HAPPY READING
__________________
Setelah Om Reza, Oma dan Akmal pulang. Adel dan Ilham kembali duduk di sofa yang ada di kamar Ridwan. Adel dan Ilham hanya tersenyum senang ketika melihat Ridwan tengah istirahat di atas brangkar sana. Semoga saja ayahnya itu cepat sembuh.
Mengingat kejadian tadi sore di stasiun, ingin rasanya Adel mencabik-cabik mulut cowok brengsek itu. Akan tetapi, semuanya sudah terlambat, apa yang harus dia perbuat sekarang? Tidak ada! Namun, dia sudah berniat untuk membalas perbuatan cowok itu.
Raut muka Adel yang berubah menjadi bersungut-sungut memancing Ilham untuk bertanya? “Del, kamu kenapa? Mukanya kusut gitu, kalau udah ngantuk tidur aja.” Ilham mendekati Adel dan duduk lebih dekat dengannya.
Menyadari ada yang memperhatikannya, Adel hanya menampilkan smirk-nya, “Kagak ada apa-apa, Kak. Adel belum ngantuk, kalau kakak mau tidur. Tidur aja,” balas Adel.
Ilham mengangguk pelan, “Baiklah, kakak akan tidur lebih awal, kamu juga tidur yah, Del. Besok kita harus mencari kontrakan yang ada di sekitar sini!” perintah Ilham yang langsung diangguki oleh Adel.
Ilham bangkit dan melangkah menuju tas miliknya, mengambil beberapa sarung dan membawanya ke depan sofa. Sedangkan Adel, hanya memperhatikan apa yang di lakukan oleh kakaknya itu.
“Nih, kamu pakai. Untung saja kakak ingat tadi untuk bawa perlengkapan tidur.” Ilham menyodorkan sarung kepada Adel untuk digunakan sebagai pelindung dari angin malam dan gigitan nyamuk.
Adel menerima dan memakainya, “Makasih Kak, maaf tadi Adel lupa bawa.”
“Gak papa, sana gih tidur!” balas Ilham mulai memakai sarung yang ada di tangannya. Kemudian mengambil sarung lagi dari tas miliknya, untuk di jadikan alas tidur.
Ilham menghamparkan sarung itu di lantai, lalu tidur berbantalkan tangan. Adel hanya tersenyum penuh haru, kakaknya sangat menyayanginya, dia rela tidur di lantai, demi dirinya yang dibiarkan tidur di atas sofa empuk.
Netra Adel terus memperhatikan Ilham yang nafasnya sudah mulai beraturan. Melihat semuanya telah sunyi, Adel kemudian balik badan untuk memperbaiki posisi tidur untuk memulai petualangnya di alam mimpi.
*****
Tepat jam 20:00 WIB. Deru motor CBR 1000 terdengar memasuki pekarangan rumah mewah yang ada di pusat kota Yogyakarta. Rumah berlantai empat berarsitektur barat dengan warna krem yang mencolok, tiang-tiang tinggi disertai dengan prabotan yang terbuat dari batu gamping yang dipotong dengan halus menghiasi tiap sudutnya. Serta mutiara-mutiara emas nan bercahaya ketika di malam hari membuatnya terkesan seperti istana.
Itulah kediaman dari Ranendra Arikusuma, pemilik beberapa resort yang ada di Yogyakarta dan kota-kota besar di Indonesia. Pengusaha yang saat ini namanya lagi naik daun.
Badai memarkir motornya, lalu membuka pintu – memasuki rumah tanpa salam. Kondisi rumah terlihat sunyi tidak membuat Badai heran. Setiap dia datang kerumah itu, kondisi sunyi memang selalu menghampiri. Kedua orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaannya, jadi mereka sangat jarang ada di rumah.
Badai berjalan santai menaiki anak tangga, rencananya dia hanya ingin mengambil beberapa baju di kamarnya yang ada di lantai dua, lalu bermalam di basecamp-nya. Dia tidak betah di rumah, karena tidak ada orang yang bisa dia temani, tidak sama dengan basecamp Dark Tiger yang setiap malamnya dipenuhi oleh anak-anak geng.
Tetapi pas di anak tangga kedua langkahnya terhenti, karena tiba-tiba ada yang menyerunya dari arah pintu dapur, “Badai! Stop!”
Badai balik badan dan meliha siapa yang baru saja memanggilnya, jidatnya berlipat-lipat menandakan dia sedang bingung dengan perempuan yang ada di hadapannya. Atas dasar apa? Sehingga kakak sepupunya itu menginjakkan kaki di rumahnya.
“Mbak Iren! Ngapain ke sini, mau nagih utang! Oke bentar gue ambilin di atas.” Badai menerka jika kakak sepupunya datang untuk menangih utangnya taid siang.
“Bukan!” balas Iren bersedekap dada.
“Lalu kalau gak mau nagih utang, ngapain Mbak ada di sini, mau ketemu mama? Kalau mau ketemu mama, Mbak datangnya lain kali aja, mama lagi sibuk di luar, jadi gak ada di rumah. Soalnya gue juga gak ada waktu buat Mbak Iren,” ujar Badai lalu memulai langkahnya menaiki anak tangga.
“Heh dasar! Siapa suruh kamu pergi, Hah! Mbak datang ke sini, karena ada hal penting yang mau Mbak bicarain sama kamu, Badai!” Iren menahan Badai yang seenak jidat pergi tanpa pamit. Dasar anak bandel, sepertinya perlu dibasmi dengan sunligth. Biar lemak membandelnya hilang seketika.
Badai berhenti dan kembali menatap Iren, “Gue gak salah dengar kan, Mbak? Mbak ada urusan dengan aku, sepertinya tidak ada deh, kalau masalah Utang, mbak tenang saja, akan aku bayar kok!” balas Badai santai.
“Ini bukan masalah utang, tetapi masalah perempuan yang di stasiun tadi. Kamu ngaku sama Mbak, kamu ngapain dia?” tegas Mbak Iren seakan ingin menerkam Badai saat itu juga.
“Oh masalah itu, mbak gak usah ikut campur. Itu masalah sepele, gak perlu dibesar-besarin lah,” jawab Badai santai lalu menaiki anak tangga.
Sialan mbak Iren. Kenapa sih dia kepo banget dengan kejadian tadi sih, kalau dia bilang sama mama atau papa, bisa-bisa gue dikurung di rumah, batin Badai kesal.
“Dasar kamu yah, okey kalau kamu tidak mau jujur, Mbak akan laporin ini kepada mama sama papa kamu, biar kamu di kurung di rumah! Mau?” ancam Mbak iren kontan membuat Badai berhenti dan balik badan menatap Mbak Iren dengan tatapan mata melotot. Sudah ia duga sebelumnya, jika sepupu sialannya itu akan berbuat senekat itu.
“Hah! Jangan lah, Mbak! Aku gak mau di kurung!”
“Yah, ini tergantung dari kamu saja. Kamu mau jujur, Mbak tidak akan beri tahu om sama tante, tetapi kalau kamu tidak mau jujur, yah dengan senang hati aku akan bocorin! Bagaimana? Sekarang tergantung sama kamu, kamu maunya apa?” balas Iren dengan senyuman menang.
Badai hanya bisa mendengkus sebal. Ini benar-benar adengan cerita Because You’re Mine yang paling norak, pikirnya. Enak saja Mbak Iren membuatnya memilih sesuatu yang tidak bisa ia pilih salah satunya.
Setelah sekian lama berkutat dengan pikirannya, akhirnya Badai angkat bicara, “Oke, Fine, gue akan cerita sama Mbak! Tapi jangan di sini, di atas di kamar aku saja! Gimana?” tanya Badai.
“Gak masalah, tetapi kalau kamu gak cerita, siap-siap saja di penjara seumur hidup.”
“Iya, gak percayaan banget sih jadi sepupu. Gue Cuma takut kalau tiba-tiba mama atau papa datang dan lihat kita ngobrol di sini, bisa-bisa dia curiga.”
“Baiklah aku ngerti, buruan naik! Kamu kira aku punya banyak waktu buat ngurusin kamu. Tidak! Gado-gado aku belum ada yang jadi, demi nungguin kamu pulang ke rumah!” dumel Iren mulai menaiki anak tangga mengikuti Badai.
“Siapa juga yang nyuruh Mbak untuk ngurusin aku, aku bukan akan kecil lagi mbak!”
“Hus, sudah-sudah. Gak usah banyak ngoceh, mendingan kamu cepat cerita sama Mbak, biar semuanya jadi kelar!”
*****
“Jadi kamu mulai sekarang, gak usah pake basa-basi Mbak mau pulang, ini sudah larut malam!” perintah Mbak Iren sambil duduk di kursi belajar Badai. Sedangkan cowok itu sudah menenggelamkan tubuhnya di sofa empuknya.
Rambutnya diremas perlahan lalu menghela napas panjang, “ Mbak pasti gak percaya cerita ini!” ucap Badai seraya menatap langit-langit kamarnya.
“Gak percaya gimana? Kalau kamu belum cerita sama Mbak, mana Mbak tahu apakah percaya atau tidak dengan cerita kamu!”
“Gue cium dia, Mbak!” singkat Badai.
“HAH! Kamu sudah gila, Badai!” respon Iren sedikit terlonjak dari kursinya. Untung saja kursi itu kuat, jadi tidak roboh ketika Iren hampir jantungan di atasnya.
“Tuh kan Mbak tidak percaya!”
“Hah siapa yang bilang, itu sih Mbak percaya banget!” ledek Iren.
“Dih apaan sih!’ kesal Badai.
“Bukannya kamu itu tukang rusuh. Kalau masalah seperti itu tidak perlu dibilang percaya atau tidak percaya. Sudah pasti percaya lah, kamu kan, emang orangnya mesum! Tetapi masalahnya, kenapa mesti nyium anak orang sih, kalau dia laporin kamu ke polisis atas tindakan asusila, kamu mau di penjara?” tanya Mbak Iren.
“Aku khilaf, Mbak! Ini semua karena aku terlalu gemes sama dia. Dia terlalu cerewet!”
“Khilaf-Khilaf apaan. Kamu emang sukanya main nyerocosin anak orang.” Iren mendengkus mendengar perkataan Badai. Perkataan konyol macam apa itu. Kata khilaf tidak akan pernah terjadi sama orang macam Badai.
“Mbak ini sangat suka mojokin aku. Oke karena Mbak sudah tahu, jadi Mbak pulang sana,” usir Badai bangkit dari kasur.
“Heh, enak saja, ini belum kelar. Sekarang kamu harus pertanggung jawabkan ini semua. Mbak yakin perempuan itu anak baik-baik, tapi kamu nodai dengan mulut kotormu itu. Tetapi kalau kamu tidak mau bertanggung jawab, maka ini semua aku bocorin sama mama – papa kamu!”
Badai mengerang frustrasi, “Akh, Mbak ini suka sekali menyiksaku. Aku sudah cerita sama Mbak, jadi perjanjiannya cukup di situ saja, kok malah di tambah-tambah lagi sih!”
“Heh! Heh! Ingat yah, tidak ada perjanjian yang bilang kalau kamu sudah beritahu kejadian tadi sore sama Mbak, semuanya sudah kelar! Perjanjian Mbak, kalau kamu sudah kelarin masalah ini, baru Mbak tidak kasih tau sama mama-papa kamu!”
“Akh!! Sama saja, oke aku akan tanggung jawab! Puas!?”
“Bagus, laki-laki itu memang harus bertanggung jawab!” pesan Iren tersenyum lega, mendengar Badai bersedia mempertanggung jawabkan semuanya. Bukan tanpa alasan? Iren sudah muak melihat adik sepupunya menjadi tukang onar, cukup sampai di sini saja keonaran yang dia perbuat.
“Nye-nye-nye! Mendingan Mbak pulang deh, aku juga mau ke basecamp!” usir Badai mendorong Iren keluar kamar.
“Oke-oke, tapi ingat harus tanggung jawab!” peringat Iren yang sekarang didorong paksa seperti patung yang tidak mau bergerak.
“Iya-iya!” balas Badai terus mendorong kakak sepupunya, dan terakhir, “Brak!!” dia menutup pintu kamar dengan keras.
*****
TO BE CONTINUED ....
HAPPY READING __________________ Selamat pagi Yogyakarta. Kota sejuta mimpi, kota sejuta harapan dan kota sejuta aktivitas mulai bangun kembali. Gelap remang-remang disertai dengan kokok ayam dari berbagai perkampungan kecil saling beradu merdu untuk membangunkan para pejuang rupiah. Menidurkan hansip malam yang habis berkeliling kompleks, serta mengingatkan sang mentari yang hampir lupa muncul pagi ini. Dari kamar melati – Rumah Sakit Yogyakarta, seorang perempuan terlihat baru bangun dari tempat berlabuhnya tadi malam. Sedangkan kakak semata wayangnya sudah mandi dan bersiap-siap, sejak tadi subuh. Mereka adalah Adel dan Ilham – kakak beradik yang semalam telah menemani Ridwan di rumah sakit. “Pagi Del, gimana tidurnya, nyenyak?” sapa Ilham kepada Adel yang masih menggaruk tengkuknya yang terasa gatal, raut mukanya masih terlihat sayu dan rambutnya yang dibiarkan terurai semalam, sudah seperti habis kesetrum listrik. Adel ha
HAPPY READING __________________ “Ponsel gue!!!” Tiba-tiba, seorang pencopet langsung menyambar ponsel yang ada di tangan Adel, membuatnya berteriak panik. Ilham langsung berlari mengejar pencopet itu, berharap ponsel adiknya masih bisa terselamatkan. Adel mengacak-acak rambutnya frustrasi, bagaimana bisa ia seceroboh itu. Dia hanya mampu menatap tempat menghilangnya Ilham seraya menggigit jari. Ya Allah, semoga saja bang Ilham bisa menyelamatkan ponsel aku! Batin Adel berdo’a. ***** Suasana siang yang begitu panas membuat semua orang yang sedang istirahat dari kerja kantor memilih bercengkerama di salah satu cafe terkenal yang ada di Jalan Diponegoro. Cafe Andalusi, di sana pula terdapat sekelompok anak geng motor dari SMA Sriwijaya sedang bercengkerama ria. Untung sekali, hari ini anak geng motor itu tidak lagi membuat keonaran. Walaupun hanya bercengkerama ria, tetapi pemilik cafe tetap was-was,
HAPPY READING __________________ Hari semakin gelap. Adel dan Ilham kembali ke rumah Om Reza. Bukan untuk bermalam, tetapi untuk pamit karena dia sudah mendapatkan kontrakan murah tak jauh dari rumah sakit. Setelah salam, mereka berdua masuk dan menghampiri Reza yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu – membaca koran. Hari ini Reza pulang lebih cepat. Mungkin karena kerjaan kantor lagi tidak banyak, jadi Reza bisa pulang sebelum adzan magrib berkumandang. “Udah pulang, Om?” tanya Ilham sambil mencium punggung tangan pamannya. Reza mengangguk pelan, “Iya, Nak. Gimana? Udah dapat kontrakan?” tanya Reza ramah seraya menyalami kedua keponakannya. Ilham mengangguk lalu mendaratkan pantatnya di sofa yang ada di depan Reza, begitu pula dengan Adel. Setelah menyalami pamannya, dia langsung duduk di samping Ilham. “Tapi, kenapa sih kalian tidak tinggal di rumah om saja. Kenapa mesti cari kontrakan?” tanya Reza. “Tid
HAPPY READING ***** Malam ini Badai tidak bisa tidur. Dia terus kepikiran dengan kejadian tadi siang di depan cafe. Benar-benar terhina, harga dirinya di injak-injak oleh perempuan sialan itu. Badai tidak jadi ke basecamp Dark Tiger karena kondisi hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik. Saat ini dia hanya duduk di balkon kamarnya, seraya menjabak rambutnya frustrasi. Dia tidak habis pikir jika ada cewek seberani itu menginjak haga dirinya di depan teman-temannya. Jika Dark Tiger tidak mau menerimanya lagi bagaimana? Mengingat kejadian tadi siang. “Oh maaf, gue sudah salah duga. terimah kasih yah,” ujar Ilham meminta maaf dan mengelus bahu Badai pelan. Badai menjadi lega karena merasa permasalahannya dengan cowok yang ada di dekat perempuan sialan itu sudah selesai. Tetapi bukannya selesai, malahan cowok itu mendekatinya dan berbisik ke telinga Badai. “Tapi masalahnya sekarang, lo ngapain adek gue k
HAPPY READING ***** Terasa ada yang kurang pagi ini. Ilham yang tidur lagi selepas shalat subuh tadi, menjadi heran tidak mendapati Adel di kamar. Ilham menjadi bingung dan cemas dibuatnya. Jujur, meskipun dia sedikit kesal kepada adiknya itu, tetapi jikalau dia tidak mengetahui Adel ke mana, dia juga merasa khawatir akan terjadi apa-apa kepada adiknya itu. Ilham mondar-mandir di dalam ruangan, membuat Ridwan yang baru saja bangun dari alam mimpinya menautkan alis, karena bingung. Ada apa geranga, mengapa Ilham mondar-mandir seperti itu? Jikalau memang dia ingin jogging atau berjalan santai sambil olahraga, kenapa tidak keluar saja? “I-Ilham, kenapa mondar-mandir di situ, Nak? Adikmu mana?” tanya Ridwan terbata-bata. Ilham menghentikan aksinya, dan mendekati brangkar Ridwan. Dia berusaha menghilangkan rasa cemasnya, agar Ridwan tidak ikut cemas, tetapi dia tidak bisa. Sekuat tenaga dia melakukannya, tetapi rau
HAPPY READING ***** Sehabis membeli sarapan, Ilham kembali ke kamar ayahnya. Terlihat dia berisul-siul kecil melewati lorong koridor seraya menjinjing kantong kresek berwarna hitam polos disertai aroma-aroma enak yang mengikutinya. Sepertinya Ilham baru saja membeli gudeg dari pedagang kaki lima di depan rumah sakit sana. Memang sih, makanan pedangan kaki lima tidak kalah dengan makanan di restoran, atau bahkan di pedagang kaki lima lebih untung. Sudah enak, sederhana, murah lagi. Tidak sama di restoran, kelihatannya saja mewah, tetapi rasanya, sama. Mewah juga. Bisa membuat rekening jadi limit. Ilham membuka pintu dan melihat Adel sedang main ponsel di sofa. Sedangkan Ridwan sedang di periksa oleh suster. “Nih!” ujar Ilham seraya menyimpan gudeg di atas sofa. “Buat aku?” tanya Adel singkat. “Buat sofa! Yah buat kamu lah,” sungut Ilham membanting dirinya di sofa. Adel hanya mengerucutkan bibirnya. Lalu
HAPPY READING ***** Kegiatan bersih-bersih masih berlangsung hingga saat ini. Keringat yang sudah menetes berbenturan dengan kuman membuat Adel merasakan ada aroma-aroma yang sangat enak dicium. Yah, bau-bau yang membuat kita ingin menutup hidung agar aroma itu tidak sampai masuk ke dalam indra penciuman dan membuat organ tubuh menjadi pingsan dan tidak melaksanakan kinerjanya dengan baik. Akan tetapi, meskipun demikian. Adel dan Ilham tetap tidak mau menghentikan pekerjaannya yang dirasa masih belum adalah lima puluh persen selesai dalam perenovasian ini. Acara bersih-bersih sudah selesai dan kecoa-kecoa sialan yang sudah mati kini terkumpul di dalam baskom. Akibat semprotan Adel yang secara serampangan membuat semua makhluk yang menciumnya isdet alias berpulang ke Illahi. Sangat miris emang, apalagi keluarga besar kecoa bawah bantal semuanya tidak ada yang tersisa. Mulai dari nenek buyut hingga cucu-cucu yang masih dalam telur dan p
HAPPY READING ***** “Bang!” ucap Adel menatap kakaknya yang sedang berselonjor di kursi ruang tamu. “Apa?” tanya Ilham. “Gak usah banyak tanya, baiknya kamu terusin mijitnya, di bagian sini nih!” lanjutnya memerintah. “Bukan di situ, yah ... ah bukan, di sini!” “Dih, apasih Bang! Emm!!” kesal Adel lalu memijit lengan Ilham kuat-kuat. “Aww! Kamu mau bunuh, Abang?” tanya Ilham mengaduh kesakitan. “Sudah-sudah!” putusnya kemudian lalu mengenyangkan tangan Adel dari lengannya. Bisa-bisa badannya remuk seperti habis ditindas buldozer jika Adel memijatnya seperti itu. “Dasar lo jadi adek, gak ikhlas banget kalau ngebantuin!” lirih Ilham kemudian. “Abisnya sih, Abang menjengkelkan sekali. Kayak bos killer norak tahu gak,” sahut Adel merespon. Sepertinya Adel mendengar perkataan Ilham barusan. Yang lebih kesal sekarang adalah Adel. Enak saja abangnya itu memerintahnya untuk memijitnya, tetapi kalau tidak enak, malah ma