"Terserah apa yang akan kamu lakukan! Aku tidak peduli!" teriak Hayati meremas jemarinya saat bicara melalui sambungan telepon.
"Aku hanya butuh support dan ridho Mama. Butuh dukungan Mama ... hanya itu," jelas Hafsah mulai terisak.
Hayati menatap foto ketiga anaknya, lalu tatapan kebencian terpancar saat menatap foto Hafsah. Perempuan itu tak pernah menunjukkan kasih sayang padanya.
"Doakan aku, Ma." Hafsah memohon dengan menahan tangis di rantau orang.
"Aku tidak akan mendoakanmu! Tidak akan menyebut namamu di dalam doaku. Meskipun kamu anakku tapi kamu penyebab segala kehancuran ini, Hafsah! Sampai kapanpun itu tidak akan berubah! Jadi ... jangan mengemis untuk hal yang mustahil aku lakukan!"
Sambungan telepon terputus. Hafsah menangis di ruang rias sendirian. Malam ini adalah malam peluncuran brand terbaru miliknya. Semua model memakai baju rancangan gadis dua puluh tiga tahun itu. Semua tampak bahagia menyaksikan pencapaiannya. Namun, yang mencapainya tak merasa bahagia. Perih iya.
"Selalu seperti ini ... entah apa salahku! Kenapa mama sangat membenciku? Aku putrimu satu-satunya tapi seperti tidak ada. Selalu makian dan hinaan yang aku peroleh saat bicara denganmu, Mama. Padahal aku hanya butuh dukungan. Butuh pujian bahwa kamu bangga punya putri sepertiku." Hafsah terisak-isak dengan pikiran yang kacau.
Dia berdiri di sisi kanan pintu dengan menatap kaca jendela. Dia ingin melangkah kesana tapi seseorang mengetuk pintu.
"Nona sudah siap? Acara akan segera dimulai," ujar salah satu pegawainya.
"Sebentar!" sahutnya merapikan gaun dan rambutnya. Sadar keadaan saat ini tidak akan mendukung kondisinya.
Hafsah melangkah ke cermin besar di hadapannya. Di sana pantulan dirinya terpampang jelas. Rambut panjang terurai hingga ke bokong. Kulit putih tanpa noda dengan tubuh tinggi langsing sangat mempesona. Nyatanya hidup tak seindah penampilannya.
Hafsah keluar seperti tidak terjadi apa-apa. Dia terus melangkah lalu duduk ditempat yang telah disediakan. Acara dimulai dan Hafsah terus merekam dan mengabadikan lalu tetap mengirimnya pada Hayati. Hanya ada dua centang abu-abu. Sebegitu benci Hayati padanya sampai tak sudi melihat pencapaiannya.
Usai acara Hafsah pun menerima banyak ucapan selamat dan pujian. Tapi hatinya tetap gamang teringat semua ucapan pedih sang ibu. Pada akhirnya dia tak sanggup menahan segalanya lalu memutuskan pergi ke suatu tempat. Mengendarai mobil dengan deraian air mata dan isakan yang kentara menjadi temannya saat ini. Bahkan klakson pengendara lain seperti suara cacian ibunya.
Hafsah masuk ke sebuah club malam untuk pertama kalinya. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. Begitu banyak perempuan dan laki-laki bergoyang dengan penampakan menggelikan. Hafsah tak peduli, hidupnya sudah terlalu banyak masalah dengan kejadian yang ada.
"Minuman penghilang masalah ada?" tanyanya dengan mata merah dan tangan terkepal kuat pada seorang lelaki.
"Ada. Tunggulah di sana. Saya akan antarkan," jawab lelaki itu menunjuk sudut club yang minim pencahayaan.
Hafsah menuju dengan langkah yang sangat anggun. Rambutnya telah berantakan tapi tetap saja kecantikan terpancar dari wajahnya. Tak lama lelaki itu datang membawa pesanannya dan meletakkan di hadapannya.
"Kalau kurang manjur kami punya yang lebih oke. Anda panggil saja saya lagi," katanya tersenyum menatap Hafsah lalu meninggalkannya.
"Kamu memberikan minuman itu padanya?" tanya salah satu teman lelaki itu.
Lelaki itu mengangguk tersenyum.
"Gila lu! Gue baru lihat dia dimari! Lu jangan macam-macamlah. Sepertinya dia gadis baik-baik," balas temannya menggeleng.
"Gak ada perempuan baik yang ke sini. Kalau dia tepar lu boleh setelah gue," jelasnya meninggalkan temannya dengan seringaian.
Hafsah menegak minuman yang terasa aneh itu. Setiap tegakannya membuat dia memejamkan mata dan sesekali memuntahkannya. Hentakan musik dan canda tawa orang-orang di sekitarnya seperti hinaan sang ibu baginya. Segala ucapan dan perlakuan Hayati semenjak dia lahir berputar diotaknya.
"Kamu anak yang tak berguna, Hafsah! Tiada pun kamu gak jadi masalah buatku!" ujar Hayati kala itu.
Hafsah tertawa mengingat takdir dirinya.
"Tiada? Benarkah? Tapi sebelum itu bagaimana kalau aku buat martabat Martadinata tercoreng! Gak masalah tentunya," katanya sambil tertawa dan menghabiskan minumannya.
Dua botol minuman di hadapannya telah tandas. Dia memanggil lelaki yang memberinya tadi tapi suaranya kalah dengan alunan musik. Hafsah berdiri sempoyongan dan menabrak siapa saja. Sesekali dia ikut bergoyang hingga membuat bajunya berantakan. Namun, setiap ada yang ingin menyentuhnya dia menepis kasar.
"Kamu bukan tipeku! Aku anak orang kaya yang kekayaannya tidak habis belasan keturunan." Hafsah melangkah menghindari lelaki itu. "Tapi aku miskin kasih sayang."
Dia menatap siapa saja yang ada dan meracau tak jelas. Menjelaskan kesedihannya tapi siapa yang peduli. Mereka hanya menikmati alunan musik dan sentuhan haram itu.
Di sudut ruangan, seseorang lelaki menatap kosong dengan gelas kecil di tangannya. Pikirannya kalut entah kenapa. Bahkan sentuhan perempuan yang menginginkannya tak bisa menyadarkan dia dan membuat lelaki itu tergoda.
Hafsah menabrak meja di hadapan lelaki itu karena dia tersandung sesuatu. Dia menatap dengan tatapan sayu tapi berair mata. Hafsah bangkit tanpa memperdulikan gaunnya yang semakin menyinsing. Gadis itu melangkah mendekati lelaki itu.
"Kenapa Mama tidak menyayangi aku? Padahal aku terlahir karena dia. Dia yang membuat aku ada. Tapi dia juga yang menciptakan masalah untuk anaknya," isak Hafsah mendekati lelaki itu.
"Hei kau menjauhlah!" teriak salah satu anak buahnya. Tapi lelaki itu mengangkat tangan.
Hafsah menangis dan rubuh di lantai. Matanya terus menatap lelaki berkemeja putih di hadapannya. Dia tersenyum lalu berusaha berdiri meski beberapa kali terjatuh tapi dia berhasil mencapai lelaki itu.
"Aku tidak ingin hidup lagi. Tidak ada yang menginginkan aku. Aku kecewa!" teriaknya seraya duduk dipangkuan sang lelaki.
"Kamu tampan sekali? Mau menjual kasih sayang padaku?" tanyanya dengan tangan mengantung di leher lelaki yang tak bereaksi sama sekali.
Lelaki itu menatap Hafsah dengan tajam. Tapi gadis itu malah merebut gelas ditangannya dan menghabiskan isinya.
"Rasanya beda," katanya dengan mengusap bibir. Baju bagian dada pun telah basah oleh minuman tapi dia tidak peduli. Hafsah mengubah posisi duduknya. Dia menatap lelaki itu sambil mengusap pipi dan bibirnya. Menyelusup ke leher hingga lelaki itu memejamkan mata.
"Tuan Maher Anda baik-baik saja?" tanya lelaki bertubuh tinggi itu mendekati sang tuan.
Lelaki bernama Maher itu mengangkat tangan dan mengangguk. Indra penciumannya tersita oleh perempuan di pangkuannya. Wangi yang berbeda dan kulit yang lembut membuat insting lelakinya bangkit. Hafsah tak menyadari apa yang dia lakukan. Memeluk lelaki itu dengan tangisan hingga menyembunyikan wajah di ceruk lehernya. Racauan dan isakan serta kekecewaan dia curahkan pada lelaki yang tidak dia kenali. Hafsah menggoyangkan Maher dengan tangisannya.
"Apa aku jelek? Kenapa mama membenciku?" tanyanya membuat Maher mengepalkan tangan dan memejamkan mata.
"Ikutlah denganku!" katanya menggendong Hafsah menuju mobil diikuti anak buahnya.
"Antar kami ke hotel," titahnya masuk ke mobil diikuti lelaki itu sebagai sopir.
Hafsah memeluk erat Maher tapi mulutnya terus meracau tak jelas. Maher tidak tahu siapa gadis yang dibawanya, pun ada masalah apa yang sedang dialaminya. Tapi sesuatu di sana sudah tidak bisa dibendung lagi.
Dalam pikiran Maher, gadis yang sedang memeluknya erat tampak lain dan berbeda. Tak selayaknya perempuan yang sering meminta sentuhan yang sering ditemuinya. Meski kali ini Hafsah lebih mendominasi tetap saja pikiran Maher tak terima jika perempuan yang tidak dia kenali ini adalah perempuan murahan.
Mobil memasuki pelataran hotel dan terparkir ditempat khusus. Maher langsung menuju kamar hotel yang telah dipesan oleh orangnya. Menuju kesana dengan Hafsah digendongan. Tatapan aneh dari orang-orang yang menatapnya tak dihiraukan lelaki itu. Fokusnya hanya Hafsah.
Pintu kamar hotel tertutup otomatis. Orang-orangnya menjaga dengan berpencar. Sementara di dalam kamar, Hafsah di tidurkan dengan setengah sadar. Matanya terpejam tapi tangan dan bibirnya mengucap yang tidak jelas. Tangannya mengapit lengan Maher seolah tak ingin melepaskannya.
Maher menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Hafsah. Dibelainya rambut itu lalu ke pipi. Dahaga telah berada dipuncak saat menyaksikan telaga madu tersaji di hadapannya. Perlahan dia menyusuri dengan kelembutan tapi penuh arti. Semakin tinggi gunung yang didaki semakin peluh menetes menahan haus. Maher menatap telaga madu dengan tersenyum, tapi ponselnya berdering seiiring ketukan di pintu kamarnya.
Maher menatap panggilan dari anak buahnya. Niatnya masih Hafsah, tapi panggilan itu terus berlanjut. Terpaksa dia mengangkat dengan tangan terkepal.
"Kamu minta ma-ti?" tanyanya dengan kesal.
"Maaf Tuan. Ada polisi. Pergilah dari sana dan tinggalkan gadis itu," jawab anak buahnya.
Ketukan di pintu semakin menjadi membuat Maher panik mengumpulkan helaian benang yang tersusun rapi.
"Tuan tinggalkan gadis itu! Polisi ada di depan kamar anda!"
"Sialan!" umpatnya menutupi Hafsah dengan selimut.
Dia memakai celana dengan tergesa lalu menuju balkon. Di bawah, anak buahnya telah menunggu dengan kain lebar untuk menangkap sang tuan yang akan terjun bebas dari lantai delapan.
Polisi membuka pintu setelah petugas hotel memberinya kunci cadangan.
"Polisi!" teriak mereka saat memasuki kamar hotel yang minim pencahayaan. Kemudian salah satu dari mereka menyalakan lampu dan tampaklah Hafsah terlelap di kasur dengan pakaian berserakan dilantai.
Dua polwan mendekati Hafsah dan membangunkannya. Namun, gadis itu tak bergeming.
"Bangunlah Nona! Kami polisi!" jelasnya berusaha menyadarkan gadis itu.
Hafsah mengerjapkan mata tapi dia tak bangun. Dua polisi lainnya menggeledah kamar, tapi mereka tak menemukan apa pun. Kecuali jendela yang terbuka dan tirai yang tertiup angin.
"Sepertinya ada yang kabur. Bawa gadis ini!" titah seorang polisi pada bawahannya.
Dua polwan itu mengangguk dan membopong Hafsah bersama polisi lainnya ke mobil. Tubuhnya masih berbalut selimut hotel saat meninggal tempat itu. Sesampainya di kantor polisi, Hafsah dibantu memulihkan kesadarannya oleh tim penegak hukum. Dua jam dari kejadian itu barulah Hafsah sadar meski matanya merah dan sayu.
"Hafsah!"
Bersambung
"Hafsah!" panggil seorang perempuan berlari menghampiri Hafsah yang sedang duduk di hadapan polisi."Umma," sahut Hafsah lemah."Pak, ada apa dengan dia?" tanyanya pada polisi."Gadis ini kami temui di hotel dalam keadaan mabuk. Ditanya dia tidak tahu kenapa sampai ada di sana dan bersama siapa. Dia menangis terus dan menolak menjawab pertanyaan kami." Polisi menatap Hafsah dengan tajam.Malini menarik napas panjang lalu menatap mantan muridnya. Dia tahu apa yang dialami gadis ini, tapi untuk ke hotel dia ingin segera mengetahuinya."Pak, saya akan jadi jaminan gadis ini. Lepaskan dia! Dia hanya dijebak dan tak bisa mengendalikan masalahnya. Atau ... ini." Aryan menyodorkan amplop ke hadapannya.Polisi menatap Aryan dan Malini lalu Hafsah. Dia menarik napas dan menggeleng. Setelah itu kembali memberikan amplop pada Aryan."Tanda tangani berkas ini. Hanya itu! Setelahnya kalian boleh membawa gadis ini." Polisi itu menatap Hafsah. "Jangan ulangi kesalahan yang sama. Pergilah!“"Terima k
"Masyaallah, tentu boleh, Sayaaang," jawab Malini tersenyum."Aku mandi dulu. Umma tunggu aku," kata Hafsah.Malini mengangguk dan Hafsah menuju ke kamarnya. Gadis itu mandi dan mencoba menghanyutkan masalahnya bersama air yang turun dari tubuhnya. Usai mandi Hafsah kembali ke kamar dan membuka lemari pakaian di sana. Mata indah itu tertegun melihat satu set gamis lengkap dengan cadarnya. Tangannya gemetar menyentuh baju dalam yang telah beberapa kali Malini meminta Hafsah memakainya."Sebagai perempuan kita wajib menutup aurat. Semakin tertutup aurat kita semakin mahal dan berakhlak pribadi seorang perempuan. Malu jika sudah berjilbab masih melakukan dosa. Malu sama jilbab jika masih tak beribadah padahal Allah sudah amat baik memberikan kesehatan dan kecantikan pada kita. Berlian harus ditutup agar tak terlihat murahan."Ucapan Malini seketika melintas di benaknya. Sering kali dia meminta Hafsah menutup aurat demi keselamatan dirinya. Keselamatan dari pandangan lelaki dan api neraka
Hafsah menarik napas panjang dengan kepala berdenyut merdu. Ternyata lelaki itu bukan berasal dari Kalimantan. Gadis itu menutup laptop lalu bersiap untuk ke butik miliknya. Siang ini dia ada acara pertemuan dengan model baru yang akan memakai rancangannya di sebuah hotel.Hafsah bersiap masih dengan pakaian yang sama. Gadis itu melaju dengan mobil menuju hotel yang tak jauh dari kediamannya. Sesampainya, dia parkir di tempat khusus yang telah disediakan. Dua pegawainya telah menunggu di sana."Pak Gio?" Sapa Hafsah mengangguk sopan pada suami Malini itu.Lelaki itu menatap tajam seolah menelisik siapa yang memanggilnya. Aryan yang juga ada di sana menatap tersenyum."Hafsah, Pa," jelas Aryan menunjuk gadis didepannya."Masyaallah, Hafsah! Ini kamu?" katanya tak percaya tapi dengan raut wajah bahagia, "saya pangling lihat kamu. Berasa menatap berlian.""Nah lihat kan? Kamu semakin mempesona dengan hijab dan cadar ini," goda Aryan membuat Hafsah langsung menunduk.Dua pegawainya juga t
"Hafsah!" teriak Aryan gegas menopang tubuh gadis itu dengan kedua tangannya.Hafsah menangis, dia tersedu di depan Aryan dengan tubuh terguncang. Namun, Hayati tetap tak peduli."Pergilah, Hafsah! Kehadiranmu hanya akan mengingatkan aku pada kejadian dua puluh tiga tahun lalu saat kamu tercipta. Kamu tercipta sebab kesalahan hingga suamiku meninggalkan aku yang amat mencintainya. Pergilah sebelum satpam mengusirmu!" bentaknya tanpa mau menatap Hafsah."Sebenci itu Mama padaku? Apa salahku, Maa?" isak Hafsah tanpa suara."Aku membencimu! Sangat!" jelasnya lalu memutar tubuh, "pergi sebelum para satpam di rumah ini menyeretmu." Setelah mengucapkan kata-kata pedih itu Hayati masuk ke dalam rumah mewahnya. Semua pelayan hanya mampu menatap iba tanpa bisa menolong. Mereka yang sudah sejak lama mengenal Hafsah hanya bisa mendoakan gadis itu."Kita kembali ke Bandung, Hafsah," ujar Aryan memeluknya erat. Hafsah diam tanpa merespon apa pun, tanpa dia tahu bahwa lelaki itu menyeka sudut mat
"Hafsah!" teriak Aryan gegas menopang tubuh gadis itu dengan kedua tangannya.Hafsah menangis, dia tersedu di depan Aryan dengan tubuh terguncang. Namun, Hayati tetap tak peduli."Pergilah, Hafsah! Kehadiranmu hanya akan mengingatkan aku pada kejadian dua puluh tiga tahun lalu saat kamu tercipta. Kamu tercipta sebab kesalahan hingga suamiku meninggalkan aku yang amat mencintainya. Pergilah sebelum satpam mengusirmu!" bentaknya tanpa mau menatap Hafsah."Sebenci itu Mama padaku? Apa salahku, Maa?" isak Hafsah tanpa suara."Aku membencimu! Sangat!" jelasnya lalu memutar tubuh, "pergi sebelum para satpam di rumah ini menyeretmu." Setelah mengucapkan kata-kata pedih itu Hayati masuk ke dalam rumah mewahnya. Semua pelayan hanya mampu menatap iba tanpa bisa menolong. Mereka yang sudah sejak lama mengenal Hafsah hanya bisa mendoakan gadis itu."Kita kembali ke Bandung, Hafsah," ujar Aryan memeluknya erat. Hafsah diam tanpa merespon apa pun, tanpa dia tahu bahwa lelaki itu menyeka sudut mat
Hafsah menarik napas panjang dengan kepala berdenyut merdu. Ternyata lelaki itu bukan berasal dari Kalimantan. Gadis itu menutup laptop lalu bersiap untuk ke butik miliknya. Siang ini dia ada acara pertemuan dengan model baru yang akan memakai rancangannya di sebuah hotel.Hafsah bersiap masih dengan pakaian yang sama. Gadis itu melaju dengan mobil menuju hotel yang tak jauh dari kediamannya. Sesampainya, dia parkir di tempat khusus yang telah disediakan. Dua pegawainya telah menunggu di sana."Pak Gio?" Sapa Hafsah mengangguk sopan pada suami Malini itu.Lelaki itu menatap tajam seolah menelisik siapa yang memanggilnya. Aryan yang juga ada di sana menatap tersenyum."Hafsah, Pa," jelas Aryan menunjuk gadis didepannya."Masyaallah, Hafsah! Ini kamu?" katanya tak percaya tapi dengan raut wajah bahagia, "saya pangling lihat kamu. Berasa menatap berlian.""Nah lihat kan? Kamu semakin mempesona dengan hijab dan cadar ini," goda Aryan membuat Hafsah langsung menunduk.Dua pegawainya juga t
"Masyaallah, tentu boleh, Sayaaang," jawab Malini tersenyum."Aku mandi dulu. Umma tunggu aku," kata Hafsah.Malini mengangguk dan Hafsah menuju ke kamarnya. Gadis itu mandi dan mencoba menghanyutkan masalahnya bersama air yang turun dari tubuhnya. Usai mandi Hafsah kembali ke kamar dan membuka lemari pakaian di sana. Mata indah itu tertegun melihat satu set gamis lengkap dengan cadarnya. Tangannya gemetar menyentuh baju dalam yang telah beberapa kali Malini meminta Hafsah memakainya."Sebagai perempuan kita wajib menutup aurat. Semakin tertutup aurat kita semakin mahal dan berakhlak pribadi seorang perempuan. Malu jika sudah berjilbab masih melakukan dosa. Malu sama jilbab jika masih tak beribadah padahal Allah sudah amat baik memberikan kesehatan dan kecantikan pada kita. Berlian harus ditutup agar tak terlihat murahan."Ucapan Malini seketika melintas di benaknya. Sering kali dia meminta Hafsah menutup aurat demi keselamatan dirinya. Keselamatan dari pandangan lelaki dan api neraka
"Hafsah!" panggil seorang perempuan berlari menghampiri Hafsah yang sedang duduk di hadapan polisi."Umma," sahut Hafsah lemah."Pak, ada apa dengan dia?" tanyanya pada polisi."Gadis ini kami temui di hotel dalam keadaan mabuk. Ditanya dia tidak tahu kenapa sampai ada di sana dan bersama siapa. Dia menangis terus dan menolak menjawab pertanyaan kami." Polisi menatap Hafsah dengan tajam.Malini menarik napas panjang lalu menatap mantan muridnya. Dia tahu apa yang dialami gadis ini, tapi untuk ke hotel dia ingin segera mengetahuinya."Pak, saya akan jadi jaminan gadis ini. Lepaskan dia! Dia hanya dijebak dan tak bisa mengendalikan masalahnya. Atau ... ini." Aryan menyodorkan amplop ke hadapannya.Polisi menatap Aryan dan Malini lalu Hafsah. Dia menarik napas dan menggeleng. Setelah itu kembali memberikan amplop pada Aryan."Tanda tangani berkas ini. Hanya itu! Setelahnya kalian boleh membawa gadis ini." Polisi itu menatap Hafsah. "Jangan ulangi kesalahan yang sama. Pergilah!“"Terima k
"Terserah apa yang akan kamu lakukan! Aku tidak peduli!" teriak Hayati meremas jemarinya saat bicara melalui sambungan telepon."Aku hanya butuh support dan ridho Mama. Butuh dukungan Mama ... hanya itu," jelas Hafsah mulai terisak.Hayati menatap foto ketiga anaknya, lalu tatapan kebencian terpancar saat menatap foto Hafsah. Perempuan itu tak pernah menunjukkan kasih sayang padanya."Doakan aku, Ma." Hafsah memohon dengan menahan tangis di rantau orang. "Aku tidak akan mendoakanmu! Tidak akan menyebut namamu di dalam doaku. Meskipun kamu anakku tapi kamu penyebab segala kehancuran ini, Hafsah! Sampai kapanpun itu tidak akan berubah! Jadi ... jangan mengemis untuk hal yang mustahil aku lakukan!"Sambungan telepon terputus. Hafsah menangis di ruang rias sendirian. Malam ini adalah malam peluncuran brand terbaru miliknya. Semua model memakai baju rancangan gadis dua puluh tiga tahun itu. Semua tampak bahagia menyaksikan pencapaiannya. Namun, yang mencapainya tak merasa bahagia. Perih i