlangsung damai sampai Richman—kakek Hans—membahas tentang perjodohannya. Hans yang sedang menyuap makanannya spontan membeku saat Richman menyodorkan tiga puluh foto wanita muda ke hadapannya."Pilih salah satu yang kau suka, informasi mereka ada di belakang setiap foto," ujar Richman siang itu.Hans ingin membanting sendok yang sedang berada di dalam genggamannya, tetapi ia tahan. Bagaimana pun juga lelaki tua di hadapannya itu adalah orang yang telah merawat dan menjaganya sejak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan."Kek, aku mohon. Berhentilah menjodohkanku dengan anak-anak teman bisnismu," pinta Hans setelah menghela napas panjang berkali-kali."Kamu itu sudah tiga puluh dua tahun, Hans. Sejak
KAMU YANG PERTAMAPerasaan Hans campur aduk saat melihat Shenka berdiri di depan pintu kamar hotelnya.'Ada apa ini? Apakah dia wanita yang akan menjadi partnerku malam ini? Shenka wanita semacam itu?' tanya Hans di dalam hati.Senyum Shenka serta merta hilang saat melihat Hans."Eh, ini kamar 608, 'kan?" tanyanya gugup."Benar. Ini kamarku," jawab Hans."Maaf, sepertinya aku salah kamar," cicit Shenka, lalu memutar tubuhnya untuk pergi, tetapi tangan Hans dengan cepat menahannya."Tidak. Karena kamu sudah ada di sini, berarti kamu tidak salah kamar," jawab Hans sambil menarik gadis itu masuk ke dalam kamarnya.Shenka terpekik, spontan berontak untuk melepaskan diri, tetapi percuma karena Hans sudah mengunci pintu kamar itu."A-apa yang ka-kamu lakukan?" tanya Shenka dengan wajah pucat.Sungguh berduaan bersama pria di kamar hotel adalah pertama kali baginya. Tubuh Shenka menggigil membayangkan s
Tubuh Hans membeku mendengar pertanyaan Shenka. Untuk pertama kalinya ada orang lain yang mengajukan pertanyaan itu padanya, tak ayal itu membuat Hans merasa sangat terpojok. 'Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku berkata jujur pada gadis ini? Bagaimana jika dia menjauh setelah mengetahui fakta ini? Bagaimana jika dia membuka aib ini pada orang lain?' "Kenapa kamu diam? Apakah kata-kataku ada yang salah?" todong Shenka. "Tidak," jawab Hans lesu. "Tidak ... apanya yang tidak?" "Kata-katamu tidak salah, Shenka. Aku ... memang tidak normal," jawab Hans dengan suara yang semakin samar. Mata indahnya membesar. Ia yang tadi sudah bangkit, tiba-tiba duduk kembali karena kaget. "Kamu tidak bercanda, 'kan?" Sudut bibir Hans tertarik, tipis saja nyaris tidak terlihat, tetapi sorot matanya sedih. Hans seperti sedang menyembunyikan rahasia besar yang menentukan hidup matinya. "Untuk seorang pria dengan semua kelebihan seperti yang kamu katakan tadi, apakah aku akan bercanda untuk hal y
Mobil yang Hans kendarai berhenti di area parkir apartemen. Ia mematikan mesin mobil, lalu melepas seatbelt."Kita sudah sampai, Shen," ujarnya, sambil menoleh pada Shenka yang ternyata ketiduran di bawah dashboard.Hans menggeleng-geleng melihat tingkah gadis itu. Padahal Hans sudah menyuruhnya untuk kembali duduk di jok, tapi dia bersikeras untuk tetap di sana dengan alasan yang Hans tidak bisa mengerti.Shenka membuka matanya yang terasa berat, mengedarkan pandangan ke kiri dan kanan, baru ia sadar jika dirinya duduk di lantai mobil Hans."Bisa-bisa kamu tidur pulas di sepanjang jalan. Memangnya enak ya duduk di bawah jok begitu?"Shenka menggeliat lalu menguap tanpa menjawab kata-kata Hans."Dimana ini? Sepertinya bukan parkiran hotel," tanya Shenka dengan ekspresi bingung."Memang bukan. Ini 'kan area parkir apartemenku. Ayo, keluar. Badanku pegal kelamaan nyetir," jawab Hans seraya membuka pintu di sebelah kanannya.
"Setelah hari ini, aku tidak bisa lagi menikmati masakanmu karena ... ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Kita tidak akan bertemu lagi, Hans," ucap Shenka dengan sepasang mata yang menatap lurus menembus hati. Hans membeku, udara di sekitarnya mendadak terasa dingin sedingin hatinya yang patah. "Memangnya kamu mau ke mana?" "Aku ... akan pindah, pergi dari kota ini." "Kamu pasti bercanda, 'kan?" Hans bertanya sambil menahan kecewa di dalam dada. "Tidak, Hans. Aku berkata yang sebenarnya. Ini adalah pertemuan terakhir kita," jawab Shenka. Tiba-tiba Hans bangkit dari tempat duduknya, memegang kepalanya yang mendadak terasa pusing. Ia tahu, bukan haknya untuk mencegah Shenka, bahkan untuk bertanya alasannya pun ia tak pantas. Namun, Hans tidak bisa membohongi hatinya jika kata-kata Shenka terlalu mengejutkan. Hans bahkan sempat merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. "Aku tahu ... aku tak pantas menanyaka
Hans berjalan mondar-mandir di depan pintu toilet. Ia bingung harus berbuat apa mendengar pengakuan Shenka yang begitu mengejutkan. Sebuah ide terlintas di kepalanya, Hans pun segera mengetuk pintu kamar mandi."Ya, ada apa?" tanya Shenka sambil menjulurkan kepala pada celah pintu yang terbuka."Itu ... kalau pakai tisu dulu bisa, gak? Maksudku ... kalau pakai tisu bisa tahan berapa lama?"Shenka menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Hans karena memang belum pernah menggunakan tisu sebagai pembalut. Namun, untuk menenangkan pria itu ia pun menjawab seadanya."Sepertinya menjelang besok pagi aku butuh tiga pack tisu, Hans. Sekali pakai setidaknya aku butuh sepuluh lembar biar ga tembus, dan itu pun harus diganti setiap lima belas menit.""Oh, tenang saja. Aku punya banyak tisu, berarti kamu bisa pakai itu dulu menjelang pagi."Terlihat kelegaan di wajahnya saat mengucapkan itu."Sudah, 'kan
Suasana romantis begitu kental terasa di apartemen itu. Shenka yang awalnya terkesan dingin, sekarang justru terbawa arus permainan Hans yang terus memancing gairahnya. Ia bahkan tanpa sadar melentingkan tubuhnya memberi akses penuh pada Hans untuk mencumbu tubuhnya. Hingga pada satu titik, ketika tangan Hans bergerak turun Shenka pun tersadar, spontan mendorong tubuh Hans menjauh, sementara dirinya sendiri beringsut mundur."Maaf, Hans. Kita tidak bisa melakukannya," ucap Shenka dengan napas tersengal. Masih dengan debaran jantung yang sangat bising, Shenka berusaha menetralkan semua rasa yang bergejolak di tubuhnya.Hans mengusap wajahnya, berusaha untuk menenangkan diri agar bisa berpikir jernih. Awalnya ia bingung dengan penolakan Shenka, tetapi setelah beberapa saat ia baru ingat jika Shenka sedang mendapatkan tamu bulanannya. Jadi memang wajar jika Shenka bersikap begitu."Ah ... maaf, aku lupa. Kamu sedang haid, tentu saja kita tidak bisa melakukannya," u