Andai Kayana sungguh mengatakan itu. Eiser mungkin akan betul-betul murka kepadanya. Dan Kayana tidak menginginkan itu terjadi. Berhadapan dengan Eiser seperti sekarang ini saja sudah seperti mimpi buruk, apalagi kalau mendengar cacian yang terlontar dari bibir pria itu, lebih baik Kayana lenyap dari muka bumi saja. "Aku tanya kamu dari mana?" Kayana memutar bola mata malas. "Dari luar," jawab Kayana ketus. Ia termundur ke belakang karena Eiser mendorongnya, sampai punggung membentur lemari pendingin lalu mengurungnya dengan kedua tangan. "Kamu tidak tahu adab dan sopan santun berbicara dengan suami.""Aku hanya mempraktekkan apa yang kamu ajarkan." Eiser mendelik. "Jadi ini rupa aslimu." "Sejak dulu aku memang seperti ini." Eiser terdiam dengan sorot mata yang merah padam. Ia sungguh benar-benar murka terhadap wanita dihadapannya saat ini. Tetapi, ia masih bisa menahannya. Tujuannya untuk pulang bukanlah ini. "Aku dengar Freeya kemari? Apa yang kamu bicarakan dengannya?" "Men
"Apa terjadi sesuatu?" Eiser sungguh penasaran, apa yang membuat wanita yang menjalin kisah asmara dengannya selama lima tahun itu dirundung kecemasan. "Papa masuk rumah sakit, penyakitnya kambuh dan dia harus melakukan kemoterapi, kamu tahu sendiri 'kan butuh biaya khusus untuk itu," ucap wanita berambut panjang dengan kaca-kaca di sudut mata. Semenjak berhenti dari dunia permodelan, Ivana memang tidak bisa lagi menghasilkan uang. "Kamu tenang saja, katakan di mana rumah sakitnya, aku akan mengirim orang untuk menyelesaikan semuanya." "Tidak, Eiser. Aku tidak mau merepotkanmu." Kening Eiser mengkerut. "Lalu kamu mau bagaimana?" "Berikan saja uangnya padaku. Nanti aku akan mengirimkan pada Mama. Biar mama yang urus semuanya." "Begitu?" "Ya." "Sebutkan nominalnya." "Seratus juta." Eiser cukup terkejut mendengarnya, tetapi ia masih bisa mengendalikan eskpresinya agar tak terbaca oleh lawan bicaranya. Eiser setenang air danau, namun siapa tahu di dalam hatinya bergejolak. "Bai
Gerakan kaki Kayana begitu cepat menuruni anak tangga. Di belakangnya, Eiser mengekor dengan langkah yang tak kalah cepat. "Biar aku yang buka pintu. Kamu urus kekasihmu itu." Yang dikatakan Kayana ada benarnya. Ia harus memberitahu Ivana agar tidak bersuara atau melakukan sesuatu yang dapat memicu perhatian ibunya. Sebab kalau sampai wanita yang telah melahirkannya itu tahu Ivana berada di sini. Entah seberapa besar murka yang dikeluarkannya. Pintu utama dibuka, wanita paruh baya dengan gaun berwarna gelap berdiri dengan senyum elegannya. "Mama," ucap Kayana. "Halo, Sayang." Lusi memberi pelukan pada sang menantu yang disambut hal yang sama oleh Kayana. "Kenapa tidak memberitahu kalau ingin datang?" Tidak biasanya, ibu mertuanya ini datang secara tiba-tiba. "Mama ada kunjungan ke toko roti, jadi Mama sekalian mampir." Kayana hampir lupa, kalau ibu mertuanya ini mengelola toko roti yang terkenal memiliki cabang di beberapa daerah. "Ini ada oleh-oleh buat kamu." Lusi menyodorka
"Dasar perempuan licik!" Kayana tertegun mendengarnya. Ia memandang pria yang berdiri di hadapannya. Dia adalah Eiser Ryan Devanders. Pria yang sejak tadi pagi telah resmi menyandang status sebagai suaminya. Hari ini adalah hari resepsi pernikahan digelar, dan Kayana berniat kembali ke kamar hotel yang telah disiapkan, karena acara telah usai. Tetapi, siapa sangka suaminya ini malah menyusul dengan amarah yang meletup-letup lalu melontarkan kata-kata kasar kepada dirinya. "Jadi semua ini rencana kamu untuk bisa menikah dengan aku, dasar perempuan licik!" Eiser sekali lagi mengulangi kalimat umpatan untuk istrinya. Dalam sekejap tatapan matanya menjadi sangat menakutkan. "Apa maksud kamu, Eiser?" Kayana tidak mengerti, mengapa datang-datang suaminya ini malah mencaci maki dirinya."Jangan berlagak bodoh di depanku, Kay!" Eiser menjejalkan tangan pada saku jasnya, lalu menunjukkan apa yang ia dapat kepada istrinya. Sebuah rekaman suara menyapa indera pendengaran. Kayana sampai melo
Lompat dari gedung 12 adalah hal yang paling gila yang harus Kayana lakukan. Bisa menyebabkan cedera, cacat, atau kemungkinan besar kematian. Dan Kayana harus melakukan itu demi untuk menyenangkan suaminya. Anehnya, Eiser malah diam saja. Pria itu hanya tersenyum melihat apa yang Kayana lakukan. Semua demi apa? Hanya untuk membalaskan dendam sang kekasih. Kayana harus melakukan apa yang Ivana lakukan. Menurut informasi, Ivana mencoba bunuh diri dengan cara lompat dari gedung apartemennya dan mengabaikan janin di perut sehingga janin tersebut menjadi korban. Dan itu dilakukan Ivana sehari sebelum hari pernikahan dirinya dan Eiser dilaksanakan. Kayana sendiri tidak tahu, sejak kapan Eiser memiliki hubungan dengan wanita itu. Melihat kedekatan mereka saat acara reuni, Kayana tidak menyangka kalau keduanya memang sedekat itu. Bahkan sempat membuat bayi. Satu kenyataan yang membuat hati Kayana teriris. Sampai-sampai ia yakin kalau dirinya harus terjun dari balkon gedung sekarang juga.
Kayana tertegun melihat pria yang berdiri tak jauh darinya. Selain aura yang menakutkan, tatapan yang tak pernah berubah sejak kejadian malam pertama membuat Kayana merasa kerdil saat berhadapan dengan suaminya ini. Terlebih ketika pria itu mulai mendekat seperti sekarang, rasa-rasanya Kayana ingin enyah saja dari dunia. Namun, ketakutan itu tak beralasan karena Eiser rupanya hanya melewati dirinya saja. Hembusan napas kasar terdengar. Bolehkah Kayana merasa lega sekarang? Tidak, karena sepertinya Eiser tidak akan membiarkan Kayana begitu saja, pria itu membalik diri lalu menatap punggung Kayana. "Kenapa kamu masih di situ? cepat siapkan air mandi. Istri macam apa kamu ini!" Kayana refleks membalik diri. Ia memandang sang suami dengan kening berkerut. Bukankah kata-kata itu lebih cocok untuk Eiser. Suami macam apa yang meninggalkan istrinya sendirian selama satu bulan tanpa kabar?"Oh, masih ingat pulang? Maaf, aku pikir kamu tidak akan pulang." Entah keberanian dari mana, Kayana
Jantung Kayana berdegup kencang, terlebih ketika Eiser menyusuri leher jenjangnya dengan menggunakan bibir. Namun, Kayana tidak akan membiarkan itu berlanjut. Ia tidak boleh terbuai pada perasaan yang hanya ia rasakan sepihak. Eiser tidak akan bersikap selembut ini. Kayana mencoba mensugesti diri dan segera mengembalikan kesadarannya. "Berhenti, Eiser. Bukankah kamu bilang ingin makan." Eiser tersenyum miring. "Bukankah kamu yang menginginkan ini? Kamu pasti sengaja tidak menyiapkan aku pakaian ganti agar aku berpenampilan begini." Kayana terpejam. Ingin sekali memprotes dan mengatakan, "bukannya pakaian kamu ada di lemari. Kenapa mengambil pakaian saja menunggu aku?" Tetapi itu hanya ada dalam angan saja. Kayana tidak ingin memancing emosi Eiser dan memilih untuk diam dan meminta maaf. "Maaf, kalau begitu akan aku siapkan sekarang." Kayana berdiri. Tetapi lagi-lagi Eiser menahannya. Eiser meraih pinggang lalu mengangkat Kayana dan mendudukkan di atas meja yang kosong. "Terlamba
Apa Kayana tidak salah dengar? Pantasnya yang bicara begitu adalah dirinya. Bukankah selama ini yang tidak menganggap istri adalah Eiser? Tapi kenapa pria itu berkata seolah dirinya yang tidak bersikap layaknya seorang istri? "Kamu sedang membicarakan dirimu sendiri, Eiser." Kayana membalas ucapan telak pada sang suami. "Tak bisakah kamu tidak membantahku." "Aku hanya berbicara kenyataan, Eiser." Eiser, mendecak kesal lantaran sang istri terus saja membantah. Dan ketika keduanya sampai di lokasi acara senyum mereka tampakkan di bibir masing-masing. "Akhirnya kamu datang juga, Sayang." Kayana langsung menerima pelukan dari Lusiana, sang ibu mertua. Wanita yang masih terlihat muda di usia kepala 5 itu nampak begitu kagum terhadap paras yang dimiliki sang menantu. Lalu Evan, sang papa mertua. Dia juga sangat senang terhadap Kayana. Pembawaan yang lemah lembut dan penuh sopan santun, menandakan kalau menantunya ini memiliki attitude yang bagus. Tidak seperti yang dikatakan oleh san