Pesawat membawa Maher ke tujuan yaitu kota Padang. Maher pernah beberapa kali ke sini untuk urusan bisnisnya. Namun, untuk urusan cinta dan perasaan dia tidak pernah semenggebu ini.
Perasaannya sering tak terkendali saat mengingat sosok gadis yang selalu bermain dalam hayalnya belakangan ini. Sosok yang membuat dia penasaran.
Di sisi lain, pagi ini Aryan bersiap mendatangi rumah Hafsah. Dia tidak memakai pakaian formal, tapi lebih ke santai yang maskulin. Dua buah cincin dimasukkan ke saku celana dengan tergesa. Lalu keluar dari hotel dengan mobil yang di sediakan pihak hotel. Aryan menuju rumah Hafsah dengan gejolak yang sulit diredam.
Sementara gadis yang di tuju sedang bersiap ikut dengan sang kakak ke kantor. Dia tetap berpenampilan dengan pakaian muslimahnya. Hafsah menuju halaman di mana Hanan telah menunggu.
"Kalau orang lain berpakaian seperti ini, maka akan aku katakan dia aneh dan ke arab-araban. Tapi ini malah adikku sendiri perpajakan seperti ini. Aku harus bilang apa?" Hanan menatap adiknya uang sudah duduk di sisinya.
Hafsah melirik dengan menarik napas.
"Kata umma, pakaian seperti ini bukanlah pakaian perempuan Arab. Tapi pakaian perempuan muslimah. Perempuan Islam ya seperti ini lah pakaiannya. Terlebih seorang perempuan yang paham agama dan terlihat mewah dan berkelas harus menutup aurat. Karena semakin tertutup aurat seseorang maka semakin mahal dan berharga dirinya," jelas Hafsah tersenyum dibalik cadarnya.
"Terserah, yang penting kamu bahagia," balas Hanan meminta sopir melaju menuju gedung Martadinata Corp.
"Apa posisiku di kantor nanti?" tanya Hafsah pada Hanan.
"Desain interior. Kamu ahli menggambar, jadi posisi kamu adalah mendesain model terbaru untuk perusahaan," kata Hanan sambil menatap adiknya yang hanya terlihat mata saja.
"Hah, artinya aku benar-benar harus menetap di sini. Padahal aku rindu Bandung." Hafsah menyandar di bahu Hanan.
"Tentu, kamu gak boleh pergi lagi. Kamu aset Martadinata."
Mobil Hanan terus melaju dari arah kanan, tapi sebuah mobil menyalip dari arah kiri pertigaan hingga membentur kaca lampu depan mobil Hanan. Sopir merem mendadak hingga Hanan dan Hafsah terhuyung ke depan.
"Sialan!" umpat Hanan keluar dari mobil lalu melihat kaca lampu yang pecah.
Pengendara mobil itu juga ikut keluar dan menatap mobilnya yang menabrak mobil Hanan. Hanan mengepalkan tangan dengan rahang mengeras lalu, menarik kerah baju sopir itu dengan tatapan tajam. Kepalan tangan melayang menghantam pelipis sopir yang langsung tak bisa mengelak.
"Ini mobil mahal! Lebih mahal dari dirimu yang tidak berarti apa-apa!" ujar Hanan kembali melayangkan pukulan.
Seorang lelaki memakai kaca mata hitam serta hoodie dengan celana jeans keluar dari mobil melerai pertikaian itu.
"Maaf, kami yang salah. Kami baru di kota ini dan tidak melihat bahwa ada mobil yang melintas di depan. Mohon maafkan kami," ungkapnya dengan tenang.
Hafsah gegas keluar dari mobil menyusul Hanan. Dia menatap kaca lampu yang pecah serta serta Hanan yang begitu marah.
"Abang, udah. Gak papa, kita bisa perbaiki, hanya kaca lampu kan?" Hafsah menyentuh jemari kakaknya.
Lelaki di hadapan Hafsah seketika mengangkat wajah dan menatap dirinya dengan lekat.
"Anda?" katanya menatap penuh selidik, "apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Hafsah menatap sekilas lalu menunduk kembali.
"Tidak," jawab Hafsah.
Lelaki itu menelisik dari kaki hingga ke mata Hafsah. Namun, sesekali dia memejamkan mata dan mengerucutkan hidung seolah tengah menghidu wangi seseorang. Setelah itu kembali menatap Hafsah dengan intens. Sadar dirinya jadi pusat perhatian lelaki itu, Hafsah gegas menarik Hanan untuk gegas pergi dari hadapan lelaki itu.
"Aku akan menuntut ganti rugi!" teriak Hanan sambil melangkah masuk ke mobil lalu melaju meninggalkan lelaki yang seperti terpaku di tempatnya.
"Tuan, kita ke hotel dulu atau makan dulu?" tanya sopir yang tengah merasakan ngilu dan perih di sudut bibirnya akibat pukulan Hanan.
"Ikuti mobil itu! Tapi jangan sampai dia menyadarinya!" titah lelaki itu menatap tajam kepergian mobil Hafsah.
Hafsah menenangkan Hanan yang tengah emosi. Dia tidak terima kaca lampu mobilnya rusak dan benar-benar pecah. Andai, Hafsah tak menghalanginya mungkin lelaki itu telah di hajar oleh Hanan.
"Aku tidak suka mengalah, Hafsah! Aku benci kekalahan apalagi ini bukanlah aku yang mengawalinya," ujar Hanan tegas dan keras.
"Bang, ini bukanlah saatnya kita menunjukkan kekuatan melalui kekerasan. Tapi saatnya menuju awal yang baik dan elegan dalam bersikap. Kita trah Martadinata yang harus mengubah sikap seperti oma. Bukan mama." Hafsah menenangkan Hanan dengan lembut.
"Kenapa Bonekaku semakin bijaksana saja?" Hanan menatap adiknya dari samping. "Kamu, Hasan, dan oma adalah satu garis. Sedangkan aku lebih ke mama dan cenderung ke Oma jika bertemu orang yang baik."
Hafsah tersenyum lalu menatap jalanan karena mereka hampir sampai di kantor. Hafsah turun tapi gamisnya tersangkut sesuatu hingga dia terhuyung ke depan dan satu kakinya tidak sampai menginjak lantai parkiran dengan tepat.
"Astaghfirullah," lirih Hafsah pasrah karena di parkiran banyak orang dan dia pun siap malu jika terjatuh. Namun, seseorang menahannya dengan erat dan menatap matanya dengan lembut.
"Hafsah!" teriak Hanan memutar tubuhnya dan bergegas menuju adiknya.
Mata keduanya saling mengunci dalam diam dan menunggu seseorang menyadarkan dari segala kesyahduan.
"Tuan Maher!"
Lelaki itu mengangguk lalu menahan Hafsah agar tak terjatuh. Hanan melepaskan sangkutan ujung gamisnya yang sedikit sobek. Setelah lepas, Maher melepaskan Hafsah.
"Maaf," ucap Maher karena Hanan menatapnya tajam.
"Tidak apa-apa," balas Hafsah
"Maher, Maher Anggara." Maher mengulurkan tangan pada Hafsah.
"Hafsah," jawabnya mengatupkan kedua tangannya.
Hanan melirik tak suka. Dia merasa ada sesuatu yang sedang terjadi.
"Maaf aku telah merusak mobil kalian. Aku ke sini hanya untuk memberikan ini," jelas Maher menyerahkan kartu namanya pada Hafsah.
"Untuk?" tanya Hafsah.
"Perbaiki mobil kalian, dan kabari aku berapa biayanya. Aku tahu ini mahal, tapi aku akan bertanggung jawab," jawab Maher terus menatap Hafsah yang jadi salah tingkah.
"Itu sudah seharusnya!" Hanan menatap Maher lalu meraih tangan Hafsah dan berlalu pergi.
"Nona, tunggu!" teriak Maher mengejar Hafsah yang langsung mendapatkan halangan dari Hanan.
"Ada apa?"
"Aku merasa kita begitu dekat. Apa kita bisa bertemu lagi?" tanya Maher penuh harap.
"Apa ini bagian dari rencanamu untuk mendekati adikku?" tanya Hanan maju dan langsung menarik Maher dengan kasar. "Bang, udah. Kita buru-buru kan?" Hafsah melerai keduanya. Maher menarik napas kasar sambil merapikan bajunya. Namun, tatapannya fokus pada langkah dan kibaran baju Hafsah. Maher menyentuh dada dan memejamkan mata dan tangan terkepal erat. "Dalam diam aku menatap setiap keindahan itu seperti nyata. Wajahmu nan ayu berhasil membiusku, membuatku terdiam tanpa kata." Maher membuka mata dan tersenyum. "Semakin kesini Tuan semakin banyak perubahan. Seperti apa gadis yang digilai, Tuan Maher itu," bisik anak buahnya pada yang lain. "Kita kembali!" titah Maher dengan dingin. Sementara Hafsah mulai memasuki kantor dan diperkenalkan oleh Hanan. Semua pegawai menunduk tajam dan sungkan. Mereka tidak menyangka bahwa klan Martadinata ada yang berhijab. Hanan menunjukkan ruangan pribadi milik Hafsah dan langsung diberikan satu sekretaris khusus untuknya. "Dia akan bekerja
Rio tiba di ruangan Hafsah. Namun, dia melihat Hayati sedang membanting vas bunga ke dinding lalu ditenangkan Hanan. Hanan tak bicara sepatah pun, hanya deru napas yang menghiasi ruangan itu."Bagaimana dia tahu, Hanan? Bagaimana Hafsah bisa tahu tentang lelaki itu?" tanya Hayati dengan napas memburu."Mama lupa Hafsah itu lahir dari perempuan seperti apa?" Hanan menatap ibunya lalu memukul angin dengan kuat, "dia mewarisi keras kepala dan rasa ingin tahu darimu, Ma."Hayati terhenyak. Dia sadar selama ini sikap keras dan acuhnya pada Hafsah. Namun, dia lupa bahwa Hafsah tak hanya anak dari lelaki itu, tapi juga darah dagingnya. Mewarisi segala sifat darinya. Hanya saja, selama ini Hafsah bisa mengendalikan segala emosi dan angkuhnya dengan pemahaman ilmu agama yang diajarkan Malini padanya."Permisi, Pak," ujar Rio memecah kebisuan di antara ibu dan anak itu.Hanan menoleh dan mengangguk. Hayati menarik napas lalu meraih tasnya dan gegas meninggalkan ruangan itu."Ada apa, Man?" t
Tubuh Aryan dihantam oleh mobil yang melintas dengan kencang. seketika suasana berubah menjadi kepanikan. Suara benturan dan teriakan memenuhi jalan raya dengan kemacetan total. Aryan menatap lemah pada gadis yang berdiri bak patung tak jauh darinya. pandangannya perlahan mengabur dan genggaman pada cincin di telapak tangan terlepas seiring darah segar menyembur dari mulutnya. Hafsah terpaku menyaksikan Aryan menggelepar setelah menyemburkan darah yang beku bercampur segar. Gadis itu berlari dengan gontai menuju Aryan yang tak lagi bereaksi. Hafsah terdaya menyaksikan begitu banyak darah mengalir dari kepala dan rusuk Aryan. "Aryaaaaan!" teriak Hafsah luruh di hadapannya. Aryan tak bergeming. Teriakan Hafsah tak lagi bisa menembus pendengarannya. Gadis itu terus terisak dan gemetar melihat apa saja yang baru terjadi. "Aryan bangun! bangun Aryan! aku mohon!" isak Hafsah menyentuh pipi Aryan yang terus dialiri darah, "seseorang telepon ambulance!" Salah seorang yang menyaksikan
Usai berdebat dan mengamuk di kantor, Hayati menuju rumah sakit untuk cek up rutin. Apalagi semenjak kepulangan Hafsah, emosinya sering tak terkendali meski itu adalah ciri khasnya. Kepalanya sering merasa berat dan pusing jika telah berhadapan dengan Hafsah. Dan kali ini dia kembali menemukan kenyataan yang tak ingin dia ketahui.Saat akan kembali, Hayati melihat Hafsah dan Hanan di depan IGD. Tak mau menemui mereka, Hayati memilih mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Saat ini langkah kakinya menuju IGD dan masuk dengan menahan amarah. Di dalam sana, ada tiga pasien yang tak sadarkan diri. Dan semuanya lelaki dengan satu berusia tak berbeda dengan Aryan. Hayati kebingungan menatap dua orang itu, sulit mengenalinya karena saat bertemu, Hayati lebih fokus ke Hafsah."Ibu ingin menemui siapa?" tanya perawat menghampiri Hayati yang berdiri menatap ketiga pasien."Korban kecelakaan," jawabnya."Ketiganya korban kecelakaan, Ibu," jelas perawat ramah.Hayati tersenyum lalu melangkah
"Maher di Padang? Ngapain?" tanya Gio dengan raut wajah penuh tanda tanya.Malini menggeleng, lalu menutup telepon setelah meminta Maher menemui Aryan dan menemaninya sebelum dia datang. Malini mengirim pesan kepada Hafsah mengabarkan akan kedatangan dirinya. Hafsah hanya menatap ponsel tanpa membuka aplikasi. Pikirannya masih kacau dan sulit untuk berpikir."Aku merasa heran, kenapa Maher suka sekali melakukan apa pun tanpa memberitahumu. Ya, aku tahu dia sudah dewasa dan bisa mengurus dirinya sendiri. Tapi soal hubungan kalian? Seperti tidak ada kedekatan yang hangat. Bukan seperti adik dan kakak," ujar Gio menarik napas lalu melirik istrinya dari samping.Malini tak menjawab atau menjelaskan yang sebenarnya, tanpa sepengetahuan Gio, Maher sering menemuinya dan bersikap hangat dan manja. Tapi di saat ada Gio, maka Maher akan bersikap dingin dan tak terkendali. Alasannya? Hanya author yang tahu."Udahlah, Mas. Kita fokus ke Aryan saja. Semoga dia baik-baik saja. Aku cemas," balas Ma
Di depan ruang ICU rumah sakit, suasana terlihat tegang. Hanan terus menggenggam tangan Hafsah. Sedangkan Maher berdiri tak jauh dari mereka. Diam, dan mengawasi situasi dengan pergerakan mata. Sesekali dia melirik Hafsah, matanya teduh dengan ukiran yang sempurna. Tanpa tambahan eyeliner dan make-up lainnya. Tapi di mata Maher, dia bisa memastikan bahwa Hafsah adalah sosok yang cantik.Malini telah berada di pesawat. Tinggal menunggu waktu sekian menit maka dia akan mendarat di bandara internasional Minangkabau. Pun jarak dari bandara ke rumah sakit hanya tiga puluh menit. Di sisi lain, kondisi Aryan menurun. Dokter dan perawat berlari masuk ke ICU. Semua kaca di tutup dengan kain membuat Maher dan Hafsah panik dan cemas."Apa yang terjadi? Ada apa dengan Aryan?" tanya Hafsah menyentuh pintu dengan cemas.Maher tak menjawab. Dia menunduk tajam menatap lantai. Sedang Hanan tak bereaksi apa pun. Di dalam, Aryan mengalami kejang dan beberapa kali muntah dengan cairan merah merona. Dok
Tatapan Gio melemah seiring jatuhnya dia ke lantai. Sementara Hafsah terus terisak menangisi takdirnya. Hampir enam tahun bertemu dan lima tahun dalam kedekatan dia tak menyadari bahwa Gio adalah ayahnya. Gio pun tak kalah terkejut, selama itu dan hampir setiap hari melihat Hafsah. Jauh dari lubuk hatinya, Gio merasakan sesuatu hal yang istimewa untuk Hafsah. Entah karena dia memang menginginkan anak perempuan atau karena kasihan saja.Hari ini, rasa itu terjawab sudah dengan kenyataan yang dibawa Hafsah. Kenyataan yang disembunyikan Hayati selama dua puluh tiga tahun. Gio mendengar banyak hal kisah Hafsah dari istrinya, tapi dia tidak tahu bahwa kisah menyedihkan itu berawal dari dirinya."Selama dua puluh tiga tahun aku sendirian, Papa. Aku meringkuk memeluk luka tanpa kasih sayang mama. Aku menderita setiap hembusan napasku. Karena Papa, mama berpisah dengan suaminya dan aku yang menanggung akibat itu." Tangisan Hafsah menggelegar meluapkan emosinya. Hanan memeluk dengan erat semen
Hanan memeluk Hafsah yang sudah berdiri di hadapan Hayati. Gadis itu gemetar dipelukan Hanan. Dadanya naik turun mengatur napas agar tetap stabil. Sementara Hayati menatap tajam putrinya. Dia tak menyangka bahwa Hafsah bisa menjawab dan menentangnya. Perempuan paruh baya itu menggeleng dengan senyuman sinis."Akhirnya kamu menunjukkan sisi asli kamu, Hafsah!" ujarnya tertawa mengejek. "kamu memang tidak bisa dibentuk dan terlanjur rusak!""Iya, Ma. Itu benar! Tapi semuanya terjadi karena aku tidak pernah diajari dengan kebenaran dan dibentuk dengan kasih sayang. Sejak dalam perut Mama aku selalu dihina dan dicaci. Padahal aku tidak akan terlahir ke dunia ini jika Mama dan lelaki itu tidak membuatku malam itu! Karena kenikmatan satu malam Mama bersama dia, aku yang harus menderita! Mama dengar aku! Aku menderita karena kesalahan Mama!" teriak Hafsah untuk pertama kalinya."Hafsah, tenanglah!" bisik Hanan memeluk adiknya."Tidak, Bang. Di dalam tubuhku mengalir darah Hayati yang egois d
Adnan terjaga karena dering ponsel yang begitu nyaring di sisinya. Lelaki itu masih di apartemen lama milik Maher, dia bangkit dan menatap layar dengan mengusap mata, mengusap dan berjalan ke jendela menyibak tirai, membiarkan cahaya masuk menyinari kamarnya."Ada apa?" tanyanya menatap langit biru."Perempuan itu kabur, Boss!" ungkap anak buahnya."Apa!" Adnan terperanjat dan berpaling dengan cepat, "bagaimana bisa!" "Tiba-tiba ada asap setelah itu kami semua pingsan. Saya memeriksa botol yang dilempar ternyata asap bius, Boss. Perempuan itu kabur saat kami pingsan," jelasnya."Cari Lavina! Temukan dia atau sesuatu yang buruk akan terjadi!" Adnan mengusap wajah dengan kasar."Baik, Boss!"Adnan duduk dengan cemas tapi otaknya terus berpikir. Lavina bukan gadis lemah seperti yang Maher pikirkan. Lavina bukan gadis lima tahun lalu yang begitu mengharapkan dan siap mati untuknya. Sekarang ada seseorang yang membantunya untuk balas dendam."Bagaimana cara memberitahu, Tuan. Apa kutelep
"Maher," rengek Hafsah mendadak mendayukan suaranya."Ah, merduanya suara itu menyebut namaku." Maher menyentuh dada dan memejamkan mata sambil tersenyum membuat Hafsah tersipu malu."Mandilah!" titah Hafsah sambil menyodorkan handuk baru ke hadapan suaminya.Maher menarik pergelangan tangan Hafsah hingga gadis itu menabrak dada bidang lelaki tinggi putih itu. Hafsah terkesiap dan langsung memeluk Maher karena takut jatuh membuat Hafsah memejamkan mata. "Maher." Hafsah berusaha melepaskan dekapan suaminya tapi Maher tetap mempertahannya."Aku selalu menggenggam angin saat Hanan memelukmu. Berharap waktu cepat berlalu dan tiba di mana aku dan kamu halal. Kini ... aku akan selalu memelukmu. Tidak akan kubiarkan Hanan memelukmu," katanya dengan tegas."Dia kakakku," kekeh Hafsah membuat Maher mengangkat wajahnya."Aku tahu," katanya tersenyum, "tapi aku akan balas dendam padanya. Tenang saja aku sudah mengundang Hanan dan oma untuk makan siang. Sekalian perkenalan rumah baru kita.""Ma
Suara desir angin dari balkon bertiup samar hingga menggoyangkan tirai. Menyebarkan wangi dari aroma lilin yang berkelip manja di sudut ruangan."Malam ini ... aku Rajanya," bisik Maher, suaranya terdengar rendah tapi cukup menggema di ruangan yang hanya ada mereka saja.Hafsah merasakan jemari Maher menyentuh pundaknya. Menariknya dalam kehangatan yang belum pernah dirasakan selama ini. Hafsah menahan napas saat Maher mengikis jarak antara mereka. Hafsah hanya bisa diam, tidak bisa melawan"Aku membelenggumu dengan cinta dan kesetiaan, Hafsah. Malam ini dan seterusnya aku dan kamu menjadi kita. Aku akan menjadi pelindung dan penjagamu, Istriku. Aku akan selalu menjadi garda terdepan dalam hidupmu," bisiknya seperti mantra yang mengalun indah sekaligus membunuh keberanian Hafsah untuk menatap suaminya.Hafsah menunduk dan membeku saat bayangan Maher tertangkap di mata indahnya. Napasnya berembus di permukaan kulit membuat bulu kuduknya berdiri. Hafsah ingin lari saja tapi kakinya sepe
Langkah kaki Maher mendekat menyongsong Hafsah yang masih menatap dalam diam. Hafsah menoleh dan langsung panik saat melihat Maher berdiri di depannya dengan sorot mata penuh kelembutan dan cinta. Menatap tersenyum.Hafsah menunduk dengan meremas jemarinya. Dia merasa gugup saat tangan besar itu menarik jemarinya yang lentik. Hafsah menoleh ke samping saat Maher menariknya lebih ketengah. Menampakkan Hafsah seutuhnya di antara cahaya lilin yang berkelip tertiup angin.Maher menatap Hafsah dengan mata menyipit. Dadanya berdegup lebih kencang dan kakinya gemetar. "Hafsah, kamu?" Maher menggeleng tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu mengangkat dagu istrinya agar lebih tegap lagi."Aku tidak percaya ini, Hafsah?" ujar Maher mengitari Hafsah dengan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikannya.Tampilan Hafsah mirip dengan malam itu. Malam di mana dia berani duduk dipangkuan Maher dengan rambut panjang dan dress yang lebih pendek meski yang dipakai saat ini lebih pendek da
Aryan mengumpat kesal karena panggilannya diabaikan. Aryan masuk ke dalam mobil dan menatap layar ponsel yang masih menampilkan notifikasi panggilan telepon yang diabaikan oleh Maher. Tak patah semangat, dia kembali menekan nomor Maher dengan cemas tapi juga kesal.Aryan merasa kesal dan kecewa. Dia tidak mengerti mengapa Maher mengabaikan panggilan telepon darinya. Apakah dia tidak ingin berbicara dengan aku? Apakah dia tidak peduli dengan perasaanku?Aryan memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada lelaki yang tengah tersenyum bahagia menyambut kedatangan Hafsah pasca dirinya usai mengucapkan ijab kabul. Aryan berharap dia akan membalas dan menjelaskan mengapa dia mengabaikan panggilannya.Tapi Adnan hanya diam menyimpan ponsel di saku jasnya."Tidak apa-apa, Oma. Aku hanya ingin tahu mengapa kamu tidak menjawab panggilanku," tulisnya lalu mengirimkan pesan kepada Maher.Tapi hingga beberapa jam kemudian, lelaki yang dipanggil Oma atau Om Maher itu masih belum membalas pesan darin
Hafsah mengangguk dengan menggigit bibirnya. Bersiap untuk segala kemungkinan yang akan terjadi malam ini. Maher melepaskan jarum pengait di kerudung Hafsah. Satu persatu dengan pelan tangan itu menarik jarum dan meletakkan ditempat khusus di meja rias yang telah dipenuhi bedak milik Hafsah.Azan ashar berkumandang membuat Hafsah secara reflek menghentikan pergerakan tangan Maher."Kita salat dulu," katanya menatap suaminya."Sendiri-sendiri dulu ya. Aku merasa belum pas takut salah," jelas Maher."Pelan-pelan kita belajar bareng. Gak papa kita coba," ajak Hafsah meyakinkan suaminya yang mengangguk juga pada akhirnya."Tapi mukenaku," bisik Hafsah menyadari dia tidak datang dengan membawa satu barang apa pun.Maher mengusap pipi itu untuk pertama kalinya membuat Hafsah membeku merasakan sesuatu dalam dirinya mengalir lebih cepat. Lelaki itu melangkah menuju walk-in closet. Tak lama dia kembali dengan mukena putih di tangannya."Ini," katanya menyodorkan kehadapan Hafsah, "pakailah!
Maher menatap pantulan dirinya dicermin. Dia tampak gagah dengan balutan jas hitam serta rambut yang tertata rapi. Berulangkali dia menarik napas guna mengurangi kegugupan. Maher begitu gugup untuk menjalani hari ini."Rasanya menghadapi penjahat tidak segugup ini!" katanya menarik napas.Maher keluar dari kamar melewati kilauan cahaya dan kebahagiaan para tamu undangan. Ruangan dipenuhi bunga-bunga yang wanginya samar terbawa angin tapi mampu menusuk hidung ditambah lampu kristal yang menggantung mewah di langit-langit ruangan. Para tamu tersenyum dan berbisik kagum saat Maher melewatinya. Aura positif begitu menguar dari dirinya. Tampan dan berkelas. Halimah, Hanan, Puti dan Vass tersenyum menikmati pemandangan dua insan yang akan bersatu dalam ikatan suci."Kuharap setelah ini anda selanjutnya, Boss," bisik Vass yang langsung mendapat tatapan tajam dari Hanan. Maher duduk di hadapan penghulu dengan Hanan sebagai saksi dari pihak Hafsah dan Adnan dari pihak Maher. Halimah berdoa
Hayati diam. Dia sadar sebagai ibu sudah sangat keterlaluan kepada putrinya. Namun, di balik sikap keras dan tidak pedulinya, perempuan itu menyimpan luka dan kesedihan yang tidak bisa dibaginya dengan siapa pun. Sejak dia mengetahui hamil Hafsah, suaminya langsung berubah dan menanyakan tentang kehamilan. Hayati yang tidak pernah disentuh suaminya sejak beberapa bulan lalu tiba-tiba hamil tentu saja menjadi pertanyaan oleh suaminya. Suaminya jadi curiga, dingin, dan menolak satu ranjang dengannya. Bahkan saat Hayati jujur bahwa dia telah berselingkuh, suaminya memilih menceraikannya sesaat setelah melahirkan.Hayati menjadi marah dan terhina diceraikan didepan dokter dan perawat yang membantu proses melahirkannya. Namun, mereka tidak tahu penyebab perceraian itu. Andai saat itu Hayati bisa menjaga diri dan marwah rumah tangganya maka segalanya tidak akan terjadi. Di dalam kehidupan sehari-hari dan pergaulan antara lelaki dan perempuan ada batasan dan aturannya dalam Islam. Terutam
"Aryan," isak Malini menutup bibir dengan kedua tangannya."Pemahaman agamaku lemah, Pa. Tapi aku tahu bahwa setetes saja seorang suami membuat air mata istrinya jatuh, maka disetiap langkahnya akan dilaknat oleh para malaikat." Aryan menatap Gio dengan kepala terangkat. "Aku sangat kecewa kepadamu, Papa. Sangat!"Aryan meninggalkan Gio yang membeku dan tidak menyangka akan ucapan Aryan. Selama ini lelaki itu selalu menunjukkan cinta dan hormat padanya. Tak pernah mengatakan hal buruk padanya. Tapi kali ini, Aryan bicara dengan tegas dan kepala terangkat. Lelaki itu menyesali segala perbuatannya tapi segalanya telah menjadi masa lalu yang tidak bisa diubah.Aryan mengambil dompet dan jaketnya di lemari lalu keluar bersama Vino menggeret koper miliknya. Lelaki itu melewati Gio begitu saja. Tapi dia memeluk Malini dan mencium keningnya. Sama setiap kali dia akan pergi, Aryan akan melakukannya. Malini hanya diam dan sedikit mengangguk saat Aryan meminta izin padanya."Aku berangkat, Ma,"