"Kenapa kamu menatapku begitu? Apakah di tubuhku ada yang aneh?" tanya Shenka.
Hans berdehem, membersihkan tenggorokannya yang mendadak terasa kesat.
"Bukan aneh," jawab Hans parau.
"Lalu?"
"Menggairahkan. Wajahmu, tubuhmu, semuanya ... membangkitkan gairahku," jawab Hans dalam hati.
"Hellooo ...," tegur Shenka sambil mengetuk meja, membuat Hans terperanjat.
"Oh ... bukan aneh, tetapi cantik. Kamu cantik sekali, Shenka," puji Hans.
Wajah Shenka merona, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang mendengar pujian itu. Dengan elegan dia menanggapi pujian dari Hans.
"Kamu belum mengenalku dengan baik. Setelah mengenalku, kamu pasti menyesal telah berkata begitu," kata Shenka sambil tertawa.
"Oh, ya? Aku jadi penasaran ingin mengenalmu lebih jauh," kata Hans lagi.
Shenka ingin membalas kata-kata Hans, tetapi batal karena tiba-tiba sebuah suara terdengar mendahuluinya.
"Shenka itu cuma cantik di luar aja, Pak. Aslinya mah bobrok."
Mila tiba-tiba datang dengan dua minuman di tangannya. Kata-kata Mila tak ayal membuat kedua mata Shenka mendelik. Hans tertawa.
"Oh ya? Aku jadi semakin penasaran," kata Hans, menimpali kata-kata Mila.
"Hehehe, bercanda, Pak. Shenka ini ... adalah gadis terbaik di muka bumi yang pernah saya kenal. Dia setia tidak hanya pada pacar tetapi juga pada temannya. Sekali sayang, dia akan curahkan hatinya pada orang itu," jelas Mila.
"Ngomong aja terus. Ntar aku ga bukain pintu, lho. Kamu siap-siap tidur di jalan, ya," ancam Shenka.
"Nah, itu satu kekurangan dia, Pak. Suka ngambekan orangnya," kata Mila lanjut menggoda Shenka.
"Milaaa!" sergah Shenka.
Tidak mau mendapat amukan dari Shenka, Mila pun melarikan diri, bergegas kembali ke tempatnya.
Hans tertawa melihat keakraban dua sahabat itu.
"Kalian lucu," cetusnya.
"Apanya yang lucu? Emangnya badut," sungut Shenka.
"Kalian sudah lama bersahabat?" tanya Hans mengalihkan pembicaraan.
"Sekitar ... dua tahun, aku tidak ingat persisnya kapan," jawab Shenka.
Hans mengangguk.
"Cukup lama juga," gumamnya."Apakah sejak itu kalian tinggal bersama?"
"Ya. Begitulah," jawab Shenka enggan.
Ia melempar pandangan pada orang-orang di lantai bawah. Tenggelam dengan pemandangan di hadapannya sehingga menciptakan keheningan di antara mereka.
"Dari tadi aku merasa heran, mengapa kamu berbicara santai begitu denganku? Apakah kamu tahu umurku berapa?" tanya Hans lagi.
"Ng ... hehehe ... sorry. Habis pertemuan pertama kita saja sudah begitu, jadi ya ... maaf. Mulai sekarang saya akan berbicara dengan lebih sopan dengan Anda, Tuan," kata Shenka sambil menundukkan kepalanya.
Tawa Hans langsung tersembur. Ia terkekeh dalam waktu yang lama.
"Tidak, tidak. Kita bicara seperti biasa saja. Aku lebih suka kita berbicara santai," kata Hans sambil menyusut air mata yang keluar saat dirinya tertawa tadi.
Hans sendiri merasa heran, bagaimana dia bisa tertawa lepas begitu di depan Shenka. Duduk bersama sambil berbincang dengan gadis itu telah ternyata mampu mengubah kepribadiannya.
"Jadi ... aku harus memanggilmu apa? Panggil nama rasanya tidak pantas. Mas, abang, oom, atau daddy? Uups ... kok jadi kayak sugar daddy?" racau Shenka sambil menutup mulutnya.
"Panggil Hans saja. Aku tidak keberatan," jawab Hans yakin.
"Tapi ...," sahut Shenka ragu.
"Kamu mau memanggilku 'Mas'? Aku bukan orang Jawa. Abang? Aku kurang suka dengan panggilan itu. Oom? Aku bukan oom kamu. Daddy? Apa usiaku cocok dipanggil daddy oleh gadis seusia kamu? Jadi ... panggil Hans saja. Di Jerman kami biasa dipanggil nama, jadi santai saja," jelas Hans.
Sebagai warga keturunan Jerman memang wajar jika Hans lebih nyaman dipanggil ala negeri kelahiran orang tuanya itu.
"Okelah. Kalau begitu kita sepakat berbicara santai, aku Shenka, kamu Hans. Itu saja," ujar Shenka.
"Yup. Deal. Begitu lebih nyaman," sambut Hans.
Mereka pun tertawa bersama. Namun, tidak lama kemudian mereka kembali terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Maaf, jika pertanyaanku membuatmu tidak nyaman. Apakah kamu punya pacar?" tanya Hans memecah keheningan.
Shenka menggeleng.
"Saat ini sudah tidak," jawabnya pelan.
"Berarti sebelumnya ada. Kenapa bisa putus?" tanya Hans ingin tahu.
Shenka tidak menjawab, ia kembali membuang muka, menatap pada para pengunjung yang sedang bergoyang di lantai dansa. Jika Hans tidak salah mengartikan, ada raut kesedihan di wajah yang cantik itu.
"Sepertinya kamu keberatan untuk membahasnya. Kenapa? Kamu masih sayang?" tanya Hans lagi.
Ada rasa cemburu mencuat di hati Hans saat menanyakan itu. Cemburu pada mantan kekasih Shenka? Ah ... dirinya memang sudah gila kali ini.
Shenka menundukkan kepala.
"Seandainya perasaan seperti itu ada gunanya, aku pasti akan menyimpan rasa untuk orang itu," kata Shenka dengan tatapan menerawang.
"Maksud kamu?" tanya Hans tidak mengerti.
"Betapapun sayangnya aku kepada orang itu, saat ini semuanya tidak lagi berguna," tegas Shenka.
"Mengapa? Apakah dia sudah menikahi wanita lain?" tanya Hans lagi.
Shenka kembali menggeleng.
"Dia sudah meninggal dunia. Hilang dalam kecelakaan kapal dua tahun yang lalu," jelas Shenka dengan air mata mengambang di matanya.
Hans tersentak. Jadi mantannya 'Shenka sudah meninggal?' Hans mengulangi fakta itu di dalam hati.
"Maaf, aku tidak bermaksud membangkitkan kesedihanmu," ujar Hans menyesal.
"Tidak apa-apa. Aku sudah mengikhlaskannya. Aku berjanji untuk tetap menjalani kehidupan dengan baik meski dia tak lagi ada bersamaku," kata Shenka tegar.
"Apakah kamu sangat menyintainya?" tanya Hans lagi.
Entah mengapa, Hans ingin terus menggali perasaan Shenka pada mantan pacarnya itu. Padahal ia tahu, jawaban Shenka bisa jadi akan menyakitinya, tetapi Hans tidak peduli. Ia memutuskan untuk mengetahui sebesar apa rasa cinta yang tersisa di hati gadis itu pada pria yang telah menjadi masa lalunya itu.
"Cinta? Sejujurnya ... aku tidak mengerti sepenuhnya arti kata itu. Dominic adalah teman masa kecilku. Kami tumbuh bersama karena dia adalah anak dari sahabat ayahku. Lalu saat berusia delapan belas tahun orang tua sepakat menjodohkan kami. Dom langsung menyetujuinya, tetapi aku menolak karena bagiku Dom tidak lebih dari teman," jelas Shenka.
"Hingga kecelakaan itu terjadi," sambungnya lirih. "Aku merasa ada yang kosong di hatiku. Seolah ada lobang besar di hati ini saat mendengar Dom hilang di lautan lepas. Jika itu bisa dikatakan cinta, berarti benar aku menyintai Dom," kata Shenka dengan suara bergetar.
Hans terdiam, tidak menyangka jika kisah cinta Shenka akan setragis itu.
"Apa pun yang kamu rasakan saat ini, sebagai orang yang menyayangi kamu, aku yakin Dom pasti tidak ingin kamu terus larut dalam duka," kata Hans menghibur.
"Kamu benar. Itu sebabnya, aku kembali menyibukkan diri dengan menggeluti hobi yang sempat aku abaikan," sahut Shenka.
"Oh ya? Apa itu?" tanya Hans semangat.
"Menulis," jawab Shenka singkat.
"Menulis apa? Artikel? Novel?"
"Novel."
"Kamu penulis novel? Wow ... keren," puji Hans takjub.
"Biasa saja, tetapi cukup berhasil mengalihkan kekosongan di hatiku. Setelah ditekuni ternyata bisa menghasilkan uang juga. Ya, sudah aku tekuni saja sekalian," jelas Shenka sambil tertawa.
"Great. Aku suka dengan semangatmu," puji Hans lagi. "Aku juga suka membaca novel. Ada dua novel yang sedang aku ikuti saat ini. Salah satunya cukup relate dengan apa yang terjadi dalam hidupku. Membaca novel itu terkadang membuatku merasa tersentil sendiri," lanjutnya.
"Oh ya? Apa judul novelnya?"
"Touch Me If You Dare, dan Gairah—"
"Tuan Besar, penulis Cathalea," potong Shenka.
"Benar! Bagaimana kamu tahu? Kamu baca itu juga?" tanya Hans takjub.
Shenka tidak menjawab, dia hanya tersenyum simpul ke arah Hans.
"Touch Me If You Dare menceritakan tentang perjuangan hidup seorang fashion desainer, Gairah Tuan Besar menceritakan kisah cinta pria yang mengalami disfungsi seksual. Novel mana yang relate dengan diri kamu, Hans?"
Hans tergugu mendengar pertanyaan Shenka. Ia tidak menyangka jika gadis itu juga memiliki hobi yang sama dengannya. Tidak hanya itu, gadis itu bahkan hapal dengan jalan cerita novel yang ia baca. Mendadak Hans merasa ada gumpalan pasir di tenggorokannya. ia tercekat, kesulitan untuk langsung menjawab."Oh, tidak ada yang spesifik. Hanya saja terkadang dalam beberapa dialog dan kejadian, aku merasa relate dengan perasaan tokohnya," jawab Hans berdalih.Ia menghembuskan napas lega diam-diam saat Shenka kembali melemparkan pandangannya ke lantai dansa.Setelah cukup lama terdiam, Shenka kembali memutar tubuhnya menghadap Hans. Ia menghabiskan minumannya, lalu melirik penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangannya."Sudah sangat larut, aku pulang dulu," pamit Shenka seraya berdiri dari kursinya."Tunggu," cegat Hans, tanpa sadar mencekal pergelangan tangan Shenka. Gadis itu mengernyit, melayangkan tatapan protes lewat sudut matanya."Ma-maaf," cicit Hans se
Shenka meradang mendengar kata-kata Hans yang menyudutkannya."Apa urusanmu menanyakan hal itu padaku? Terserah aku mau naik mobil siapa. Lagian kamu siapa, sih? Saudara bukan, pacar pun bukan. Apa hakmu mengatur-ngatur hidupku?" sergah Shenka emosi.Hans memukul pintu dengan kesal."Itu karena aku mengkhawatirkanmu, Shenka," tandas Hans dengan mengatupkan rahang."Sudahlah. Ini terakhir kalinya kamu bersikap begini. Lain kali aku tidak akan memaafkanmu. Aku paling benci dengan orang yang mencampuri urusanku. Pulanglah. Aku mau tidur," usir Shenka seraya menutup pintu.Namun, Hans menahan pintu itu dengan tangannya."Apa yang kamu lakukan?" tanya Shenka, nyaris berteriak."Shenka, please. Jangan lakukan itu lagi. Jangan pernah naik mobil orang asing lagi," pinta Hans dengan memelas.Shenka tertegun. Tatapan Hans terlihat sangat mengkhawatirkannya. 'Ada apa dengan pria ini? Mengapa tatapannya terlihat sangat hang
Melepaskan HasratHans kembali ke rumah dengan muka masam. Pertemuan dengan kakeknya saat makan siang tadi benar-benar menguras emosi."Tua bangka sialan!" maki Hans sambil memukul meja.Awalnya acara makan siang itu berlangsung damai sampai Richman—kakek Hans—membahas tentang perjodohannya. Hans yang sedang menyuap makanannya spontan membeku saat Richman menyodorkan tiga puluh foto wanita muda ke hadapannya."Pilih salah satu yang kau suka, informasi mereka ada di belakang setiap foto," ujar Richman siang itu.Hans ingin membanting sendok yang sedang berada di dalam genggamannya, tetapi ia tahan. Bagaimana pun juga lelaki tua di hadapannya itu adalah orang yang telah merawat dan menjaganya sejak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan."Kek, aku mohon. Berhentilah menjodohkanku dengan anak-anak teman bisnismu," pinta Hans setelah menghela napas panjang berkali-kali."Kamu itu sudah tiga puluh dua tahun, Hans. Sejak
KAMU YANG PERTAMAPerasaan Hans campur aduk saat melihat Shenka berdiri di depan pintu kamar hotelnya.'Ada apa ini? Apakah dia wanita yang akan menjadi partnerku malam ini? Shenka wanita semacam itu?' tanya Hans di dalam hati.Senyum Shenka serta merta hilang saat melihat Hans."Eh, ini kamar 608, 'kan?" tanyanya gugup."Benar. Ini kamarku," jawab Hans."Maaf, sepertinya aku salah kamar," cicit Shenka, lalu memutar tubuhnya untuk pergi, tetapi tangan Hans dengan cepat menahannya."Tidak. Karena kamu sudah ada di sini, berarti kamu tidak salah kamar," jawab Hans sambil menarik gadis itu masuk ke dalam kamarnya.Shenka terpekik, spontan berontak untuk melepaskan diri, tetapi percuma karena Hans sudah mengunci pintu kamar itu."A-apa yang ka-kamu lakukan?" tanya Shenka dengan wajah pucat.Sungguh berduaan bersama pria di kamar hotel adalah pertama kali baginya. Tubuh Shenka menggigil membayangkan s
Tubuh Hans membeku mendengar pertanyaan Shenka. Untuk pertama kalinya ada orang lain yang mengajukan pertanyaan itu padanya, tak ayal itu membuat Hans merasa sangat terpojok. 'Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku berkata jujur pada gadis ini? Bagaimana jika dia menjauh setelah mengetahui fakta ini? Bagaimana jika dia membuka aib ini pada orang lain?' "Kenapa kamu diam? Apakah kata-kataku ada yang salah?" todong Shenka. "Tidak," jawab Hans lesu. "Tidak ... apanya yang tidak?" "Kata-katamu tidak salah, Shenka. Aku ... memang tidak normal," jawab Hans dengan suara yang semakin samar. Mata indahnya membesar. Ia yang tadi sudah bangkit, tiba-tiba duduk kembali karena kaget. "Kamu tidak bercanda, 'kan?" Sudut bibir Hans tertarik, tipis saja nyaris tidak terlihat, tetapi sorot matanya sedih. Hans seperti sedang menyembunyikan rahasia besar yang menentukan hidup matinya. "Untuk seorang pria dengan semua kelebihan seperti yang kamu katakan tadi, apakah aku akan bercanda untuk hal y
Mobil yang Hans kendarai berhenti di area parkir apartemen. Ia mematikan mesin mobil, lalu melepas seatbelt."Kita sudah sampai, Shen," ujarnya, sambil menoleh pada Shenka yang ternyata ketiduran di bawah dashboard.Hans menggeleng-geleng melihat tingkah gadis itu. Padahal Hans sudah menyuruhnya untuk kembali duduk di jok, tapi dia bersikeras untuk tetap di sana dengan alasan yang Hans tidak bisa mengerti.Shenka membuka matanya yang terasa berat, mengedarkan pandangan ke kiri dan kanan, baru ia sadar jika dirinya duduk di lantai mobil Hans."Bisa-bisa kamu tidur pulas di sepanjang jalan. Memangnya enak ya duduk di bawah jok begitu?"Shenka menggeliat lalu menguap tanpa menjawab kata-kata Hans."Dimana ini? Sepertinya bukan parkiran hotel," tanya Shenka dengan ekspresi bingung."Memang bukan. Ini 'kan area parkir apartemenku. Ayo, keluar. Badanku pegal kelamaan nyetir," jawab Hans seraya membuka pintu di sebelah kanannya.
"Setelah hari ini, aku tidak bisa lagi menikmati masakanmu karena ... ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Kita tidak akan bertemu lagi, Hans," ucap Shenka dengan sepasang mata yang menatap lurus menembus hati. Hans membeku, udara di sekitarnya mendadak terasa dingin sedingin hatinya yang patah. "Memangnya kamu mau ke mana?" "Aku ... akan pindah, pergi dari kota ini." "Kamu pasti bercanda, 'kan?" Hans bertanya sambil menahan kecewa di dalam dada. "Tidak, Hans. Aku berkata yang sebenarnya. Ini adalah pertemuan terakhir kita," jawab Shenka. Tiba-tiba Hans bangkit dari tempat duduknya, memegang kepalanya yang mendadak terasa pusing. Ia tahu, bukan haknya untuk mencegah Shenka, bahkan untuk bertanya alasannya pun ia tak pantas. Namun, Hans tidak bisa membohongi hatinya jika kata-kata Shenka terlalu mengejutkan. Hans bahkan sempat merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. "Aku tahu ... aku tak pantas menanyaka
Hans berjalan mondar-mandir di depan pintu toilet. Ia bingung harus berbuat apa mendengar pengakuan Shenka yang begitu mengejutkan. Sebuah ide terlintas di kepalanya, Hans pun segera mengetuk pintu kamar mandi."Ya, ada apa?" tanya Shenka sambil menjulurkan kepala pada celah pintu yang terbuka."Itu ... kalau pakai tisu dulu bisa, gak? Maksudku ... kalau pakai tisu bisa tahan berapa lama?"Shenka menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Hans karena memang belum pernah menggunakan tisu sebagai pembalut. Namun, untuk menenangkan pria itu ia pun menjawab seadanya."Sepertinya menjelang besok pagi aku butuh tiga pack tisu, Hans. Sekali pakai setidaknya aku butuh sepuluh lembar biar ga tembus, dan itu pun harus diganti setiap lima belas menit.""Oh, tenang saja. Aku punya banyak tisu, berarti kamu bisa pakai itu dulu menjelang pagi."Terlihat kelegaan di wajahnya saat mengucapkan itu."Sudah, 'kan