Di Paviliun Mingyue Mudan, Selir Agung terbenam dalam keputusasaan. Wajahnya yang cantik tampak lesu, dan matanya penuh lingkaran hitam menandakan bahwa ia tidak tidur semalaman. Air matanya tak tertahankan. Jeritan putrinya, Shen Ling Long, mengisi setiap sudut ruangan, menggema seperti melodi duka yang tak kunjung berhenti. Aroma bunga peony layu dan obat-obatan menyelimuti udara, menciptakan suasana yang menyesakkan, sementara rasa sakitnya semakin menguat. Dalam pikirannya yang kacau, Selir Agung berharap bisa menggantikan penderitaan putrinya.Ketika suasana semakin mencekam, suara Kaisar tiba-tiba memecah keheningan. "Tenanglah, selirku. Aku telah menemukan tabib yang andal untuk putri kita," katanya, menggenggam tangan Selir Agung dengan lembut. Sentuhan hangatnya menciptakan ilusi harapan dalam kegelapan, meskipun ketegangan masih menyelimuti mereka. "Aku yakin Ling Long kita pasti bisa bangun," lanjutnya, tatapannya beralih ke Wu Yan yang berdiri dengan tenang di sampingnya.
Sementara itu, Zhaoyang dan Cui Xing melakukan perjalanan menuju Huanxi, melintasi pedesaan kecil dan sungai yang berkelok-kelok. Setelah perjalanan panjang dari Dacang, mereka akhirnya tiba di Desa Linhua, sebuah desa terpencil yang seakan-akan terputus dari dunia luar. Jarak ribuan kilometer memisahkan mereka dari Kota Jianghu. Sepanjang perjalanan, suasana di antara mereka terasa berat—Zhaoyang tetap membisu, meskipun Cui Xing beberapa kali mencoba membuka percakapan. Keheningan itu menegaskan jarak emosional di antara mereka.Sikap dingin Zhaoyang terasa hampir tak terjangkau, seolah-olah ia menarik diri ke dalam benteng pertahanan yang sulit dihancurkan. Cui Xing bisa merasakan ketegangan itu, tetapi tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam pikirannya. Kekesalan Zhaoyang terhadap dirinya mungkin sudah cukup jelas. Dia tahu Zhaoyang tak pernah setuju dirinya ikut dalam misi ini. Baginya, perjalanan ke Huanxi penuh bahaya, dan Cui Xing mungkin hanyalah tambahan beban yang tidak p
Setibanya di barak militer ayahandanya, Shangguan Mai yang baru pulang dari perbatasan utara langsung memenggal sepuluh kepala prajurit. Mereka semua terlibat dalam pembunuhan Pangeran kedelapan. Namun, dari sepuluh prajurit yang sudah diinterogasi dan dipenggal tidak ada yang mau bicara atau mengaku siapa dalang di balik kematian Pangeran kedelapan. Mereka memilih untuk tetap bungkam dan mati di tangan Shangguan Mai daripada harus mengungkapkan siapa tuan mereka. Masalah ini sungguh membuat Shangguan Mai frustrasi karena jika ia tidak berhasil menemukan siapa dalang di balik kematian Pangeran kedelapan, ayahandanya akan menjadi tersangka utama karena sepuluh prajurit itu adalah orang kepercayaan ayahandanya. "Nona! Nona!" seru pelayan Shangguan Mai dengan napas tersengal-sengal setelah berlari jauh. Wanita muda itu terlihat gelisah dan wajahnya pucat sekali. "Pergilah dari sini, Nona!" desaknya dengan bibir gemetar. "Nona, jangan khawatir, aku yang akan menanggung semua kesala
"Sungguh, ibunda lebih baik mati daripada harus melihatmu menikah dengan pria yang berumur pendek. Jadi jangan lakukan hal ini untuk menyelamatkan ibunda, Nak," pinta ibunda Shangguan Mai dengan menangis tersedu-sedu saat melihat putri kesayangannya berdandan dan bersiap untuk pergi ke istana. Shangguan Mai langsung berlutut dan menggenggam tangan ibundanya dengan lembut, lalu menatapnya dengan sendu. Panglima cantik itu berusaha untuk menenangkan ibundanya yang sejak tadi menangis dan merengek padanya agar tidak pergi ke istana. "Aku hanya akan menikah bukan pergi berperang. Kenapa Ibunda harus khawatir seperti ini? Padahal selama ini Ibunda selalu melihatku pulang dengan tubuh penuh darah." Shangguan Mai memeluk ibundanya dengan erat sambil menghapus air matanya. "Kenapa hari ini Ibunda malah tidak yakin kalau aku akan baik-baik saja? Padahal aku tidak sedang menghadapi situasi yang serius seperti biasanya." Ucapan Shangguan Mai ini malah semakin membuat ibundanya menangis.
"Salam, Tuanku. Utusan istana sudah tiba untuk menjemput Tuan. Hamba harap Tuan cepat bersiap untuk pergi ke istana," ucap Jia Yue memberi hormat pada Pangeran kesembilan. "Ah, kenapa mereka harus datang secepat ini padahal aku masih ingin istirahat sebentar lagi," keluh Pangeran kesembilan yang sedang bersantai di atas pohon persik. "Jika nanti mereka datang untuk mencariku, katakan saja kalau aku sedang pergi bermain dan sulit untuk ditemukan," pinta Pangeran Xiao Zhi langsung membuat Jia Yue menatapnya dengan ragu. "Apa Tuanku ingin membatalkan pernikahan ini?" tanya Jia Yue dengan nada sedikit senang karena sebenarnya dia tidak terlalu suka jika tuannya menikah dengan Shangguan Mai. Dia masih khawatir jika Shangguan Mai akan menggangu rencana tuannya untuk mencari pembunuh Permaisuri. Dengan setengah malas, Pangeran kesembilan memetik buah persik yang tergantung di atas kepalanya lalu menggigitnya dengan perlahan. Getaran air dari buah persik itu segera merembes ke bibirny
Sudah setengah hari Shangguan Mai menunggu kedatangan Pangeran kesembilan, tetapi sampai sekarang tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Entah, pangeran bodoh itu akan datang atau tidak hari ini, karena masalah ini, banyak orang yang mulai membicarakan Shangguan Mai. Kata mereka, nasib Shangguan Mai menjadi sial begini karena dia terlalu sombong dan sering menantang takdirnya sebagai wanita. Bahkan sebagian dari mereka mulai berani menghina dan menatapnya dengan penuh jijik karena sekarang Shangguan Mai hanyalah wanita biasa yang akan dikorbankan untuk mendampingi pangeran bodoh yang penyakitan. Jadi mereka merasa tidak perlu menghormati Shangguan Mai lagi sebagai gadis bangsawan karena hidupnya sekarang dianggap lebih rendah daripada seorang pelayan. Namun, Shangguan Mai tidak peduli dengan perkataan mereka dan tetap menunggu kedatangan Pangeran kesembilan karena sebenarnya dia bersedia untuk menikah dengan Pangeran kesembilan bukan semata-mata untuk membersihkan nama ayahandanya saj
Setelah pesta pernikahan yang cukup melelahkan dan penuh drama itu selesai, Shangguan Mai dan Pangeran kesembilan langsung diantar ke kamar pengantin untuk menikmati malam pertama bersama. Namun, dua pelayan yang mengantar ke sana langsung dibuat tertawa oleh tingkah laku Pangeran Xiao Zhi yang konyol.Pria bodoh itu segera melahap arak pengantin dalam satu tegukan. Kemudian ia dengan rakus memakan kacang yang tersebar di ranjang. Tindakan konyol dan memalukan ini tidak mencerminkan statusnya sebagai seorang pangeran yang terpandang, melainkan sebagai orang bodoh yang hanya dilahirkan di istana.Ah, malang sekali nasib Shangguan Mai ini harus menikahi orang bodoh seperti ini. Padahal dia adalah pahlawan yang paling ditakuti di perbatasan utara. Namun, setelah kembali ke ibukota malah mendapatkan kemalangan seperti ini.Dua pelayan yang menyaksikan hal itu merasa bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan Shangguan Mai tidaklah adil. Wanita luar biasa seperti dia seharusnya menikah dengan
Sesampainya di Paviliun Sedayu, Shangguan Mai dengan cepat melumpuhkan puluhan prajurit yang berjaga di sana. Bahkan wanita kasar itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Su Yan Li untuk membantunya. Jika tidak diingatkan oleh Su Yan Li, mungkin saja dia sudah menewaskan para prajurit itu karena dia sudah kehilangan kendali. Shangguan Mai lupa bahwa dia bukan sedang dalam pertempuran."Berhati-hatilah jangan sampai kamu membunuh mereka semua. Kalau tidak, kamu akan merepotkanku nanti," teriak Su Yan Li yang memperingatkan Shangguan Mai untuk tidak terlalu ganas pada mereka. "Diamlah, jangan mengangguku yang sedang bersenang-senang. Kalau tidak, aku akan melempar pisau ini ke arahmu lagi," ucap Shangguan Mai yang justru mengancam Su Yan Li dan tetap menyerang mereka dengan ganas agar cepat bisa masuk ke Paviliun Sedayu. Sementara Pangeran Xiao Zhi yang sudah masuk duluan ke Paviliun Sedayu untuk mencari surat yang ditinggalkan oleh Pangeran kedelapan sebelum kematiannya, seger
Sementara itu, Zhaoyang dan Cui Xing melakukan perjalanan menuju Huanxi, melintasi pedesaan kecil dan sungai yang berkelok-kelok. Setelah perjalanan panjang dari Dacang, mereka akhirnya tiba di Desa Linhua, sebuah desa terpencil yang seakan-akan terputus dari dunia luar. Jarak ribuan kilometer memisahkan mereka dari Kota Jianghu. Sepanjang perjalanan, suasana di antara mereka terasa berat—Zhaoyang tetap membisu, meskipun Cui Xing beberapa kali mencoba membuka percakapan. Keheningan itu menegaskan jarak emosional di antara mereka.Sikap dingin Zhaoyang terasa hampir tak terjangkau, seolah-olah ia menarik diri ke dalam benteng pertahanan yang sulit dihancurkan. Cui Xing bisa merasakan ketegangan itu, tetapi tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam pikirannya. Kekesalan Zhaoyang terhadap dirinya mungkin sudah cukup jelas. Dia tahu Zhaoyang tak pernah setuju dirinya ikut dalam misi ini. Baginya, perjalanan ke Huanxi penuh bahaya, dan Cui Xing mungkin hanyalah tambahan beban yang tidak p
Di Paviliun Mingyue Mudan, Selir Agung terbenam dalam keputusasaan. Wajahnya yang cantik tampak lesu, dan matanya penuh lingkaran hitam menandakan bahwa ia tidak tidur semalaman. Air matanya tak tertahankan. Jeritan putrinya, Shen Ling Long, mengisi setiap sudut ruangan, menggema seperti melodi duka yang tak kunjung berhenti. Aroma bunga peony layu dan obat-obatan menyelimuti udara, menciptakan suasana yang menyesakkan, sementara rasa sakitnya semakin menguat. Dalam pikirannya yang kacau, Selir Agung berharap bisa menggantikan penderitaan putrinya.Ketika suasana semakin mencekam, suara Kaisar tiba-tiba memecah keheningan. "Tenanglah, selirku. Aku telah menemukan tabib yang andal untuk putri kita," katanya, menggenggam tangan Selir Agung dengan lembut. Sentuhan hangatnya menciptakan ilusi harapan dalam kegelapan, meskipun ketegangan masih menyelimuti mereka. "Aku yakin Ling Long kita pasti bisa bangun," lanjutnya, tatapannya beralih ke Wu Yan yang berdiri dengan tenang di sampingnya.
Kondisi di Huanxi kini terasa seperti medan pertempuran sunyi, bukan dengan senjata tajam, melainkan dengan pikiran dan ketegangan yang tak nampak. Setiap tabib yang melangkah maju untuk mencoba mengobati Putri Ling Long menghadapi ujian yang lebih dari sekadar keahlian—nyawa mereka dipertaruhkan. Di sekitar istana, angin dingin semakin berdesir, membawa serpihan salju yang menari di udara, namun tak mampu menyelimuti suasana mengerikan. Aroma herba yang tajam dan asap dupa samar-samar menyusup ke udara, bercampur dengan bau darah segar dari mereka yang dihukum. Puluhan tabib telah gagal. Wu Yan tetap berdiri diam di tengah aula istana yang beku, tubuhnya tegak meski kaki lainnya gemetar. Ia menyaksikan tangan-tangan yang dulu piawai meracik ramuan kini tergeletak di tanah, beku oleh salju dan kehilangan fungsi. Rasa takut dan panik merambat dalam kerumunan, tetapi Wu Yan tetap tenang. Dia menutup matanya, membiarkan hawa dingin merambat di kulit wajahnya, salju yang lembut menyentu
Keesokan paginya, ibukota Huanxi diselimuti musim dingin yang menggigit. Langit kelabu menekan rendah di atas kota, seakan-akan mendekatkan berat musim dingin kepada setiap orang di bawahnya. Udara dingin yang begitu tajam seakan menampar wajah siapa saja yang berani keluar. Setiap napas yang dihembuskan berubah menjadi kabut tipis yang melayang sejenak sebelum hilang di udara beku. Butiran salju turun perlahan, tapi pasti, menumpuk seperti selimut putih tebal di jalanan ibukota yang kasar, berderit di bawah kaki para pejalan kaki yang terburu-buru.Sisa-sisa perayaan beberapa hari lalu terlihat suram. Lentera-lentera merah yang dulu menyala terang kini tergantung lemas di rumah-rumah warga, terbungkus salju dan angin, cahayanya padam. Jejak-jejak dekorasi dan kertas perayaan yang tersisa terkubur di bawah lapisan salju, mengaburkan kenangan kegembiraan yang kini terasa seperti kenangan jauh yang dingin. Di pasar raya yang biasanya ramai, derit roda gerobak yang ditarik pelan terdenga
Dua hari kemudian, di Kerajaan Huanxi... Di dalam Istana Jinhe, Kaisar Shengzong duduk terpaku di kursinya, terjebak dalam kenangan pahit yang menyelimuti ruangan dalam kabut kelabu. Lampu-lampu lentera bergetar lembut, memantulkan cahaya samar yang menari di dinding batu marmer putih. Aroma dupa cendana yang terbakar bercampur dengan wewangian bunga kering, menghidupkan kembali memori akan cinta yang telah hilang. Di hadapannya, sebuah lukisan besar menggantung, memancarkan kesedihan yang mendalam—potret Wei Yong Luo, wanita yang ia anugerahi gelar Rengsheng karena telah menerangi relung hatinya dengan kelembutan dan cinta. Kecantikannya benar-benar abadi dalam warna-warna lembut, seolah senyum manisnya masih dapat terasa meski ia telah lama pergi. Kaisar memejamkan mata sejenak, membiarkan bayangan suara lembut Ratu Rengsheng berbisik di telinganya, seolah menenangkan jiwanya yang resah. Namun, angan-angan itu segera sirna, tergantikan oleh dentingan keras arak saat gelas yang ia
Sementara di tempat yang jauh, Yu Wen terhuyung, setiap langkahnya terasa berat. Telinganya berdengung, ribuan jeritan terus bergaung. Melodi seruling Zhaoyang masih merasuki, siap menelan kesadarannya. Racun menggerogoti tubuhnya, menimbulkan rasa sakit tajam di perut dan bahunya. Setiap detik terasa seperti belati, menusuk lebih dalam. Luka yang menganga, bekas belati Cui Xing, berdetak seirama dengan denyut nadi yang semakin lemah. Dengan napas yang tersengal, Yu Wen terjatuh di atas ranjang, punggungnya terasa dingin, seolah kasur yang seharusnya memberi kenyamanan malah menjadi batu dingin yang menusuk tulang-tulangnya.Cahaya rembulan menembus jendela jeruji Paviliun Fengyu, menorehkan garis perak di lantai yang gelap. Sinarnya begitu redup, terasa dingin dan jauh, seakan hanya menambah kekosongan hatinya. Di dalam ruang sunyi itu, hanya desahan napasnya yang terdengar, begitu berat dan terputus-putus. Hatinya tercekam oleh ketakutan yang merayap, dingin seperti es yang menembu
Di bawah cahaya rembulan yang semakin meredup, bayang-bayang gelap menyelimuti reruntuhan Kota Dacang. Udara malam terasa tebal, Cui Xing memangku tubuh Zhaoyang, tangannya gemetar tiap kali ia membenarkan posisinya, hatinya dipenuhi oleh kecemasan. Ia terus mengisap dan mengeluarkan racun dari punggung Zhaoyang, merasakan rasa asam dan pahit yang menusuk di tenggorokannya, seolah ludah beracun yang membara. Cui Xing terjebak dalam ketegangan yang menakutkan. Setiap kali ia mengisap racun dari tubuh Zhaoyang, waktu seolah terhenti, namun pikirannya melesat cepat. “Apa yang akan kulakukan jika aku gagal?” Sebuah suara kecil berbisik dalam hatinya, merayap ke dalam jiwanya. “Apa aku sanggup untuk melihatmu tiada?” Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan napasnya semakin cepat. Perasaan takut yang mencekam mengalahkan keteguhan hatinya. Cui Xing tahu saat-saat terakhir itu semakin mendekat—racun yang diserapnya kini menggerogoti tubuhnya, seperti ular berbisa yang menyusup ke dalam
"Berhenti menyesalinya, Paman. Wanita itu memang pantas mati," ucap Shen Ying dengan dingin, tatapan matanya yang tajam tak beranjak dari kepala Bibi Ling yang tergeletak di lantai batu yang basah oleh darah.Bau anyir darah memenuhi udara, bercampur dengan aroma lembap penjara bawah tanah Paviliun Bayangan. Kepala Bibi Ling yang tergolek itu tampak mengerikan, dengan mata yang masih terbuka lebar, seolah kematian datang terlalu cepat sebelum ia sempat merasakan penderitaan yang seutuhnya. Mu Qing Cheng duduk di sampingnya, tangan yang menggenggam pedang masih sedikit gemetar, meskipun darah di bilah pedangnya sudah mulai mengering. Cahaya obor yang temaram memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding, menciptakan ilusi bayang-bayang gelap yang terus bergetar. Tatapan Mu Qing Cheng gelisah, menyadari bahwa perkataan Wu Yan mungkin benar, dengan kematian Bibi Ling, mereka mungkin telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih banyak.Shen Ying melangkah maju, merasakan
Di saat yang sama, di sudut lain dunia, Shen Ying berdiri di bawah bayangan penjara bawah tanah Paviliun Bayangan yang suram. Udara di sekelilingnya terasa tebal, dipenuhi kelembaban dari dinding-dinding lembab yang mulai ditumbuhi lumut. Sorotan matanya masih sama seperti biasanya; dingin dan hampa, namun gejolak hatinya berbeda. Shen Ying mulai merasakan kebencian yang mendalam, meski ia tak tahu perasaan pahit apa yang telah muncul dalam hatinya sekarang. Di hadapannya, pelayan tua yang dulu melayani ibunya gemetar, kulitnya yang keriput seakan semakin pucat di bawah tekanan tangan dingin Shen Ying. Aroma pil kejujuran yang ia genggam memenuhi udara, bercampur dengan aroma debu dan kesedihan yang sudah lama menetap di tempat itu.Shen Ying menggenggam rahang wanita tua itu dengan kasar, suaranya dingin namun penuh amarah yang tertahan, "Kau akan bicara, entah kau mau atau tidak." Napasnya terasa panas di udara yang lembap, dan gemetar di tangannya terasa jelas, bukan karena kera