Pesawat membawa Maher ke tujuan yaitu kota Padang. Maher pernah beberapa kali ke sini untuk urusan bisnisnya. Namun, untuk urusan cinta dan perasaan dia tidak pernah semenggebu ini.
Perasaannya sering tak terkendali saat mengingat sosok gadis yang selalu bermain dalam hayalnya belakangan ini. Sosok yang membuat dia penasaran.
Di sisi lain, pagi ini Aryan bersiap mendatangi rumah Hafsah. Dia tidak memakai pakaian formal, tapi lebih ke santai yang maskulin. Dua buah cincin dimasukkan ke saku celana dengan tergesa. Lalu keluar dari hotel dengan mobil yang di sediakan pihak hotel. Aryan menuju rumah Hafsah dengan gejolak yang sulit diredam.
Sementara gadis yang di tuju sedang bersiap ikut dengan sang kakak ke kantor. Dia tetap berpenampilan dengan pakaian muslimahnya. Hafsah menuju halaman di mana Hanan telah menunggu.
"Kalau orang lain berpakaian seperti ini, maka akan aku katakan dia aneh dan ke arab-araban. Tapi ini malah adikku sendiri perpajakan seperti ini. Aku harus bilang apa?" Hanan menatap adiknya uang sudah duduk di sisinya.
Hafsah melirik dengan menarik napas.
"Kata umma, pakaian seperti ini bukanlah pakaian perempuan Arab. Tapi pakaian perempuan muslimah. Perempuan Islam ya seperti ini lah pakaiannya. Terlebih seorang perempuan yang paham agama dan terlihat mewah dan berkelas harus menutup aurat. Karena semakin tertutup aurat seseorang maka semakin mahal dan berharga dirinya," jelas Hafsah tersenyum dibalik cadarnya.
"Terserah, yang penting kamu bahagia," balas Hanan meminta sopir melaju menuju gedung Martadinata Corp.
"Apa posisiku di kantor nanti?" tanya Hafsah pada Hanan.
"Desain interior. Kamu ahli menggambar, jadi posisi kamu adalah mendesain model terbaru untuk perusahaan," kata Hanan sambil menatap adiknya yang hanya terlihat mata saja.
"Hah, artinya aku benar-benar harus menetap di sini. Padahal aku rindu Bandung." Hafsah menyandar di bahu Hanan.
"Tentu, kamu gak boleh pergi lagi. Kamu aset Martadinata."
Mobil Hanan terus melaju dari arah kanan, tapi sebuah mobil menyalip dari arah kiri pertigaan hingga membentur kaca lampu depan mobil Hanan. Sopir merem mendadak hingga Hanan dan Hafsah terhuyung ke depan.
"Sialan!" umpat Hanan keluar dari mobil lalu melihat kaca lampu yang pecah.
Pengendara mobil itu juga ikut keluar dan menatap mobilnya yang menabrak mobil Hanan. Hanan mengepalkan tangan dengan rahang mengeras lalu, menarik kerah baju sopir itu dengan tatapan tajam. Kepalan tangan melayang menghantam pelipis sopir yang langsung tak bisa mengelak.
"Ini mobil mahal! Lebih mahal dari dirimu yang tidak berarti apa-apa!" ujar Hanan kembali melayangkan pukulan.
Seorang lelaki memakai kaca mata hitam serta hoodie dengan celana jeans keluar dari mobil melerai pertikaian itu.
"Maaf, kami yang salah. Kami baru di kota ini dan tidak melihat bahwa ada mobil yang melintas di depan. Mohon maafkan kami," ungkapnya dengan tenang.
Hafsah gegas keluar dari mobil menyusul Hanan. Dia menatap kaca lampu yang pecah serta serta Hanan yang begitu marah.
"Abang, udah. Gak papa, kita bisa perbaiki, hanya kaca lampu kan?" Hafsah menyentuh jemari kakaknya.
Lelaki di hadapan Hafsah seketika mengangkat wajah dan menatap dirinya dengan lekat.
"Anda?" katanya menatap penuh selidik, "apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Hafsah menatap sekilas lalu menunduk kembali.
"Tidak," jawab Hafsah.
Lelaki itu menelisik dari kaki hingga ke mata Hafsah. Namun, sesekali dia memejamkan mata dan mengerucutkan hidung seolah tengah menghidu wangi seseorang. Setelah itu kembali menatap Hafsah dengan intens. Sadar dirinya jadi pusat perhatian lelaki itu, Hafsah gegas menarik Hanan untuk gegas pergi dari hadapan lelaki itu.
"Aku akan menuntut ganti rugi!" teriak Hanan sambil melangkah masuk ke mobil lalu melaju meninggalkan lelaki yang seperti terpaku di tempatnya.
"Tuan, kita ke hotel dulu atau makan dulu?" tanya sopir yang tengah merasakan ngilu dan perih di sudut bibirnya akibat pukulan Hanan.
"Ikuti mobil itu! Tapi jangan sampai dia menyadarinya!" titah lelaki itu menatap tajam kepergian mobil Hafsah.
Hafsah menenangkan Hanan yang tengah emosi. Dia tidak terima kaca lampu mobilnya rusak dan benar-benar pecah. Andai, Hafsah tak menghalanginya mungkin lelaki itu telah di hajar oleh Hanan.
"Aku tidak suka mengalah, Hafsah! Aku benci kekalahan apalagi ini bukanlah aku yang mengawalinya," ujar Hanan tegas dan keras.
"Bang, ini bukanlah saatnya kita menunjukkan kekuatan melalui kekerasan. Tapi saatnya menuju awal yang baik dan elegan dalam bersikap. Kita trah Martadinata yang harus mengubah sikap seperti oma. Bukan mama." Hafsah menenangkan Hanan dengan lembut.
"Kenapa Bonekaku semakin bijaksana saja?" Hanan menatap adiknya dari samping. "Kamu, Hasan, dan oma adalah satu garis. Sedangkan aku lebih ke mama dan cenderung ke Oma jika bertemu orang yang baik."
Hafsah tersenyum lalu menatap jalanan karena mereka hampir sampai di kantor. Hafsah turun tapi gamisnya tersangkut sesuatu hingga dia terhuyung ke depan dan satu kakinya tidak sampai menginjak lantai parkiran dengan tepat.
"Astaghfirullah," lirih Hafsah pasrah karena di parkiran banyak orang dan dia pun siap malu jika terjatuh. Namun, seseorang menahannya dengan erat dan menatap matanya dengan lembut.
"Hafsah!" teriak Hanan memutar tubuhnya dan bergegas menuju adiknya.
Mata keduanya saling mengunci dalam diam dan menunggu seseorang menyadarkan dari segala kesyahduan.
"Tuan Maher!"
Lelaki itu mengangguk lalu menahan Hafsah agar tak terjatuh. Hanan melepaskan sangkutan ujung gamisnya yang sedikit sobek. Setelah lepas, Maher melepaskan Hafsah.
"Maaf," ucap Maher karena Hanan menatapnya tajam.
"Tidak apa-apa," balas Hafsah
"Maher, Maher Anggara." Maher mengulurkan tangan pada Hafsah.
"Hafsah," jawabnya mengatupkan kedua tangannya.
Hanan melirik tak suka. Dia merasa ada sesuatu yang sedang terjadi.
"Maaf aku telah merusak mobil kalian. Aku ke sini hanya untuk memberikan ini," jelas Maher menyerahkan kartu namanya pada Hafsah.
"Untuk?" tanya Hafsah.
"Perbaiki mobil kalian, dan kabari aku berapa biayanya. Aku tahu ini mahal, tapi aku akan bertanggung jawab," jawab Maher terus menatap Hafsah yang jadi salah tingkah.
"Itu sudah seharusnya!" Hanan menatap Maher lalu meraih tangan Hafsah dan berlalu pergi.
"Nona, tunggu!" teriak Maher mengejar Hafsah yang langsung mendapatkan halangan dari Hanan.
"Ada apa?"
"Aku merasa kita begitu dekat. Apa kita bisa bertemu lagi?" tanya Maher penuh harap.
"Apa ini bagian dari rencanamu untuk mendekati adikku?" tanya Hanan maju dan langsung menarik Maher dengan kasar. "Bang, udah. Kita buru-buru kan?" Hafsah melerai keduanya. Maher menarik napas kasar sambil merapikan bajunya. Namun, tatapannya fokus pada langkah dan kibaran baju Hafsah. Maher menyentuh dada dan memejamkan mata dan tangan terkepal erat. "Dalam diam aku menatap setiap keindahan itu seperti nyata. Wajahmu nan ayu berhasil membiusku, membuatku terdiam tanpa kata." Maher membuka mata dan tersenyum. "Semakin kesini Tuan semakin banyak perubahan. Seperti apa gadis yang digilai, Tuan Maher itu," bisik anak buahnya pada yang lain. "Kita kembali!" titah Maher dengan dingin. Sementara Hafsah mulai memasuki kantor dan diperkenalkan oleh Hanan. Semua pegawai menunduk tajam dan sungkan. Mereka tidak menyangka bahwa klan Martadinata ada yang berhijab. Hanan menunjukkan ruangan pribadi milik Hafsah dan langsung diberikan satu sekretaris khusus untuknya. "Dia akan bekerja
Rio tiba di ruangan Hafsah. Namun, dia melihat Hayati sedang membanting vas bunga ke dinding lalu ditenangkan Hanan. Hanan tak bicara sepatah pun, hanya deru napas yang menghiasi ruangan itu."Bagaimana dia tahu, Hanan? Bagaimana Hafsah bisa tahu tentang lelaki itu?" tanya Hayati dengan napas memburu."Mama lupa Hafsah itu lahir dari perempuan seperti apa?" Hanan menatap ibunya lalu memukul angin dengan kuat, "dia mewarisi keras kepala dan rasa ingin tahu darimu, Ma."Hayati terhenyak. Dia sadar selama ini sikap keras dan acuhnya pada Hafsah. Namun, dia lupa bahwa Hafsah tak hanya anak dari lelaki itu, tapi juga darah dagingnya. Mewarisi segala sifat darinya. Hanya saja, selama ini Hafsah bisa mengendalikan segala emosi dan angkuhnya dengan pemahaman ilmu agama yang diajarkan Malini padanya."Permisi, Pak," ujar Rio memecah kebisuan di antara ibu dan anak itu.Hanan menoleh dan mengangguk. Hayati menarik napas lalu meraih tasnya dan gegas meninggalkan ruangan itu."Ada apa, Man?" t
Tubuh Aryan dihantam oleh mobil yang melintas dengan kencang. seketika suasana berubah menjadi kepanikan. Suara benturan dan teriakan memenuhi jalan raya dengan kemacetan total. Aryan menatap lemah pada gadis yang berdiri bak patung tak jauh darinya. pandangannya perlahan mengabur dan genggaman pada cincin di telapak tangan terlepas seiring darah segar menyembur dari mulutnya. Hafsah terpaku menyaksikan Aryan menggelepar setelah menyemburkan darah yang beku bercampur segar. Gadis itu berlari dengan gontai menuju Aryan yang tak lagi bereaksi. Hafsah terdaya menyaksikan begitu banyak darah mengalir dari kepala dan rusuk Aryan. "Aryaaaaan!" teriak Hafsah luruh di hadapannya. Aryan tak bergeming. Teriakan Hafsah tak lagi bisa menembus pendengarannya. Gadis itu terus terisak dan gemetar melihat apa saja yang baru terjadi. "Aryan bangun! bangun Aryan! aku mohon!" isak Hafsah menyentuh pipi Aryan yang terus dialiri darah, "seseorang telepon ambulance!" Salah seorang yang menyaksikan
Usai berdebat dan mengamuk di kantor, Hayati menuju rumah sakit untuk cek up rutin. Apalagi semenjak kepulangan Hafsah, emosinya sering tak terkendali meski itu adalah ciri khasnya. Kepalanya sering merasa berat dan pusing jika telah berhadapan dengan Hafsah. Dan kali ini dia kembali menemukan kenyataan yang tak ingin dia ketahui.Saat akan kembali, Hayati melihat Hafsah dan Hanan di depan IGD. Tak mau menemui mereka, Hayati memilih mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Saat ini langkah kakinya menuju IGD dan masuk dengan menahan amarah. Di dalam sana, ada tiga pasien yang tak sadarkan diri. Dan semuanya lelaki dengan satu berusia tak berbeda dengan Aryan. Hayati kebingungan menatap dua orang itu, sulit mengenalinya karena saat bertemu, Hayati lebih fokus ke Hafsah."Ibu ingin menemui siapa?" tanya perawat menghampiri Hayati yang berdiri menatap ketiga pasien."Korban kecelakaan," jawabnya."Ketiganya korban kecelakaan, Ibu," jelas perawat ramah.Hayati tersenyum lalu melangkah
"Maher di Padang? Ngapain?" tanya Gio dengan raut wajah penuh tanda tanya.Malini menggeleng, lalu menutup telepon setelah meminta Maher menemui Aryan dan menemaninya sebelum dia datang. Malini mengirim pesan kepada Hafsah mengabarkan akan kedatangan dirinya. Hafsah hanya menatap ponsel tanpa membuka aplikasi. Pikirannya masih kacau dan sulit untuk berpikir."Aku merasa heran, kenapa Maher suka sekali melakukan apa pun tanpa memberitahumu. Ya, aku tahu dia sudah dewasa dan bisa mengurus dirinya sendiri. Tapi soal hubungan kalian? Seperti tidak ada kedekatan yang hangat. Bukan seperti adik dan kakak," ujar Gio menarik napas lalu melirik istrinya dari samping.Malini tak menjawab atau menjelaskan yang sebenarnya, tanpa sepengetahuan Gio, Maher sering menemuinya dan bersikap hangat dan manja. Tapi di saat ada Gio, maka Maher akan bersikap dingin dan tak terkendali. Alasannya? Hanya author yang tahu."Udahlah, Mas. Kita fokus ke Aryan saja. Semoga dia baik-baik saja. Aku cemas," balas Ma
Di depan ruang ICU rumah sakit, suasana terlihat tegang. Hanan terus menggenggam tangan Hafsah. Sedangkan Maher berdiri tak jauh dari mereka. Diam, dan mengawasi situasi dengan pergerakan mata. Sesekali dia melirik Hafsah, matanya teduh dengan ukiran yang sempurna. Tanpa tambahan eyeliner dan make-up lainnya. Tapi di mata Maher, dia bisa memastikan bahwa Hafsah adalah sosok yang cantik.Malini telah berada di pesawat. Tinggal menunggu waktu sekian menit maka dia akan mendarat di bandara internasional Minangkabau. Pun jarak dari bandara ke rumah sakit hanya tiga puluh menit. Di sisi lain, kondisi Aryan menurun. Dokter dan perawat berlari masuk ke ICU. Semua kaca di tutup dengan kain membuat Maher dan Hafsah panik dan cemas."Apa yang terjadi? Ada apa dengan Aryan?" tanya Hafsah menyentuh pintu dengan cemas.Maher tak menjawab. Dia menunduk tajam menatap lantai. Sedang Hanan tak bereaksi apa pun. Di dalam, Aryan mengalami kejang dan beberapa kali muntah dengan cairan merah merona. Dok
Tatapan Gio melemah seiring jatuhnya dia ke lantai. Sementara Hafsah terus terisak menangisi takdirnya. Hampir enam tahun bertemu dan lima tahun dalam kedekatan dia tak menyadari bahwa Gio adalah ayahnya. Gio pun tak kalah terkejut, selama itu dan hampir setiap hari melihat Hafsah. Jauh dari lubuk hatinya, Gio merasakan sesuatu hal yang istimewa untuk Hafsah. Entah karena dia memang menginginkan anak perempuan atau karena kasihan saja.Hari ini, rasa itu terjawab sudah dengan kenyataan yang dibawa Hafsah. Kenyataan yang disembunyikan Hayati selama dua puluh tiga tahun. Gio mendengar banyak hal kisah Hafsah dari istrinya, tapi dia tidak tahu bahwa kisah menyedihkan itu berawal dari dirinya."Selama dua puluh tiga tahun aku sendirian, Papa. Aku meringkuk memeluk luka tanpa kasih sayang mama. Aku menderita setiap hembusan napasku. Karena Papa, mama berpisah dengan suaminya dan aku yang menanggung akibat itu." Tangisan Hafsah menggelegar meluapkan emosinya. Hanan memeluk dengan erat semen
Hanan memeluk Hafsah yang sudah berdiri di hadapan Hayati. Gadis itu gemetar dipelukan Hanan. Dadanya naik turun mengatur napas agar tetap stabil. Sementara Hayati menatap tajam putrinya. Dia tak menyangka bahwa Hafsah bisa menjawab dan menentangnya. Perempuan paruh baya itu menggeleng dengan senyuman sinis."Akhirnya kamu menunjukkan sisi asli kamu, Hafsah!" ujarnya tertawa mengejek. "kamu memang tidak bisa dibentuk dan terlanjur rusak!""Iya, Ma. Itu benar! Tapi semuanya terjadi karena aku tidak pernah diajari dengan kebenaran dan dibentuk dengan kasih sayang. Sejak dalam perut Mama aku selalu dihina dan dicaci. Padahal aku tidak akan terlahir ke dunia ini jika Mama dan lelaki itu tidak membuatku malam itu! Karena kenikmatan satu malam Mama bersama dia, aku yang harus menderita! Mama dengar aku! Aku menderita karena kesalahan Mama!" teriak Hafsah untuk pertama kalinya."Hafsah, tenanglah!" bisik Hanan memeluk adiknya."Tidak, Bang. Di dalam tubuhku mengalir darah Hayati yang egois d
"Keputusanku mengakhiri pernikahan sepertinya salah, tapi menunggu Maher tanpa kepastian juga salah. Ya Tuhaaan aku menginginkan Maher!" isak Lavina di balik pintu IGD.Lavina mengikuti Maher dan selalu memantaunya. Kecemasan di wajah Maher ketika Hafsah pingsan membuat Lavina cemburu dan mengurut dada. Benar saja, aksi Maher mengendong Hafsah turun tangga darurat membuat hatinya perih. Lavina meninggalkan rumah sakit dengan air mata yang tak lagi dapat disembunyikan. Langkahnya gontai menuju mobil lalu masuk serta duduk melamun di depan setir. Tangannya terkepal kuat menggenggam setir dengan sorot penuh amarah.Sementara itu, Maher meminta Adnan membelikan makanan dan juga jus buah untuk Hafsah. Meski gadis itu dapat jatah makanna dari rumah sakit tapi dia tidak membiarkannya karena menurut Maher makanan rumah sakit itu tidak enak.Hafsah mengerjapkan matanya pelan, berulang kali mencoba membuka mata karena terasa perih. Tangannya terasa berat dan juga kaku. Matanya memindai ruangan
"Hafsah apa yang terjadi denganmu!" teriak Maher panik.Gadis itu tak jua merespon, Maher yang panik gegas menggendongnya dan mengabaikan semua orang. Dia berjalan tergesa menuju mobil. Bahkan dia mengabaikan lift yang ada dan lebih memilih tangga darurat. Terus berlari dengan menyebut nama Hafsah dengan cemas dan kepanikan jelas terlihat di wajah lelaki tiga puluh tahun itu.Napasnya memburu dan keringat mengucur membasahi wajahnya yang tampan. Dia terus berlari dengan genggaman yang kuat hingga tiba di parkiran. "Adnan buka pintunya!" titahnya penuh emosi tapi juga panik.Adnan yang tertidur di dalam mobil terkejut dan langsung membuka pintu dengan tergesa. Wajah khas bangun tidur tampak jelas pada Adnan."Ada apa, Boss?" tanya Adnan membukakan pintu belakang."Kita ke rumah sakit terdekat!" titah Maher tanpa menjawab.Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, Adnan melajukan mobil dan Maher menutup pembatas antara sopir dan bangku penumpang. Hafsah ditidurkan di pahanya, perlahan dia
Lavina menyandar di dinding dengan mata memanas dan dada yang terasa sesak. Mengakhiri segalanya demi mempertahankan cinta untuk Maher tapi nyatanya lelaki itu tak jua peka. Teman masa kuliah serta rekan bisnis ayahnya itu tak paham bagaimana hati gadis yang selalu menyebut namanya di dalam doa dan setiap waktu.Lavina mengabaikan tatapan orang-orang yang meliriknya penuh tanya. Dia fokus pada perasaannya yang begitu tertekan dengan keadaannya."Maher ...." Akhirnya air mata itu lolos juga membasahi pipinya.Sementara lelaki yang tengah disebut menatap lurus ke depan di dalam mobilnya. Sesekali dia melirik Hafsah yang menatap jalanan. Tangannya memegang perut yang terasa lapar. Ya Allah aku lapar? Masa harus bilang ke Maher? Mana makanan kutertinggal lagi.Hafsah memejamkan mata dengan menggigit bibirnya. Maher menatapnya dengan dahi mengernyitkan. Tampak mata Hafsah memejam dengan kuat."Hafsah kamu kenapa?" tanyanya.Hafsah menggeleng, "gak papa, Pak," jawab Hafsah tersenyum."Semo
Hanan berdiri lalu merapikan jasnya. Tatapannya lurus tapi tajam. Sejenak dia menarik napas setelah itu melangkah keluar dari ruangannya. Dia menuju pos satpam tempat anak buahnya berkumpul menanti dirinya."Ale!" panggil Hanan tegas."Siap, Boss!" Lelaki bernama Ale itu berdiri dan langsung memberi hormat ala tentara."Selidiki ke bandara tentang Hafsah. Tanyai orang-orang di sana apa mereka benar melihat Hafsah atau tidak. Paksa mereka menjelaskannya!" titah Hanan menatap anak buahnya."Siap, laksanakan, Boss!" jawab mereka lantang.Hanan mengangguk lalu berbalik meninggalkan mereka. Sejenak Ale menatap bingung lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Boss!" Ale mengejar Hanan dengan wajah takut.Hanan berhenti dan langsung menoleh serta menatap tajam."Maaf, Boss! Apa boleh saya minta foto nona untuk ditunjukkan pada orang-orang yang kami tanyai?" tanya Ale dengan wajah takut juga panas dingin."Aku akan mengirimnya ke nomor kamu!" balas Hanan kembali melanjutkan langkahnya.,Se
Hafsah melirik ke sana kemari mencari sesuatu yang tercium oleh Maher. Setelah itu dia menggeleng sambil menatap lelaki itu."Apa?" tanya Maher menatap Hafsah karena hari ini tampak fres sekali, "kamu tidak mencium aroma makanan di sini?"Hafsah melirik kotak bekalnya lalu menariknya pelan dan menyembunyikan di laci. Maher menatap penuh selidik sambil terus melangkah."Itu apa?" tanyanya lagi mencondongkan tubuh pada Hafsah hingga aroma maskulinnya menusuk hidung."Ini kotak bekal saya, Pak," jawab Hafsah."Kamu bawa bekal?" Maher menarik diri lalu bersandar di meja miliknya sambil menyilangkan kedua kakinya.Hafsah mengangguk."Kenapa?""Saya ingin fokus bekerja dan males jajan di luar, Pak!""Dasar perempuan!" decih Maher tertawa.Hafsah menunduk sembari memainkan ujung jilbabnya. Dia belum begitu terlalu mengenal Maher. Belum tahu bagaimana sifat lelaki itu, hanya yang membekas di pikiran Hafsah adalah ketika dia menyelamatkan dirinya malam itu. Jemarinya kembali menekan keyboard
Maher mengepalkan tangan dengan jemari saling merapat kuat. Matanya tajam dengan dada bergetar hebat. Seluruh tubuh seakan kehilangan keseimbangan di saat pikirannya tertumpu pada sosok gadis di club malam kala itu."Adnan, bagaiman gadis yang kita temui di bar malam itu? Kamu sudah mendapatkan kabar tentang dia?" tanya Maher menelepon asistennya yang ada di kamar ujung apartemennya."Semenjak kita kembali ke Jakarta saya belum mendapatkan kabar apa pun, Tuan. Utamanya semenjak tuan Aryan kecelakaan di Padang. Fokus kita terpecah antara tuan Aryan dan perusahaan," jelas Adnan."Tetap cari tahu dia di mana. Aku ingin sekali bertemu dengannya!" titah Maher menutup panggilan lalu membanting ponsel ke sisinya.Bayangan gadis itu terlintas jelas dibenaknya. Maher mengerang frustasi dengan menggusar rambut sehingga berantakan dan menutup sebagian matanya. Bibirnya menyebut sesuatu yang samar dengan jemari saling merangkai. Angin kencang bertiup melalui kaca balkon hingga meniup tirai.Hafs
"Jangan memikirkan dia. Untuk sekarang kita harus fokus ke Aryan. Pikirkan keselamatannya dan bagaimana caranya agar dia pulih seperti sediakala. Setelah itu baru pikirkan tentang gadis itu," ujar Gio menatap Malini.Jauh dalam lubuk hati Malini, dia sangat mengkhawatirkan Hafsah. Namun, kekecewaan pada Gio jauh lebih menusuk hatinya. Malini tahu dan paham bagaimana Hafsah selama ini. Tapi dua orang itu hanya memikirkan ego dan harga dirinya."Kamu benar, Mas. Kita harus fokus pada kesembuhan Aryan. Tapi aku tidak pernah melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Kamu menipuku selama puluhan tahun. Kamu mengabaikan kesetiaan dan kejujuranku. Aku tahu Mas, pernikahan kita sebab perjodohan bisnis orang tua kita. Tapi, sebelum hubungan di buat, maka keputusan itu harus tepat. Kamu memilihku sebagai istrimu, tapi hatimu memilih dia. Ini sakit, Mas. Aku kecewa dan sulit memaafkanmu!" "Malam itu aku khilaf, Malini," jelas Gio menunduk."Iya aku tahu. Itu alasan yang klise sekali. Kamu ahli
"Gak usah, Maher. Aku bisa pulang naik kendaraan yang lain," tolak Hafsah lembut hingga matanya menyipit menandakan dia sedang tersenyum.Tunjukkan senyumanmu, Hafsah."Masuklah! Aku akan mengantarmu, ini sudah terlalu sore," ujar Maher memaksa.Hafsah menarik napas lalu melangkah dan duduk di sisi Maher. Setelah itu lelaki tampan itu melajukan mobil dalam kecepatan sedang. Wangi maskulin menusuk hidung Hafsah menembus cadarnya. Dadanya berdegup kencang ketika aroma tubuh Maher mengangguk ingatannya ketika lelaki itu memeluknya erat di saat Hafsah berniat bu-nuh di-ri.Sementara Maher melirik Hafsah yang tampak santai duduk di sisinya. Tatapan gadis itu lurus ke depan. Maher tak kalah gelisah mencium aroma lembut yang menguar dari tubuh Hafsah. Dia memilih diam dan tak banyak bicara demi menenangkan hati dan pikirannya. Maher takut terlalu menunjukkan kepeduliannya."Depan belok kanan, Maher," ujar Hafsah memecah keheningan.Maher mengangguk sambil menaruh satu telunjuk di batang hidu
"Uangku banyak, Hafsah! Membayar gaji karyawan bukanlah suatu hal yang berat bagiku," kata Maher dengan nada sedikit tinggi, "aku orang kaya. Tujuanku menjual ini agar modal awal tak terbuang sia-sia dengan menjadikan mebel ini pajangan tak berguna!""Maaf, Pak. Maksud saya juga begitu. Maafkan jika saya salah ucap," ujar Hafsah menunduk merasa salah telah terlalu mengatur.Maher menatap Hafsah dan langsung salah tingkah. Dia lupa memposisikan sikap saat dengan Hafsah. Lelaki itu menggaruk batang hidung yang tidak gatal lalu berdehem seraya lihat kiri dan kanan."Maaf, Hafsah. Maksud saya juga begitu," jelas Maher lalu meninggalkan Hafsah dan pegawai lelaki yang langsung melirik Hafsah dengan menahan tawa."Big Boss aneh," katanya tersenyum dan Hafsah menarik napas panjang."Dibersihkan ini semua ya, Pak. Kalau ada yang perlu di cat ulang, lakukan. Setelah itu kita akan lakukan promosi," jelas Hafsah."Baik, Bu," jawab pegawai.Lelaki itu mulai melakukan tugasnya. Menyisihkan beberap