HAPPY READING
*****
Tidak terasa sudah banyak jam yang telah terlewati di Yogyakarta. Semuanya berjalan sebagaimana mestinya, suka, duka, senang, dan sedih semuanya sudah dirasakan oleh seorang Adela Andriana. Semuanya memerlukan mental yang kokoh, untungnya masih ada Ilham yang selalu setia membantunya. Meskipun dia sekarang sedikit menjengkelkan, jujur Adel tidak bisa hidup tanpanya. Terdengar sangat lebay emang, tetapi persepsi orang kan berbeda-beda.
Dan satu yang pasti, seandainya cerita ini tidak habis kena kontrak, mungkin authornya sudah mengubah judulnya, “I Love my Brother,” tetapi karena beberapa ketentuan lain maka dia akan tetap setia di judul, “Because You’re Mine.”
Sudahlah, lebih baik kita masuk ke cerita. Cerita sang putri yang sangat cantik dan pada akhirnya akan bahagia dengan pangeran berkuda. “Akhirnya mereka berdua bahagia selamanya. Tamat!” Terdengar sangat klise bukan? Tanpa mendengar pendapat kalian, Author se
nah bagaimana? masih mau macam-macam sama Adel.
BISMILLAH __________ “Semuanya sudah dimasukkan kedalam koper? Intinya jangan ada yang tertinggal, karena kita harus berangkat sekarang. Taksi onlinenya udah datang. Jangan sampai kita ketinggalan kereta!” ucap Ilham memperingati Adel yang masih duduk termenung menerawang jauh di depan jendela kamarnya. Namun, sepertinya perempuan itu tidak mengindahkan perkataan abangnya. Dia hanya menatap Gunung Tangkuban Perahu yang jauh di sana. Sementara, kelopak matanya terlihat sembab. Mungkin karena tangisnya semalam sehabis dari pemakaman. Kemarin adalah hari ke tujuh sepeninggal ibunya. Dan rencananya, setelah hari itu mereka akan tinggal di Yogyakarta dan memulai hidup baru di sana. Semoga saja, keputusan yang dia tempuh bisa membuat kehidupannya bahagia di kampung halaman Ridwan – ayahnya. Ilham balik badan dan menatap adik semata wayangnya yang belum bergerak sama sekali. Ia menghela napas pelan dan kembali
HAPPY READING .... ______________ Stasiun Kereta Api Bandung, entah karena sepi penumpang atau karena jadwal keberangkatan kereta tidak ada. Stasiun itu terlihat sedikit sunyi. Bangku-bangku yang biasanya sesak oleh penumpang, terlihat hanya di duduki oleh beberapa orang saja. Sementara, pagi ini telah menunjukkan jam 07:30 waktu setempat tetapi, kenapa masih terlihat sangat sepi? Tidak seperti biasanya, jikalau sudah jam demikian semua orang sudah terlihat mengantri di kursi tunggu. Ilham kembali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu ia mencocokkan dengan tiket keberangkatan kereta api jurusan Bandung – Yogyakarta, yang ada di tangan yang lain. “Sudah setengah delapan, sebentar lagi keretanya datang,” gumam Ilham kembali memperbaiki posisi duduknya yang terasa kurang nyaman. Kemudian, ia melirik ke arah bangku yang diduduki Adel, dan terlihat di sana, cewek itu hanya terdiam dengan
HAPPY READING .... ______________ Badai terus melanjutkan suapannya dengan tenang. Begitupun dengan Adel yang sedari tadi diam sambil menikmati gudeg pesaannya dengan lahap. Tidak ada pembicaraan yang terlontar, hanya dentingan sendok yang berbenturan dengan piring berwana putih itu yang sesekali terdengar merdu. “Orang baru yah?” tanya Badai ketika dirinya sudah menyelesaikan makannya. “He-em, baru sedetik yang lalu dilahirkan,” jawab Adel sekenanya. Dia masih melanjutkan makannya tanpa berpaling kearah cowok yang tidak dikenalnya itu. “Oh, pantesan masih ada darahnya dikit,” ucap Badai berusaha biasa saja. Walaupun ia merasa pembicaraan mereka tidak ada manfaatnya sama sekali. “Iya, kamu juga orang baru yah? cangkang lo masih menempel di punggung lo tuh. Kalau boleh tau habitat kamu di mana yah? Di Komodo, apa di Wakatobi?” tanya Adel. Badai terdiam. Dia tidak tahu menjawab pertanyaan cewek a
HAPPY READING .... _____________ Jam telah menunjukkan pukul 19:12 waktu setempat. Semua orang sudah berkumpul di meja makan. Mereka kali ini makan berempat. Karena oma sepertinya belum pulang, sebab mereka belum ke rumah sakit untuk menggantikannya. Di atas meja makan sudah tersedia jenis-jenis makanan khas Yogyakarta ada gudeg, opor ayam dan lainnya. Itu semua Akmal yang beli di warung terdekat, karena pembantunya pulang kampung tiga hari yang lalu. Jadi, kalau mau makan mereka harus beli dulu. Setidaknya, itu terjadi sampai pembantunya kembali pulang. “Silakan makan, lepas ini kita semua ke rumah sakit!” perintah Om Reza memulai mengambil gudeg lalu melahapnya dengan nikmat. Detik selanjutnya, gerakan Reza pun disusul oleh Akmal, dan kedua keponakannya. Tak berselang berapa menit, mereka semua telah menyelesaikan makannya. Adel yang merasa dirinya perempuan, mulai membereskan peralatan makan yang kotor itu
HAPPY READING __________________ Setelah Om Reza, Oma dan Akmal pulang. Adel dan Ilham kembali duduk di sofa yang ada di kamar Ridwan. Adel dan Ilham hanya tersenyum senang ketika melihat Ridwan tengah istirahat di atas brangkar sana. Semoga saja ayahnya itu cepat sembuh. Mengingat kejadian tadi sore di stasiun, ingin rasanya Adel mencabik-cabik mulut cowok brengsek itu. Akan tetapi, semuanya sudah terlambat, apa yang harus dia perbuat sekarang? Tidak ada! Namun, dia sudah berniat untuk membalas perbuatan cowok itu. Raut muka Adel yang berubah menjadi bersungut-sungut memancing Ilham untuk bertanya? “Del, kamu kenapa? Mukanya kusut gitu, kalau udah ngantuk tidur aja.” Ilham mendekati Adel dan duduk lebih dekat dengannya. Menyadari ada yang memperhatikannya, Adel hanya menampilkan smirk-nya, “Kagak ada apa-apa, Kak. Adel belum ngantuk, kalau kakak mau tidur. Tidur aja,” balas Adel. Ilham mengangguk pelan, “Baik
HAPPY READING __________________ Selamat pagi Yogyakarta. Kota sejuta mimpi, kota sejuta harapan dan kota sejuta aktivitas mulai bangun kembali. Gelap remang-remang disertai dengan kokok ayam dari berbagai perkampungan kecil saling beradu merdu untuk membangunkan para pejuang rupiah. Menidurkan hansip malam yang habis berkeliling kompleks, serta mengingatkan sang mentari yang hampir lupa muncul pagi ini. Dari kamar melati – Rumah Sakit Yogyakarta, seorang perempuan terlihat baru bangun dari tempat berlabuhnya tadi malam. Sedangkan kakak semata wayangnya sudah mandi dan bersiap-siap, sejak tadi subuh. Mereka adalah Adel dan Ilham – kakak beradik yang semalam telah menemani Ridwan di rumah sakit. “Pagi Del, gimana tidurnya, nyenyak?” sapa Ilham kepada Adel yang masih menggaruk tengkuknya yang terasa gatal, raut mukanya masih terlihat sayu dan rambutnya yang dibiarkan terurai semalam, sudah seperti habis kesetrum listrik. Adel ha
HAPPY READING __________________ “Ponsel gue!!!” Tiba-tiba, seorang pencopet langsung menyambar ponsel yang ada di tangan Adel, membuatnya berteriak panik. Ilham langsung berlari mengejar pencopet itu, berharap ponsel adiknya masih bisa terselamatkan. Adel mengacak-acak rambutnya frustrasi, bagaimana bisa ia seceroboh itu. Dia hanya mampu menatap tempat menghilangnya Ilham seraya menggigit jari. Ya Allah, semoga saja bang Ilham bisa menyelamatkan ponsel aku! Batin Adel berdo’a. ***** Suasana siang yang begitu panas membuat semua orang yang sedang istirahat dari kerja kantor memilih bercengkerama di salah satu cafe terkenal yang ada di Jalan Diponegoro. Cafe Andalusi, di sana pula terdapat sekelompok anak geng motor dari SMA Sriwijaya sedang bercengkerama ria. Untung sekali, hari ini anak geng motor itu tidak lagi membuat keonaran. Walaupun hanya bercengkerama ria, tetapi pemilik cafe tetap was-was,
HAPPY READING __________________ Hari semakin gelap. Adel dan Ilham kembali ke rumah Om Reza. Bukan untuk bermalam, tetapi untuk pamit karena dia sudah mendapatkan kontrakan murah tak jauh dari rumah sakit. Setelah salam, mereka berdua masuk dan menghampiri Reza yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu – membaca koran. Hari ini Reza pulang lebih cepat. Mungkin karena kerjaan kantor lagi tidak banyak, jadi Reza bisa pulang sebelum adzan magrib berkumandang. “Udah pulang, Om?” tanya Ilham sambil mencium punggung tangan pamannya. Reza mengangguk pelan, “Iya, Nak. Gimana? Udah dapat kontrakan?” tanya Reza ramah seraya menyalami kedua keponakannya. Ilham mengangguk lalu mendaratkan pantatnya di sofa yang ada di depan Reza, begitu pula dengan Adel. Setelah menyalami pamannya, dia langsung duduk di samping Ilham. “Tapi, kenapa sih kalian tidak tinggal di rumah om saja. Kenapa mesti cari kontrakan?” tanya Reza. “Tid