"Masyaallah, tentu boleh, Sayaaang," jawab Malini tersenyum.
"Aku mandi dulu. Umma tunggu aku," kata Hafsah.
Malini mengangguk dan Hafsah menuju ke kamarnya. Gadis itu mandi dan mencoba menghanyutkan masalahnya bersama air yang turun dari tubuhnya. Usai mandi Hafsah kembali ke kamar dan membuka lemari pakaian di sana. Mata indah itu tertegun melihat satu set gamis lengkap dengan cadarnya. Tangannya gemetar menyentuh baju dalam yang telah beberapa kali Malini meminta Hafsah memakainya.
"Sebagai perempuan kita wajib menutup aurat. Semakin tertutup aurat kita semakin mahal dan berakhlak pribadi seorang perempuan. Malu jika sudah berjilbab masih melakukan dosa. Malu sama jilbab jika masih tak beribadah padahal Allah sudah amat baik memberikan kesehatan dan kecantikan pada kita. Berlian harus ditutup agar tak terlihat murahan."
Ucapan Malini seketika melintas di benaknya. Sering kali dia meminta Hafsah menutup aurat demi keselamatan dirinya. Keselamatan dari pandangan lelaki dan api neraka. Namun, kala itu Hafsah merasa belum siap. Dia hanya tersenyum.
Kini, dia merasa hina dan berdosa karena telah menginjakkan kaki di tempat haram itu. Perlahan dia mengambil gamis lalu memakainya. Perempuan itu mematut diri di cermin besar menatap dirinya yang tertutup secara sempurna. Bahkan jilbab instan itu tampak cantik membingkai wajahnya yang ayu. Merasa cantik, Hafsah meraih cadar dan memakainya. Sejenak dia lupa akan kesedihannya. Dia menikmati penampilan terbarunya seraya berputar-putar di depan cermin.
Malini yang cemas akan Hafsah yang tak kunjung keluar menyusul ke kamar. Perempuan itu tertegun menatap Hafsah yang sedang membetulkan cadarnya.
"Masyaallah masyaallah masyaallah!" Puji Malini mempercepat langkah lalu memutar tubuh Hafsah yang langsung menunduk malu.
"Umma aku malu," rengeknya manja.
"Berlian secantik ini kenapa malu? Hm?" tanya Malini mengusap kepala yang sudah tertutup jilbab itu.
"Cocok gak?" tanyanya lagi merasa takut ditertawakan.
Malini mengangkat dua jempolnya lalu mencium kening Hafsah.
"Harus selalu seperti ini agar kamu bahagia. Percayalah Hafsah ... jika hati kamu ikhlas dalam menjalani cobaan ini maka kamu akan naik level. Berdoalah minta sama Allah. Apa pun itu minta sama yang menciptakan kamu maka tiada yang tidak mungkin bagi-NYA," jelas Malini tersenyum senang.
Hafsah mengangguk lalu menuju mushalla kecil di dalam rumah Malini. Keduanya salat subuh lalu mengaji. Malini terus memberikan pencerahan dan dukungan agar Hafsah tak patah semangat dalam berjuang. Apalagi saat ini, gadis itu tampak semakin cantik dengan cadarnya.
***
"Bagaimana gadis itu?" tanya Maher menatap anak buahnya.
"Dia di kantor polisi, Tuan," jawabnya menunduk.
"Hanya itu?" Maher menatap tajam.
Lelaki di hadapannya mengangguk sambil menunduk membuat Maher geram melayangkan pukulan hingga mereka terjungkal tanpa perlawanan.
"Cari tahu asal usul gadis itu! Cari tahu segalanya tentang dia!" titahnya dengan rahang mengeras dan napas memburu.
Tanpa menunggu perintah selanjutnya mereka gegas keluar dari rumah mewah Maher dan berpencar mencari tahu siapa gadis yang telah berhasil membuat tuan mereka kalang kabut hingga nekat meloncat dari lantai lima tanpa perlindungan.
Maher mengusap kasar wajah lalu memukul angin dengan kesal. Dilemparnya kemeja dan sepatu ke sembarang arah untuk mengurangi rasa kesal dan kecewanya.
"Bagaimanapun aku harus menemukan gadis itu dan membuat perhitungan dengannya. Sial! Sial sekali dia membangunkan sesuatu yang tak seharusnya tapi tak bisa lelap setelah itu!" ujarnya seorang diri lalu menjatuhkan tubuh ke sofa di ruang tengah rumahnya.
Pikirannya melayang dengan mata terpejam. Bayangan gadis yang seperti tak biasa itu menganggu ketenangannya. Gadis yang seperti mempunyai sesuatu hal yang berbeda dari gadis lain. Sangat istimewa.
Sementara gadis yang tengah di cari sedang mendapatkan pujian dan pelukan dari Malini. Aryan yang baru saja bangun tertegun menatap perempuan yang tampak berbeda dari semalam.
"Hafsah?" Aryan menyentuh dada merasakan sesuatu di sana.
"Alhamdulillah Hafsah menutup auratnya. Doakan dia Istiqomah dan selalu berada dalam lindungan orang yang baik," kata Malini menatap Aryan yang tak bisa berkata-kata.
"Umma, aku mau pulang ke apartemen saja. Siang ini aku ada pekerjaan jadi harus ada persiapan," jelas Hafsah.
"Aku antar," ujar Aryan gugup dan Malini mengangguk.
Hafsah diantar pulang oleh Aryan tanpa bicara sepatah kata pun. Mendadak Aryan hilang kewarasan dan konsentrasi saat bersama Hafsah yang baru. Hafsah pun merasa terjaga dan terpelihara dengan pakaian barunya.
"Aryan, terima kasih telah mengantarkan aku," ujarnya saat mereka tiba.
Aryan mengangguk tersenyum. Matanya gugup menatap Hafsah tapi lirikannya tak lepas dari gadis itu.
"Kamu cantik, Hafsah!" balas Aryan.
Hafsah mengangguk lalu turun dari mobil. Setelah itu gegas menuju apartemennya dan memperlihatkan kartu pengenal pada pihak apartemen.
Setelah itu masuk ke apartemen lalu menuju kamarnya. Dia teringat ibunya dan sangat merinduakannya. Hafsah tak patah semangat, sebagai seorang anak tentu saja dia tak bisa membenci Hayati. Meski sudah tahu jawabannya dia tetap menelepon Hayati dengan jantung berdebar
"Kenapa? Apa lagi yang akan kamu ceritakan dari perjalanan hidupmu yang tidak penting," jawab Hayati tanpa menyapa sang anak saat panggilan telepon tersambung.
"Mama aku rindu," jelas Hafsah menahan tangis.
"Tapi aku sangat membencimu! Kamu anak yang tidak pernah aku harapkan lahir dari lelaki yang bukan suamiku! Kamu tahu itu, Hafsah? Kamu anak pembawa sial dalam keluargaku!" ucap Hayati tanpa ragu.
Air mata itu selalu lolos saat hatinya di banting oleh sang ibu. Dia ingin membantahnya tapi mulai terngiang nasihat Malini padanya. akhirnya dia hanya menarik napas sambil istighfar.
"Maafkan aku, Mama. Aku telah hadir tanpa persetujuan Mama. Aku ada di antara Mama dan papa sebab kekhilafan itu. Maafkan aku telah jadi penyebab kehancuran hubungan Mama dan papa. Tapi sebelum itu katakan padaku siapa ayahku jika suamimu bukanlah ayahku." Hafsah meremas bantal dengan kuat.
Hayati tertegun mendengar pertanyaan dari putrinya. Bayangan itu kembali membuat darahnya mendidih hingga meremas file di hadapannya.
"Mama?" panggil Hafsah lebih lemah.
"Dia pengusaha kaya asal Kalimantan. Sekarang aku gak tahu dia di mana dan bagaimana. Carilah pengusaha berinisial GA. Kamu akan tahu bahwa kamu benar-benar tidak berguna dan hanya jadi benalu di Martadinata saja," jelas Hayati lalu mematikan telepon.
"GA? Teka teki apa ini? Ya Allah," isak Hafsah menangis tersedu membayangkan kehidupannya yang pahit.
Hafsah membuka laptop dan mencari nama pengusaha asal Kalimantan dengan inisial GA. Tangannya lincah menari kesana kemari mencari nama yang diinginkan. Hingga jemari itu terhenti pada sosok nama Gilang Andari.
"Mungkinkah?"
Hafsah menarik napas panjang dengan kepala berdenyut merdu. Ternyata lelaki itu bukan berasal dari Kalimantan. Gadis itu menutup laptop lalu bersiap untuk ke butik miliknya. Siang ini dia ada acara pertemuan dengan model baru yang akan memakai rancangannya di sebuah hotel.Hafsah bersiap masih dengan pakaian yang sama. Gadis itu melaju dengan mobil menuju hotel yang tak jauh dari kediamannya. Sesampainya, dia parkir di tempat khusus yang telah disediakan. Dua pegawainya telah menunggu di sana."Pak Gio?" Sapa Hafsah mengangguk sopan pada suami Malini itu.Lelaki itu menatap tajam seolah menelisik siapa yang memanggilnya. Aryan yang juga ada di sana menatap tersenyum."Hafsah, Pa," jelas Aryan menunjuk gadis didepannya."Masyaallah, Hafsah! Ini kamu?" katanya tak percaya tapi dengan raut wajah bahagia, "saya pangling lihat kamu. Berasa menatap berlian.""Nah lihat kan? Kamu semakin mempesona dengan hijab dan cadar ini," goda Aryan membuat Hafsah langsung menunduk.Dua pegawainya juga t
"Hafsah!" teriak Aryan gegas menopang tubuh gadis itu dengan kedua tangannya.Hafsah menangis, dia tersedu di depan Aryan dengan tubuh terguncang. Namun, Hayati tetap tak peduli."Pergilah, Hafsah! Kehadiranmu hanya akan mengingatkan aku pada kejadian dua puluh tiga tahun lalu saat kamu tercipta. Kamu tercipta sebab kesalahan hingga suamiku meninggalkan aku yang amat mencintainya. Pergilah sebelum satpam mengusirmu!" bentaknya tanpa mau menatap Hafsah."Sebenci itu Mama padaku? Apa salahku, Maa?" isak Hafsah tanpa suara."Aku membencimu! Sangat!" jelasnya lalu memutar tubuh, "pergi sebelum para satpam di rumah ini menyeretmu." Setelah mengucapkan kata-kata pedih itu Hayati masuk ke dalam rumah mewahnya. Semua pelayan hanya mampu menatap iba tanpa bisa menolong. Mereka yang sudah sejak lama mengenal Hafsah hanya bisa mendoakan gadis itu."Kita kembali ke Bandung, Hafsah," ujar Aryan memeluknya erat. Hafsah diam tanpa merespon apa pun, tanpa dia tahu bahwa lelaki itu menyeka sudut mat
"Terserah apa yang akan kamu lakukan! Aku tidak peduli!" teriak Hayati meremas jemarinya saat bicara melalui sambungan telepon."Aku hanya butuh support dan ridho Mama. Butuh dukungan Mama ... hanya itu," jelas Hafsah mulai terisak.Hayati menatap foto ketiga anaknya, lalu tatapan kebencian terpancar saat menatap foto Hafsah. Perempuan itu tak pernah menunjukkan kasih sayang padanya."Doakan aku, Ma." Hafsah memohon dengan menahan tangis di rantau orang. "Aku tidak akan mendoakanmu! Tidak akan menyebut namamu di dalam doaku. Meskipun kamu anakku tapi kamu penyebab segala kehancuran ini, Hafsah! Sampai kapanpun itu tidak akan berubah! Jadi ... jangan mengemis untuk hal yang mustahil aku lakukan!"Sambungan telepon terputus. Hafsah menangis di ruang rias sendirian. Malam ini adalah malam peluncuran brand terbaru miliknya. Semua model memakai baju rancangan gadis dua puluh tiga tahun itu. Semua tampak bahagia menyaksikan pencapaiannya. Namun, yang mencapainya tak merasa bahagia. Perih i
"Hafsah!" panggil seorang perempuan berlari menghampiri Hafsah yang sedang duduk di hadapan polisi."Umma," sahut Hafsah lemah."Pak, ada apa dengan dia?" tanyanya pada polisi."Gadis ini kami temui di hotel dalam keadaan mabuk. Ditanya dia tidak tahu kenapa sampai ada di sana dan bersama siapa. Dia menangis terus dan menolak menjawab pertanyaan kami." Polisi menatap Hafsah dengan tajam.Malini menarik napas panjang lalu menatap mantan muridnya. Dia tahu apa yang dialami gadis ini, tapi untuk ke hotel dia ingin segera mengetahuinya."Pak, saya akan jadi jaminan gadis ini. Lepaskan dia! Dia hanya dijebak dan tak bisa mengendalikan masalahnya. Atau ... ini." Aryan menyodorkan amplop ke hadapannya.Polisi menatap Aryan dan Malini lalu Hafsah. Dia menarik napas dan menggeleng. Setelah itu kembali memberikan amplop pada Aryan."Tanda tangani berkas ini. Hanya itu! Setelahnya kalian boleh membawa gadis ini." Polisi itu menatap Hafsah. "Jangan ulangi kesalahan yang sama. Pergilah!“"Terima k
"Hafsah!" teriak Aryan gegas menopang tubuh gadis itu dengan kedua tangannya.Hafsah menangis, dia tersedu di depan Aryan dengan tubuh terguncang. Namun, Hayati tetap tak peduli."Pergilah, Hafsah! Kehadiranmu hanya akan mengingatkan aku pada kejadian dua puluh tiga tahun lalu saat kamu tercipta. Kamu tercipta sebab kesalahan hingga suamiku meninggalkan aku yang amat mencintainya. Pergilah sebelum satpam mengusirmu!" bentaknya tanpa mau menatap Hafsah."Sebenci itu Mama padaku? Apa salahku, Maa?" isak Hafsah tanpa suara."Aku membencimu! Sangat!" jelasnya lalu memutar tubuh, "pergi sebelum para satpam di rumah ini menyeretmu." Setelah mengucapkan kata-kata pedih itu Hayati masuk ke dalam rumah mewahnya. Semua pelayan hanya mampu menatap iba tanpa bisa menolong. Mereka yang sudah sejak lama mengenal Hafsah hanya bisa mendoakan gadis itu."Kita kembali ke Bandung, Hafsah," ujar Aryan memeluknya erat. Hafsah diam tanpa merespon apa pun, tanpa dia tahu bahwa lelaki itu menyeka sudut mat
Hafsah menarik napas panjang dengan kepala berdenyut merdu. Ternyata lelaki itu bukan berasal dari Kalimantan. Gadis itu menutup laptop lalu bersiap untuk ke butik miliknya. Siang ini dia ada acara pertemuan dengan model baru yang akan memakai rancangannya di sebuah hotel.Hafsah bersiap masih dengan pakaian yang sama. Gadis itu melaju dengan mobil menuju hotel yang tak jauh dari kediamannya. Sesampainya, dia parkir di tempat khusus yang telah disediakan. Dua pegawainya telah menunggu di sana."Pak Gio?" Sapa Hafsah mengangguk sopan pada suami Malini itu.Lelaki itu menatap tajam seolah menelisik siapa yang memanggilnya. Aryan yang juga ada di sana menatap tersenyum."Hafsah, Pa," jelas Aryan menunjuk gadis didepannya."Masyaallah, Hafsah! Ini kamu?" katanya tak percaya tapi dengan raut wajah bahagia, "saya pangling lihat kamu. Berasa menatap berlian.""Nah lihat kan? Kamu semakin mempesona dengan hijab dan cadar ini," goda Aryan membuat Hafsah langsung menunduk.Dua pegawainya juga t
"Masyaallah, tentu boleh, Sayaaang," jawab Malini tersenyum."Aku mandi dulu. Umma tunggu aku," kata Hafsah.Malini mengangguk dan Hafsah menuju ke kamarnya. Gadis itu mandi dan mencoba menghanyutkan masalahnya bersama air yang turun dari tubuhnya. Usai mandi Hafsah kembali ke kamar dan membuka lemari pakaian di sana. Mata indah itu tertegun melihat satu set gamis lengkap dengan cadarnya. Tangannya gemetar menyentuh baju dalam yang telah beberapa kali Malini meminta Hafsah memakainya."Sebagai perempuan kita wajib menutup aurat. Semakin tertutup aurat kita semakin mahal dan berakhlak pribadi seorang perempuan. Malu jika sudah berjilbab masih melakukan dosa. Malu sama jilbab jika masih tak beribadah padahal Allah sudah amat baik memberikan kesehatan dan kecantikan pada kita. Berlian harus ditutup agar tak terlihat murahan."Ucapan Malini seketika melintas di benaknya. Sering kali dia meminta Hafsah menutup aurat demi keselamatan dirinya. Keselamatan dari pandangan lelaki dan api neraka
"Hafsah!" panggil seorang perempuan berlari menghampiri Hafsah yang sedang duduk di hadapan polisi."Umma," sahut Hafsah lemah."Pak, ada apa dengan dia?" tanyanya pada polisi."Gadis ini kami temui di hotel dalam keadaan mabuk. Ditanya dia tidak tahu kenapa sampai ada di sana dan bersama siapa. Dia menangis terus dan menolak menjawab pertanyaan kami." Polisi menatap Hafsah dengan tajam.Malini menarik napas panjang lalu menatap mantan muridnya. Dia tahu apa yang dialami gadis ini, tapi untuk ke hotel dia ingin segera mengetahuinya."Pak, saya akan jadi jaminan gadis ini. Lepaskan dia! Dia hanya dijebak dan tak bisa mengendalikan masalahnya. Atau ... ini." Aryan menyodorkan amplop ke hadapannya.Polisi menatap Aryan dan Malini lalu Hafsah. Dia menarik napas dan menggeleng. Setelah itu kembali memberikan amplop pada Aryan."Tanda tangani berkas ini. Hanya itu! Setelahnya kalian boleh membawa gadis ini." Polisi itu menatap Hafsah. "Jangan ulangi kesalahan yang sama. Pergilah!“"Terima k
"Terserah apa yang akan kamu lakukan! Aku tidak peduli!" teriak Hayati meremas jemarinya saat bicara melalui sambungan telepon."Aku hanya butuh support dan ridho Mama. Butuh dukungan Mama ... hanya itu," jelas Hafsah mulai terisak.Hayati menatap foto ketiga anaknya, lalu tatapan kebencian terpancar saat menatap foto Hafsah. Perempuan itu tak pernah menunjukkan kasih sayang padanya."Doakan aku, Ma." Hafsah memohon dengan menahan tangis di rantau orang. "Aku tidak akan mendoakanmu! Tidak akan menyebut namamu di dalam doaku. Meskipun kamu anakku tapi kamu penyebab segala kehancuran ini, Hafsah! Sampai kapanpun itu tidak akan berubah! Jadi ... jangan mengemis untuk hal yang mustahil aku lakukan!"Sambungan telepon terputus. Hafsah menangis di ruang rias sendirian. Malam ini adalah malam peluncuran brand terbaru miliknya. Semua model memakai baju rancangan gadis dua puluh tiga tahun itu. Semua tampak bahagia menyaksikan pencapaiannya. Namun, yang mencapainya tak merasa bahagia. Perih i