"Terserah apa yang akan kamu lakukan! Aku tidak peduli!" teriak Hayati meremas jemarinya saat bicara melalui sambungan telepon.
"Aku hanya butuh support dan ridho Mama. Butuh dukungan Mama ... hanya itu," jelas Hafsah mulai terisak.
Hayati menatap foto ketiga anaknya, lalu tatapan kebencian terpancar saat menatap foto Hafsah. Perempuan itu tak pernah menunjukkan kasih sayang padanya.
"Doakan aku, Ma." Hafsah memohon dengan menahan tangis di rantau orang.
"Aku tidak akan mendoakanmu! Tidak akan menyebut namamu di dalam doaku. Meskipun kamu anakku tapi kamu penyebab segala kehancuran ini, Hafsah! Sampai kapanpun itu tidak akan berubah! Jadi ... jangan mengemis untuk hal yang mustahil aku lakukan!"
Sambungan telepon terputus. Hafsah menangis di ruang rias sendirian. Malam ini adalah malam peluncuran brand terbaru miliknya. Semua model memakai baju rancangan gadis dua puluh tiga tahun itu. Semua tampak bahagia menyaksikan pencapaiannya. Namun, yang mencapainya tak merasa bahagia. Perih iya.
"Selalu seperti ini ... entah apa salahku! Kenapa mama sangat membenciku? Aku putrimu satu-satunya tapi seperti tidak ada. Selalu makian dan hinaan yang aku peroleh saat bicara denganmu, Mama. Padahal aku hanya butuh dukungan. Butuh pujian bahwa kamu bangga punya putri sepertiku." Hafsah terisak-isak dengan pikiran yang kacau.
Dia berdiri di sisi kanan pintu dengan menatap kaca jendela. Dia ingin melangkah kesana tapi seseorang mengetuk pintu.
"Nona sudah siap? Acara akan segera dimulai," ujar salah satu pegawainya.
"Sebentar!" sahutnya merapikan gaun dan rambutnya. Sadar keadaan saat ini tidak akan mendukung kondisinya.
Hafsah melangkah ke cermin besar di hadapannya. Di sana pantulan dirinya terpampang jelas. Rambut panjang terurai hingga ke bokong. Kulit putih tanpa noda dengan tubuh tinggi langsing sangat mempesona. Nyatanya hidup tak seindah penampilannya.
Hafsah keluar seperti tidak terjadi apa-apa. Dia terus melangkah lalu duduk ditempat yang telah disediakan. Acara dimulai dan Hafsah terus merekam dan mengabadikan lalu tetap mengirimnya pada Hayati. Hanya ada dua centang abu-abu. Sebegitu benci Hayati padanya sampai tak sudi melihat pencapaiannya.
Usai acara Hafsah pun menerima banyak ucapan selamat dan pujian. Tapi hatinya tetap gamang teringat semua ucapan pedih sang ibu. Pada akhirnya dia tak sanggup menahan segalanya lalu memutuskan pergi ke suatu tempat. Mengendarai mobil dengan deraian air mata dan isakan yang kentara menjadi temannya saat ini. Bahkan klakson pengendara lain seperti suara cacian ibunya.
Hafsah masuk ke sebuah club malam untuk pertama kalinya. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. Begitu banyak perempuan dan laki-laki bergoyang dengan penampakan menggelikan. Hafsah tak peduli, hidupnya sudah terlalu banyak masalah dengan kejadian yang ada.
"Minuman penghilang masalah ada?" tanyanya dengan mata merah dan tangan terkepal kuat pada seorang lelaki.
"Ada. Tunggulah di sana. Saya akan antarkan," jawab lelaki itu menunjuk sudut club yang minim pencahayaan.
Hafsah menuju dengan langkah yang sangat anggun. Rambutnya telah berantakan tapi tetap saja kecantikan terpancar dari wajahnya. Tak lama lelaki itu datang membawa pesanannya dan meletakkan di hadapannya.
"Kalau kurang manjur kami punya yang lebih oke. Anda panggil saja saya lagi," katanya tersenyum menatap Hafsah lalu meninggalkannya.
"Kamu memberikan minuman itu padanya?" tanya salah satu teman lelaki itu.
Lelaki itu mengangguk tersenyum.
"Gila lu! Gue baru lihat dia dimari! Lu jangan macam-macamlah. Sepertinya dia gadis baik-baik," balas temannya menggeleng.
"Gak ada perempuan baik yang ke sini. Kalau dia tepar lu boleh setelah gue," jelasnya meninggalkan temannya dengan seringaian.
Hafsah menegak minuman yang terasa aneh itu. Setiap tegakannya membuat dia memejamkan mata dan sesekali memuntahkannya. Hentakan musik dan canda tawa orang-orang di sekitarnya seperti hinaan sang ibu baginya. Segala ucapan dan perlakuan Hayati semenjak dia lahir berputar diotaknya.
"Kamu anak yang tak berguna, Hafsah! Tiada pun kamu gak jadi masalah buatku!" ujar Hayati kala itu.
Hafsah tertawa mengingat takdir dirinya.
"Tiada? Benarkah? Tapi sebelum itu bagaimana kalau aku buat martabat Martadinata tercoreng! Gak masalah tentunya," katanya sambil tertawa dan menghabiskan minumannya.
Dua botol minuman di hadapannya telah tandas. Dia memanggil lelaki yang memberinya tadi tapi suaranya kalah dengan alunan musik. Hafsah berdiri sempoyongan dan menabrak siapa saja. Sesekali dia ikut bergoyang hingga membuat bajunya berantakan. Namun, setiap ada yang ingin menyentuhnya dia menepis kasar.
"Kamu bukan tipeku! Aku anak orang kaya yang kekayaannya tidak habis belasan keturunan." Hafsah melangkah menghindari lelaki itu. "Tapi aku miskin kasih sayang."
Dia menatap siapa saja yang ada dan meracau tak jelas. Menjelaskan kesedihannya tapi siapa yang peduli. Mereka hanya menikmati alunan musik dan sentuhan haram itu.
Di sudut ruangan, seseorang lelaki menatap kosong dengan gelas kecil di tangannya. Pikirannya kalut entah kenapa. Bahkan sentuhan perempuan yang menginginkannya tak bisa menyadarkan dia dan membuat lelaki itu tergoda.
Hafsah menabrak meja di hadapan lelaki itu karena dia tersandung sesuatu. Dia menatap dengan tatapan sayu tapi berair mata. Hafsah bangkit tanpa memperdulikan gaunnya yang semakin menyinsing. Gadis itu melangkah mendekati lelaki itu.
"Kenapa Mama tidak menyayangi aku? Padahal aku terlahir karena dia. Dia yang membuat aku ada. Tapi dia juga yang menciptakan masalah untuk anaknya," isak Hafsah mendekati lelaki itu.
"Hei kau menjauhlah!" teriak salah satu anak buahnya. Tapi lelaki itu mengangkat tangan.
Hafsah menangis dan rubuh di lantai. Matanya terus menatap lelaki berkemeja putih di hadapannya. Dia tersenyum lalu berusaha berdiri meski beberapa kali terjatuh tapi dia berhasil mencapai lelaki itu.
"Aku tidak ingin hidup lagi. Tidak ada yang menginginkan aku. Aku kecewa!" teriaknya seraya duduk dipangkuan sang lelaki.
"Kamu tampan sekali? Mau menjual kasih sayang padaku?" tanyanya dengan tangan mengantung di leher lelaki yang tak bereaksi sama sekali.
Lelaki itu menatap Hafsah dengan tajam. Tapi gadis itu malah merebut gelas ditangannya dan menghabiskan isinya.
"Rasanya beda," katanya dengan mengusap bibir. Baju bagian dada pun telah basah oleh minuman tapi dia tidak peduli. Hafsah mengubah posisi duduknya. Dia menatap lelaki itu sambil mengusap pipi dan bibirnya. Menyelusup ke leher hingga lelaki itu memejamkan mata.
"Tuan Maher Anda baik-baik saja?" tanya lelaki bertubuh tinggi itu mendekati sang tuan.
Lelaki bernama Maher itu mengangkat tangan dan mengangguk. Indra penciumannya tersita oleh perempuan di pangkuannya. Wangi yang berbeda dan kulit yang lembut membuat insting lelakinya bangkit. Hafsah tak menyadari apa yang dia lakukan. Memeluk lelaki itu dengan tangisan hingga menyembunyikan wajah di ceruk lehernya. Racauan dan isakan serta kekecewaan dia curahkan pada lelaki yang tidak dia kenali. Hafsah menggoyangkan Maher dengan tangisannya.
"Apa aku jelek? Kenapa mama membenciku?" tanyanya membuat Maher mengepalkan tangan dan memejamkan mata.
"Ikutlah denganku!" katanya menggendong Hafsah menuju mobil diikuti anak buahnya.
"Antar kami ke hotel," titahnya masuk ke mobil diikuti lelaki itu sebagai sopir.
Hafsah memeluk erat Maher tapi mulutnya terus meracau tak jelas. Maher tidak tahu siapa gadis yang dibawanya, pun ada masalah apa yang sedang dialaminya. Tapi sesuatu di sana sudah tidak bisa dibendung lagi.
Dalam pikiran Maher, gadis yang sedang memeluknya erat tampak lain dan berbeda. Tak selayaknya perempuan yang sering meminta sentuhan yang sering ditemuinya. Meski kali ini Hafsah lebih mendominasi tetap saja pikiran Maher tak terima jika perempuan yang tidak dia kenali ini adalah perempuan murahan.
Mobil memasuki pelataran hotel dan terparkir ditempat khusus. Maher langsung menuju kamar hotel yang telah dipesan oleh orangnya. Menuju kesana dengan Hafsah digendongan. Tatapan aneh dari orang-orang yang menatapnya tak dihiraukan lelaki itu. Fokusnya hanya Hafsah.
Pintu kamar hotel tertutup otomatis. Orang-orangnya menjaga dengan berpencar. Sementara di dalam kamar, Hafsah di tidurkan dengan setengah sadar. Matanya terpejam tapi tangan dan bibirnya mengucap yang tidak jelas. Tangannya mengapit lengan Maher seolah tak ingin melepaskannya.
Maher menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Hafsah. Dibelainya rambut itu lalu ke pipi. Dahaga telah berada dipuncak saat menyaksikan telaga madu tersaji di hadapannya. Perlahan dia menyusuri dengan kelembutan tapi penuh arti. Semakin tinggi gunung yang didaki semakin peluh menetes menahan haus. Maher menatap telaga madu dengan tersenyum, tapi ponselnya berdering seiiring ketukan di pintu kamarnya.
Maher menatap panggilan dari anak buahnya. Niatnya masih Hafsah, tapi panggilan itu terus berlanjut. Terpaksa dia mengangkat dengan tangan terkepal.
"Kamu minta ma-ti?" tanyanya dengan kesal.
"Maaf Tuan. Ada polisi. Pergilah dari sana dan tinggalkan gadis itu," jawab anak buahnya.
Ketukan di pintu semakin menjadi membuat Maher panik mengumpulkan helaian benang yang tersusun rapi.
"Tuan tinggalkan gadis itu! Polisi ada di depan kamar anda!"
"Sialan!" umpatnya menutupi Hafsah dengan selimut.
Dia memakai celana dengan tergesa lalu menuju balkon. Di bawah, anak buahnya telah menunggu dengan kain lebar untuk menangkap sang tuan yang akan terjun bebas dari lantai delapan.
Polisi membuka pintu setelah petugas hotel memberinya kunci cadangan.
"Polisi!" teriak mereka saat memasuki kamar hotel yang minim pencahayaan. Kemudian salah satu dari mereka menyalakan lampu dan tampaklah Hafsah terlelap di kasur dengan pakaian berserakan dilantai.
Dua polwan mendekati Hafsah dan membangunkannya. Namun, gadis itu tak bergeming.
"Bangunlah Nona! Kami polisi!" jelasnya berusaha menyadarkan gadis itu.
Hafsah mengerjapkan mata tapi dia tak bangun. Dua polisi lainnya menggeledah kamar, tapi mereka tak menemukan apa pun. Kecuali jendela yang terbuka dan tirai yang tertiup angin.
"Sepertinya ada yang kabur. Bawa gadis ini!" titah seorang polisi pada bawahannya.
Dua polwan itu mengangguk dan membopong Hafsah bersama polisi lainnya ke mobil. Tubuhnya masih berbalut selimut hotel saat meninggal tempat itu. Sesampainya di kantor polisi, Hafsah dibantu memulihkan kesadarannya oleh tim penegak hukum. Dua jam dari kejadian itu barulah Hafsah sadar meski matanya merah dan sayu.
"Hafsah!"
Bersambung
"Hafsah!" panggil seorang perempuan berlari menghampiri Hafsah yang sedang duduk di hadapan polisi."Umma," sahut Hafsah lemah."Pak, ada apa dengan dia?" tanyanya pada polisi."Gadis ini kami temui di hotel dalam keadaan mabuk. Ditanya dia tidak tahu kenapa sampai ada di sana dan bersama siapa. Dia menangis terus dan menolak menjawab pertanyaan kami." Polisi menatap Hafsah dengan tajam.Malini menarik napas panjang lalu menatap mantan muridnya. Dia tahu apa yang dialami gadis ini, tapi untuk ke hotel dia ingin segera mengetahuinya."Pak, saya akan jadi jaminan gadis ini. Lepaskan dia! Dia hanya dijebak dan tak bisa mengendalikan masalahnya. Atau ... ini." Aryan menyodorkan amplop ke hadapannya.Polisi menatap Aryan dan Malini lalu Hafsah. Dia menarik napas dan menggeleng. Setelah itu kembali memberikan amplop pada Aryan."Tanda tangani berkas ini. Hanya itu! Setelahnya kalian boleh membawa gadis ini." Polisi itu menatap Hafsah. "Jangan ulangi kesalahan yang sama. Pergilah!“"Terima k
"Masyaallah, tentu boleh, Sayaaang," jawab Malini tersenyum."Aku mandi dulu. Umma tunggu aku," kata Hafsah.Malini mengangguk dan Hafsah menuju ke kamarnya. Gadis itu mandi dan mencoba menghanyutkan masalahnya bersama air yang turun dari tubuhnya. Usai mandi Hafsah kembali ke kamar dan membuka lemari pakaian di sana. Mata indah itu tertegun melihat satu set gamis lengkap dengan cadarnya. Tangannya gemetar menyentuh baju dalam yang telah beberapa kali Malini meminta Hafsah memakainya."Sebagai perempuan kita wajib menutup aurat. Semakin tertutup aurat kita semakin mahal dan berakhlak pribadi seorang perempuan. Malu jika sudah berjilbab masih melakukan dosa. Malu sama jilbab jika masih tak beribadah padahal Allah sudah amat baik memberikan kesehatan dan kecantikan pada kita. Berlian harus ditutup agar tak terlihat murahan."Ucapan Malini seketika melintas di benaknya. Sering kali dia meminta Hafsah menutup aurat demi keselamatan dirinya. Keselamatan dari pandangan lelaki dan api neraka
Hafsah menarik napas panjang dengan kepala berdenyut merdu. Ternyata lelaki itu bukan berasal dari Kalimantan. Gadis itu menutup laptop lalu bersiap untuk ke butik miliknya. Siang ini dia ada acara pertemuan dengan model baru yang akan memakai rancangannya di sebuah hotel.Hafsah bersiap masih dengan pakaian yang sama. Gadis itu melaju dengan mobil menuju hotel yang tak jauh dari kediamannya. Sesampainya, dia parkir di tempat khusus yang telah disediakan. Dua pegawainya telah menunggu di sana."Pak Gio?" Sapa Hafsah mengangguk sopan pada suami Malini itu.Lelaki itu menatap tajam seolah menelisik siapa yang memanggilnya. Aryan yang juga ada di sana menatap tersenyum."Hafsah, Pa," jelas Aryan menunjuk gadis didepannya."Masyaallah, Hafsah! Ini kamu?" katanya tak percaya tapi dengan raut wajah bahagia, "saya pangling lihat kamu. Berasa menatap berlian.""Nah lihat kan? Kamu semakin mempesona dengan hijab dan cadar ini," goda Aryan membuat Hafsah langsung menunduk.Dua pegawainya juga t
"Hafsah!" teriak Aryan gegas menopang tubuh gadis itu dengan kedua tangannya.Hafsah menangis, dia tersedu di depan Aryan dengan tubuh terguncang. Namun, Hayati tetap tak peduli."Pergilah, Hafsah! Kehadiranmu hanya akan mengingatkan aku pada kejadian dua puluh tiga tahun lalu saat kamu tercipta. Kamu tercipta sebab kesalahan hingga suamiku meninggalkan aku yang amat mencintainya. Pergilah sebelum satpam mengusirmu!" bentaknya tanpa mau menatap Hafsah."Sebenci itu Mama padaku? Apa salahku, Maa?" isak Hafsah tanpa suara."Aku membencimu! Sangat!" jelasnya lalu memutar tubuh, "pergi sebelum para satpam di rumah ini menyeretmu." Setelah mengucapkan kata-kata pedih itu Hayati masuk ke dalam rumah mewahnya. Semua pelayan hanya mampu menatap iba tanpa bisa menolong. Mereka yang sudah sejak lama mengenal Hafsah hanya bisa mendoakan gadis itu."Kita kembali ke Bandung, Hafsah," ujar Aryan memeluknya erat. Hafsah diam tanpa merespon apa pun, tanpa dia tahu bahwa lelaki itu menyeka sudut mat
6. Kedekatan.Hafsah menggeleng dan terisak. Tiba-tiba rasa hampa merayap perlahan menghimpit dada. Jauh dalam lubuk hatinya ada jeritan pilu yang terperangkap. Tangannya mengepal erat tapi tatapan matanya kosong. Hafsah mundur perlahan tanpa kata dan suara tangisan."Dek," ujar Hanan melirik adiknya yang seperti patung bernapas cepat.Hafsah tak bergeming, ucapan Halimah berhasil menembus nadi hingga ke jantungnya. Benarkah Gio yang dia kenal yang dimaksud oleh neneknya? Sementara Halimah dan Hayati masih tak menyadari bahwa Hafsah telah mengetahui apa yang mereka sembunyikan."Terserah dia mau apa! Aku tidak perduli sekalipun lelaki sialan itu membawanya jauh dariku! Ibu tahu apa yang aku alami semenjak kehamilan Hafsah hingga dia lahir?" Hayati menatap tajam pada Halimah. "Itu kepedihan yang tidak bisa aku lupakan!"Halimah menggeleng."Dia penyebab aku dan Amir berpisah. Dia penyebab Amir memilih perempuan lain dan meninggalkan aku dalam hamil besar lalu lahirkan tanpa suami! Itu
Pesawat membawa Maher ke tujuan yaitu kota Padang. Maher pernah beberapa kali ke sini untuk urusan bisnisnya. Namun, untuk urusan cinta dan perasaan dia tidak pernah semenggebu ini. Perasaannya sering tak terkendali saat mengingat sosok gadis yang selalu bermain dalam hayalnya belakangan ini. Sosok yang membuat dia penasaran.Di sisi lain, pagi ini Aryan bersiap mendatangi rumah Hafsah. Dia tidak memakai pakaian formal, tapi lebih ke santai yang maskulin. Dua buah cincin dimasukkan ke saku celana dengan tergesa. Lalu keluar dari hotel dengan mobil yang di sediakan pihak hotel. Aryan menuju rumah Hafsah dengan gejolak yang sulit diredam.Sementara gadis yang di tuju sedang bersiap ikut dengan sang kakak ke kantor. Dia tetap berpenampilan dengan pakaian muslimahnya. Hafsah menuju halaman di mana Hanan telah menunggu. "Kalau orang lain berpakaian seperti ini, maka akan aku katakan dia aneh dan ke arab-araban. Tapi ini malah adikku sendiri perpajakan seperti ini. Aku harus bilang apa?"
"Apa ini bagian dari rencanamu untuk mendekati adikku?" tanya Hanan maju dan langsung menarik Maher dengan kasar. "Bang, udah. Kita buru-buru kan?" Hafsah melerai keduanya. Maher menarik napas kasar sambil merapikan bajunya. Namun, tatapannya fokus pada langkah dan kibaran baju Hafsah. Maher menyentuh dada dan memejamkan mata dan tangan terkepal erat. "Dalam diam aku menatap setiap keindahan itu seperti nyata. Wajahmu nan ayu berhasil membiusku, membuatku terdiam tanpa kata." Maher membuka mata dan tersenyum. "Semakin kesini Tuan semakin banyak perubahan. Seperti apa gadis yang digilai, Tuan Maher itu," bisik anak buahnya pada yang lain. "Kita kembali!" titah Maher dengan dingin. Sementara Hafsah mulai memasuki kantor dan diperkenalkan oleh Hanan. Semua pegawai menunduk tajam dan sungkan. Mereka tidak menyangka bahwa klan Martadinata ada yang berhijab. Hanan menunjukkan ruangan pribadi milik Hafsah dan langsung diberikan satu sekretaris khusus untuknya. "Dia akan bekerja
Rio tiba di ruangan Hafsah. Namun, dia melihat Hayati sedang membanting vas bunga ke dinding lalu ditenangkan Hanan. Hanan tak bicara sepatah pun, hanya deru napas yang menghiasi ruangan itu."Bagaimana dia tahu, Hanan? Bagaimana Hafsah bisa tahu tentang lelaki itu?" tanya Hayati dengan napas memburu."Mama lupa Hafsah itu lahir dari perempuan seperti apa?" Hanan menatap ibunya lalu memukul angin dengan kuat, "dia mewarisi keras kepala dan rasa ingin tahu darimu, Ma."Hayati terhenyak. Dia sadar selama ini sikap keras dan acuhnya pada Hafsah. Namun, dia lupa bahwa Hafsah tak hanya anak dari lelaki itu, tapi juga darah dagingnya. Mewarisi segala sifat darinya. Hanya saja, selama ini Hafsah bisa mengendalikan segala emosi dan angkuhnya dengan pemahaman ilmu agama yang diajarkan Malini padanya."Permisi, Pak," ujar Rio memecah kebisuan di antara ibu dan anak itu.Hanan menoleh dan mengangguk. Hayati menarik napas lalu meraih tasnya dan gegas meninggalkan ruangan itu."Ada apa, Man?" t
Adnan terjaga karena dering ponsel yang begitu nyaring di sisinya. Lelaki itu masih di apartemen lama milik Maher, dia bangkit dan menatap layar dengan mengusap mata, mengusap dan berjalan ke jendela menyibak tirai, membiarkan cahaya masuk menyinari kamarnya."Ada apa?" tanyanya menatap langit biru."Perempuan itu kabur, Boss!" ungkap anak buahnya."Apa!" Adnan terperanjat dan berpaling dengan cepat, "bagaimana bisa!" "Tiba-tiba ada asap setelah itu kami semua pingsan. Saya memeriksa botol yang dilempar ternyata asap bius, Boss. Perempuan itu kabur saat kami pingsan," jelasnya."Cari Lavina! Temukan dia atau sesuatu yang buruk akan terjadi!" Adnan mengusap wajah dengan kasar."Baik, Boss!"Adnan duduk dengan cemas tapi otaknya terus berpikir. Lavina bukan gadis lemah seperti yang Maher pikirkan. Lavina bukan gadis lima tahun lalu yang begitu mengharapkan dan siap mati untuknya. Sekarang ada seseorang yang membantunya untuk balas dendam."Bagaimana cara memberitahu, Tuan. Apa kutelep
"Maher," rengek Hafsah mendadak mendayukan suaranya."Ah, merduanya suara itu menyebut namaku." Maher menyentuh dada dan memejamkan mata sambil tersenyum membuat Hafsah tersipu malu."Mandilah!" titah Hafsah sambil menyodorkan handuk baru ke hadapan suaminya.Maher menarik pergelangan tangan Hafsah hingga gadis itu menabrak dada bidang lelaki tinggi putih itu. Hafsah terkesiap dan langsung memeluk Maher karena takut jatuh membuat Hafsah memejamkan mata. "Maher." Hafsah berusaha melepaskan dekapan suaminya tapi Maher tetap mempertahannya."Aku selalu menggenggam angin saat Hanan memelukmu. Berharap waktu cepat berlalu dan tiba di mana aku dan kamu halal. Kini ... aku akan selalu memelukmu. Tidak akan kubiarkan Hanan memelukmu," katanya dengan tegas."Dia kakakku," kekeh Hafsah membuat Maher mengangkat wajahnya."Aku tahu," katanya tersenyum, "tapi aku akan balas dendam padanya. Tenang saja aku sudah mengundang Hanan dan oma untuk makan siang. Sekalian perkenalan rumah baru kita.""Ma
Suara desir angin dari balkon bertiup samar hingga menggoyangkan tirai. Menyebarkan wangi dari aroma lilin yang berkelip manja di sudut ruangan."Malam ini ... aku Rajanya," bisik Maher, suaranya terdengar rendah tapi cukup menggema di ruangan yang hanya ada mereka saja.Hafsah merasakan jemari Maher menyentuh pundaknya. Menariknya dalam kehangatan yang belum pernah dirasakan selama ini. Hafsah menahan napas saat Maher mengikis jarak antara mereka. Hafsah hanya bisa diam, tidak bisa melawan"Aku membelenggumu dengan cinta dan kesetiaan, Hafsah. Malam ini dan seterusnya aku dan kamu menjadi kita. Aku akan menjadi pelindung dan penjagamu, Istriku. Aku akan selalu menjadi garda terdepan dalam hidupmu," bisiknya seperti mantra yang mengalun indah sekaligus membunuh keberanian Hafsah untuk menatap suaminya.Hafsah menunduk dan membeku saat bayangan Maher tertangkap di mata indahnya. Napasnya berembus di permukaan kulit membuat bulu kuduknya berdiri. Hafsah ingin lari saja tapi kakinya sepe
Langkah kaki Maher mendekat menyongsong Hafsah yang masih menatap dalam diam. Hafsah menoleh dan langsung panik saat melihat Maher berdiri di depannya dengan sorot mata penuh kelembutan dan cinta. Menatap tersenyum.Hafsah menunduk dengan meremas jemarinya. Dia merasa gugup saat tangan besar itu menarik jemarinya yang lentik. Hafsah menoleh ke samping saat Maher menariknya lebih ketengah. Menampakkan Hafsah seutuhnya di antara cahaya lilin yang berkelip tertiup angin.Maher menatap Hafsah dengan mata menyipit. Dadanya berdegup lebih kencang dan kakinya gemetar. "Hafsah, kamu?" Maher menggeleng tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu mengangkat dagu istrinya agar lebih tegap lagi."Aku tidak percaya ini, Hafsah?" ujar Maher mengitari Hafsah dengan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikannya.Tampilan Hafsah mirip dengan malam itu. Malam di mana dia berani duduk dipangkuan Maher dengan rambut panjang dan dress yang lebih pendek meski yang dipakai saat ini lebih pendek da
Aryan mengumpat kesal karena panggilannya diabaikan. Aryan masuk ke dalam mobil dan menatap layar ponsel yang masih menampilkan notifikasi panggilan telepon yang diabaikan oleh Maher. Tak patah semangat, dia kembali menekan nomor Maher dengan cemas tapi juga kesal.Aryan merasa kesal dan kecewa. Dia tidak mengerti mengapa Maher mengabaikan panggilan telepon darinya. Apakah dia tidak ingin berbicara dengan aku? Apakah dia tidak peduli dengan perasaanku?Aryan memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada lelaki yang tengah tersenyum bahagia menyambut kedatangan Hafsah pasca dirinya usai mengucapkan ijab kabul. Aryan berharap dia akan membalas dan menjelaskan mengapa dia mengabaikan panggilannya.Tapi Adnan hanya diam menyimpan ponsel di saku jasnya."Tidak apa-apa, Oma. Aku hanya ingin tahu mengapa kamu tidak menjawab panggilanku," tulisnya lalu mengirimkan pesan kepada Maher.Tapi hingga beberapa jam kemudian, lelaki yang dipanggil Oma atau Om Maher itu masih belum membalas pesan darin
Hafsah mengangguk dengan menggigit bibirnya. Bersiap untuk segala kemungkinan yang akan terjadi malam ini. Maher melepaskan jarum pengait di kerudung Hafsah. Satu persatu dengan pelan tangan itu menarik jarum dan meletakkan ditempat khusus di meja rias yang telah dipenuhi bedak milik Hafsah.Azan ashar berkumandang membuat Hafsah secara reflek menghentikan pergerakan tangan Maher."Kita salat dulu," katanya menatap suaminya."Sendiri-sendiri dulu ya. Aku merasa belum pas takut salah," jelas Maher."Pelan-pelan kita belajar bareng. Gak papa kita coba," ajak Hafsah meyakinkan suaminya yang mengangguk juga pada akhirnya."Tapi mukenaku," bisik Hafsah menyadari dia tidak datang dengan membawa satu barang apa pun.Maher mengusap pipi itu untuk pertama kalinya membuat Hafsah membeku merasakan sesuatu dalam dirinya mengalir lebih cepat. Lelaki itu melangkah menuju walk-in closet. Tak lama dia kembali dengan mukena putih di tangannya."Ini," katanya menyodorkan kehadapan Hafsah, "pakailah!
Maher menatap pantulan dirinya dicermin. Dia tampak gagah dengan balutan jas hitam serta rambut yang tertata rapi. Berulangkali dia menarik napas guna mengurangi kegugupan. Maher begitu gugup untuk menjalani hari ini."Rasanya menghadapi penjahat tidak segugup ini!" katanya menarik napas.Maher keluar dari kamar melewati kilauan cahaya dan kebahagiaan para tamu undangan. Ruangan dipenuhi bunga-bunga yang wanginya samar terbawa angin tapi mampu menusuk hidung ditambah lampu kristal yang menggantung mewah di langit-langit ruangan. Para tamu tersenyum dan berbisik kagum saat Maher melewatinya. Aura positif begitu menguar dari dirinya. Tampan dan berkelas. Halimah, Hanan, Puti dan Vass tersenyum menikmati pemandangan dua insan yang akan bersatu dalam ikatan suci."Kuharap setelah ini anda selanjutnya, Boss," bisik Vass yang langsung mendapat tatapan tajam dari Hanan. Maher duduk di hadapan penghulu dengan Hanan sebagai saksi dari pihak Hafsah dan Adnan dari pihak Maher. Halimah berdoa
Hayati diam. Dia sadar sebagai ibu sudah sangat keterlaluan kepada putrinya. Namun, di balik sikap keras dan tidak pedulinya, perempuan itu menyimpan luka dan kesedihan yang tidak bisa dibaginya dengan siapa pun. Sejak dia mengetahui hamil Hafsah, suaminya langsung berubah dan menanyakan tentang kehamilan. Hayati yang tidak pernah disentuh suaminya sejak beberapa bulan lalu tiba-tiba hamil tentu saja menjadi pertanyaan oleh suaminya. Suaminya jadi curiga, dingin, dan menolak satu ranjang dengannya. Bahkan saat Hayati jujur bahwa dia telah berselingkuh, suaminya memilih menceraikannya sesaat setelah melahirkan.Hayati menjadi marah dan terhina diceraikan didepan dokter dan perawat yang membantu proses melahirkannya. Namun, mereka tidak tahu penyebab perceraian itu. Andai saat itu Hayati bisa menjaga diri dan marwah rumah tangganya maka segalanya tidak akan terjadi. Di dalam kehidupan sehari-hari dan pergaulan antara lelaki dan perempuan ada batasan dan aturannya dalam Islam. Terutam
"Aryan," isak Malini menutup bibir dengan kedua tangannya."Pemahaman agamaku lemah, Pa. Tapi aku tahu bahwa setetes saja seorang suami membuat air mata istrinya jatuh, maka disetiap langkahnya akan dilaknat oleh para malaikat." Aryan menatap Gio dengan kepala terangkat. "Aku sangat kecewa kepadamu, Papa. Sangat!"Aryan meninggalkan Gio yang membeku dan tidak menyangka akan ucapan Aryan. Selama ini lelaki itu selalu menunjukkan cinta dan hormat padanya. Tak pernah mengatakan hal buruk padanya. Tapi kali ini, Aryan bicara dengan tegas dan kepala terangkat. Lelaki itu menyesali segala perbuatannya tapi segalanya telah menjadi masa lalu yang tidak bisa diubah.Aryan mengambil dompet dan jaketnya di lemari lalu keluar bersama Vino menggeret koper miliknya. Lelaki itu melewati Gio begitu saja. Tapi dia memeluk Malini dan mencium keningnya. Sama setiap kali dia akan pergi, Aryan akan melakukannya. Malini hanya diam dan sedikit mengangguk saat Aryan meminta izin padanya."Aku berangkat, Ma,"