"Terserah apa yang akan kamu lakukan! Aku tidak peduli!" teriak Hayati meremas jemarinya saat bicara melalui sambungan telepon.
"Aku hanya butuh support dan ridho Mama. Butuh dukungan Mama ... hanya itu," jelas Hafsah mulai terisak.
Hayati menatap foto ketiga anaknya, lalu tatapan kebencian terpancar saat menatap foto Hafsah. Perempuan itu tak pernah menunjukkan kasih sayang padanya.
"Doakan aku, Ma." Hafsah memohon dengan menahan tangis di rantau orang.
"Aku tidak akan mendoakanmu! Tidak akan menyebut namamu di dalam doaku. Meskipun kamu anakku tapi kamu penyebab segala kehancuran ini, Hafsah! Sampai kapanpun itu tidak akan berubah! Jadi ... jangan mengemis untuk hal yang mustahil aku lakukan!"
Sambungan telepon terputus. Hafsah menangis di ruang rias sendirian. Malam ini adalah malam peluncuran brand terbaru miliknya. Semua model memakai baju rancangan gadis dua puluh tiga tahun itu. Semua tampak bahagia menyaksikan pencapaiannya. Namun, yang mencapainya tak merasa bahagia. Perih iya.
"Selalu seperti ini ... entah apa salahku! Kenapa mama sangat membenciku? Aku putrimu satu-satunya tapi seperti tidak ada. Selalu makian dan hinaan yang aku peroleh saat bicara denganmu, Mama. Padahal aku hanya butuh dukungan. Butuh pujian bahwa kamu bangga punya putri sepertiku." Hafsah terisak-isak dengan pikiran yang kacau.
Dia berdiri di sisi kanan pintu dengan menatap kaca jendela. Dia ingin melangkah kesana tapi seseorang mengetuk pintu.
"Nona sudah siap? Acara akan segera dimulai," ujar salah satu pegawainya.
"Sebentar!" sahutnya merapikan gaun dan rambutnya. Sadar keadaan saat ini tidak akan mendukung kondisinya.
Hafsah melangkah ke cermin besar di hadapannya. Di sana pantulan dirinya terpampang jelas. Rambut panjang terurai hingga ke bokong. Kulit putih tanpa noda dengan tubuh tinggi langsing sangat mempesona. Nyatanya hidup tak seindah penampilannya.
Hafsah keluar seperti tidak terjadi apa-apa. Dia terus melangkah lalu duduk ditempat yang telah disediakan. Acara dimulai dan Hafsah terus merekam dan mengabadikan lalu tetap mengirimnya pada Hayati. Hanya ada dua centang abu-abu. Sebegitu benci Hayati padanya sampai tak sudi melihat pencapaiannya.
Usai acara Hafsah pun menerima banyak ucapan selamat dan pujian. Tapi hatinya tetap gamang teringat semua ucapan pedih sang ibu. Pada akhirnya dia tak sanggup menahan segalanya lalu memutuskan pergi ke suatu tempat. Mengendarai mobil dengan deraian air mata dan isakan yang kentara menjadi temannya saat ini. Bahkan klakson pengendara lain seperti suara cacian ibunya.
Hafsah masuk ke sebuah club malam untuk pertama kalinya. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. Begitu banyak perempuan dan laki-laki bergoyang dengan penampakan menggelikan. Hafsah tak peduli, hidupnya sudah terlalu banyak masalah dengan kejadian yang ada.
"Minuman penghilang masalah ada?" tanyanya dengan mata merah dan tangan terkepal kuat pada seorang lelaki.
"Ada. Tunggulah di sana. Saya akan antarkan," jawab lelaki itu menunjuk sudut club yang minim pencahayaan.
Hafsah menuju dengan langkah yang sangat anggun. Rambutnya telah berantakan tapi tetap saja kecantikan terpancar dari wajahnya. Tak lama lelaki itu datang membawa pesanannya dan meletakkan di hadapannya.
"Kalau kurang manjur kami punya yang lebih oke. Anda panggil saja saya lagi," katanya tersenyum menatap Hafsah lalu meninggalkannya.
"Kamu memberikan minuman itu padanya?" tanya salah satu teman lelaki itu.
Lelaki itu mengangguk tersenyum.
"Gila lu! Gue baru lihat dia dimari! Lu jangan macam-macamlah. Sepertinya dia gadis baik-baik," balas temannya menggeleng.
"Gak ada perempuan baik yang ke sini. Kalau dia tepar lu boleh setelah gue," jelasnya meninggalkan temannya dengan seringaian.
Hafsah menegak minuman yang terasa aneh itu. Setiap tegakannya membuat dia memejamkan mata dan sesekali memuntahkannya. Hentakan musik dan canda tawa orang-orang di sekitarnya seperti hinaan sang ibu baginya. Segala ucapan dan perlakuan Hayati semenjak dia lahir berputar diotaknya.
"Kamu anak yang tak berguna, Hafsah! Tiada pun kamu gak jadi masalah buatku!" ujar Hayati kala itu.
Hafsah tertawa mengingat takdir dirinya.
"Tiada? Benarkah? Tapi sebelum itu bagaimana kalau aku buat martabat Martadinata tercoreng! Gak masalah tentunya," katanya sambil tertawa dan menghabiskan minumannya.
Dua botol minuman di hadapannya telah tandas. Dia memanggil lelaki yang memberinya tadi tapi suaranya kalah dengan alunan musik. Hafsah berdiri sempoyongan dan menabrak siapa saja. Sesekali dia ikut bergoyang hingga membuat bajunya berantakan. Namun, setiap ada yang ingin menyentuhnya dia menepis kasar.
"Kamu bukan tipeku! Aku anak orang kaya yang kekayaannya tidak habis belasan keturunan." Hafsah melangkah menghindari lelaki itu. "Tapi aku miskin kasih sayang."
Dia menatap siapa saja yang ada dan meracau tak jelas. Menjelaskan kesedihannya tapi siapa yang peduli. Mereka hanya menikmati alunan musik dan sentuhan haram itu.
Di sudut ruangan, seseorang lelaki menatap kosong dengan gelas kecil di tangannya. Pikirannya kalut entah kenapa. Bahkan sentuhan perempuan yang menginginkannya tak bisa menyadarkan dia dan membuat lelaki itu tergoda.
Hafsah menabrak meja di hadapan lelaki itu karena dia tersandung sesuatu. Dia menatap dengan tatapan sayu tapi berair mata. Hafsah bangkit tanpa memperdulikan gaunnya yang semakin menyinsing. Gadis itu melangkah mendekati lelaki itu.
"Kenapa Mama tidak menyayangi aku? Padahal aku terlahir karena dia. Dia yang membuat aku ada. Tapi dia juga yang menciptakan masalah untuk anaknya," isak Hafsah mendekati lelaki itu.
"Hei kau menjauhlah!" teriak salah satu anak buahnya. Tapi lelaki itu mengangkat tangan.
Hafsah menangis dan rubuh di lantai. Matanya terus menatap lelaki berkemeja putih di hadapannya. Dia tersenyum lalu berusaha berdiri meski beberapa kali terjatuh tapi dia berhasil mencapai lelaki itu.
"Aku tidak ingin hidup lagi. Tidak ada yang menginginkan aku. Aku kecewa!" teriaknya seraya duduk dipangkuan sang lelaki.
"Kamu tampan sekali? Mau menjual kasih sayang padaku?" tanyanya dengan tangan mengantung di leher lelaki yang tak bereaksi sama sekali.
Lelaki itu menatap Hafsah dengan tajam. Tapi gadis itu malah merebut gelas ditangannya dan menghabiskan isinya.
"Rasanya beda," katanya dengan mengusap bibir. Baju bagian dada pun telah basah oleh minuman tapi dia tidak peduli. Hafsah mengubah posisi duduknya. Dia menatap lelaki itu sambil mengusap pipi dan bibirnya. Menyelusup ke leher hingga lelaki itu memejamkan mata.
"Tuan Maher Anda baik-baik saja?" tanya lelaki bertubuh tinggi itu mendekati sang tuan.
Lelaki bernama Maher itu mengangkat tangan dan mengangguk. Indra penciumannya tersita oleh perempuan di pangkuannya. Wangi yang berbeda dan kulit yang lembut membuat insting lelakinya bangkit. Hafsah tak menyadari apa yang dia lakukan. Memeluk lelaki itu dengan tangisan hingga menyembunyikan wajah di ceruk lehernya. Racauan dan isakan serta kekecewaan dia curahkan pada lelaki yang tidak dia kenali. Hafsah menggoyangkan Maher dengan tangisannya.
"Apa aku jelek? Kenapa mama membenciku?" tanyanya membuat Maher mengepalkan tangan dan memejamkan mata.
"Ikutlah denganku!" katanya menggendong Hafsah menuju mobil diikuti anak buahnya.
"Antar kami ke hotel," titahnya masuk ke mobil diikuti lelaki itu sebagai sopir.
Hafsah memeluk erat Maher tapi mulutnya terus meracau tak jelas. Maher tidak tahu siapa gadis yang dibawanya, pun ada masalah apa yang sedang dialaminya. Tapi sesuatu di sana sudah tidak bisa dibendung lagi.
Dalam pikiran Maher, gadis yang sedang memeluknya erat tampak lain dan berbeda. Tak selayaknya perempuan yang sering meminta sentuhan yang sering ditemuinya. Meski kali ini Hafsah lebih mendominasi tetap saja pikiran Maher tak terima jika perempuan yang tidak dia kenali ini adalah perempuan murahan.
Mobil memasuki pelataran hotel dan terparkir ditempat khusus. Maher langsung menuju kamar hotel yang telah dipesan oleh orangnya. Menuju kesana dengan Hafsah digendongan. Tatapan aneh dari orang-orang yang menatapnya tak dihiraukan lelaki itu. Fokusnya hanya Hafsah.
Pintu kamar hotel tertutup otomatis. Orang-orangnya menjaga dengan berpencar. Sementara di dalam kamar, Hafsah di tidurkan dengan setengah sadar. Matanya terpejam tapi tangan dan bibirnya mengucap yang tidak jelas. Tangannya mengapit lengan Maher seolah tak ingin melepaskannya.
Maher menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Hafsah. Dibelainya rambut itu lalu ke pipi. Dahaga telah berada dipuncak saat menyaksikan telaga madu tersaji di hadapannya. Perlahan dia menyusuri dengan kelembutan tapi penuh arti. Semakin tinggi gunung yang didaki semakin peluh menetes menahan haus. Maher menatap telaga madu dengan tersenyum, tapi ponselnya berdering seiiring ketukan di pintu kamarnya.
Maher menatap panggilan dari anak buahnya. Niatnya masih Hafsah, tapi panggilan itu terus berlanjut. Terpaksa dia mengangkat dengan tangan terkepal.
"Kamu minta ma-ti?" tanyanya dengan kesal.
"Maaf Tuan. Ada polisi. Pergilah dari sana dan tinggalkan gadis itu," jawab anak buahnya.
Ketukan di pintu semakin menjadi membuat Maher panik mengumpulkan helaian benang yang tersusun rapi.
"Tuan tinggalkan gadis itu! Polisi ada di depan kamar anda!"
"Sialan!" umpatnya menutupi Hafsah dengan selimut.
Dia memakai celana dengan tergesa lalu menuju balkon. Di bawah, anak buahnya telah menunggu dengan kain lebar untuk menangkap sang tuan yang akan terjun bebas dari lantai delapan.
Polisi membuka pintu setelah petugas hotel memberinya kunci cadangan.
"Polisi!" teriak mereka saat memasuki kamar hotel yang minim pencahayaan. Kemudian salah satu dari mereka menyalakan lampu dan tampaklah Hafsah terlelap di kasur dengan pakaian berserakan dilantai.
Dua polwan mendekati Hafsah dan membangunkannya. Namun, gadis itu tak bergeming.
"Bangunlah Nona! Kami polisi!" jelasnya berusaha menyadarkan gadis itu.
Hafsah mengerjapkan mata tapi dia tak bangun. Dua polisi lainnya menggeledah kamar, tapi mereka tak menemukan apa pun. Kecuali jendela yang terbuka dan tirai yang tertiup angin.
"Sepertinya ada yang kabur. Bawa gadis ini!" titah seorang polisi pada bawahannya.
Dua polwan itu mengangguk dan membopong Hafsah bersama polisi lainnya ke mobil. Tubuhnya masih berbalut selimut hotel saat meninggal tempat itu. Sesampainya di kantor polisi, Hafsah dibantu memulihkan kesadarannya oleh tim penegak hukum. Dua jam dari kejadian itu barulah Hafsah sadar meski matanya merah dan sayu.
"Hafsah!"
Bersambung
"Hafsah!" panggil seorang perempuan berlari menghampiri Hafsah yang sedang duduk di hadapan polisi."Umma," sahut Hafsah lemah."Pak, ada apa dengan dia?" tanyanya pada polisi."Gadis ini kami temui di hotel dalam keadaan mabuk. Ditanya dia tidak tahu kenapa sampai ada di sana dan bersama siapa. Dia menangis terus dan menolak menjawab pertanyaan kami." Polisi menatap Hafsah dengan tajam.Malini menarik napas panjang lalu menatap mantan muridnya. Dia tahu apa yang dialami gadis ini, tapi untuk ke hotel dia ingin segera mengetahuinya."Pak, saya akan jadi jaminan gadis ini. Lepaskan dia! Dia hanya dijebak dan tak bisa mengendalikan masalahnya. Atau ... ini." Aryan menyodorkan amplop ke hadapannya.Polisi menatap Aryan dan Malini lalu Hafsah. Dia menarik napas dan menggeleng. Setelah itu kembali memberikan amplop pada Aryan."Tanda tangani berkas ini. Hanya itu! Setelahnya kalian boleh membawa gadis ini." Polisi itu menatap Hafsah. "Jangan ulangi kesalahan yang sama. Pergilah!“"Terima k
"Masyaallah, tentu boleh, Sayaaang," jawab Malini tersenyum."Aku mandi dulu. Umma tunggu aku," kata Hafsah.Malini mengangguk dan Hafsah menuju ke kamarnya. Gadis itu mandi dan mencoba menghanyutkan masalahnya bersama air yang turun dari tubuhnya. Usai mandi Hafsah kembali ke kamar dan membuka lemari pakaian di sana. Mata indah itu tertegun melihat satu set gamis lengkap dengan cadarnya. Tangannya gemetar menyentuh baju dalam yang telah beberapa kali Malini meminta Hafsah memakainya."Sebagai perempuan kita wajib menutup aurat. Semakin tertutup aurat kita semakin mahal dan berakhlak pribadi seorang perempuan. Malu jika sudah berjilbab masih melakukan dosa. Malu sama jilbab jika masih tak beribadah padahal Allah sudah amat baik memberikan kesehatan dan kecantikan pada kita. Berlian harus ditutup agar tak terlihat murahan."Ucapan Malini seketika melintas di benaknya. Sering kali dia meminta Hafsah menutup aurat demi keselamatan dirinya. Keselamatan dari pandangan lelaki dan api neraka
Hafsah menarik napas panjang dengan kepala berdenyut merdu. Ternyata lelaki itu bukan berasal dari Kalimantan. Gadis itu menutup laptop lalu bersiap untuk ke butik miliknya. Siang ini dia ada acara pertemuan dengan model baru yang akan memakai rancangannya di sebuah hotel.Hafsah bersiap masih dengan pakaian yang sama. Gadis itu melaju dengan mobil menuju hotel yang tak jauh dari kediamannya. Sesampainya, dia parkir di tempat khusus yang telah disediakan. Dua pegawainya telah menunggu di sana."Pak Gio?" Sapa Hafsah mengangguk sopan pada suami Malini itu.Lelaki itu menatap tajam seolah menelisik siapa yang memanggilnya. Aryan yang juga ada di sana menatap tersenyum."Hafsah, Pa," jelas Aryan menunjuk gadis didepannya."Masyaallah, Hafsah! Ini kamu?" katanya tak percaya tapi dengan raut wajah bahagia, "saya pangling lihat kamu. Berasa menatap berlian.""Nah lihat kan? Kamu semakin mempesona dengan hijab dan cadar ini," goda Aryan membuat Hafsah langsung menunduk.Dua pegawainya juga t
"Hafsah!" teriak Aryan gegas menopang tubuh gadis itu dengan kedua tangannya.Hafsah menangis, dia tersedu di depan Aryan dengan tubuh terguncang. Namun, Hayati tetap tak peduli."Pergilah, Hafsah! Kehadiranmu hanya akan mengingatkan aku pada kejadian dua puluh tiga tahun lalu saat kamu tercipta. Kamu tercipta sebab kesalahan hingga suamiku meninggalkan aku yang amat mencintainya. Pergilah sebelum satpam mengusirmu!" bentaknya tanpa mau menatap Hafsah."Sebenci itu Mama padaku? Apa salahku, Maa?" isak Hafsah tanpa suara."Aku membencimu! Sangat!" jelasnya lalu memutar tubuh, "pergi sebelum para satpam di rumah ini menyeretmu." Setelah mengucapkan kata-kata pedih itu Hayati masuk ke dalam rumah mewahnya. Semua pelayan hanya mampu menatap iba tanpa bisa menolong. Mereka yang sudah sejak lama mengenal Hafsah hanya bisa mendoakan gadis itu."Kita kembali ke Bandung, Hafsah," ujar Aryan memeluknya erat. Hafsah diam tanpa merespon apa pun, tanpa dia tahu bahwa lelaki itu menyeka sudut mat
6. Kedekatan.Hafsah menggeleng dan terisak. Tiba-tiba rasa hampa merayap perlahan menghimpit dada. Jauh dalam lubuk hatinya ada jeritan pilu yang terperangkap. Tangannya mengepal erat tapi tatapan matanya kosong. Hafsah mundur perlahan tanpa kata dan suara tangisan."Dek," ujar Hanan melirik adiknya yang seperti patung bernapas cepat.Hafsah tak bergeming, ucapan Halimah berhasil menembus nadi hingga ke jantungnya. Benarkah Gio yang dia kenal yang dimaksud oleh neneknya? Sementara Halimah dan Hayati masih tak menyadari bahwa Hafsah telah mengetahui apa yang mereka sembunyikan."Terserah dia mau apa! Aku tidak perduli sekalipun lelaki sialan itu membawanya jauh dariku! Ibu tahu apa yang aku alami semenjak kehamilan Hafsah hingga dia lahir?" Hayati menatap tajam pada Halimah. "Itu kepedihan yang tidak bisa aku lupakan!"Halimah menggeleng."Dia penyebab aku dan Amir berpisah. Dia penyebab Amir memilih perempuan lain dan meninggalkan aku dalam hamil besar lalu lahirkan tanpa suami! Itu
Pesawat membawa Maher ke tujuan yaitu kota Padang. Maher pernah beberapa kali ke sini untuk urusan bisnisnya. Namun, untuk urusan cinta dan perasaan dia tidak pernah semenggebu ini. Perasaannya sering tak terkendali saat mengingat sosok gadis yang selalu bermain dalam hayalnya belakangan ini. Sosok yang membuat dia penasaran.Di sisi lain, pagi ini Aryan bersiap mendatangi rumah Hafsah. Dia tidak memakai pakaian formal, tapi lebih ke santai yang maskulin. Dua buah cincin dimasukkan ke saku celana dengan tergesa. Lalu keluar dari hotel dengan mobil yang di sediakan pihak hotel. Aryan menuju rumah Hafsah dengan gejolak yang sulit diredam.Sementara gadis yang di tuju sedang bersiap ikut dengan sang kakak ke kantor. Dia tetap berpenampilan dengan pakaian muslimahnya. Hafsah menuju halaman di mana Hanan telah menunggu. "Kalau orang lain berpakaian seperti ini, maka akan aku katakan dia aneh dan ke arab-araban. Tapi ini malah adikku sendiri perpajakan seperti ini. Aku harus bilang apa?"
"Apa ini bagian dari rencanamu untuk mendekati adikku?" tanya Hanan maju dan langsung menarik Maher dengan kasar. "Bang, udah. Kita buru-buru kan?" Hafsah melerai keduanya. Maher menarik napas kasar sambil merapikan bajunya. Namun, tatapannya fokus pada langkah dan kibaran baju Hafsah. Maher menyentuh dada dan memejamkan mata dan tangan terkepal erat. "Dalam diam aku menatap setiap keindahan itu seperti nyata. Wajahmu nan ayu berhasil membiusku, membuatku terdiam tanpa kata." Maher membuka mata dan tersenyum. "Semakin kesini Tuan semakin banyak perubahan. Seperti apa gadis yang digilai, Tuan Maher itu," bisik anak buahnya pada yang lain. "Kita kembali!" titah Maher dengan dingin. Sementara Hafsah mulai memasuki kantor dan diperkenalkan oleh Hanan. Semua pegawai menunduk tajam dan sungkan. Mereka tidak menyangka bahwa klan Martadinata ada yang berhijab. Hanan menunjukkan ruangan pribadi milik Hafsah dan langsung diberikan satu sekretaris khusus untuknya. "Dia akan bekerja
Rio tiba di ruangan Hafsah. Namun, dia melihat Hayati sedang membanting vas bunga ke dinding lalu ditenangkan Hanan. Hanan tak bicara sepatah pun, hanya deru napas yang menghiasi ruangan itu."Bagaimana dia tahu, Hanan? Bagaimana Hafsah bisa tahu tentang lelaki itu?" tanya Hayati dengan napas memburu."Mama lupa Hafsah itu lahir dari perempuan seperti apa?" Hanan menatap ibunya lalu memukul angin dengan kuat, "dia mewarisi keras kepala dan rasa ingin tahu darimu, Ma."Hayati terhenyak. Dia sadar selama ini sikap keras dan acuhnya pada Hafsah. Namun, dia lupa bahwa Hafsah tak hanya anak dari lelaki itu, tapi juga darah dagingnya. Mewarisi segala sifat darinya. Hanya saja, selama ini Hafsah bisa mengendalikan segala emosi dan angkuhnya dengan pemahaman ilmu agama yang diajarkan Malini padanya."Permisi, Pak," ujar Rio memecah kebisuan di antara ibu dan anak itu.Hanan menoleh dan mengangguk. Hayati menarik napas lalu meraih tasnya dan gegas meninggalkan ruangan itu."Ada apa, Man?" t
"Ap-ap-ap?" Hafsah terperanjat dengan nada lirih seperti bisikan. Matanya bulat menatap Maher yang menatapnya lembut dan tersenyum."Aku serius. Aku mencintaimu!" kata Maher tegas."Aku-""Kamu tidak perlu menjawabnya, Hafsah. Bahkan kamu tidak perlu membalas cintaku. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Dalam beberapa kali pertemuan kita, dalam hatiku ada getar yang aneh. Ada rasa nyaman yang sulit aku jelaskan saat kita bersama. Ada ketakutan saat kamu tidak ada, apalagi membayangkan kamu mengalami segala hal penderitaan sejak lama seorang diri membuat merasa mendidih dan ingin menghabisi semua orang." Maher terus menatap Hafsah hingga dia menunduk dan menatap makanannya."Teruslah bersikap seperti ini dan jangan merasa terbebani oleh ungkapan perasaanku. Aku hanya tak sanggup lagi menahannya. Kamu tidak harus menerimanya tapi aku harap kamu memikirkannya. Jujur ... melihat kamu dengan orang lain aku cemburu." Hafsah menarik napas panjang dan menggigit bibirnya. Dia mer
"Keputusanku mengakhiri pernikahan sepertinya salah, tapi menunggu Maher tanpa kepastian juga salah. Ya Tuhaaan aku menginginkan Maher!" isak Lavina di balik pintu IGD.Lavina mengikuti Maher dan selalu memantaunya. Kecemasan di wajah Maher ketika Hafsah pingsan membuat Lavina cemburu dan mengurut dada. Benar saja, aksi Maher mengendong Hafsah turun tangga darurat membuat hatinya perih. Lavina meninggalkan rumah sakit dengan air mata yang tak lagi dapat disembunyikan. Langkahnya gontai menuju mobil lalu masuk serta duduk melamun di depan setir. Tangannya terkepal kuat menggenggam setir dengan sorot penuh amarah.Sementara itu, Maher meminta Adnan membelikan makanan dan juga jus buah untuk Hafsah. Meski gadis itu dapat jatah makanna dari rumah sakit tapi dia tidak membiarkannya karena menurut Maher makanan rumah sakit itu tidak enak.Hafsah mengerjapkan matanya pelan, berulang kali mencoba membuka mata karena terasa perih. Tangannya terasa berat dan juga kaku. Matanya memindai ruangan
"Hafsah apa yang terjadi denganmu!" teriak Maher panik.Gadis itu tak jua merespon, Maher yang panik gegas menggendongnya dan mengabaikan semua orang. Dia berjalan tergesa menuju mobil. Bahkan dia mengabaikan lift yang ada dan lebih memilih tangga darurat. Terus berlari dengan menyebut nama Hafsah dengan cemas dan kepanikan jelas terlihat di wajah lelaki tiga puluh tahun itu.Napasnya memburu dan keringat mengucur membasahi wajahnya yang tampan. Dia terus berlari dengan genggaman yang kuat hingga tiba di parkiran. "Adnan buka pintunya!" titahnya penuh emosi tapi juga panik.Adnan yang tertidur di dalam mobil terkejut dan langsung membuka pintu dengan tergesa. Wajah khas bangun tidur tampak jelas pada Adnan."Ada apa, Boss?" tanya Adnan membukakan pintu belakang."Kita ke rumah sakit terdekat!" titah Maher tanpa menjawab.Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, Adnan melajukan mobil dan Maher menutup pembatas antara sopir dan bangku penumpang. Hafsah ditidurkan di pahanya, perlahan dia
Lavina menyandar di dinding dengan mata memanas dan dada yang terasa sesak. Mengakhiri segalanya demi mempertahankan cinta untuk Maher tapi nyatanya lelaki itu tak jua peka. Teman masa kuliah serta rekan bisnis ayahnya itu tak paham bagaimana hati gadis yang selalu menyebut namanya di dalam doa dan setiap waktu.Lavina mengabaikan tatapan orang-orang yang meliriknya penuh tanya. Dia fokus pada perasaannya yang begitu tertekan dengan keadaannya."Maher ...." Akhirnya air mata itu lolos juga membasahi pipinya.Sementara lelaki yang tengah disebut menatap lurus ke depan di dalam mobilnya. Sesekali dia melirik Hafsah yang menatap jalanan. Tangannya memegang perut yang terasa lapar. Ya Allah aku lapar? Masa harus bilang ke Maher? Mana makanan kutertinggal lagi.Hafsah memejamkan mata dengan menggigit bibirnya. Maher menatapnya dengan dahi mengernyitkan. Tampak mata Hafsah memejam dengan kuat."Hafsah kamu kenapa?" tanyanya.Hafsah menggeleng, "gak papa, Pak," jawab Hafsah tersenyum."Semo
Hanan berdiri lalu merapikan jasnya. Tatapannya lurus tapi tajam. Sejenak dia menarik napas setelah itu melangkah keluar dari ruangannya. Dia menuju pos satpam tempat anak buahnya berkumpul menanti dirinya."Ale!" panggil Hanan tegas."Siap, Boss!" Lelaki bernama Ale itu berdiri dan langsung memberi hormat ala tentara."Selidiki ke bandara tentang Hafsah. Tanyai orang-orang di sana apa mereka benar melihat Hafsah atau tidak. Paksa mereka menjelaskannya!" titah Hanan menatap anak buahnya."Siap, laksanakan, Boss!" jawab mereka lantang.Hanan mengangguk lalu berbalik meninggalkan mereka. Sejenak Ale menatap bingung lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Boss!" Ale mengejar Hanan dengan wajah takut.Hanan berhenti dan langsung menoleh serta menatap tajam."Maaf, Boss! Apa boleh saya minta foto nona untuk ditunjukkan pada orang-orang yang kami tanyai?" tanya Ale dengan wajah takut juga panas dingin."Aku akan mengirimnya ke nomor kamu!" balas Hanan kembali melanjutkan langkahnya.,Se
Hafsah melirik ke sana kemari mencari sesuatu yang tercium oleh Maher. Setelah itu dia menggeleng sambil menatap lelaki itu."Apa?" tanya Maher menatap Hafsah karena hari ini tampak fres sekali, "kamu tidak mencium aroma makanan di sini?"Hafsah melirik kotak bekalnya lalu menariknya pelan dan menyembunyikan di laci. Maher menatap penuh selidik sambil terus melangkah."Itu apa?" tanyanya lagi mencondongkan tubuh pada Hafsah hingga aroma maskulinnya menusuk hidung."Ini kotak bekal saya, Pak," jawab Hafsah."Kamu bawa bekal?" Maher menarik diri lalu bersandar di meja miliknya sambil menyilangkan kedua kakinya.Hafsah mengangguk."Kenapa?""Saya ingin fokus bekerja dan males jajan di luar, Pak!""Dasar perempuan!" decih Maher tertawa.Hafsah menunduk sembari memainkan ujung jilbabnya. Dia belum begitu terlalu mengenal Maher. Belum tahu bagaimana sifat lelaki itu, hanya yang membekas di pikiran Hafsah adalah ketika dia menyelamatkan dirinya malam itu. Jemarinya kembali menekan keyboard
Maher mengepalkan tangan dengan jemari saling merapat kuat. Matanya tajam dengan dada bergetar hebat. Seluruh tubuh seakan kehilangan keseimbangan di saat pikirannya tertumpu pada sosok gadis di club malam kala itu."Adnan, bagaiman gadis yang kita temui di bar malam itu? Kamu sudah mendapatkan kabar tentang dia?" tanya Maher menelepon asistennya yang ada di kamar ujung apartemennya."Semenjak kita kembali ke Jakarta saya belum mendapatkan kabar apa pun, Tuan. Utamanya semenjak tuan Aryan kecelakaan di Padang. Fokus kita terpecah antara tuan Aryan dan perusahaan," jelas Adnan."Tetap cari tahu dia di mana. Aku ingin sekali bertemu dengannya!" titah Maher menutup panggilan lalu membanting ponsel ke sisinya.Bayangan gadis itu terlintas jelas dibenaknya. Maher mengerang frustasi dengan menggusar rambut sehingga berantakan dan menutup sebagian matanya. Bibirnya menyebut sesuatu yang samar dengan jemari saling merangkai. Angin kencang bertiup melalui kaca balkon hingga meniup tirai.Hafs
"Jangan memikirkan dia. Untuk sekarang kita harus fokus ke Aryan. Pikirkan keselamatannya dan bagaimana caranya agar dia pulih seperti sediakala. Setelah itu baru pikirkan tentang gadis itu," ujar Gio menatap Malini.Jauh dalam lubuk hati Malini, dia sangat mengkhawatirkan Hafsah. Namun, kekecewaan pada Gio jauh lebih menusuk hatinya. Malini tahu dan paham bagaimana Hafsah selama ini. Tapi dua orang itu hanya memikirkan ego dan harga dirinya."Kamu benar, Mas. Kita harus fokus pada kesembuhan Aryan. Tapi aku tidak pernah melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Kamu menipuku selama puluhan tahun. Kamu mengabaikan kesetiaan dan kejujuranku. Aku tahu Mas, pernikahan kita sebab perjodohan bisnis orang tua kita. Tapi, sebelum hubungan di buat, maka keputusan itu harus tepat. Kamu memilihku sebagai istrimu, tapi hatimu memilih dia. Ini sakit, Mas. Aku kecewa dan sulit memaafkanmu!" "Malam itu aku khilaf, Malini," jelas Gio menunduk."Iya aku tahu. Itu alasan yang klise sekali. Kamu ahli
"Gak usah, Maher. Aku bisa pulang naik kendaraan yang lain," tolak Hafsah lembut hingga matanya menyipit menandakan dia sedang tersenyum.Tunjukkan senyumanmu, Hafsah."Masuklah! Aku akan mengantarmu, ini sudah terlalu sore," ujar Maher memaksa.Hafsah menarik napas lalu melangkah dan duduk di sisi Maher. Setelah itu lelaki tampan itu melajukan mobil dalam kecepatan sedang. Wangi maskulin menusuk hidung Hafsah menembus cadarnya. Dadanya berdegup kencang ketika aroma tubuh Maher mengangguk ingatannya ketika lelaki itu memeluknya erat di saat Hafsah berniat bu-nuh di-ri.Sementara Maher melirik Hafsah yang tampak santai duduk di sisinya. Tatapan gadis itu lurus ke depan. Maher tak kalah gelisah mencium aroma lembut yang menguar dari tubuh Hafsah. Dia memilih diam dan tak banyak bicara demi menenangkan hati dan pikirannya. Maher takut terlalu menunjukkan kepeduliannya."Depan belok kanan, Maher," ujar Hafsah memecah keheningan.Maher mengangguk sambil menaruh satu telunjuk di batang hidu