Mendengar bentakan Hans yang penuh wibawa, pria itu melepaskan tangannya dari rok Mila.
Mila langsung berlari sambil memegangi roknya yang robek. Melihat itu Hans langsung melepaskan jasnya, lalu memberikannya pada Mila.
"Pakai ini," perintahnya.
Mila mengangguk, menerima jas itu lalu melilitkannya ke pinggang. Setelah itu ia kembali ke tempatnya semula.
"Bereskan masalah ini. Tidak peduli siapa orangnya, aku menolak orang-orang cabul sebagai pelanggan kelab ini," perintah Hans pada Rovan, sang manajer kelab.
"Baik, Bos. Saya pastikan mereka akan menerima sanksinya," kata Rovan mantap.
Hans pergi dari ruangan itu, lalu menyusul Mila yang sudah kembali ke balik meja bar.
"Kamu ... membawa baju ganti?" tanya Hans perhatian.
"Tidak, Pak. Tetapi jangan khawatir, teman saya dalam perjalanan mengantarkan seragam saya yang ada di rumah," jawab Mila.
"Teman kamu ...?" tanya Hans ragu.
"Ya, teman saya ... gadis yang ... malam itu," jawab Mila terbata.
"Oh ... ya, sudah. Next time, lebih berhati-hatilah. Jangan pernah menemui tamu di luar tugas utama kamu," nasihat Hans.
"Baik, Pak. Saya akan lebih berhati-hati," jawab Mila.
Hans berbalik, bersiap untuk pergi. Namun, setelah dua langkah ia kembali.
"Teman kamu itu ...," ujar Hans, menggantung. Terlihat ada keraguan di matanya untuk terus bertanya.
"Ya, Pak. Ada apa dengan teman saya?" tanya Mila dengan perasaan was-was, khawatir jika Hans kembali mengungkit kejadian malam itu.
"Dia ... kerja dimana?" tanya Hans.
"Tidak dimana-mana, Pak. Dia freelancer. Tidak terikat kerja dimana pun," jawab Mila.
"Content creator?" tanya Hans memastikan.
"Sejenis itu. Saya juga kurang tahu pastinya apa," jawab Mila.
"Bagaimana jika dia ka—"
"Oh, itu Shenka!" seru Mila, menunjuk ke arah pintu masuk.
Seorang gadis mengenakan busana kasual melangkah anggun menuju meja bar. Hans tercekat. Tidak bisa dipungkiri, hatinya telah terpaut pada gadis muda itu.
"Bagaimana ceritanya baju kamu bisa robek? Kamu tidak digangguin tamu, kan?" tanya Shenka khawatir, sambil menyerahkan bungkusan di tangannya.
"Tidak. Bajuku tersangkut paku saat di gudang. Jangan khawatir, aku baik-baik saja," jawab Mila berbohong.
Ia menerima seragam yang dibawakan Shenka, lalu menghilang di balik pintu khusus karyawan.
Shenka memutar tubuhnya, tersentak ketika mendapati Hans tengah menatapnya dengan intens. Namun, hanya sesaat ia kembali memutar tubuhnya menghadap meja bar.
"Kau tidak berminat untuk menegurku?" tanya Hans.
"Untuk apa? Kita tidak saling kenal," jawab Shenka cuek.
Hans menghela napas, menahan diri untuk bersabar dengan sikap dingin Shenka.
"Mari lupakan apa yang telah terjadi. Bagaimana kalau kita mulai perkenalan dari awal?" usul Hans.
Shenka menoleh, menatap lurus pada manik mata Hans berharap menemukan niat yang tersembunyi di dalam hati pria itu. Akan tetapi, semakin lama menatap mata Hans ia justru merasakan dirinya tenggelam dan larut dalam pancaran magnetnya yang kuat. Dada Shenka pun bergemuruh dengan hebat.
"Bagaimana? Setuju?" tanya Hans dengan lembut, membuyarkan lamunan Shenka. Tangannya terulur, menanti tangan Shenka menyambut salam perkenalannya.
Mata Shenka menatap tangan dan wajah Hans bergantian. Tidak dipungkiri ia menemukan ketulusan di mata itu. Meski terselip rasa ragu, akhirnya Shenka mengulurkan tangannya menyambut salam perkenalan dari Hans.
"Hans Fernandez Adalrich," kata Hans dengan bibir melengkung membentuk senyuman yang sempurna.
"Shenka," jawab Shenka singkat.
"Hanya Shenka? Tidak ada nama panjang?" tanya Hans heran.
"Itu sudah cukup, kamu bisa gunakan nama itu untuk memanggilku," jawab Shenka.
Hans mengangguk pelan. Ia tidak mau memaksa. Namun, hati kecilnya berbisik, semakin yakin jika Shenka bukanlah gadis sembarangan.
"Boleh aku mentraktirmu minum? Untuk merayakan awal pertemanan kita," kata Hans.
Shenka terlihat ragu, tetapi Mila muncul dari belakang justru mengomporinya untuk menerima ajakan Hans.
"Sudah, pergi minum sana. Aku mau kerja dulu," kata Mila.
"Ayo. Kamu bisa memilih soft drink jika tidak suka alkohol," kata Hans lagi.
"Pergilah," kata Mila. "Titip sahabat saya ya, Pak," sambungnya pada Hans.
Hans mengangguk.
"Tenang saja, saya tidak menggigit kok," jawab Hans yang disambut tawa oleh Mila.
Dengan berat hati Shenka pun mengikuti Hans yang berjalan ke salah satu meja.
"Apakah kamu keberatan jika kita minum di sini?" tanya Hans sopan.
Tangannya menunjuk pada meja yang berada di sudut ruangan. Di kiri dan kanan meja itu ada beberapa pengunjung terlihat sedang menikmati minuman mereka.
"Jika kamu tidak nyaman, kita bisa minum di lantai dua. Di sana tidak begitu bising," kata Hans lagi.
"Tidak apa, kita di sini saja," kata Shenka.
Ia berjalan melewati Hans, berniat untuk duduk di kursi kosong di hadapannya. Namun, langkahnya terhenti karena salah satu pengunjung yang mulai mabuk merentangkan tangannya menghalangi langkah Shenka.
Melihat hal itu, Hans bergerak cepat menarik tubuh Shenka agar tidak mengenai tangan pemuda itu.
"Menurutku lebih baik kita minum di lantai dua," kata Hans.
Wajah Shenka merona karena saat ini punggungnya menyentuh dada Hans yang bidang. Tenggorokannya mendadak terasa kesat. Ia berdehem beberapa kali sebelum akhirnya menjawab.
"O-oke. Terserah kamu saja," jawab Shenka pasrah.
Hans menggandeng tangan Shenka, membawanya melewati kerumunan pengunjung menuju lantai dua. Ia tidak melepaskan tangan gadis itu, hingga saat di tangga Shenka memutuskan untuk menarik tangannya dari genggaman Hans.
"Sorry, aku tidak bermaksud lancang," kata Hans merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa. Aku hanya tidak ingin membuatmu merasa gerah, telapak tanganku mudah berkeringat," kata Shenka berdalih.
Hans kembali tersenyum. Ia tahu sebenarnya Shenka sedang merasa gugup. Hal itu membuat Hans merasa senang karena itu membuktikan Shenka masih belum berpengalaman dengan banyak pria.
"Silakan," kata Hans sambil menarik kursi untuk Shenka.
Sayangnya, Shenka sudah menarik kursi untuk dirinya sendiri. Hal itu membuat Hans kembali menelan kecewa, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. Hans duduk di kursi itu, berhadapan dengan Shenka. Mereka memesan minuman. Demi menghargai Shenka, Hans memesan minuman yang sama dengan gadis itu.
Mereka terdiam sambil menikmati irama musik yang terdengar lewat pengeras suara.
Hans memandang wajah Shenka yang saat ini hanya berjarak beberapa jengkal di depannya. Sepasang manik yang berwarna coklat itu memindai setiap inci wajah Shenka, mulai dari mata, hidung, dan bibir. Hans merasakan jantungnya semakin berdebar. Arah pandangannya mulai beranjak ke bawah. Kemeja warna merah itu tampak penuh menantang. Hans menelan ludah membayangkan benda kenyal yang bersemayam di balik kemeja itu.
Tidak bisa ia pungkiri lagi, Hans memang jatuh hati pada Shenka. Bukan hanya tubuhnya yang merasakan geliat hasrat pada gadis itu, tetapi hatinya juga.
Tiba-tiba, Shenka berbalik, pandangan mereka pun bertemu. Hans tergagap, malu karena Shenka menangkap basah dirinya.
"Kenapa kamu menatapku begitu? Apakah di tubuhku ada yang aneh?" tanya Shenka.
Hans berdehem, membersihkan tenggorokannya yang mendadak terasa kesat.
"Bukan aneh," jawab Hans parau.
"Lalu?"
"Menggairahkan. Wajahmu, tubuhmu, semuanya ... membangkitkan gairahku."
"Kenapa kamu menatapku begitu? Apakah di tubuhku ada yang aneh?" tanya Shenka.Hans berdehem, membersihkan tenggorokannya yang mendadak terasa kesat."Bukan aneh," jawab Hans parau."Lalu?""Menggairahkan. Wajahmu, tubuhmu, semuanya ... membangkitkan gairahku," jawab Hans dalam hati."Hellooo ...," tegur Shenka sambil mengetuk meja, membuat Hans terperanjat."Oh ... bukan aneh, tetapi cantik. Kamu cantik sekali, Shenka," puji Hans.Wajah Shenka merona, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang mendengar pujian itu. Dengan elegan dia menanggapi pujian dari Hans."Kamu belum mengenalku dengan baik. Setelah mengenalku, kamu pasti menyesal telah berkata begitu," kata Shenka sambil tertawa."Oh, ya? Aku jadi penasaran ingin mengenalmu lebih jauh," kata Hans lagi.Shenka ingin membalas kata-kata Hans, tetapi batal karena tiba-tiba sebuah suara terdengar mendahuluinya."Shenka itu cuma cantik di luar aja, Pak. Aslinya
Hans tergugu mendengar pertanyaan Shenka. Ia tidak menyangka jika gadis itu juga memiliki hobi yang sama dengannya. Tidak hanya itu, gadis itu bahkan hapal dengan jalan cerita novel yang ia baca. Mendadak Hans merasa ada gumpalan pasir di tenggorokannya. ia tercekat, kesulitan untuk langsung menjawab."Oh, tidak ada yang spesifik. Hanya saja terkadang dalam beberapa dialog dan kejadian, aku merasa relate dengan perasaan tokohnya," jawab Hans berdalih.Ia menghembuskan napas lega diam-diam saat Shenka kembali melemparkan pandangannya ke lantai dansa.Setelah cukup lama terdiam, Shenka kembali memutar tubuhnya menghadap Hans. Ia menghabiskan minumannya, lalu melirik penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangannya."Sudah sangat larut, aku pulang dulu," pamit Shenka seraya berdiri dari kursinya."Tunggu," cegat Hans, tanpa sadar mencekal pergelangan tangan Shenka. Gadis itu mengernyit, melayangkan tatapan protes lewat sudut matanya."Ma-maaf," cicit Hans se
Shenka meradang mendengar kata-kata Hans yang menyudutkannya."Apa urusanmu menanyakan hal itu padaku? Terserah aku mau naik mobil siapa. Lagian kamu siapa, sih? Saudara bukan, pacar pun bukan. Apa hakmu mengatur-ngatur hidupku?" sergah Shenka emosi.Hans memukul pintu dengan kesal."Itu karena aku mengkhawatirkanmu, Shenka," tandas Hans dengan mengatupkan rahang."Sudahlah. Ini terakhir kalinya kamu bersikap begini. Lain kali aku tidak akan memaafkanmu. Aku paling benci dengan orang yang mencampuri urusanku. Pulanglah. Aku mau tidur," usir Shenka seraya menutup pintu.Namun, Hans menahan pintu itu dengan tangannya."Apa yang kamu lakukan?" tanya Shenka, nyaris berteriak."Shenka, please. Jangan lakukan itu lagi. Jangan pernah naik mobil orang asing lagi," pinta Hans dengan memelas.Shenka tertegun. Tatapan Hans terlihat sangat mengkhawatirkannya. 'Ada apa dengan pria ini? Mengapa tatapannya terlihat sangat hang
Melepaskan HasratHans kembali ke rumah dengan muka masam. Pertemuan dengan kakeknya saat makan siang tadi benar-benar menguras emosi."Tua bangka sialan!" maki Hans sambil memukul meja.Awalnya acara makan siang itu berlangsung damai sampai Richman—kakek Hans—membahas tentang perjodohannya. Hans yang sedang menyuap makanannya spontan membeku saat Richman menyodorkan tiga puluh foto wanita muda ke hadapannya."Pilih salah satu yang kau suka, informasi mereka ada di belakang setiap foto," ujar Richman siang itu.Hans ingin membanting sendok yang sedang berada di dalam genggamannya, tetapi ia tahan. Bagaimana pun juga lelaki tua di hadapannya itu adalah orang yang telah merawat dan menjaganya sejak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan."Kek, aku mohon. Berhentilah menjodohkanku dengan anak-anak teman bisnismu," pinta Hans setelah menghela napas panjang berkali-kali."Kamu itu sudah tiga puluh dua tahun, Hans. Sejak
KAMU YANG PERTAMAPerasaan Hans campur aduk saat melihat Shenka berdiri di depan pintu kamar hotelnya.'Ada apa ini? Apakah dia wanita yang akan menjadi partnerku malam ini? Shenka wanita semacam itu?' tanya Hans di dalam hati.Senyum Shenka serta merta hilang saat melihat Hans."Eh, ini kamar 608, 'kan?" tanyanya gugup."Benar. Ini kamarku," jawab Hans."Maaf, sepertinya aku salah kamar," cicit Shenka, lalu memutar tubuhnya untuk pergi, tetapi tangan Hans dengan cepat menahannya."Tidak. Karena kamu sudah ada di sini, berarti kamu tidak salah kamar," jawab Hans sambil menarik gadis itu masuk ke dalam kamarnya.Shenka terpekik, spontan berontak untuk melepaskan diri, tetapi percuma karena Hans sudah mengunci pintu kamar itu."A-apa yang ka-kamu lakukan?" tanya Shenka dengan wajah pucat.Sungguh berduaan bersama pria di kamar hotel adalah pertama kali baginya. Tubuh Shenka menggigil membayangkan s
Tubuh Hans membeku mendengar pertanyaan Shenka. Untuk pertama kalinya ada orang lain yang mengajukan pertanyaan itu padanya, tak ayal itu membuat Hans merasa sangat terpojok. 'Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku berkata jujur pada gadis ini? Bagaimana jika dia menjauh setelah mengetahui fakta ini? Bagaimana jika dia membuka aib ini pada orang lain?' "Kenapa kamu diam? Apakah kata-kataku ada yang salah?" todong Shenka. "Tidak," jawab Hans lesu. "Tidak ... apanya yang tidak?" "Kata-katamu tidak salah, Shenka. Aku ... memang tidak normal," jawab Hans dengan suara yang semakin samar. Mata indahnya membesar. Ia yang tadi sudah bangkit, tiba-tiba duduk kembali karena kaget. "Kamu tidak bercanda, 'kan?" Sudut bibir Hans tertarik, tipis saja nyaris tidak terlihat, tetapi sorot matanya sedih. Hans seperti sedang menyembunyikan rahasia besar yang menentukan hidup matinya. "Untuk seorang pria dengan semua kelebihan seperti yang kamu katakan tadi, apakah aku akan bercanda untuk hal y
Mobil yang Hans kendarai berhenti di area parkir apartemen. Ia mematikan mesin mobil, lalu melepas seatbelt."Kita sudah sampai, Shen," ujarnya, sambil menoleh pada Shenka yang ternyata ketiduran di bawah dashboard.Hans menggeleng-geleng melihat tingkah gadis itu. Padahal Hans sudah menyuruhnya untuk kembali duduk di jok, tapi dia bersikeras untuk tetap di sana dengan alasan yang Hans tidak bisa mengerti.Shenka membuka matanya yang terasa berat, mengedarkan pandangan ke kiri dan kanan, baru ia sadar jika dirinya duduk di lantai mobil Hans."Bisa-bisa kamu tidur pulas di sepanjang jalan. Memangnya enak ya duduk di bawah jok begitu?"Shenka menggeliat lalu menguap tanpa menjawab kata-kata Hans."Dimana ini? Sepertinya bukan parkiran hotel," tanya Shenka dengan ekspresi bingung."Memang bukan. Ini 'kan area parkir apartemenku. Ayo, keluar. Badanku pegal kelamaan nyetir," jawab Hans seraya membuka pintu di sebelah kanannya.
"Setelah hari ini, aku tidak bisa lagi menikmati masakanmu karena ... ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Kita tidak akan bertemu lagi, Hans," ucap Shenka dengan sepasang mata yang menatap lurus menembus hati. Hans membeku, udara di sekitarnya mendadak terasa dingin sedingin hatinya yang patah. "Memangnya kamu mau ke mana?" "Aku ... akan pindah, pergi dari kota ini." "Kamu pasti bercanda, 'kan?" Hans bertanya sambil menahan kecewa di dalam dada. "Tidak, Hans. Aku berkata yang sebenarnya. Ini adalah pertemuan terakhir kita," jawab Shenka. Tiba-tiba Hans bangkit dari tempat duduknya, memegang kepalanya yang mendadak terasa pusing. Ia tahu, bukan haknya untuk mencegah Shenka, bahkan untuk bertanya alasannya pun ia tak pantas. Namun, Hans tidak bisa membohongi hatinya jika kata-kata Shenka terlalu mengejutkan. Hans bahkan sempat merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. "Aku tahu ... aku tak pantas menanyaka