Jantung Kayana berdegup kencang, terlebih ketika Eiser menyusuri leher jenjangnya dengan menggunakan bibir. Namun, Kayana tidak akan membiarkan itu berlanjut. Ia tidak boleh terbuai pada perasaan yang hanya ia rasakan sepihak. Eiser tidak akan bersikap selembut ini. Kayana mencoba mensugesti diri dan segera mengembalikan kesadarannya. "Berhenti, Eiser. Bukankah kamu bilang ingin makan." Eiser tersenyum miring. "Bukankah kamu yang menginginkan ini? Kamu pasti sengaja tidak menyiapkan aku pakaian ganti agar aku berpenampilan begini." Kayana terpejam. Ingin sekali memprotes dan mengatakan, "bukannya pakaian kamu ada di lemari. Kenapa mengambil pakaian saja menunggu aku?" Tetapi itu hanya ada dalam angan saja. Kayana tidak ingin memancing emosi Eiser dan memilih untuk diam dan meminta maaf. "Maaf, kalau begitu akan aku siapkan sekarang." Kayana berdiri. Tetapi lagi-lagi Eiser menahannya. Eiser meraih pinggang lalu mengangkat Kayana dan mendudukkan di atas meja yang kosong. "Terlamba
Apa Kayana tidak salah dengar? Pantasnya yang bicara begitu adalah dirinya. Bukankah selama ini yang tidak menganggap istri adalah Eiser? Tapi kenapa pria itu berkata seolah dirinya yang tidak bersikap layaknya seorang istri? "Kamu sedang membicarakan dirimu sendiri, Eiser." Kayana membalas ucapan telak pada sang suami. "Tak bisakah kamu tidak membantahku." "Aku hanya berbicara kenyataan, Eiser." Eiser, mendecak kesal lantaran sang istri terus saja membantah. Dan ketika keduanya sampai di lokasi acara senyum mereka tampakkan di bibir masing-masing. "Akhirnya kamu datang juga, Sayang." Kayana langsung menerima pelukan dari Lusiana, sang ibu mertua. Wanita yang masih terlihat muda di usia kepala 5 itu nampak begitu kagum terhadap paras yang dimiliki sang menantu. Lalu Evan, sang papa mertua. Dia juga sangat senang terhadap Kayana. Pembawaan yang lemah lembut dan penuh sopan santun, menandakan kalau menantunya ini memiliki attitude yang bagus. Tidak seperti yang dikatakan oleh san
"Bercerai? hahaha....!" Tawa Eiser menggema di ruangan dan itu membuat Kayana semakin geram. "Kamu pikir aku akan melepaskanmu begitu saja setelah apa yang kamu perbuat di kehidupanku? Tidak semudah itu, Kay. Kamu harus terima pembalasanku terlebih dahulu." "Persetan denganmu, Eiser. Aku akan tetap mengajukan perceraian." Kayana tidak akan tinggal diam kali ini. "Coba saja kalau kamu bisa. Tapi itu tidak akan mudah. Dan sampai kapanpun, tidak akan ada perceraian. Camkan itu!""Kamu egois, Eiser. Aku membencimu!" jerit Kayana. "Pantasnya aku yang mengatakan itu." Eiser tidak kalah sinis. "Kalau begitu maki aku sesuka hati kamu, Eiser. Lakuka apa yang ingin kamu lakukan. Setelah itu, biarkan aku pergi." Kayana menurunkan nada bicaranya. Sayangnya itu terdengar lucu bagi Eiser sampai-sampai pria itu harus tertawa dengan remeh. "Sudah kubilang. Itu tidak akan terjadi, sampai kapanpun kamu tidak akan bisa lepas dari genggamanku, Kay." "Sebenarnya apa maumu! Jika kamu ingin menghancur
Kayana tercenung beberapa saat. Ia mencoba untuk memahami ucapan suaminya. Dia bilang apa tadi? Eiser ingin kekasihnya tinggal bersama dirinya di rumah ini? Apa dirinya tidak salah dengar? Yang benar saja? Apa dia sudah gila? "Eiser. Kamu boleh untuk tidak pulang. Tapi jangan keterlaluan dengan menyuruhku melakukan hal yang tidak akan pernah aku lakukan." Eiser menanggapi ucapan istrinya dengan senyum remeh. Ia jelas tahu kalau wanita itu tidak senang bahkan menolek keputusannya, itu bisa dilihat dari raut wajah Kayana dan juga ucapannya. Dan memang itulah tujuan Eiser sebenarnya. Membuat istrinya marah. "Aku tidak perlu izinmu untuk melakukan apapun. Di rumahku!" Eiser memberi tekanan di kalimat terakhirnya dan itu membuat Kayana mengepal geram. Ia memang membiarkan dirinya ditindas oleh Eiser agar pria itu puas membalaskan dendamnya. Tetapi tidak dengan keputusan ini. "Baik, kalian boleh tinggal di sini. Kalau begitu aku yang akan keluar dari rumah ini." Kayana melangkahkan kak
Tentu saja itu hanya bisa Kayana ucapkan dalam hati. Meski ia membenci Eiser, tetapi melihat apa yang dilakukan Eiser terhadap Ivana, membuat sudut hati Kayana terluka. Selain berdiri, ia hanya bisa memalingkan wajahnya dengan sesekali mendongak ke atas agar buliran bening yang sedari ia tahan tidak tumpah. Pekerjaan dapur menjadi menumpuk setelah kepergian Eiser dan Ivana. Kayana memandang makanan sisa yang ditinggalkan oleh Eiser. Selera makannya seketika menghilang tak bersisa. Ia kembali ke kamar setelah menyelesaikan pekerjaan dapur. Tak ia pedulikan di mana keberadaan Eiser, terakhir kali ia melihat pria itu mengantar selingkuhannya ke kamar. Persetan bila pria itu ingin tidur di sana. Itu malah bagus, dan dirinya bisa terlepas dari pria itu malam ini. Kayana menjatuhkan bobot tubuhnya di bibir ranjang, melepas ikatan rambutnya, barulah ia merebahkan diri untuk beristirahat. Di sepertiga malam, ia dibangukan oleh suara derit pintu dan derap langkah kaki seseorang. Setengah
Kayana tidak dapat menahan keterkejutannya atas apa yang dilihatnya. Sosok pria yang dimaksud oleh anak buahnya ini memang benar adanya. Dia sosok yang tampan, dan bersahaja. Dan yang terpenting, maksud kedatangannya kemari. Dan lagi-lagi apa yang dikatakan oleh Vero benar. Pria ini memang akan menagih sesuatu seperti yang ia janjikan kepadanya. Saat acara pesta ulang tahun perusahaan keluarga suaminya, Kayana telah memberikan kerugian bagi pria itu dengan menumpahkan segelas wine pada jasnya yang mahal. Lalu ia memberi kartu nama miliknya untuk menuntut ganti rugi. "Kita bertemu lagi," ucap pria itu yang seketika menyadarkan Kayana dari lamunan."Ah ya." Kayana tersenyum kikuk. Dengan sesekali melirik ke arah Vero yang tak henti memandang takjub pada pria di hadapannya ini. "Sepertinya Anda sangat sibuk. Sulit sekali ditemui. Anda tidak bermaksud lari dari tanggung jawab 'kan, Nona?" "Ah bukan begitu. Bukankah saya sudah memberi Anda kartu nama dan di sana tertera nomor yang bis
Kayana jelas kaget, tetapi itu tidak bertahan lama. Dengan cepat ia menguasai dirinya. Ia melirik pergelangan tangan. Tidak biasanya pria itu di rumah jam segini. Itu dikarenakan Kayana terbiasa ditinggal sendirian. Dan ketika Eiser pergi, Kayana menyempatkan diri untuk keluar sekedar memeriksa pekerjaan. Tetapi, Kayana lupa, bila Ivana sekarang berada satu atap dengan dirinya. Harusnya ia sudah menduganya, 'kan?"Apa setelah bersenang-senang, telingamu jadi tidak berfungsi. Jawab pertanyaanku, Kay." Langkah Kayana terhenti, di anak tangga pertama. Apakah pergi bekerja bisa dikatakan bersenang-senang? Ya mungkin setidaknya Kayana sedikit senang karena tidak ada yang mengganggunya saat bekerja. "Apa saat pergi bekerja, kamu juga bersenang-senang?" Kayana membalikkan perkataan Eiser. Membuat sorot mata pria bergelar suami itu semakin gelap saja. "Aku baru tahu, kamu adalah wanita pembangkang. Aku semakin menyesal menikahimu." "Kalau begitu ceraikan!" jerit Kayana yang seketika memb
Suara petir menyadarkan Kayana atas perbuatannya. Ia menjatuhkan benda di tangannya ke lantai. Apa yang sedang ia pikirkan? Mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara seperti ini, hanya akan membuat Ivana merasa di atas awan. Kayana menggeleng pelan. Kalau sampai dirinya bertindak demikian, lalu apa bedanya dengan Ivana? Dirinya tidak bodoh, hanya saja terlalu naif berharap Eiser akan mencintai dirinya. Kayana sadar, bahwa dirinyalah yang menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka. Namun, jika Tuhan tidak berkehendak. Pernikahan itu tidak akan terjadi. Buktinya sudah jelas, kalau dirinya dan Eiser ditakdirkan bersama meski tidak ada cinta. Guyuran air hujan membuat tubuh Kayana menggigil. Berendam air hangat mungkin akan membuatnya sedikit membaik. Dan benar saja, usai berendam. Kayana langsung tertidur pulas begitu saja. Daging yang kemarin ia beli, tidak jadi dibuat steak. Kayana sengaja bangun pagi-pagi untuk memasak dan mengerjakan semua pekerjaan rumah selagi penghuni lain dalam