HAPPY READING
__________________
Hari semakin gelap. Adel dan Ilham kembali ke rumah Om Reza. Bukan untuk bermalam, tetapi untuk pamit karena dia sudah mendapatkan kontrakan murah tak jauh dari rumah sakit. Setelah salam, mereka berdua masuk dan menghampiri Reza yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu – membaca koran.
Hari ini Reza pulang lebih cepat. Mungkin karena kerjaan kantor lagi tidak banyak, jadi Reza bisa pulang sebelum adzan magrib berkumandang.
“Udah pulang, Om?” tanya Ilham sambil mencium punggung tangan pamannya. Reza mengangguk pelan, “Iya, Nak. Gimana? Udah dapat kontrakan?” tanya Reza ramah seraya menyalami kedua keponakannya.
Ilham mengangguk lalu mendaratkan pantatnya di sofa yang ada di depan Reza, begitu pula dengan Adel. Setelah menyalami pamannya, dia langsung duduk di samping Ilham.
“Tapi, kenapa sih kalian tidak tinggal di rumah om saja. Kenapa mesti cari kontrakan?” tanya Reza.
“Tidak apa-apa om. Lagipula kami masih punya tabungan walaupun sedikit. Kalau kita di sini. Takutnya repotin om lagi,” ujar Ilham.
“Ah, kalian tidak usah berpikir seperti itu. Om tidak merasa keberatan apalagi direpotkan sama kalian,” bantah Reza.
“Tidak apa-apa om. Kami hanya ingin hidup mandiri,” tambah Adel menolak.
Reza menghela napas panjang dan memperbaiki posisi duduknya. “Baiklah kalau itu mau kalian, om Cuma pesan semoga kalian baik-baik di kontrakan. Aku senang, melihat ponakanku sudah bisa mandiri dan memulai hidup baru,” putus Reza.
“Iya, Om. Makasih banyak,” ujar Ilham tersenyum. “Oh iya, Bang Akmal ke mana?” lajutnya bertanya.
“Akmail, keluar beli makanan,” jawab Reza.
Ilham dan Adel mengangguk tanda mengerti. Lalu mereka berdua oamit untuk berbenah diri, karena sehabis shalat magrib nanti mereka akan pergi ke kontrakan barunya, lalu ke Rumah sakit untuk menemani ayahnya.
Reza mengangguk, dia mempersilakan keponakannya untuk berbenah diri, sementara dirinya melanjutkan acara baca korannya.
*****
Adel dan Ilham kini sudah ada di depan kontrakannya. Sang pemilik kontrakan juga sudah ada di sana untuk menyambut kostumer barunya.
“Ini kuncinya, kalau ada yang kurang baik atau rusak, boleh kabari Mbok, yah” ucap pemilik kontrakan itu sebelum pamit. Ilham mengangguk, begitupun Adel yang tersenyum lebar sekali.
Selepas pemilik kontrakan itu pergi. Ilham menghela napas panjang. Dia sangat bersyukur karena menemukan kontrakan yang murah, letaknya strategis dan lumayan bagus. Dan yang paling penting, pemiliknya sangat ramah, itulah yang membuatnya sedikit senang.
Adel dari tadi memperhatikan tingkah kakaknya bertanya, “Kak, kapan kita masuk? Aku sudah pegal nih, menjijing tote bag aku!” gerutunya membuyarkan lamunan Ilham.
“Oh iya, maaf, kakak tadi lagi melamun. Ayo kita masuk!” ajak Ilham menarik koper hitamnya lalu membuka pintu dan terakhir masuk kedalam, serta mengucinya kembali dari dalam.
“Kata si Mbok tadi, kamarnya ada dua, jadi kamu pilih mana, Del?” tanya Ilmah seraya duduk di kursi rotan yang ada di ruang tamu. Adel pun duduk di samping kakaknya, seraya meletakkan tote bagnya di lantai. “Aku yang dekat dapur aja, Kak. biar kalau mau masak atau apa, nanti lebih cepat,” balas Adel.
Ilham mengangguk pelan, “Oke, coba kamu cek kamar yang di dalam, kalau ada apa-apa beri tahu kakak!” perintah Ilham yang langsung diangguki oleh adiknya. Adel bangkit dari kursi, berjalan masuk ke dalam kamar yang berada di samping ruang dapur. Tak lupa juga, ia mengambil koper pink miliknya dan tote bag yang berisi pakaian semalam yang belum sempat ia cuci di rumah Om Reza, karena keburu mencari kontrakan tadi siang.
Adel membuka pintu dan dapat ia lihat kamar kosong dengan kasur lusuh di depannya. Dia menyimpan barangnya di samping pintu dan mulai menghampiri kasur itu dan duduk di bibirnya.
Adel menghela napas pendek lalu mengamati sekelilingnya. Terlihat sangat sederhana, Cuma ada kasur lusuh, bantal, lemari nakas dan lampu. Tetapi meski demikian, Adel sangat bersyukur, masih bisa menemukan kontrakan baru.
Selanjutnya dia memperbaiki kasur itu, beserta bantalnya ia geser, akan tetapi pas dia meraih bantal, tiba-tiba ada kecoa yang keluar dari dasar bantal.
“Akkkhh, Kak Ilham! Tolong! Kecoaaaak!”
Adel teriak histeris serta lompat-lompat di tempat seperti sedang melakukan lompa tali. Sedangkan kecoak itu malah lari ketakuan karena Adel. Mungkin kecoa itu takut budek mendengar teriakan Adel jadi dia cepat bersembunyi.
Ilham berlari dengan tergesa-gesa dan berhenti pas di bibir pintu kamar dengan napas ngos-ngosan, “Ada apa Adel!?” tanyanya terlihat sedikit panik.
“Anu Kak ... Ada Kecoa! Ih ... geli aku.”
Ilham menghela napas. Ya tuhan, ternyata Cuma kecoa, dia kira juga apa. “Ya ampun, Adel, ternyata Cuma kecoa, kakak kira juga apa,” ujar Ilham masuk ke dalam kamar.
“Mana kecoanya?” tanya Ilham.
“Di bawah bantal!” ucap Adel menunjuk ke arah bantal yang sempat di pegangnya barusan.
Ilham mendekati bantal itu dan mulai mengangkatnya. Dan ternayata di bawah sana, terdapat banyak kecoa yang bersarang. Ilham tergidik geli melihat itu dna langsung menjatuhkan bantal itu ke kasur “Akkh, kecoaaa!” teriaknya begitu histeris.
Adel membeo mendengar kakaknya berteriak seperti itu. Teriakan itu sangat menggelitik perutnya. Dengan secepat kilat Ilham menarik tangan Adel, dan menariknya keluar.
Adel yang belum siap hanya bisa terkejut dan mengikuti kakaknya keluar kamar dan terakhir Ilham menutup kamar itu dengan sekali bantingan.
Setelah di luar kamar, mereka baru sadar kalau barang Adel masih di dalam, “Barang kamu mana, Del?” tanya Ilham dengan napas ngos-ngosan.
“Di dalam?” tunjuk Adel ke arah Ilham yang sedang bersandar di dinding.
“Hah!?” Ilham begitu terkejut. Dia langsung melototkan matanya. Dengan secepat yang ia bisa, dia membuka pintu dan mengambil semua barang adiknya dengan sekali tarikan. Untung saja barang Adel di simpannya di dekat pintu jadi Ilham tidak merasa kewalahan.
“Nih, barang kamu. Sepertinya kita perlu renovasi nih kontrakan, ya sudah besok kita akan bersih-bersih setelah dari rumah sakit. Ih kakak geli melihat banyak sekali kecoa di kamar kamu,” ujar Ilham tergidik mengingat kecoa yang ada di bawah bantal tadi.
“Kak! bentar apa tuh di bahu kakak?” tanya Adel mengalihkan fokus Ilham.
“Mana?” tanya Ilham panik.
“Akh, kecoa Kak!” pekik Adel panik, seraya menutup muka seperti tak mampu melihat bagaimana nasib kakaknya jika kecoa itu terus berada di atas bahunya.
“Apa!? Tidaaak!”
Tanpa sadar Ilham melompat-lompat di depan adiknya. Adel yang hanya bercanda hanya bisa terkekeh melihat tingkah konyol kakaknya. “Tapi bo’ong, hayyuk pal pale –pal pale.”
Adel bergoyang seperti main tik tok, membuat Ilham menghentikan tingkah norak yang pernah ia lakukan dan menatap adiknya jengah. Adel ini kurang ajar sekali, sudah tahu dia geli dengan kecoa, malah mengerjainya.
“Huh, sialan kamu, Del. Kakak gak mau bantuin beresin kamar kamu besok. Biarin kamu dipetok kecoa. Biar tahu rasa!” keki Ilham lalu pergi meninggalkan Adel.
Adel terkejut dan mengerutuki dirinya yang tolol. Kalau sampai kakaknya beneran ngambek dan tidak mau membantunya membersihkan kamar. Masak iya dia harus tidur bareng kecoa-kecoa itu. Ya tuhan, amit-amit deh, batin Adel tergidik geli.
“Kak, maafin Adel!” teriaknya kemudian menyusuli Ilham.
*****
TO BE CONTINUED ....
Siap di kunci atau tidak?
HAPPY READING ***** Malam ini Badai tidak bisa tidur. Dia terus kepikiran dengan kejadian tadi siang di depan cafe. Benar-benar terhina, harga dirinya di injak-injak oleh perempuan sialan itu. Badai tidak jadi ke basecamp Dark Tiger karena kondisi hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik. Saat ini dia hanya duduk di balkon kamarnya, seraya menjabak rambutnya frustrasi. Dia tidak habis pikir jika ada cewek seberani itu menginjak haga dirinya di depan teman-temannya. Jika Dark Tiger tidak mau menerimanya lagi bagaimana? Mengingat kejadian tadi siang. “Oh maaf, gue sudah salah duga. terimah kasih yah,” ujar Ilham meminta maaf dan mengelus bahu Badai pelan. Badai menjadi lega karena merasa permasalahannya dengan cowok yang ada di dekat perempuan sialan itu sudah selesai. Tetapi bukannya selesai, malahan cowok itu mendekatinya dan berbisik ke telinga Badai. “Tapi masalahnya sekarang, lo ngapain adek gue k
HAPPY READING ***** Terasa ada yang kurang pagi ini. Ilham yang tidur lagi selepas shalat subuh tadi, menjadi heran tidak mendapati Adel di kamar. Ilham menjadi bingung dan cemas dibuatnya. Jujur, meskipun dia sedikit kesal kepada adiknya itu, tetapi jikalau dia tidak mengetahui Adel ke mana, dia juga merasa khawatir akan terjadi apa-apa kepada adiknya itu. Ilham mondar-mandir di dalam ruangan, membuat Ridwan yang baru saja bangun dari alam mimpinya menautkan alis, karena bingung. Ada apa geranga, mengapa Ilham mondar-mandir seperti itu? Jikalau memang dia ingin jogging atau berjalan santai sambil olahraga, kenapa tidak keluar saja? “I-Ilham, kenapa mondar-mandir di situ, Nak? Adikmu mana?” tanya Ridwan terbata-bata. Ilham menghentikan aksinya, dan mendekati brangkar Ridwan. Dia berusaha menghilangkan rasa cemasnya, agar Ridwan tidak ikut cemas, tetapi dia tidak bisa. Sekuat tenaga dia melakukannya, tetapi rau
HAPPY READING ***** Sehabis membeli sarapan, Ilham kembali ke kamar ayahnya. Terlihat dia berisul-siul kecil melewati lorong koridor seraya menjinjing kantong kresek berwarna hitam polos disertai aroma-aroma enak yang mengikutinya. Sepertinya Ilham baru saja membeli gudeg dari pedagang kaki lima di depan rumah sakit sana. Memang sih, makanan pedangan kaki lima tidak kalah dengan makanan di restoran, atau bahkan di pedagang kaki lima lebih untung. Sudah enak, sederhana, murah lagi. Tidak sama di restoran, kelihatannya saja mewah, tetapi rasanya, sama. Mewah juga. Bisa membuat rekening jadi limit. Ilham membuka pintu dan melihat Adel sedang main ponsel di sofa. Sedangkan Ridwan sedang di periksa oleh suster. “Nih!” ujar Ilham seraya menyimpan gudeg di atas sofa. “Buat aku?” tanya Adel singkat. “Buat sofa! Yah buat kamu lah,” sungut Ilham membanting dirinya di sofa. Adel hanya mengerucutkan bibirnya. Lalu
HAPPY READING ***** Kegiatan bersih-bersih masih berlangsung hingga saat ini. Keringat yang sudah menetes berbenturan dengan kuman membuat Adel merasakan ada aroma-aroma yang sangat enak dicium. Yah, bau-bau yang membuat kita ingin menutup hidung agar aroma itu tidak sampai masuk ke dalam indra penciuman dan membuat organ tubuh menjadi pingsan dan tidak melaksanakan kinerjanya dengan baik. Akan tetapi, meskipun demikian. Adel dan Ilham tetap tidak mau menghentikan pekerjaannya yang dirasa masih belum adalah lima puluh persen selesai dalam perenovasian ini. Acara bersih-bersih sudah selesai dan kecoa-kecoa sialan yang sudah mati kini terkumpul di dalam baskom. Akibat semprotan Adel yang secara serampangan membuat semua makhluk yang menciumnya isdet alias berpulang ke Illahi. Sangat miris emang, apalagi keluarga besar kecoa bawah bantal semuanya tidak ada yang tersisa. Mulai dari nenek buyut hingga cucu-cucu yang masih dalam telur dan p
HAPPY READING ***** “Bang!” ucap Adel menatap kakaknya yang sedang berselonjor di kursi ruang tamu. “Apa?” tanya Ilham. “Gak usah banyak tanya, baiknya kamu terusin mijitnya, di bagian sini nih!” lanjutnya memerintah. “Bukan di situ, yah ... ah bukan, di sini!” “Dih, apasih Bang! Emm!!” kesal Adel lalu memijit lengan Ilham kuat-kuat. “Aww! Kamu mau bunuh, Abang?” tanya Ilham mengaduh kesakitan. “Sudah-sudah!” putusnya kemudian lalu mengenyangkan tangan Adel dari lengannya. Bisa-bisa badannya remuk seperti habis ditindas buldozer jika Adel memijatnya seperti itu. “Dasar lo jadi adek, gak ikhlas banget kalau ngebantuin!” lirih Ilham kemudian. “Abisnya sih, Abang menjengkelkan sekali. Kayak bos killer norak tahu gak,” sahut Adel merespon. Sepertinya Adel mendengar perkataan Ilham barusan. Yang lebih kesal sekarang adalah Adel. Enak saja abangnya itu memerintahnya untuk memijitnya, tetapi kalau tidak enak, malah ma
HAPPY READING ***** Tidak terasa sudah banyak jam yang telah terlewati di Yogyakarta. Semuanya berjalan sebagaimana mestinya, suka, duka, senang, dan sedih semuanya sudah dirasakan oleh seorang Adela Andriana. Semuanya memerlukan mental yang kokoh, untungnya masih ada Ilham yang selalu setia membantunya. Meskipun dia sekarang sedikit menjengkelkan, jujur Adel tidak bisa hidup tanpanya. Terdengar sangat lebay emang, tetapi persepsi orang kan berbeda-beda. Dan satu yang pasti, seandainya cerita ini tidak habis kena kontrak, mungkin authornya sudah mengubah judulnya, “I Love my Brother,” tetapi karena beberapa ketentuan lain maka dia akan tetap setia di judul, “Because You’re Mine.” Sudahlah, lebih baik kita masuk ke cerita. Cerita sang putri yang sangat cantik dan pada akhirnya akan bahagia dengan pangeran berkuda. “Akhirnya mereka berdua bahagia selamanya. Tamat!” Terdengar sangat klise bukan? Tanpa mendengar pendapat kalian, Author se
BISMILLAH __________ “Semuanya sudah dimasukkan kedalam koper? Intinya jangan ada yang tertinggal, karena kita harus berangkat sekarang. Taksi onlinenya udah datang. Jangan sampai kita ketinggalan kereta!” ucap Ilham memperingati Adel yang masih duduk termenung menerawang jauh di depan jendela kamarnya. Namun, sepertinya perempuan itu tidak mengindahkan perkataan abangnya. Dia hanya menatap Gunung Tangkuban Perahu yang jauh di sana. Sementara, kelopak matanya terlihat sembab. Mungkin karena tangisnya semalam sehabis dari pemakaman. Kemarin adalah hari ke tujuh sepeninggal ibunya. Dan rencananya, setelah hari itu mereka akan tinggal di Yogyakarta dan memulai hidup baru di sana. Semoga saja, keputusan yang dia tempuh bisa membuat kehidupannya bahagia di kampung halaman Ridwan – ayahnya. Ilham balik badan dan menatap adik semata wayangnya yang belum bergerak sama sekali. Ia menghela napas pelan dan kembali
HAPPY READING .... ______________ Stasiun Kereta Api Bandung, entah karena sepi penumpang atau karena jadwal keberangkatan kereta tidak ada. Stasiun itu terlihat sedikit sunyi. Bangku-bangku yang biasanya sesak oleh penumpang, terlihat hanya di duduki oleh beberapa orang saja. Sementara, pagi ini telah menunjukkan jam 07:30 waktu setempat tetapi, kenapa masih terlihat sangat sepi? Tidak seperti biasanya, jikalau sudah jam demikian semua orang sudah terlihat mengantri di kursi tunggu. Ilham kembali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu ia mencocokkan dengan tiket keberangkatan kereta api jurusan Bandung – Yogyakarta, yang ada di tangan yang lain. “Sudah setengah delapan, sebentar lagi keretanya datang,” gumam Ilham kembali memperbaiki posisi duduknya yang terasa kurang nyaman. Kemudian, ia melirik ke arah bangku yang diduduki Adel, dan terlihat di sana, cewek itu hanya terdiam dengan
HAPPY READING ***** Tidak terasa sudah banyak jam yang telah terlewati di Yogyakarta. Semuanya berjalan sebagaimana mestinya, suka, duka, senang, dan sedih semuanya sudah dirasakan oleh seorang Adela Andriana. Semuanya memerlukan mental yang kokoh, untungnya masih ada Ilham yang selalu setia membantunya. Meskipun dia sekarang sedikit menjengkelkan, jujur Adel tidak bisa hidup tanpanya. Terdengar sangat lebay emang, tetapi persepsi orang kan berbeda-beda. Dan satu yang pasti, seandainya cerita ini tidak habis kena kontrak, mungkin authornya sudah mengubah judulnya, “I Love my Brother,” tetapi karena beberapa ketentuan lain maka dia akan tetap setia di judul, “Because You’re Mine.” Sudahlah, lebih baik kita masuk ke cerita. Cerita sang putri yang sangat cantik dan pada akhirnya akan bahagia dengan pangeran berkuda. “Akhirnya mereka berdua bahagia selamanya. Tamat!” Terdengar sangat klise bukan? Tanpa mendengar pendapat kalian, Author se
HAPPY READING ***** “Bang!” ucap Adel menatap kakaknya yang sedang berselonjor di kursi ruang tamu. “Apa?” tanya Ilham. “Gak usah banyak tanya, baiknya kamu terusin mijitnya, di bagian sini nih!” lanjutnya memerintah. “Bukan di situ, yah ... ah bukan, di sini!” “Dih, apasih Bang! Emm!!” kesal Adel lalu memijit lengan Ilham kuat-kuat. “Aww! Kamu mau bunuh, Abang?” tanya Ilham mengaduh kesakitan. “Sudah-sudah!” putusnya kemudian lalu mengenyangkan tangan Adel dari lengannya. Bisa-bisa badannya remuk seperti habis ditindas buldozer jika Adel memijatnya seperti itu. “Dasar lo jadi adek, gak ikhlas banget kalau ngebantuin!” lirih Ilham kemudian. “Abisnya sih, Abang menjengkelkan sekali. Kayak bos killer norak tahu gak,” sahut Adel merespon. Sepertinya Adel mendengar perkataan Ilham barusan. Yang lebih kesal sekarang adalah Adel. Enak saja abangnya itu memerintahnya untuk memijitnya, tetapi kalau tidak enak, malah ma
HAPPY READING ***** Kegiatan bersih-bersih masih berlangsung hingga saat ini. Keringat yang sudah menetes berbenturan dengan kuman membuat Adel merasakan ada aroma-aroma yang sangat enak dicium. Yah, bau-bau yang membuat kita ingin menutup hidung agar aroma itu tidak sampai masuk ke dalam indra penciuman dan membuat organ tubuh menjadi pingsan dan tidak melaksanakan kinerjanya dengan baik. Akan tetapi, meskipun demikian. Adel dan Ilham tetap tidak mau menghentikan pekerjaannya yang dirasa masih belum adalah lima puluh persen selesai dalam perenovasian ini. Acara bersih-bersih sudah selesai dan kecoa-kecoa sialan yang sudah mati kini terkumpul di dalam baskom. Akibat semprotan Adel yang secara serampangan membuat semua makhluk yang menciumnya isdet alias berpulang ke Illahi. Sangat miris emang, apalagi keluarga besar kecoa bawah bantal semuanya tidak ada yang tersisa. Mulai dari nenek buyut hingga cucu-cucu yang masih dalam telur dan p
HAPPY READING ***** Sehabis membeli sarapan, Ilham kembali ke kamar ayahnya. Terlihat dia berisul-siul kecil melewati lorong koridor seraya menjinjing kantong kresek berwarna hitam polos disertai aroma-aroma enak yang mengikutinya. Sepertinya Ilham baru saja membeli gudeg dari pedagang kaki lima di depan rumah sakit sana. Memang sih, makanan pedangan kaki lima tidak kalah dengan makanan di restoran, atau bahkan di pedagang kaki lima lebih untung. Sudah enak, sederhana, murah lagi. Tidak sama di restoran, kelihatannya saja mewah, tetapi rasanya, sama. Mewah juga. Bisa membuat rekening jadi limit. Ilham membuka pintu dan melihat Adel sedang main ponsel di sofa. Sedangkan Ridwan sedang di periksa oleh suster. “Nih!” ujar Ilham seraya menyimpan gudeg di atas sofa. “Buat aku?” tanya Adel singkat. “Buat sofa! Yah buat kamu lah,” sungut Ilham membanting dirinya di sofa. Adel hanya mengerucutkan bibirnya. Lalu
HAPPY READING ***** Terasa ada yang kurang pagi ini. Ilham yang tidur lagi selepas shalat subuh tadi, menjadi heran tidak mendapati Adel di kamar. Ilham menjadi bingung dan cemas dibuatnya. Jujur, meskipun dia sedikit kesal kepada adiknya itu, tetapi jikalau dia tidak mengetahui Adel ke mana, dia juga merasa khawatir akan terjadi apa-apa kepada adiknya itu. Ilham mondar-mandir di dalam ruangan, membuat Ridwan yang baru saja bangun dari alam mimpinya menautkan alis, karena bingung. Ada apa geranga, mengapa Ilham mondar-mandir seperti itu? Jikalau memang dia ingin jogging atau berjalan santai sambil olahraga, kenapa tidak keluar saja? “I-Ilham, kenapa mondar-mandir di situ, Nak? Adikmu mana?” tanya Ridwan terbata-bata. Ilham menghentikan aksinya, dan mendekati brangkar Ridwan. Dia berusaha menghilangkan rasa cemasnya, agar Ridwan tidak ikut cemas, tetapi dia tidak bisa. Sekuat tenaga dia melakukannya, tetapi rau
HAPPY READING ***** Malam ini Badai tidak bisa tidur. Dia terus kepikiran dengan kejadian tadi siang di depan cafe. Benar-benar terhina, harga dirinya di injak-injak oleh perempuan sialan itu. Badai tidak jadi ke basecamp Dark Tiger karena kondisi hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik. Saat ini dia hanya duduk di balkon kamarnya, seraya menjabak rambutnya frustrasi. Dia tidak habis pikir jika ada cewek seberani itu menginjak haga dirinya di depan teman-temannya. Jika Dark Tiger tidak mau menerimanya lagi bagaimana? Mengingat kejadian tadi siang. “Oh maaf, gue sudah salah duga. terimah kasih yah,” ujar Ilham meminta maaf dan mengelus bahu Badai pelan. Badai menjadi lega karena merasa permasalahannya dengan cowok yang ada di dekat perempuan sialan itu sudah selesai. Tetapi bukannya selesai, malahan cowok itu mendekatinya dan berbisik ke telinga Badai. “Tapi masalahnya sekarang, lo ngapain adek gue k
HAPPY READING __________________ Hari semakin gelap. Adel dan Ilham kembali ke rumah Om Reza. Bukan untuk bermalam, tetapi untuk pamit karena dia sudah mendapatkan kontrakan murah tak jauh dari rumah sakit. Setelah salam, mereka berdua masuk dan menghampiri Reza yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu – membaca koran. Hari ini Reza pulang lebih cepat. Mungkin karena kerjaan kantor lagi tidak banyak, jadi Reza bisa pulang sebelum adzan magrib berkumandang. “Udah pulang, Om?” tanya Ilham sambil mencium punggung tangan pamannya. Reza mengangguk pelan, “Iya, Nak. Gimana? Udah dapat kontrakan?” tanya Reza ramah seraya menyalami kedua keponakannya. Ilham mengangguk lalu mendaratkan pantatnya di sofa yang ada di depan Reza, begitu pula dengan Adel. Setelah menyalami pamannya, dia langsung duduk di samping Ilham. “Tapi, kenapa sih kalian tidak tinggal di rumah om saja. Kenapa mesti cari kontrakan?” tanya Reza. “Tid
HAPPY READING __________________ “Ponsel gue!!!” Tiba-tiba, seorang pencopet langsung menyambar ponsel yang ada di tangan Adel, membuatnya berteriak panik. Ilham langsung berlari mengejar pencopet itu, berharap ponsel adiknya masih bisa terselamatkan. Adel mengacak-acak rambutnya frustrasi, bagaimana bisa ia seceroboh itu. Dia hanya mampu menatap tempat menghilangnya Ilham seraya menggigit jari. Ya Allah, semoga saja bang Ilham bisa menyelamatkan ponsel aku! Batin Adel berdo’a. ***** Suasana siang yang begitu panas membuat semua orang yang sedang istirahat dari kerja kantor memilih bercengkerama di salah satu cafe terkenal yang ada di Jalan Diponegoro. Cafe Andalusi, di sana pula terdapat sekelompok anak geng motor dari SMA Sriwijaya sedang bercengkerama ria. Untung sekali, hari ini anak geng motor itu tidak lagi membuat keonaran. Walaupun hanya bercengkerama ria, tetapi pemilik cafe tetap was-was,
HAPPY READING __________________ Selamat pagi Yogyakarta. Kota sejuta mimpi, kota sejuta harapan dan kota sejuta aktivitas mulai bangun kembali. Gelap remang-remang disertai dengan kokok ayam dari berbagai perkampungan kecil saling beradu merdu untuk membangunkan para pejuang rupiah. Menidurkan hansip malam yang habis berkeliling kompleks, serta mengingatkan sang mentari yang hampir lupa muncul pagi ini. Dari kamar melati – Rumah Sakit Yogyakarta, seorang perempuan terlihat baru bangun dari tempat berlabuhnya tadi malam. Sedangkan kakak semata wayangnya sudah mandi dan bersiap-siap, sejak tadi subuh. Mereka adalah Adel dan Ilham – kakak beradik yang semalam telah menemani Ridwan di rumah sakit. “Pagi Del, gimana tidurnya, nyenyak?” sapa Ilham kepada Adel yang masih menggaruk tengkuknya yang terasa gatal, raut mukanya masih terlihat sayu dan rambutnya yang dibiarkan terurai semalam, sudah seperti habis kesetrum listrik. Adel ha