HAPPY READING ....
______________
Stasiun Kereta Api Bandung, entah karena sepi penumpang atau karena jadwal keberangkatan kereta tidak ada. Stasiun itu terlihat sedikit sunyi. Bangku-bangku yang biasanya sesak oleh penumpang, terlihat hanya di duduki oleh beberapa orang saja.
Sementara, pagi ini telah menunjukkan jam 07:30 waktu setempat tetapi, kenapa masih terlihat sangat sepi? Tidak seperti biasanya, jikalau sudah jam demikian semua orang sudah terlihat mengantri di kursi tunggu.
Ilham kembali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu ia mencocokkan dengan tiket keberangkatan kereta api jurusan Bandung – Yogyakarta, yang ada di tangan yang lain.
“Sudah setengah delapan, sebentar lagi keretanya datang,” gumam Ilham kembali memperbaiki posisi duduknya yang terasa kurang nyaman. Kemudian, ia melirik ke arah bangku yang diduduki Adel, dan terlihat di sana, cewek itu hanya terdiam dengan tangan di atas paha serta pandangannya tertuju ke depan.
“Del, kamu gak papa?” tanya Ilham pelan. Ilham takutkan adiknya itu kenapa-kenapa. Dari tadi Adel tidak nafsu mengajaknya bicara. Biasanya saja adiknya itu seperti toa kakak pembina dalam organisasi yang sedang marah-marah. Sangat memekakkan telinga!
Adel menoleh dan tersenyum serta menjawab pertanyaan abangnya dengan anggukan, sebagai tanda dia tidak apa-apa. Melihat adiknya mengangguk, Ilham tersenyum. “Berapa menit lagi kereta kita datang,” ujar Ilham lagi, entah itu sekedar basa-basi untuk mengurangi keheningan, atau memang ingin memeritahu adiknya.
Adel kembali mengangguk, lalu merogoh tas kecil yang ada di sampingnya. Dan mengambil benda mungil yang sempat di cemplungkan di sana. Dan terakhir dia mengetuk-ngetuk layar ponsel tersebut, sekedar mengurangin keboringan. Lagipula, dia juga tidak nafsu mengobrol dengan kakaknya.
Melihat hal itu, Ilham kembali ke posisi duduknya yang tadi, ia yakin sekali, Adel berusaha mencari kesibukan, biar dirinya tidak mengajaknya bicara. Ilham tidak permasalahkan itu semua, yang penting Adel tidak lagi termenung, dan itu sudah membuatnya cukup lega.
Tak lama terdengar pemberitahuan, bahwa kereta api jurusan Bandung – Yogyakarta tak lama lagi akan berangkat. Dan langsung saja kios-kios yang ada di samping stasiun terbuka lebar setelah bunyi sibakan pintu kios yang terdengar nyaring. Jadi ini jawaban, mengapa stasiun sepi sedari tadi. Ternyata, para calon penumpang menunggu keberangkatan kereta di dalam kios.
Kocar-kacir orang berlalu lalang, mereka semua terlihat sibuk memyiapkan barang-barangnya ketika kereta yang akan mereka tumpangi sudah terlihat dan perlahan berhenti. Semua orang turun, dan beberapa menit kemudian terdengar suara pemberitahuan bahwa kereta itu akan berangkat lagi.
Semua orang berlomba-lomba mencapai pintu kereta dan masuk ke dalamnya untuk mencari tempat yang aman dan nyaman tentunya. Di sana juga sudah terlihat Ilham dan Adel yang berdesak-desakan dengan para penumpang lainnya. Kali ini mereka harus mendapatkan tempat yang nyaman. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, ketika ia harus kepanasan karena tidak kebagian tempat di samping jendela.
Untung sekali, karena kecepatannya melewati para penumpang lain. Maka mereka berdua mendapatkan tempat duduk yang diidam-idamkan, yaitu di samping jendela.
Kereta perlahan meninggalkan stasiun, setelah semua penumpang sudah siap di kursinya masing-masing. Terlihat pula Adel yang berdiam diri di samping jendela dengan pandangan diarahkan keluar. Dan di luar sana dapat dia saksikan pepohonan yang bergerak perlahan-lahan hingga sangat cepat, sebagai pertanda kecepatan kereta api yang dia tumpangi saat ini juga sedang dalam kecepatan ekstra.
Entah merasa ada yang menyihir otaknya. Hingga semua pergerakan itu, dia rasakan perlahan menghilang, dan digantikan dengan rasa kantuk yang menghinggapi kepalanya. Adel berusaha menahan pelupuk mata yang terasa mulai berat, namun akhirnya dia juga tidak bisa dan tertidur pulas sekali.
Mungkin, itu karena efek kenyamanan tempat duduknya, atau karena kelelahan karena tangisan sepanjang malam? Entah, tidak ada yang tahu, kecuali dirinya. Yang terjelas saat ini dia sedang istirahat dan menggunakan perjalanannya dengan melanglang buana.
*****
Welcome to Yogyakarta.
Tak terasa kereta yang dia tumpangi, Jurusan Bandung – Yogyakarta, akhirnya berhenti tepat di stasiun. Setelah kereta benar-benar berhenti, semua penumpang pun mulai turun, disertai dengan suara penyampain dari speaker yang cukup besar bahwa mereka sudah tiba di tempat tujuan dengan selamat.
“Del, bangun! Kita sudah sampai,” ucap Ilham seraya menepuk pipi adiknya berusaha menyadarkannya.
Merasa ada yang menyentuh pipinya, Adel yang sedang asyik berdansa ria dengan pangeran tampannya langsung buyar dan tergantikan dengan muka abangnya, yang langsung membuatnya terlihat kesal. “Ada apa sih, Bang?” tanya Adel belum sadar seratus persen. Dia menguap dan mengumpulkan energi yang masih ada di alam mimpi.
“Kita sudah sampai, Del.”
“Yang benar!?” Adel sedikit terlonjak ketika mengetahui bahwa tubuhnya sekarang sudah berpijak di Yogykarta. Itu artinya dia benar-benar telah meninggalkan Bandung serta segala sesuatu yang menyertainya. Apakah dia patut bersyukur, ataukah bersedih telah meninggalkan tanah kelahirannya, serta meninggalkan keluarga ibunya disana?
Ilham hanya mengangguk yakin ketika melihat ekspresi Adel yang terlihat begitu terkejut. Ilham yakin, jikalau Adel kaget karena sudah tiba di Yogyakarta. Sebenarnya, Adel tidak pernah mau meninggalkan Bandung, tetapi karena dirinya terus membujuk adiknya yang keras kepala itu. Akhirnya, Adel luluh juga.
Apalagi Ridwan, ayahnya yang saat ini tengah dirawat di rumah sakit yang ada di kota ini. Jadi, mau tidak mau mereka harus pindah dan mencoba memulai hidup baru di sana.
Setelah energi Adel terkumpul, mereka berdua turun dari kereta api serta barang miliknya yang sudah berada di tangannya masing-masing. Di pundak Ilham telah bertengger ransel berwarna hitam, serta tangan kirinya menarik koper besar berwarna hitam pula. Sedangkan Adel, ia menjinjin tote bag miliknya, serta menarik koper berukuran sedang berwarna merah muda khas cewek.
Mereka berdua terus berjalan hingga keluar stasiun kereta api itu dan berhenti tepat di pelataran depan stasiun.
“Bang Akmal, jadi datang tidak?” tanya Adel menoleh ke arah Ilham yang sedang mengetuk-ngetuk ponselnya. Sepertinya ia sedang mengetik sesuatu disana.
Karena merasa tidak direspon. Adel hanya mengedarkan pandangannya ke segala arah, memperhatikan kondisi lingkungan stasiun yang cukup bersih. Hingga akhirnya, matanya tertuju pada warung yang ada di timur stasiun.
Disana tertulis “GUDED ASLI YOGYAKARTA” dan disana pula terlihat sedikit orang yang berkeliaran. Dia melihat arloji yang bertengger di tangan kirinya, disana terlihat masih jam 2 lewat, waktu setempat.
Krukkk ... suara perut Adel tiba-tiba berbunyi. Maklumlah, kalau dirinya saat ini sedang lapar karena sudah jam dua lewat tapi belum sarapan.
Aha! Daripada diam di sini, mendingan gue makan dulu, batin Adel seraya tersenyum lebar. Lagipula, Bang Ilham juga sibuk, jadi gue makan dulu deh, sudah lama gak ngerasain gudeg asli di sini, jadi kangen pengen rasain lagi.
“Bang, gue ke sana dulu yah, kalo Bang Akmal udah datang, bilang gue ke warung dulu,” ujar Adel dan langsung ngeloyor pergi meninggalkan barang-barangnya, tanpa mendapatkan izin dari Ilham.
“Eh ... Del!” ucapan Ilham terhenti ketika melihat Adel sudah menjauh. Ia baru saja ingin memberitahu kalau Akmal akan menjemput mereka lebih lama lagi, soalnya lagi ada urusan kantor. Tapi, ternyata Adel sudah hilang dari jangkauan bicaranya. Dan ia tidak mungkin berteriak. Jadi, Ilham membiarkan saja Adel pergi makan sendiri. Soalnya, ia sendiri sudah makan saat di kereta tadi.
Adel memasuki warung yang terlihat cukup sepi pengunjung, hanya beberapa orang yang sedang bencengkerama di kursi-kursi yang terlihat sudah lapuk. Adel yang merasa sedikit canggung hanya mampu menampilkan senyuman lebarnya, yang lebar sekali.
Ia langsung menghampiri pemilik warung itu dan bertanya mengenai makanan yang akan dia pesan, “Mbak, Gudegnya masih ada?” tanya Adel disertai dengan senyum manisnya yang belum juga pudar.
“Masih ada, Dedeh. Mau pesan?” tanya penjual warung itu dengan ramah.
“Iya Mbak, aku pesan satu porsi saja. Makannya di sini,” balas Adel kemudian. Penjual itu mengangguk pelan, dan Adel pun mulai meninggalkan tempatnya, tetapi langsung terhenti ketika telinganya dipekakan oleh lengkingan suara tinggi yang ada di sampingnya.
Adel mendongakkan wajahnya menatap cowok yang baru saja berteriak di sampingnya. Ingin sekali dia menyumpal mulut cowok itu dengan sepatu ikat miliknya, seandainya dia kenal. Sumpah! Suara cowok itu benar-benar mengganggu ketenangannya dan orang lain. Buktinya, orang-orang yang sedang asyik berbicara tak jauh dari mereka, berhenti dan langsung menatap aneh cowok itu. Dan pemilik warung yang ada di hadapan mereka juga menampilkan raut muka yang tidak suka.
“Heh, mas kalau mau teriak jangan di sini! Di tempat lain aja! Mas gak liat kalo teriakan mas tadi mengganggu ketenangan orang lain!”
Menyebalkan. Ucapan Adel tidak direspon sama sekali. Benar-benar cowok gak gentelmen. Atau jangan-jangan cowok ini tuli yah, tetapi, mungkin juga sih. Buktinya ia gak merespon perkataan Adel barusan.
“Mbak, Gudeg satu porsi!” panggil cowok itu lagi.
Sang penjual tidak pula mersepon perkataanya. Dia hanya melanjutkan aktivitasnya menyiapkan pesanan Adel. Adel cukup senang melihat itu. Sepertinya penjual itu sedang membalas perlakuan cowok itu padanya.
“Mbak! Gue lapar! Gudegnya satu porsi!”
Cowok aneh itu memekik lagi. Dan kali ini, pekikannya direspon oleh sang penjual, “Gak usah teriak mas!”
“Lagian, Mbak juga gak respon aku, kalau aku tak teriak!”
“Tapi, Mas Badai belum bayar makanan yang kemarin!” tegas penjual. Sepertinya ia tidak mau di rugikan oleh laki-laki yang ada di hadapannya itu. “Aku bisa rugi lho, Mas!”
Cowok itu menghela napas panjang, lalu diam sejenak. “ Oke, besok gue bayar, sekarang Mbak buatin aja. Gue lapar!”
“Tapi janji yah, harus bayar. Gue bisa rugi kalo mas Badai terus-terusan makan disini tapi gak bayar.”
“Iya! gak percayaan banget, sih!”
“Oke mas, tapi bentar, ini lagi buatin buat si Mbak ini,” jawab sang penjual sambil menunjuk Adel menggunakan dagu, yang sedari tadi menjadi penyimak di antara mereka bertiga
Pria itu menatap Adel, dan hanya menaikkan sebelah alisnya. Lalu ia kembali menatap penjual yang sudah selesai menyiapkan pesanan Adel. “Ini Mbak ....”
“Buat gue aja, nanti Mbak, buatin dia yang lain.” Dengan secepat kilat pria itu menyambar piring yang baru saja disodorkan sang penjual.
“Tapi, Mas ....”
Sia-sia penjual terus berteriak tetapi, si cowok tak tahu etika itu telah ngeloyor menuju bangku yang ada di sana. Daripada terjadi perang saudara, mendingan Adel turun tangan. “Sudah-sudah Mbak, gak papa. Sepertinya pria itu sangat lapar. Aku masih bisa menunggu kok.” Ucapnya pelan, walaupun kenyataanya dia sungguh lapar karena belum makan sedari tadi pagi.
“Yang benar Mbak?” tanya penjual itu memastikan ucapan Adel. Dia terlihat merasa bersalah karena ulah pria yang membuat pelanggannya harus menunggu lebih lama lagi.
“Iya Mbak, gak papa. Gue nunggu aja, gak sampai satu jam kan?” ujar Adel tersenyum.
“Baiklah kalau begitu,” balas sang penjual dan kembali memulai aktivitasnya.
“Mbak, kalau boleh tau, itu cowok keluarga Mbak, yah?” tanya Adel tiba-tiba kepo. Dia juga tidak tahu kenapa, tetapi menurut pemantauanya barusan. Terlihat sangat jelas, kalau pria itu sudah kenal dekat dengan sang penjual.
“Dia itu adik sepupu aku, Mbak. Dia itu orangnya bandel banget, tukang rusuh, dan membuat orang tuanya darah tinggi kalau mendengar tingkah dia di sekolah.”
Adel hanya mengangguk. Benar sekali dugaannya, mungkin cowok itu tipikal cowok tukang rusuh. Melihat wajahnya saja sudah membuat orang pengen rusuh dengannya.
Adel tidak memotong pembicaraan orang yang ada di hadapannya, soalnya penjual itu sepertinya masih mau melanjutkan perkataannya. “Dia memang sering makan disini, tapi selalu ngutang. Itupun baru bayar kalau aku ngingatin seperti tadi. Padahal, kalau dia mau bayar, pasti dia bisa, kan mama-papanya termasuk orang-orang terpandang. Tapi gak papa juga sih. Aku cukup lega, setidaknya dia ngutangnya cuma sama saya. Gak ngutang kesana-kemari.”
“Lucu juga yah, Mbak,” respon Adel singkat.
“Maksudnya?”
“Yah ... lucu saja gitu, udah tajir, tapi suka ngutang. Kan bikin gue mau ketawa dengarnya,” ujar Adel sedikit terkekeh.
Penjual pun ikut terkekeh mendengar perkataan Adel, “Mungkin sudah kebiasaan tuh ... Oh, ini Mbak pesanannya sudah siap.” Penjual itu menyodorkan sepiring gudeg kepada Adel. Dengan senang hati Adel menyambutnya dan mulai berjalan menuju meja untuk menikmati pesanannya.
Kali ini dia ingin duduk di samping cowok menyebalkan itu. Sepertinya asyik deh duduk di samping si tukang ngutang, padahal tajir, batin Adel sedikit terkekeh karena geli dengan kata hatinya.
“Ah! Sepertinya duduk di sini cukup nyaman. Duduk di samping si tukang ngutang,” ucap Adel seraya metakkan pantatnya di kursi. Dia memang sengaja membesar-besarkan perkataanya biar cowok itu merasa tersinggung.
Dan benar sekali, cowok yang ada di sampingnya langsung menghentikan suapannya ketika mendengar perkataan Adel. Ia melirik cewek yang ada di sampingnya itu, yang mulai menyuap gudeg miliknya.
“Maksud lo apa?”
“Eh, maaf-maaf, tersinggung yah. Sorry,” balas Adel berusaha setenang mungkin. Walaupun dalam hatinya dia ingin tertawa kencang sekali karena pancingannya berhasil.
“Anak sultan mana lo? Makan di warung kecil gini aja belagu. Emang lo bisa nge-bayarin utang gue.” Cowok itu sedikit kesal dengan ucapan Adel.
“Hus! Kalau makan cuma dari hasil ngutang. Gak usah di besar-besarin, Mas, entar malu lho, kalau didengar orang,” balas Adel sedikit mengejek.
“Lo yah, benar-benar jadi cewek!” Pria itu langsung berdiri dari kursinya. Ia sungguh kesal dengan orang sok tahu yang ada di sampingnya itu.
Adel berusaha tenang. Pria itu benar-benar terkena pancingannya, padahal dia cuma bercanda. “Hus ... makan, kalau gak! Nanti gue yang makan lho. Sekaligus mau tau rasa gudeg hasil utang, enaknya gimana?” perintah Adel berusaha mengambil makanan cowok itu.
Dengan terpaksa cowok itu kembali duduk dan melanjutkan makannya. Enak saja, si cewek menyebalkan yang ada di sampingnya itu menyikat makanannya juga. Tapi kalau di lihat-lihat cewek ini boleh juga. Oke gue akan balas perbuatannya entar, batin Badai tersenyum jahil.
______________
TO BE CONTINUED
HAPPY READING .... ______________ Badai terus melanjutkan suapannya dengan tenang. Begitupun dengan Adel yang sedari tadi diam sambil menikmati gudeg pesaannya dengan lahap. Tidak ada pembicaraan yang terlontar, hanya dentingan sendok yang berbenturan dengan piring berwana putih itu yang sesekali terdengar merdu. “Orang baru yah?” tanya Badai ketika dirinya sudah menyelesaikan makannya. “He-em, baru sedetik yang lalu dilahirkan,” jawab Adel sekenanya. Dia masih melanjutkan makannya tanpa berpaling kearah cowok yang tidak dikenalnya itu. “Oh, pantesan masih ada darahnya dikit,” ucap Badai berusaha biasa saja. Walaupun ia merasa pembicaraan mereka tidak ada manfaatnya sama sekali. “Iya, kamu juga orang baru yah? cangkang lo masih menempel di punggung lo tuh. Kalau boleh tau habitat kamu di mana yah? Di Komodo, apa di Wakatobi?” tanya Adel. Badai terdiam. Dia tidak tahu menjawab pertanyaan cewek a
HAPPY READING .... _____________ Jam telah menunjukkan pukul 19:12 waktu setempat. Semua orang sudah berkumpul di meja makan. Mereka kali ini makan berempat. Karena oma sepertinya belum pulang, sebab mereka belum ke rumah sakit untuk menggantikannya. Di atas meja makan sudah tersedia jenis-jenis makanan khas Yogyakarta ada gudeg, opor ayam dan lainnya. Itu semua Akmal yang beli di warung terdekat, karena pembantunya pulang kampung tiga hari yang lalu. Jadi, kalau mau makan mereka harus beli dulu. Setidaknya, itu terjadi sampai pembantunya kembali pulang. “Silakan makan, lepas ini kita semua ke rumah sakit!” perintah Om Reza memulai mengambil gudeg lalu melahapnya dengan nikmat. Detik selanjutnya, gerakan Reza pun disusul oleh Akmal, dan kedua keponakannya. Tak berselang berapa menit, mereka semua telah menyelesaikan makannya. Adel yang merasa dirinya perempuan, mulai membereskan peralatan makan yang kotor itu
HAPPY READING __________________ Setelah Om Reza, Oma dan Akmal pulang. Adel dan Ilham kembali duduk di sofa yang ada di kamar Ridwan. Adel dan Ilham hanya tersenyum senang ketika melihat Ridwan tengah istirahat di atas brangkar sana. Semoga saja ayahnya itu cepat sembuh. Mengingat kejadian tadi sore di stasiun, ingin rasanya Adel mencabik-cabik mulut cowok brengsek itu. Akan tetapi, semuanya sudah terlambat, apa yang harus dia perbuat sekarang? Tidak ada! Namun, dia sudah berniat untuk membalas perbuatan cowok itu. Raut muka Adel yang berubah menjadi bersungut-sungut memancing Ilham untuk bertanya? “Del, kamu kenapa? Mukanya kusut gitu, kalau udah ngantuk tidur aja.” Ilham mendekati Adel dan duduk lebih dekat dengannya. Menyadari ada yang memperhatikannya, Adel hanya menampilkan smirk-nya, “Kagak ada apa-apa, Kak. Adel belum ngantuk, kalau kakak mau tidur. Tidur aja,” balas Adel. Ilham mengangguk pelan, “Baik
HAPPY READING __________________ Selamat pagi Yogyakarta. Kota sejuta mimpi, kota sejuta harapan dan kota sejuta aktivitas mulai bangun kembali. Gelap remang-remang disertai dengan kokok ayam dari berbagai perkampungan kecil saling beradu merdu untuk membangunkan para pejuang rupiah. Menidurkan hansip malam yang habis berkeliling kompleks, serta mengingatkan sang mentari yang hampir lupa muncul pagi ini. Dari kamar melati – Rumah Sakit Yogyakarta, seorang perempuan terlihat baru bangun dari tempat berlabuhnya tadi malam. Sedangkan kakak semata wayangnya sudah mandi dan bersiap-siap, sejak tadi subuh. Mereka adalah Adel dan Ilham – kakak beradik yang semalam telah menemani Ridwan di rumah sakit. “Pagi Del, gimana tidurnya, nyenyak?” sapa Ilham kepada Adel yang masih menggaruk tengkuknya yang terasa gatal, raut mukanya masih terlihat sayu dan rambutnya yang dibiarkan terurai semalam, sudah seperti habis kesetrum listrik. Adel ha
HAPPY READING __________________ “Ponsel gue!!!” Tiba-tiba, seorang pencopet langsung menyambar ponsel yang ada di tangan Adel, membuatnya berteriak panik. Ilham langsung berlari mengejar pencopet itu, berharap ponsel adiknya masih bisa terselamatkan. Adel mengacak-acak rambutnya frustrasi, bagaimana bisa ia seceroboh itu. Dia hanya mampu menatap tempat menghilangnya Ilham seraya menggigit jari. Ya Allah, semoga saja bang Ilham bisa menyelamatkan ponsel aku! Batin Adel berdo’a. ***** Suasana siang yang begitu panas membuat semua orang yang sedang istirahat dari kerja kantor memilih bercengkerama di salah satu cafe terkenal yang ada di Jalan Diponegoro. Cafe Andalusi, di sana pula terdapat sekelompok anak geng motor dari SMA Sriwijaya sedang bercengkerama ria. Untung sekali, hari ini anak geng motor itu tidak lagi membuat keonaran. Walaupun hanya bercengkerama ria, tetapi pemilik cafe tetap was-was,
HAPPY READING __________________ Hari semakin gelap. Adel dan Ilham kembali ke rumah Om Reza. Bukan untuk bermalam, tetapi untuk pamit karena dia sudah mendapatkan kontrakan murah tak jauh dari rumah sakit. Setelah salam, mereka berdua masuk dan menghampiri Reza yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu – membaca koran. Hari ini Reza pulang lebih cepat. Mungkin karena kerjaan kantor lagi tidak banyak, jadi Reza bisa pulang sebelum adzan magrib berkumandang. “Udah pulang, Om?” tanya Ilham sambil mencium punggung tangan pamannya. Reza mengangguk pelan, “Iya, Nak. Gimana? Udah dapat kontrakan?” tanya Reza ramah seraya menyalami kedua keponakannya. Ilham mengangguk lalu mendaratkan pantatnya di sofa yang ada di depan Reza, begitu pula dengan Adel. Setelah menyalami pamannya, dia langsung duduk di samping Ilham. “Tapi, kenapa sih kalian tidak tinggal di rumah om saja. Kenapa mesti cari kontrakan?” tanya Reza. “Tid
HAPPY READING ***** Malam ini Badai tidak bisa tidur. Dia terus kepikiran dengan kejadian tadi siang di depan cafe. Benar-benar terhina, harga dirinya di injak-injak oleh perempuan sialan itu. Badai tidak jadi ke basecamp Dark Tiger karena kondisi hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik. Saat ini dia hanya duduk di balkon kamarnya, seraya menjabak rambutnya frustrasi. Dia tidak habis pikir jika ada cewek seberani itu menginjak haga dirinya di depan teman-temannya. Jika Dark Tiger tidak mau menerimanya lagi bagaimana? Mengingat kejadian tadi siang. “Oh maaf, gue sudah salah duga. terimah kasih yah,” ujar Ilham meminta maaf dan mengelus bahu Badai pelan. Badai menjadi lega karena merasa permasalahannya dengan cowok yang ada di dekat perempuan sialan itu sudah selesai. Tetapi bukannya selesai, malahan cowok itu mendekatinya dan berbisik ke telinga Badai. “Tapi masalahnya sekarang, lo ngapain adek gue k
HAPPY READING ***** Terasa ada yang kurang pagi ini. Ilham yang tidur lagi selepas shalat subuh tadi, menjadi heran tidak mendapati Adel di kamar. Ilham menjadi bingung dan cemas dibuatnya. Jujur, meskipun dia sedikit kesal kepada adiknya itu, tetapi jikalau dia tidak mengetahui Adel ke mana, dia juga merasa khawatir akan terjadi apa-apa kepada adiknya itu. Ilham mondar-mandir di dalam ruangan, membuat Ridwan yang baru saja bangun dari alam mimpinya menautkan alis, karena bingung. Ada apa geranga, mengapa Ilham mondar-mandir seperti itu? Jikalau memang dia ingin jogging atau berjalan santai sambil olahraga, kenapa tidak keluar saja? “I-Ilham, kenapa mondar-mandir di situ, Nak? Adikmu mana?” tanya Ridwan terbata-bata. Ilham menghentikan aksinya, dan mendekati brangkar Ridwan. Dia berusaha menghilangkan rasa cemasnya, agar Ridwan tidak ikut cemas, tetapi dia tidak bisa. Sekuat tenaga dia melakukannya, tetapi rau
HAPPY READING ***** Tidak terasa sudah banyak jam yang telah terlewati di Yogyakarta. Semuanya berjalan sebagaimana mestinya, suka, duka, senang, dan sedih semuanya sudah dirasakan oleh seorang Adela Andriana. Semuanya memerlukan mental yang kokoh, untungnya masih ada Ilham yang selalu setia membantunya. Meskipun dia sekarang sedikit menjengkelkan, jujur Adel tidak bisa hidup tanpanya. Terdengar sangat lebay emang, tetapi persepsi orang kan berbeda-beda. Dan satu yang pasti, seandainya cerita ini tidak habis kena kontrak, mungkin authornya sudah mengubah judulnya, “I Love my Brother,” tetapi karena beberapa ketentuan lain maka dia akan tetap setia di judul, “Because You’re Mine.” Sudahlah, lebih baik kita masuk ke cerita. Cerita sang putri yang sangat cantik dan pada akhirnya akan bahagia dengan pangeran berkuda. “Akhirnya mereka berdua bahagia selamanya. Tamat!” Terdengar sangat klise bukan? Tanpa mendengar pendapat kalian, Author se
HAPPY READING ***** “Bang!” ucap Adel menatap kakaknya yang sedang berselonjor di kursi ruang tamu. “Apa?” tanya Ilham. “Gak usah banyak tanya, baiknya kamu terusin mijitnya, di bagian sini nih!” lanjutnya memerintah. “Bukan di situ, yah ... ah bukan, di sini!” “Dih, apasih Bang! Emm!!” kesal Adel lalu memijit lengan Ilham kuat-kuat. “Aww! Kamu mau bunuh, Abang?” tanya Ilham mengaduh kesakitan. “Sudah-sudah!” putusnya kemudian lalu mengenyangkan tangan Adel dari lengannya. Bisa-bisa badannya remuk seperti habis ditindas buldozer jika Adel memijatnya seperti itu. “Dasar lo jadi adek, gak ikhlas banget kalau ngebantuin!” lirih Ilham kemudian. “Abisnya sih, Abang menjengkelkan sekali. Kayak bos killer norak tahu gak,” sahut Adel merespon. Sepertinya Adel mendengar perkataan Ilham barusan. Yang lebih kesal sekarang adalah Adel. Enak saja abangnya itu memerintahnya untuk memijitnya, tetapi kalau tidak enak, malah ma
HAPPY READING ***** Kegiatan bersih-bersih masih berlangsung hingga saat ini. Keringat yang sudah menetes berbenturan dengan kuman membuat Adel merasakan ada aroma-aroma yang sangat enak dicium. Yah, bau-bau yang membuat kita ingin menutup hidung agar aroma itu tidak sampai masuk ke dalam indra penciuman dan membuat organ tubuh menjadi pingsan dan tidak melaksanakan kinerjanya dengan baik. Akan tetapi, meskipun demikian. Adel dan Ilham tetap tidak mau menghentikan pekerjaannya yang dirasa masih belum adalah lima puluh persen selesai dalam perenovasian ini. Acara bersih-bersih sudah selesai dan kecoa-kecoa sialan yang sudah mati kini terkumpul di dalam baskom. Akibat semprotan Adel yang secara serampangan membuat semua makhluk yang menciumnya isdet alias berpulang ke Illahi. Sangat miris emang, apalagi keluarga besar kecoa bawah bantal semuanya tidak ada yang tersisa. Mulai dari nenek buyut hingga cucu-cucu yang masih dalam telur dan p
HAPPY READING ***** Sehabis membeli sarapan, Ilham kembali ke kamar ayahnya. Terlihat dia berisul-siul kecil melewati lorong koridor seraya menjinjing kantong kresek berwarna hitam polos disertai aroma-aroma enak yang mengikutinya. Sepertinya Ilham baru saja membeli gudeg dari pedagang kaki lima di depan rumah sakit sana. Memang sih, makanan pedangan kaki lima tidak kalah dengan makanan di restoran, atau bahkan di pedagang kaki lima lebih untung. Sudah enak, sederhana, murah lagi. Tidak sama di restoran, kelihatannya saja mewah, tetapi rasanya, sama. Mewah juga. Bisa membuat rekening jadi limit. Ilham membuka pintu dan melihat Adel sedang main ponsel di sofa. Sedangkan Ridwan sedang di periksa oleh suster. “Nih!” ujar Ilham seraya menyimpan gudeg di atas sofa. “Buat aku?” tanya Adel singkat. “Buat sofa! Yah buat kamu lah,” sungut Ilham membanting dirinya di sofa. Adel hanya mengerucutkan bibirnya. Lalu
HAPPY READING ***** Terasa ada yang kurang pagi ini. Ilham yang tidur lagi selepas shalat subuh tadi, menjadi heran tidak mendapati Adel di kamar. Ilham menjadi bingung dan cemas dibuatnya. Jujur, meskipun dia sedikit kesal kepada adiknya itu, tetapi jikalau dia tidak mengetahui Adel ke mana, dia juga merasa khawatir akan terjadi apa-apa kepada adiknya itu. Ilham mondar-mandir di dalam ruangan, membuat Ridwan yang baru saja bangun dari alam mimpinya menautkan alis, karena bingung. Ada apa geranga, mengapa Ilham mondar-mandir seperti itu? Jikalau memang dia ingin jogging atau berjalan santai sambil olahraga, kenapa tidak keluar saja? “I-Ilham, kenapa mondar-mandir di situ, Nak? Adikmu mana?” tanya Ridwan terbata-bata. Ilham menghentikan aksinya, dan mendekati brangkar Ridwan. Dia berusaha menghilangkan rasa cemasnya, agar Ridwan tidak ikut cemas, tetapi dia tidak bisa. Sekuat tenaga dia melakukannya, tetapi rau
HAPPY READING ***** Malam ini Badai tidak bisa tidur. Dia terus kepikiran dengan kejadian tadi siang di depan cafe. Benar-benar terhina, harga dirinya di injak-injak oleh perempuan sialan itu. Badai tidak jadi ke basecamp Dark Tiger karena kondisi hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik. Saat ini dia hanya duduk di balkon kamarnya, seraya menjabak rambutnya frustrasi. Dia tidak habis pikir jika ada cewek seberani itu menginjak haga dirinya di depan teman-temannya. Jika Dark Tiger tidak mau menerimanya lagi bagaimana? Mengingat kejadian tadi siang. “Oh maaf, gue sudah salah duga. terimah kasih yah,” ujar Ilham meminta maaf dan mengelus bahu Badai pelan. Badai menjadi lega karena merasa permasalahannya dengan cowok yang ada di dekat perempuan sialan itu sudah selesai. Tetapi bukannya selesai, malahan cowok itu mendekatinya dan berbisik ke telinga Badai. “Tapi masalahnya sekarang, lo ngapain adek gue k
HAPPY READING __________________ Hari semakin gelap. Adel dan Ilham kembali ke rumah Om Reza. Bukan untuk bermalam, tetapi untuk pamit karena dia sudah mendapatkan kontrakan murah tak jauh dari rumah sakit. Setelah salam, mereka berdua masuk dan menghampiri Reza yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu – membaca koran. Hari ini Reza pulang lebih cepat. Mungkin karena kerjaan kantor lagi tidak banyak, jadi Reza bisa pulang sebelum adzan magrib berkumandang. “Udah pulang, Om?” tanya Ilham sambil mencium punggung tangan pamannya. Reza mengangguk pelan, “Iya, Nak. Gimana? Udah dapat kontrakan?” tanya Reza ramah seraya menyalami kedua keponakannya. Ilham mengangguk lalu mendaratkan pantatnya di sofa yang ada di depan Reza, begitu pula dengan Adel. Setelah menyalami pamannya, dia langsung duduk di samping Ilham. “Tapi, kenapa sih kalian tidak tinggal di rumah om saja. Kenapa mesti cari kontrakan?” tanya Reza. “Tid
HAPPY READING __________________ “Ponsel gue!!!” Tiba-tiba, seorang pencopet langsung menyambar ponsel yang ada di tangan Adel, membuatnya berteriak panik. Ilham langsung berlari mengejar pencopet itu, berharap ponsel adiknya masih bisa terselamatkan. Adel mengacak-acak rambutnya frustrasi, bagaimana bisa ia seceroboh itu. Dia hanya mampu menatap tempat menghilangnya Ilham seraya menggigit jari. Ya Allah, semoga saja bang Ilham bisa menyelamatkan ponsel aku! Batin Adel berdo’a. ***** Suasana siang yang begitu panas membuat semua orang yang sedang istirahat dari kerja kantor memilih bercengkerama di salah satu cafe terkenal yang ada di Jalan Diponegoro. Cafe Andalusi, di sana pula terdapat sekelompok anak geng motor dari SMA Sriwijaya sedang bercengkerama ria. Untung sekali, hari ini anak geng motor itu tidak lagi membuat keonaran. Walaupun hanya bercengkerama ria, tetapi pemilik cafe tetap was-was,
HAPPY READING __________________ Selamat pagi Yogyakarta. Kota sejuta mimpi, kota sejuta harapan dan kota sejuta aktivitas mulai bangun kembali. Gelap remang-remang disertai dengan kokok ayam dari berbagai perkampungan kecil saling beradu merdu untuk membangunkan para pejuang rupiah. Menidurkan hansip malam yang habis berkeliling kompleks, serta mengingatkan sang mentari yang hampir lupa muncul pagi ini. Dari kamar melati – Rumah Sakit Yogyakarta, seorang perempuan terlihat baru bangun dari tempat berlabuhnya tadi malam. Sedangkan kakak semata wayangnya sudah mandi dan bersiap-siap, sejak tadi subuh. Mereka adalah Adel dan Ilham – kakak beradik yang semalam telah menemani Ridwan di rumah sakit. “Pagi Del, gimana tidurnya, nyenyak?” sapa Ilham kepada Adel yang masih menggaruk tengkuknya yang terasa gatal, raut mukanya masih terlihat sayu dan rambutnya yang dibiarkan terurai semalam, sudah seperti habis kesetrum listrik. Adel ha