Hafsah menarik napas panjang dengan kepala berdenyut merdu. Ternyata lelaki itu bukan berasal dari Kalimantan. Gadis itu menutup laptop lalu bersiap untuk ke butik miliknya. Siang ini dia ada acara pertemuan dengan model baru yang akan memakai rancangannya di sebuah hotel.
Hafsah bersiap masih dengan pakaian yang sama. Gadis itu melaju dengan mobil menuju hotel yang tak jauh dari kediamannya. Sesampainya, dia parkir di tempat khusus yang telah disediakan. Dua pegawainya telah menunggu di sana.
"Pak Gio?" Sapa Hafsah mengangguk sopan pada suami Malini itu.
Lelaki itu menatap tajam seolah menelisik siapa yang memanggilnya. Aryan yang juga ada di sana menatap tersenyum.
"Hafsah, Pa," jelas Aryan menunjuk gadis didepannya.
"Masyaallah, Hafsah! Ini kamu?" katanya tak percaya tapi dengan raut wajah bahagia, "saya pangling lihat kamu. Berasa menatap berlian."
"Nah lihat kan? Kamu semakin mempesona dengan hijab dan cadar ini," goda Aryan membuat Hafsah langsung menunduk.
Dua pegawainya juga terkejut melihat penampilan Hafsah yang tiba-tiba berubah. Tapi mereka sungkan untuk bertanya, akhirnya mereka mengikuti langkah Hafsah yang semakin anggun memasuki aula.
Salah satu model yang akan memakai rancangannya adalah Aryan. Lelaki itu telah berada di ruangannya bersama tim. Pikirannya tak teralihkan dari Hafsah.
"Bisa panggilkan Hafsah. Aku merasa ada yang kurang pas di baju ini," ujarnya pada pegawai Hafsah yang membantu Aryan memakai pakaian.
Perempuan itu mengangguk lalu keluar menemui Hafsah. Perempuan itu tengah menelepon sang kakak kedua.
"Kembalilah beberapa saat, kamu butuh refreshing dan hiburan. Oma, Abang akan merasa senang saat kita bisa berkumpul bersama. Ini sudah sangat lama, Hafsah! Abang cemas membiarkanmu seorang diri di sana," jelas Hanan tak bisa menutupi kegundahannya saat membayangkan seorang gadis berjuang sendirian di rantau orang.
"Andai Mama yang mengatakan itu aku akan langsung memesan tiket hari ini ke Padang. Sayangnya ... yang aku harapkan tak memperdulikan." Hafsah menarik napas menahan diri agar tak menangis.
"Jangan menangis! Keturunan Martadinata pantang berair mata," ujar Hanan seolah tahu apa yang terjadi dengan adiknya.
Pegawainya yang menatap Hafsah tak berani bersuara, dia hanya memberi kode jika sedang butuh sesuatu.
"Ya aku tahu, aku sayang Abang. Aku tutup dulu mau lanjut bekerja," jelas Hafsah tersenyum lalu menutup panggilan.
Hafsah berdiri lalu melangkah menuju pegawainya berdiri.
"Ada apa, Andini?" tanya Hafsah.
"Pak Aryan bilang ada sesuatu yang membuat pakaiannya tidak nyaman. Kami menawarkan untuk memperbaiki tapi beliau menolak. Beliau maunya dengan Anda," tutur Andini menunduk.
"Gak papa, Ayo," ajaknya meminta diantar ke ruangan Aryan.
Di sana Aryan sedang mencari celah dan suatu hal agar alasannya untuk bersama Hafsah terlihat murni karena pakaian. Lelaki itu tampak berpikir keras, tapi Hafsah membatalkan niatnya karena muncul dipintu.
"Ada apa, Aryan?" tanyanya menatap lelaki yang selalu ada untuknya.
"Bisa kalian keluar?" pintanya pada dua karyawan Hafsah.
Dua perempuan itu mengangguk lalu meninggalkan mereka. Aryan menatap Hafsah yang tengah sibuk mencari celah di mana letak ketidaknyamanannya.
"Semua baik-baik saja, Aryan. Kamu tidak nyaman di bagian yang mana?" tanya Hafsah masih sibuk dengan urusannya.
"Di bagian ini," katanya menyentuh dada.
Hafsah melirik lalu menyikut rusuk lelaki yang lebih tinggi darinya. Seketika Aryan tertawa dengan memejamkan mata.
"Aku maunya kamu yang dandanin. Bukan mereka," jelasnya sambil tertawa.
"Kamu modelku, Aryan. Jangan sok kegantengan jangan sok mencari kesalahanku. Aku paham kamu ya!" Hafsah menggeleng lalu duduk di hadapannya.
"Kamu gak papa, Hafsah? Aku cemas. Aku khawatir sama kamu," ungkap Aryan menekuk lutut di hadapannya.
"Gak papa, hanya aku sedang berpikir akan pulang setelah acara ini. Abang dan oma merindukan aku," jelas Hafsah menunduk.
"Acara ini dua hari baru selesai, artinya di hari ketiga kamu bisa pulang. Sebelum itu kamu bisa packing baju dan oleh-oleh dulu. Mau aku temani?" tanya Aryan tersenyum.
"Entahlah, aku dilema." Hafsah menarik napas.
Aryan menatap gadis yang selalu bertahta dihatinya. Terus mencintainya dalam diam tanpa mengatakannya. Hanya sikap dan kepedulian yang selalu Aryan tunjukkan pada Hafsah meski gadis itu tidak peka.
Suara MC terdengar memulai acara. Apalagi suara riuh tepuk tangan penonton membuat Aryan dan Hafsah berdiri dan langsung menuju tempatnya.
"Aku tampak tampan dengan stelan ini. Cocok dan nyaman sekali. Apalagi ada kamu di sini," ujar Aryan tersenyum sambil terus melangkah di sisi Hafsah.
Gio juga ada di sana sebagai donatur terbesar untuk acara ini. Selama dua hari mereka sibuk memamerkan hasil rancangannya melalui model yang sudah diseleksi. Hafsah dan Aryan bahkan sangat sibuk bahkan sampai tidak pulang demi kesuksesan acara ini. Malini yang selalu memberikan dukungan pada mereka datang mengantarkan makanan di hari kedua ini. Hari terakhir dalam acara puncak yang diadakan.
"Umma aku besok mau pulang," ujar Hafsah saat dia menyantap makanan yang dibawa Malini.
Malini menatapnya dengan berat.
"Kamu yakin?" tanya Malini penuh ragu.
"Iya. Ada bang Hanan dan oma yang selalu ada untukku di sana. Umma gak usah cemas," jawab Hafsah tersenyum.
Malini memeluk erat Hafsah sambil berdoa di pucuk kepala perempuan itu. Malini yang tidak memiliki anak perempuan begitu menyayangi Hafsah tanpa tahu bahwa Aryan memiliki arti sayang yang berbeda padanya.
Hafsah pulang ke apartemennya setelah semua urusannya selesai. Dia begitu bersemangat untuk pulang esok pagi dan membawa baju secukupnya saja.
Malam berlalu dengan segenap rasa masing-masing dan kesedihan serta kebahagiaan yang berbeda. Hafsah meringkuk dengan pulas di bawah selimut hangatnya hingga alarm subuh membangunkan gadis itu.
Hafsah salat subuh lalu gegas berkemas dan memakai pakaiannya. Dia harus menuju bandara secepat mungkin agar tak ketinggalan pesawat dengan penerbangan awal.
Sesampainya di bandara, Hafsah langsung melakukan sederet persyaratan agar bisa menduduki kursi miliknya. Dengan memakai gamis warna grey lengkap dengan hijab dan cadar warna senada membuat dia tampak cantik meski tertutup. Hafsah duduk di kursinya dengan nyaman.
"Kamu terlambat, Nona," ujar Aryan membuat Hafsah menyipitkan mata menatap lelaki yang duduk di sampingnya.
"Aryan?"
"Aku memutuskan untuk mengantarkanmu. Jangan menolak," balas Aryan membuat Hafsah tak bisa berkata-kata.
Aryan memang keras kepala dan sulit diberi tahu tentang suatu hal yang bertentangan dengan inginnya. Hafsah memilih diam dan menerima kepulangannya bersama Aryan. setidaknya dia punya teman mengobrol.
Pesawat lepas landas dan terbang tinggi menuju kota Padang. Hingga mendarat dengan sempurna di Bandara Internasional Minangkabau. Hafsah turun lebih dulu setelah itu baru Aryan.
Tujuan mereka langsung ke rumah Hafsah. Gadis itu sudah menyiapkan mental untuk bertemu dengan ibunya setelah hampir tujuh tahun tidak bertemu.
Benar saja, kepulangannya membuat Hayati kaget. Perempuan empat puluh enam itu menatap Hafsah dengan penuh kebencian. Gadis itu dibiarkan berdiri di halaman tanpa menyuruhnya masuk.
"Mama?" isak Hafsah tak lagi bisa menahan tangisnya.
"Pulang! Kembali ke Bandung sekarang! Ngapain kamu kesini, kamu gak punya tempat di sini!" ujar Hayati dingin.
"Ma aku rindu Mama," jelas Hafsah maju dan mendekati ibunya.
"Jangan mendekatiku! Aku benci kamu Hafsah!" ungkap Hayati mendorong Hafsah dengan kuat hingga gadis itu terpental ke belakang dan sepatunya patah.
"Hafsah!" teriak Aryan gegas menopang tubuh gadis itu dengan kedua tangannya.Hafsah menangis, dia tersedu di depan Aryan dengan tubuh terguncang. Namun, Hayati tetap tak peduli."Pergilah, Hafsah! Kehadiranmu hanya akan mengingatkan aku pada kejadian dua puluh tiga tahun lalu saat kamu tercipta. Kamu tercipta sebab kesalahan hingga suamiku meninggalkan aku yang amat mencintainya. Pergilah sebelum satpam mengusirmu!" bentaknya tanpa mau menatap Hafsah."Sebenci itu Mama padaku? Apa salahku, Maa?" isak Hafsah tanpa suara."Aku membencimu! Sangat!" jelasnya lalu memutar tubuh, "pergi sebelum para satpam di rumah ini menyeretmu." Setelah mengucapkan kata-kata pedih itu Hayati masuk ke dalam rumah mewahnya. Semua pelayan hanya mampu menatap iba tanpa bisa menolong. Mereka yang sudah sejak lama mengenal Hafsah hanya bisa mendoakan gadis itu."Kita kembali ke Bandung, Hafsah," ujar Aryan memeluknya erat. Hafsah diam tanpa merespon apa pun, tanpa dia tahu bahwa lelaki itu menyeka sudut mat
"Terserah apa yang akan kamu lakukan! Aku tidak peduli!" teriak Hayati meremas jemarinya saat bicara melalui sambungan telepon."Aku hanya butuh support dan ridho Mama. Butuh dukungan Mama ... hanya itu," jelas Hafsah mulai terisak.Hayati menatap foto ketiga anaknya, lalu tatapan kebencian terpancar saat menatap foto Hafsah. Perempuan itu tak pernah menunjukkan kasih sayang padanya."Doakan aku, Ma." Hafsah memohon dengan menahan tangis di rantau orang. "Aku tidak akan mendoakanmu! Tidak akan menyebut namamu di dalam doaku. Meskipun kamu anakku tapi kamu penyebab segala kehancuran ini, Hafsah! Sampai kapanpun itu tidak akan berubah! Jadi ... jangan mengemis untuk hal yang mustahil aku lakukan!"Sambungan telepon terputus. Hafsah menangis di ruang rias sendirian. Malam ini adalah malam peluncuran brand terbaru miliknya. Semua model memakai baju rancangan gadis dua puluh tiga tahun itu. Semua tampak bahagia menyaksikan pencapaiannya. Namun, yang mencapainya tak merasa bahagia. Perih i
"Hafsah!" panggil seorang perempuan berlari menghampiri Hafsah yang sedang duduk di hadapan polisi."Umma," sahut Hafsah lemah."Pak, ada apa dengan dia?" tanyanya pada polisi."Gadis ini kami temui di hotel dalam keadaan mabuk. Ditanya dia tidak tahu kenapa sampai ada di sana dan bersama siapa. Dia menangis terus dan menolak menjawab pertanyaan kami." Polisi menatap Hafsah dengan tajam.Malini menarik napas panjang lalu menatap mantan muridnya. Dia tahu apa yang dialami gadis ini, tapi untuk ke hotel dia ingin segera mengetahuinya."Pak, saya akan jadi jaminan gadis ini. Lepaskan dia! Dia hanya dijebak dan tak bisa mengendalikan masalahnya. Atau ... ini." Aryan menyodorkan amplop ke hadapannya.Polisi menatap Aryan dan Malini lalu Hafsah. Dia menarik napas dan menggeleng. Setelah itu kembali memberikan amplop pada Aryan."Tanda tangani berkas ini. Hanya itu! Setelahnya kalian boleh membawa gadis ini." Polisi itu menatap Hafsah. "Jangan ulangi kesalahan yang sama. Pergilah!“"Terima k
"Masyaallah, tentu boleh, Sayaaang," jawab Malini tersenyum."Aku mandi dulu. Umma tunggu aku," kata Hafsah.Malini mengangguk dan Hafsah menuju ke kamarnya. Gadis itu mandi dan mencoba menghanyutkan masalahnya bersama air yang turun dari tubuhnya. Usai mandi Hafsah kembali ke kamar dan membuka lemari pakaian di sana. Mata indah itu tertegun melihat satu set gamis lengkap dengan cadarnya. Tangannya gemetar menyentuh baju dalam yang telah beberapa kali Malini meminta Hafsah memakainya."Sebagai perempuan kita wajib menutup aurat. Semakin tertutup aurat kita semakin mahal dan berakhlak pribadi seorang perempuan. Malu jika sudah berjilbab masih melakukan dosa. Malu sama jilbab jika masih tak beribadah padahal Allah sudah amat baik memberikan kesehatan dan kecantikan pada kita. Berlian harus ditutup agar tak terlihat murahan."Ucapan Malini seketika melintas di benaknya. Sering kali dia meminta Hafsah menutup aurat demi keselamatan dirinya. Keselamatan dari pandangan lelaki dan api neraka
"Hafsah!" teriak Aryan gegas menopang tubuh gadis itu dengan kedua tangannya.Hafsah menangis, dia tersedu di depan Aryan dengan tubuh terguncang. Namun, Hayati tetap tak peduli."Pergilah, Hafsah! Kehadiranmu hanya akan mengingatkan aku pada kejadian dua puluh tiga tahun lalu saat kamu tercipta. Kamu tercipta sebab kesalahan hingga suamiku meninggalkan aku yang amat mencintainya. Pergilah sebelum satpam mengusirmu!" bentaknya tanpa mau menatap Hafsah."Sebenci itu Mama padaku? Apa salahku, Maa?" isak Hafsah tanpa suara."Aku membencimu! Sangat!" jelasnya lalu memutar tubuh, "pergi sebelum para satpam di rumah ini menyeretmu." Setelah mengucapkan kata-kata pedih itu Hayati masuk ke dalam rumah mewahnya. Semua pelayan hanya mampu menatap iba tanpa bisa menolong. Mereka yang sudah sejak lama mengenal Hafsah hanya bisa mendoakan gadis itu."Kita kembali ke Bandung, Hafsah," ujar Aryan memeluknya erat. Hafsah diam tanpa merespon apa pun, tanpa dia tahu bahwa lelaki itu menyeka sudut mat
Hafsah menarik napas panjang dengan kepala berdenyut merdu. Ternyata lelaki itu bukan berasal dari Kalimantan. Gadis itu menutup laptop lalu bersiap untuk ke butik miliknya. Siang ini dia ada acara pertemuan dengan model baru yang akan memakai rancangannya di sebuah hotel.Hafsah bersiap masih dengan pakaian yang sama. Gadis itu melaju dengan mobil menuju hotel yang tak jauh dari kediamannya. Sesampainya, dia parkir di tempat khusus yang telah disediakan. Dua pegawainya telah menunggu di sana."Pak Gio?" Sapa Hafsah mengangguk sopan pada suami Malini itu.Lelaki itu menatap tajam seolah menelisik siapa yang memanggilnya. Aryan yang juga ada di sana menatap tersenyum."Hafsah, Pa," jelas Aryan menunjuk gadis didepannya."Masyaallah, Hafsah! Ini kamu?" katanya tak percaya tapi dengan raut wajah bahagia, "saya pangling lihat kamu. Berasa menatap berlian.""Nah lihat kan? Kamu semakin mempesona dengan hijab dan cadar ini," goda Aryan membuat Hafsah langsung menunduk.Dua pegawainya juga t
"Masyaallah, tentu boleh, Sayaaang," jawab Malini tersenyum."Aku mandi dulu. Umma tunggu aku," kata Hafsah.Malini mengangguk dan Hafsah menuju ke kamarnya. Gadis itu mandi dan mencoba menghanyutkan masalahnya bersama air yang turun dari tubuhnya. Usai mandi Hafsah kembali ke kamar dan membuka lemari pakaian di sana. Mata indah itu tertegun melihat satu set gamis lengkap dengan cadarnya. Tangannya gemetar menyentuh baju dalam yang telah beberapa kali Malini meminta Hafsah memakainya."Sebagai perempuan kita wajib menutup aurat. Semakin tertutup aurat kita semakin mahal dan berakhlak pribadi seorang perempuan. Malu jika sudah berjilbab masih melakukan dosa. Malu sama jilbab jika masih tak beribadah padahal Allah sudah amat baik memberikan kesehatan dan kecantikan pada kita. Berlian harus ditutup agar tak terlihat murahan."Ucapan Malini seketika melintas di benaknya. Sering kali dia meminta Hafsah menutup aurat demi keselamatan dirinya. Keselamatan dari pandangan lelaki dan api neraka
"Hafsah!" panggil seorang perempuan berlari menghampiri Hafsah yang sedang duduk di hadapan polisi."Umma," sahut Hafsah lemah."Pak, ada apa dengan dia?" tanyanya pada polisi."Gadis ini kami temui di hotel dalam keadaan mabuk. Ditanya dia tidak tahu kenapa sampai ada di sana dan bersama siapa. Dia menangis terus dan menolak menjawab pertanyaan kami." Polisi menatap Hafsah dengan tajam.Malini menarik napas panjang lalu menatap mantan muridnya. Dia tahu apa yang dialami gadis ini, tapi untuk ke hotel dia ingin segera mengetahuinya."Pak, saya akan jadi jaminan gadis ini. Lepaskan dia! Dia hanya dijebak dan tak bisa mengendalikan masalahnya. Atau ... ini." Aryan menyodorkan amplop ke hadapannya.Polisi menatap Aryan dan Malini lalu Hafsah. Dia menarik napas dan menggeleng. Setelah itu kembali memberikan amplop pada Aryan."Tanda tangani berkas ini. Hanya itu! Setelahnya kalian boleh membawa gadis ini." Polisi itu menatap Hafsah. "Jangan ulangi kesalahan yang sama. Pergilah!“"Terima k
"Terserah apa yang akan kamu lakukan! Aku tidak peduli!" teriak Hayati meremas jemarinya saat bicara melalui sambungan telepon."Aku hanya butuh support dan ridho Mama. Butuh dukungan Mama ... hanya itu," jelas Hafsah mulai terisak.Hayati menatap foto ketiga anaknya, lalu tatapan kebencian terpancar saat menatap foto Hafsah. Perempuan itu tak pernah menunjukkan kasih sayang padanya."Doakan aku, Ma." Hafsah memohon dengan menahan tangis di rantau orang. "Aku tidak akan mendoakanmu! Tidak akan menyebut namamu di dalam doaku. Meskipun kamu anakku tapi kamu penyebab segala kehancuran ini, Hafsah! Sampai kapanpun itu tidak akan berubah! Jadi ... jangan mengemis untuk hal yang mustahil aku lakukan!"Sambungan telepon terputus. Hafsah menangis di ruang rias sendirian. Malam ini adalah malam peluncuran brand terbaru miliknya. Semua model memakai baju rancangan gadis dua puluh tiga tahun itu. Semua tampak bahagia menyaksikan pencapaiannya. Namun, yang mencapainya tak merasa bahagia. Perih i