Di dapur minimalis tampak dua orang ibu sedang sibuk dengan peralatan kue. Bertha, wanita gemuk berambut ikal warna merah kecokelatan, sedang mengaduk adonan tepung dengan mixer.
Grace, wanita yang berdiri di samping Bertha, sedang mengiris strawberry yang baru dipetik suaminya dari kebun. Tiba-tiba terlintas bayangan seorang gadis yang sangat dirindukannya. Hatinya terasa sesak. Bayangan gadis itu kembali terhubung pada kejadian beberapa bulan yang lalu sebelum gadis itu pergi dari rumah.
Greta menarik koper keluar dari kamar. Langkahnya terhenti saat melihat orang tuanya sedang berbincang di teras depan bersama Walter dan Bertha, paman dan bibinya.
"Dad, Mom, Aunty, Uncle, aku mau pergi."
Obrolan empat orang tersebut terjeda, lalu menoleh ke arah Greta. Mereka saling bertukar tatap, keheranan.
"Kau mau pergi ke mana, Gre?" tanya Grace seraya bangkit dari kursi dan menghampiri Greta. Dia menatap penampilan Greta, dari atas hingga bawah, yang begitu rapi dengan kaus putih, jeans panjang warna hitam, dan kardigan cokelat. Dari penampilan seperti itu ditambah dengan koper yang dibawa, Grace bisa menyimpulkan bahwa Greta akan pergi jauh.
"Kau ... tidak berniat meninggalkan Mom, kan?" Suara Grace mengalun lirih. Ada rasa tidak rela bercampur cemas saat melihat anak semata mata wayang akan pergi. Wajahnya tampak sendu menanti jawaban Greta.
Greta pun sebenarnya tidak ingin pergi jauh, apalagi meninggalkan rumah dan ibunya. Bahkan, saat kuliah dulu, dia memilih kampus yang tidak terlalu jauh dari rumah agar bisa pulang setiap hari. Kepalanya sedikit tertunduk. "Maafkan aku, Mom."
Warner ikut berdiri di samping istrinya. "Mau pergi mencari Mark?" tebaknya, tepat sasaran. Meski belum ada jawaban dari Greta, dia sudah yakin tebakannya itu tidak meleset. Pasalnya, kemarin sore dia mendengar percakapan antara Greta dan seseorang lewat sambungan telepon yang memberi tahu tentang keberadaan Mark. Warner memang terkesan garang. Namun, dari lubuk hati yang paling dalam, dia sangat menyayangi Greta, melebihi dirinya sendiri.
Greta tidak bisa berkelit. Tebakan Warner memang benar. "Iya, Dad," jawabnya, pelan. Lagi-lagi, dia tertunduk. Meski tidak menatap ayahnya langsung, dia bisa merasakan tatapan ayahnya yang berkilat emosi.
Warner maju selangkah. "Apa yang kau harapkan dari pria seperti dia, Gre? Dia hanya pria pengangguran, tidak punya tata krama, dan hanya memanfaatkan keluguanmu. Seharusnya, kau buka mata hatimu lebar-lebar, Gre! Dia bukan pria yang baik untuk masa depanmu. Kau sudah terbuai oleh mulut manis pria itu. Sadarlah! Tanpa pria itu, masa depanmu juga bisa lebih baik."
Greta sudah terlampau cinta mati kepada Mark hingga mengabaikan nasihat ayahnya. "Aku sangat mencintainya, Dad. Aku yakin dia adalah jodohku. Tolong, jangan larang hubungan kami! Kami sudah sama-sama dewasa. Tentunya, kami tahu mana yang baik dan mana yang tidak!" ujarnya, tegas. Dia begitu yakin bahwa cinta mereka itu sejati.
Warner tersenyum kecut mendengar pembelaan Greta terhadap pria yang sangat dia benci. "Lihat! Sikapmu banyak berubah sejak berhubungan dengan Mark. Dia sudah memanipulasi hati dan pikiranmu. Bahkan, dia juga sudah mengubah dirimu menjadi anak yang pembangkang. Dad sungguh kecewa dan tidak akan merestui hubungan kalian sampai kapan pun!"
Suasana antara ayah dan anak pun kian memanas. Walter dan Bertha, yang juga ada di sana, memilih diam karena tidak ingin mencampuri masalah yang terjadi pada keluarga Walter. Sementara, Grace hanya bisa menangis dengan isak yang pelan.
Greta, yang begitu keras kepala, menentang keras ucapan ayahnya. "Terserah! Tanpa adanya restu Dad atau tidak, aku tetap akan pergi mencari Mark ke mana pun sampai aku menemukannya." Tekadnya sudah bulat. Dia memeluk ibunya sebelum melangkah pergi.
Grace, yang berlinang air mata, membalas pelukan anaknya. Dia benar-benar tidak merelakan kepergian Greta. Sesaat kemudian, pelukan itu merenggang. Dia membelai dan menatap lekat wajah Greta seolah-olah itu adalah pertemuan yang terakhir.
"Pikirkan lagi keputusanmu itu, Gre! Mom sangat mengkhawatirkanmu. Di sana kau akan tinggal di mana dan dengan siapa?"
Greta menunjukkan senyum agar ibunya tenang. "Mom tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja di sana. Aku pergi dulu, Mom."
Bayangan itu langsung buyar saat pisau yang dipegang Grace tidak sengaja mengenai ujung jari hingga berdarah. "Aww!" rintihnya, mengundang kepanikan Bertha yang sedari tadi membantunya.
"Ada apa, Grace?" Bertha mendelik saat melihat darah keluar dari jari Grace. "Astaga, jarimu terluka! Tunggu sebentar, aku ambilkan obat dan plester dulu!"
Bertha bergegas ke ujung dapur, lalu membuka satu per satu rak atas. Pada rak keempat, dia menemukan sebuah kotak obat. Segera dia ambil dan membawanya ke tempat Grace semula.
Melihat darah yang kian menetes, Grace merasa ada sesuatu yang terjadi pada anaknya. Hatinya jadi tidak nyaman. Saking khawatirnya, rasa pedih pun tidak terasa.
"Kau tahan sedikit, ya. Ini pasti akan terasa sangat pedih." Bertha membersihkan darah pada ujung jari Grace dengan hati-hati, lalu mengobatinya sebelum membalut luka dengan plester. "Oke, sudah selesai."
"Terima kasih, Bertha."
"Sebenarnya, apa yang sedang kaupikirkan hingga jarimu bisa terluka seperti ini?" Bertha yakin ada yang mengusik pikiran Grace sekarang karena biasanya Grace begitu teliti saat sedang melakukan suatu hal.
"Aku merindukan Greta. Dia menelepon terakhir saat minggu kemarin. Entah bagaimana kabarnya saat ini? Firasatku tidak enak."
Bertha bisa memahami yang dirasakan Grace. Dia menyodorkan ponsel kepada kakak iparnya. "Telepon dia agar kau bisa tenang."
Grace menatap ponsel Bertha, sejenak. Semoga saja tidak terjadi apa-apa pada Greta.
***
Greta, yang mulai tersadar dari pingsan, membuka matanya perlahan. Dahinya mengernyit saat melihat benda-benda yang ada di sekitarnya. Ada single bed yang dia tiduri. Sebuah nakas yang tampak usang di samping ranjang. Cat-cat dinding pun sebagian sudah mengelupas. "Aku ada di mana?"
Setelah kesadarannya pulih, dia mencoba duduk sembari memastikan keberadaannya saat ini. Matanya memperhatikan beberapa perabotan yang ada di sana.
"Bukankah ini kamarku? Mengapa aku ada di sini?" Greta berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. Namun, tidak ada yang bisa diingatnya seakan-akan sudah terhapus. Kepalanya terasa berat dan pusing.
Miley, yang berniat masuk ke kamar untuk melihat kondisi Greta, tergesa-gesa menghampiri gadis itu dan duduk di samping ranjang.
"Syukurlah, kau sudah sadar, Gre. Aku sangat mencemaskan keadaanmu. Untung saja, Mr. Herwingson meneleponku dan aku langsung ke ruangannya. Omong-omong, apa yang kaulakukan di ruangan Mr. Herwingson?" cecar Miley.
Greta menyimak ucapan Miley. Dahinya berkerut, penuh banyak pertanyaan dalam benaknya. "Mr. Herwingson?" Dia mencoba menggali lagi ingatannya tentang kejadian sebelum dia pingsan. Sayangnya, semua yang terlihat hanya samar-samar. Makin dipaksa untuk mengingat, denyut yang begitu hebat menyerang kepalanya. Alhasil, dia merintih seraya memijat dahi.
"Kau tidak apa-apa, kan, Gre?" Wajah Miley makin panik. "Apa sebaiknya kita pergi ke dokter saja?"
Greta menggeleng pelan, lalu kembali baring. "Tidak perlu, Mil. Aku cukup istirahat. Nanti pasti sembuh sendiri."
Miley meraih tangan Greta. "Mr. Herwingson juga menyarankan demikian, Gre. Kalau kau ada keluhan dengan kondisi tubuhmu, kau bisa datang langsung ke Wilarcia Hospital. Katanya, kau akan mendapat pengobatan gratis di sana. Jadi, kau tidak perlu memikirkan biaya untuk berobat."
"Aku hanya pusing biasa, Miley. Jangan berlebihan seperti itu!"
Miley menghela napas, pendek. Sahabatnya itu memang sulit setiap diajak berobat sejak dia mengenal Greta, pas kuliah dulu. "Kau tunggu sebentar di sini. Aku akan buatkan teh manis untukmu."
Miley beranjak menuju dapur. Sesaat kemudian, dia membawa secangkir teh hangat ke kamar Greta dan meletakkannya ke atas nakas. "Minumlah selagi masih hangat, Gre. Setelah itu, istirahatlah. Aku keluar dulu. Kalau kau butuh sesuatu, panggil aku, ya. Aku akan menginap di sini sampai keadaanmu benar-benar membaik."
Greta mengangguk. "Terima kasih, Mil."
Tepat saat Miley menutup pintu, ponsel Greta yang ada di atas nakas, berdering. Dia meraih ponsel dan melihat nama ibunya. Dia menghela napas sebelum menggeser ikon telepon. "Halo, Mom!"
"Gre, bagaimana keadaanmu? Mom sangat mencemaskanmu."
Greta memejamkan mata saat mendengar suara ibunya yang terdengar lirih. Hatinya terasa pedih karena sudah membuat ibunya cemas akan kepergiannya. Dia menjawab keadaannya baik-baik saja meski sebenarnya sedang tidak baik. Dia hanya tidak ingin ibunya bertambah cemas. "Mom sendiri, bagaimana kabarnya?"
Grace menatap jarinya yang terbalut plester. "Mom juga baik. Mom sangat merindukanmu. Kapan kau akan pulang, Gre? Apa kau sudah bertemu dengan Mark?"
Greta terenyuh mendengar suara ibunya yang pilu. "Aku juga sangat merindukan Mom. Setelah menemukan Mark nanti, aku akan segera pulang dan kita akan berkumpul kembali."
"Sungguh? Mom harap kau pulang secepatnya, Gre."
"Iya, Mom." Greta meletakkan ponsel ke atas nakas. Dia menengadah ke langit kamar dengan pikiran yang kembali pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat dia meninggalkan rumah demi mencari Mark.
***
Langit yang kebiruan, kini berganti kejinggaan. Cahaya matahari pun mulai meredup. Greta, yang baru saja terbangun, berjalan ke luar kamar mencari Miley. Ternyata, sahabatnya itu sedang sibuk di dapur.
Uap panas mengembus ke atas saat Miley membuka penutup panci. Aroma kaldu ayam pun langsung meresap ke indera penciuman. Sebelum menyajikannya, dia menyendok kuah sup, lalu meniup perlahan. Baru saja akan menyicip rasa kuah sup, dia tersentak dengan keberadaan Greta di sampingnya.
"Greta! Kau mengejutkanku! Hampir saja, bibirku melepuh terkena sup panas." Miley menempelkan telapak tangan ke dada.
Greta justru tertawa singkat. "Maaf, ya. Aku tidak bermaksud membuatmu terkejut. Aku mencarimu, ternyata kau ada di sini."
"Kau sudah membaik? Apa kepalamu masih sakit?" cecar Miley, yang begitu mengkhawatirkannya.
Greta menggeleng. "Tidak sakit lagi. Hanya tubuhku terasa lemas. Mungkin karena aku belum makan," ucapnya sambil memegang perut.
Miley tersenyum lebar. "Pas sekali, sup jagung sudah matang. Aku akan menyajikannya untukmu."
"Mau kubantu?"
"Tidak! Tidak!" Miley menggeleng seraya membalikkan punggung. "Kau, kan, baru sadar dari pingsan. Jadi, kau tunggu saja di meja makan. Aku akan membawanya ke sana."
"Oke, oke. Aku tunggu."
Di waktu yang bersamaan, bel pintu berbunyi. Keduanya menoleh.
"Aku saja yang buka pintu," tawar Greta. "Kau lanjutkan saja menyiapkan makan malam kita."
Greta berjalan ke pintu dan membukanya. "Maaf, Anda cari siapa?"
Seorang pria berseragam kurir membawa kotak besar yang terbungkus pita merah. "Apa benar ini apartemen Greta Monica?"
Dahi Greta berkerut. Dari mana orang ini tahu nama lengkapnya? Matanya menatap kotak besar yang dipegang pria itu. Apakah paket itu untuknya? Dia menepis pertanyaan itu jauh-jauh karena tidak ada yang tahu apartemennya selain Miley. "Iya, saya Greta Monica. Ada apa, ya?"
Kurir itu menyodorkan kotak besar, yang dibawanya, kepada Greta. "Ini paket Anda."
"Dari siapa?"
"Maaf, saya tidak tahu siapa pengirimnya. Saya hanya ditugaskan mengantar paket ini ke tempat tujuan."
Sebenarnya, Greta ragu untuk menerima paket tersebut. Namun, dia begitu penasaran dan membawa ke dalam apartemennya.
"Tadi itu siapa, Gre?" tanya Miley, menghampiri Greta yang sedang membuka pita.
"Kurir yang mengantar paket." Pita tersebut berhasil dibuka Greta. Kini tinggal melihat isi dalam paket tersebut.
Miley duduk di samping Greta sambil memperhatikan kotak besar di atas meja. Setelah dibuka, isi kotak tersebut adalah dress selutut warna peach yang dipadukan dengan blazer warna cream. "Wah, pakaian ini cocok sekali untuk dipakai kerja! Siapa pengirimnya, Gre? Aku penasaran."
"Entahlah, aku tidak tahu. Kurir tadi juga tidak tahu." Greta mengangkat pakaian itu untuk melihat modelnya. Terlihat simpel karena polos, tanpa ada motif atau hiasan yang mempercantik dress tersebut. Hanya ada sepotong kain yang senada dengan warna blazer untuk diikat di pinggang sebagai pemanisnya. Bisa dikatakan lumayan bagus. Bukan karena modelnya, melainkan bahan dari dress dan blazer tersebut tidak terlalu tebal dan lembut.
Miley melihat kedua pakaian itu tertempel sebuah merek. Setelah diamati, dia terbelalak sambil bergumam heboh, "Wah, pakaian ini bermerek Emilia Stone!"
"Ada yang istimewa dengan merek Emilia Stone?" tanya Greta, mengerutkan dahi.
"Kau tidak tahu? Semua pakaian merek Emilia Stone harganya sangat mahal, Gre. Aku pun ingin membelinya, tetapi tabunganku belum cukup sampai sekarang. Padahal, aku sudah menabung selama lima bulan. Kau sangat beruntung bisa memilikinya, Gre. Tanpa harus repot-repot menabung, ada orang yang mengirimkannya gratis untukmu."
"Ya, kau benar," balas Greta dengan senyum kaku meski sebenarnya dia tidak mengharapkan ada orang yang membelikan pakaian mahal padanya. Dia memasukkan pakaian itu ke tempat semula. Secara tidak sengaja, dia menemukan selembar kertas dan sebuah kotak kecil. "Eh, ini apa lagi, ya?"
Greta membuka kertas dan kotak kecil bersamaan.
Saya kirimkan pakaian ini sebagai ganti pakaianmu yang kotor. Saya juga kirimkan lipstik sebagai ganti lipstikmu yang habis karena mencoret kaca mobil saya. Saya harap kau menyukai pemberian ini.
Detak jantung gadis itu serasa berhenti setelah membaca isi surat tersebut. Tanpa nama pengirim pun, dia tahu siapa orangnya. Kejadian tadi pagi pun terulang kembali dalam bayangannya. Sekarang dia ingat apa yang menyebabkan dia berada di ruang kerja Arnold hingga berakhir pingsan.
Miley, yang penasaran, merampas surat itu dari tangan Greta dan ikut membacanya. "Jadi, pengirim paket ini adalah orang yang sama dengan orang yang sudah ngebut di jalan waktu itu?"
Greta mengangguk, membenarkan kesimpulan Miley. "Kau pasti sangat terkejut jika tahu siapa orang itu."
Miley menaikkan kedua alis. "Sungguh? Apa aku mengenalnya?"
"Tentu saja. Mr. Herwingson, bos kita."
Miley terbelalak. "Kau bercanda, kan? Apa ini ada hubungannya dengan kau pingsan?"
Greta mengangguk.
Miley duduk merapat ke samping Greta. "Sekarang kau harus menceritakan semuanya padaku. Dari awal sampai akhir!"
Greta berusaha memejamkan mata. Rasa kantuk yang menyerang matanya sama sekali tidak bisa membuat gadis itu terlelap. Sejak tadi, dia hanya bergerak miring ke kanan dan kiri. Untung saja, Miley yang tidur di sampingnya, tidak terganggu karenanya. Kesal sebab terus terjaga, dia bangkit duduk dan bersandar di kepala ranjang. Matanya menoleh ke arah jam dinding. Sudah pukul 03.00 pagi. Dia masih belum tidur sedetik pun, apalagi dia harus pergi kerja beberapa jam lagi.Greta menghela napas berat. Sebenarnya, gadis itu tidak ada niat untuk begadang malam ini. Namun, pikirannya terus dihantui rasa cemas tentang bagaimana sikap dan mau berkata apa jika nanti bertemu dengan Arnold.Apa Arnold akan menagih biaya perbaikan mobil padanya atau mungkin dia akan dipecat? Lantas, bagaimana dengan paket yang semalam diterimanya? Benarkah itu sebagai tanda permintaan maaf padanya atau hanya kesenangan sesaat sebelum dia diseret ke penjara atas perbuatannya?Greta mengusap-usap w
Hari Sabtu, hari libur kerja di perusahaan AH Group. Bukannya memanfaatkan waktu libur untuk beristirahat di apartemen, Greta justru membuat janji temu dengan Billy Sharpen, seorang detektif yang akan membantunya mencari keberadaan Mark, kekasihnya. Baginya, tujuan dia berada di kota besar itu jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi.Setelah turun dari taksi, Greta bergegas memasuki sebuah kafe yang berada di jantung kota Los Angeles. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri mencari Billy meski dia tidak yakin pria itu sudah datang atau belum. Matanya memperhatikan satu per satu pengunjung, baik yang sedang duduk maupun yang baru datang, di dalam kafe tersebut. Namun, dia tidak menemukan sosok pria yang berpenampilan ala detektif. Dia pikir meski tidak tahu seperti apa wajah Billy, mungkin akan mudah menemukan Billy hanya dengan melihat penampilan.Merasa seperti orang bodoh karena terus-menerus berdiri, Greta menelepon Billy. Tak membutuhkan waktu lama, telepon itu
Greta menutup pintu apartemen. Hari ini benar-benar melelahkan. Bukan tubuhnya, melainkan pikiran dan hatinya. Dia berjalan ke dapur, mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya ke gelas. Dia meneguknya langsung hingga tandas. Belum merasa baik, dia kembali melakukan hal yang sama. Matanya terpejam sesaat, meresapi sensasi dingin yang seketika mengalir ke tubuhnya. Perlahan hati dan pikirannya mulai tenang. Miley yang baru selesai berbelanja, masuk begitu saja ke apartemen Greta karena sebelumnya dia sudah menelepon Greta bahwa dia akan datang. "Hai, Gre! Bagaimana pertemuanmu dengan detektif itu? Semuanya lancar?" tanyanya. Dia meletakkan barang belanjaannya ke sofa. Dia mengeluarkan dua kotak nasi dan ayam goreng yang dia beli di resto langganannya ke atas meja makan. "Pertemuan kami berjalan lancar, tetapi," Greta menarik napas pelan. Langkahnya begitu lemas ke arah meja makan dan duduk berhadapan dengan Miley, "Billy masih belum tahu bisa atau tidak mene
Senin, hari yang membosankan bagi sebagian orang karena harus kembali beraktivitas. Ada yang pergi bekerja, ada pula yang berangkat ke sekolah. Rasanya waktu dua hari untuk menikmati akhir pekan pun tidaklah cukup. Namun, Greta tetap semangat memulai Senin ini dengan senyuman karena minggu ini adalah waktu terakhir dia bekerja sebagai sekretaris Arnold."Pagi, Sir! Saya mau ingatkan rapat akan dimulai lima menit lagi. Perwakilan dari Flamingo Estate sudah menunggu Anda di ruang rapat," ujar Greta, berdiri di depan meja Arnold.Arnold melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 07.55 a.m. "Baiklah, saya ke sana sekarang. Kau juga ikut rapat, ya."Greta menaikkan kedua alisnya. "Saya harus ikut juga, Sir? Bukankah seharusnya Ryan?" tanyanya dengan nada heran karena dia hanya seorang sekretaris, bukan asisten pribadi Arnold.Arnold beranjak dari kursi, berjalan mendekati Greta. "Ryan sedang berhalangan hadir. Dia ada rapat dengan pihak Atreya Land pagi ini. Jad
Pagi ini, hari yang spesial untuk Greta. Pasalnya, dia akan memulai hari pertamanya bekerja sebagai sekretaris di AH Group, cabang perusahaan properti terbesar di Los Angeles. Untuk itu, dia sudah bangun lebih awal dari biasanya supaya semuanya bisa disiapkan dengan baik. Mulai dari merapikan kamar, membuat sarapan, hingga menyiapkan setelan kantor dan sepatu heels yang akan dia pakai untuk pagi ini. Selesai dengan rutinitas harian, Greta buru-buru mandi dan memoles wajahnya dengan alat make up seadanya di depan meja rias. Bibirnya yang sudah terpoles lipstik tersenyum di depan cermin rias saat teringat percakapan terakhir di telepon semalam bersama Miley, teman kuliahnya dulu. "Aku i
"Sebentar lagi, Mr. Herwingson, pimpinan kita dari kantor pusat akan datang. Saya harap kalian memberi sambutan terbaik untuknya." Ryan—asisten pribadi Arnold—memberi tahu kepada para direksi dan pegawai yang berdiri rapi di kedua sisi pintu utama. Mereka sudah siap sejak lima belas menit yang lalu.Saat mobil sport berwarna merah berhenti di depan cabang AH Group, Ryan bergegas menghampiri mobil tersebut. Tanpa melihat pun, Ryan sudah tahu siapa yang berada di balik kemudi.Pintu mobil terbuka otomatis ke atas. Seorang pria keluar dengan setelan kantor yang sangat rapi. Meski memakai kacamata hitam, aura ketampanannya tetap terpancar kuat hingga membuat belasan pasang mata para pegawai yang dominan perempuan berdecak kagum. Ini bukan pertama kalinya pria itu datang mengunjungi cabang perusahaannya. Namun, mereka tetap saja terpesona dengan ketampanan atasan mereka."Selamat datang, Sir," sambut Ryan d
Hari pertama tiba di kantor cabang, Arnold langsung memimpin rapat dengan para dewan direksi dan kepala divisi. Pria itu bersandar di punggung kursi pimpinan sambil meneliti setiap laporan. Dia mencari pokok permasalahan yang membuat perusahaan cabangnya ini mengalami penurunan omzet. Alasan inilah yang membuat dia datang ke perusahaan cabangnya.Keheningan menyelimuti ruangan itu. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara. Mereka menunggu respons dari Arnold.Arnold menegakkan tubuh setelah menemukan titik masalah. Tatapannya mengedar ke semua yang hadir di ruang rapat. "Apa kalian tahu letak masalah pada laporan-laporan ini?"Para dewan direksi dan kepala divisi itu saling bertatapan, lalu menggeleng sebagai jawaban."Kelalaian kalian yang menyebabkan semua laporan ini bermasalah. Kalian sebagai dewan direksi dan divisi tidak mengawasi pekerjaan bawahan kalian dengan baik. Bahkan, saya menemukan b
Begitu banyak pekerjaan yang harus Arnold tangani hari ini hingga tidak terasa sudah pukul 05.00 sore. Sebelum pulang, Arnold berdiri di depan dinding kaca sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Tatapannya lurus ke gedung-gedung besar dan kokoh yang berdiri tak jauh dari gedung kantor miliknya. Beragam rencana untuk besok sudah tersusun rapi di otaknya. Tak lama kemudian, ponselnya berdering.Ketika melihat nama si penelepon, Arnold langsung menjawab panggilan itu, "Halo, Mom!""Kau sudah tiba di Los Angeles, Nak?""Sudah, Mom. Tadi pagi. Ada apa, Mom?""Nanti datanglah ke rumah! Mom dan Dad sangat merindukanmu.""Aku pasti datang ke rumah. Aku juga merindukan kalian.""Baiklah. Jaga kesehatanmu! Mom tunggu.""See you, Mom." Arnold mengakhiri panggilan lalu menyimpan ponselnya kembali ke saku jas. Saat akan berbalik, dia melihat sekilas ada seseorang di area parkir. Dahinya berkerut sembari menajamkan pandangan karena posisiny
Senin, hari yang membosankan bagi sebagian orang karena harus kembali beraktivitas. Ada yang pergi bekerja, ada pula yang berangkat ke sekolah. Rasanya waktu dua hari untuk menikmati akhir pekan pun tidaklah cukup. Namun, Greta tetap semangat memulai Senin ini dengan senyuman karena minggu ini adalah waktu terakhir dia bekerja sebagai sekretaris Arnold."Pagi, Sir! Saya mau ingatkan rapat akan dimulai lima menit lagi. Perwakilan dari Flamingo Estate sudah menunggu Anda di ruang rapat," ujar Greta, berdiri di depan meja Arnold.Arnold melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 07.55 a.m. "Baiklah, saya ke sana sekarang. Kau juga ikut rapat, ya."Greta menaikkan kedua alisnya. "Saya harus ikut juga, Sir? Bukankah seharusnya Ryan?" tanyanya dengan nada heran karena dia hanya seorang sekretaris, bukan asisten pribadi Arnold.Arnold beranjak dari kursi, berjalan mendekati Greta. "Ryan sedang berhalangan hadir. Dia ada rapat dengan pihak Atreya Land pagi ini. Jad
Greta menutup pintu apartemen. Hari ini benar-benar melelahkan. Bukan tubuhnya, melainkan pikiran dan hatinya. Dia berjalan ke dapur, mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya ke gelas. Dia meneguknya langsung hingga tandas. Belum merasa baik, dia kembali melakukan hal yang sama. Matanya terpejam sesaat, meresapi sensasi dingin yang seketika mengalir ke tubuhnya. Perlahan hati dan pikirannya mulai tenang. Miley yang baru selesai berbelanja, masuk begitu saja ke apartemen Greta karena sebelumnya dia sudah menelepon Greta bahwa dia akan datang. "Hai, Gre! Bagaimana pertemuanmu dengan detektif itu? Semuanya lancar?" tanyanya. Dia meletakkan barang belanjaannya ke sofa. Dia mengeluarkan dua kotak nasi dan ayam goreng yang dia beli di resto langganannya ke atas meja makan. "Pertemuan kami berjalan lancar, tetapi," Greta menarik napas pelan. Langkahnya begitu lemas ke arah meja makan dan duduk berhadapan dengan Miley, "Billy masih belum tahu bisa atau tidak mene
Hari Sabtu, hari libur kerja di perusahaan AH Group. Bukannya memanfaatkan waktu libur untuk beristirahat di apartemen, Greta justru membuat janji temu dengan Billy Sharpen, seorang detektif yang akan membantunya mencari keberadaan Mark, kekasihnya. Baginya, tujuan dia berada di kota besar itu jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi.Setelah turun dari taksi, Greta bergegas memasuki sebuah kafe yang berada di jantung kota Los Angeles. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri mencari Billy meski dia tidak yakin pria itu sudah datang atau belum. Matanya memperhatikan satu per satu pengunjung, baik yang sedang duduk maupun yang baru datang, di dalam kafe tersebut. Namun, dia tidak menemukan sosok pria yang berpenampilan ala detektif. Dia pikir meski tidak tahu seperti apa wajah Billy, mungkin akan mudah menemukan Billy hanya dengan melihat penampilan.Merasa seperti orang bodoh karena terus-menerus berdiri, Greta menelepon Billy. Tak membutuhkan waktu lama, telepon itu
Greta berusaha memejamkan mata. Rasa kantuk yang menyerang matanya sama sekali tidak bisa membuat gadis itu terlelap. Sejak tadi, dia hanya bergerak miring ke kanan dan kiri. Untung saja, Miley yang tidur di sampingnya, tidak terganggu karenanya. Kesal sebab terus terjaga, dia bangkit duduk dan bersandar di kepala ranjang. Matanya menoleh ke arah jam dinding. Sudah pukul 03.00 pagi. Dia masih belum tidur sedetik pun, apalagi dia harus pergi kerja beberapa jam lagi.Greta menghela napas berat. Sebenarnya, gadis itu tidak ada niat untuk begadang malam ini. Namun, pikirannya terus dihantui rasa cemas tentang bagaimana sikap dan mau berkata apa jika nanti bertemu dengan Arnold.Apa Arnold akan menagih biaya perbaikan mobil padanya atau mungkin dia akan dipecat? Lantas, bagaimana dengan paket yang semalam diterimanya? Benarkah itu sebagai tanda permintaan maaf padanya atau hanya kesenangan sesaat sebelum dia diseret ke penjara atas perbuatannya?Greta mengusap-usap w
Di dapur minimalis tampak dua orang ibu sedang sibuk dengan peralatan kue. Bertha, wanita gemuk berambut ikal warna merah kecokelatan, sedang mengaduk adonan tepung dengan mixer.Grace, wanita yang berdiri di samping Bertha, sedang mengiris strawberry yang baru dipetik suaminya dari kebun. Tiba-tiba terlintas bayangan seorang gadis yang sangat dirindukannya. Hatinya terasa sesak. Bayangan gadis itu kembali terhubung pada kejadian beberapa bulan yang lalu sebelum gadis itu pergi dari rumah.Greta menarik koper keluar dari kamar. Langkahnya terhenti saat melihat orang tuanya sedang berbincang di teras depan bersama Walter dan Bertha, paman dan bibinya."Dad, Mom, Aunty, Uncle, aku mau pergi."Obrolan empat orang tersebut terjeda, lalu menoleh ke arah Greta. Mereka saling bertukar tatap, keheranan."Kau mau pergi ke mana, Gre?" tanya Grace seraya bangkit dari kursi dan menghampiri G
Suasana pagi ini agak berbeda daripada kemarin. Tidak ada sapaan atau sambutan hangat dari para pegawai yang berdiri di depan pintu. Bahkan, tidak tampak seorang pun pegawai yang berlalu-lalang di area lobi saat Arnold melewati pintu utama.Wajar saja. Ini masih pukul 06.00 pagi dan pastinya belum ada yang datang. Arnold memang sengaja datang lebih awal karena ingin segera menyelesaikan urusan pekerjaannya di kantor cabang sebelum balik ke kantor pusatnya yang ada di Spanyol.Arnold masuk ke lift khusus. Dia menekan angka lima belas yang berarti tempat tujuannya. Berada seorang diri di dalam lift membuat ingatannya kembali pada kejadian kemarin sore di parkiran. Dia membayangkan bagaimana ekspresi Greta saat tahu dia adalah pemilik mobil itu sampai-sampai tergelak singkat. Untungnya, tidak ada yang melihat saat pintu lift terbuka. Dia kembali melanjutkan langkah menuju ruangannya.Ketika akan melewati meja sekretaris, Arnold mengambil secarik kertas kecil
Begitu banyak pekerjaan yang harus Arnold tangani hari ini hingga tidak terasa sudah pukul 05.00 sore. Sebelum pulang, Arnold berdiri di depan dinding kaca sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Tatapannya lurus ke gedung-gedung besar dan kokoh yang berdiri tak jauh dari gedung kantor miliknya. Beragam rencana untuk besok sudah tersusun rapi di otaknya. Tak lama kemudian, ponselnya berdering.Ketika melihat nama si penelepon, Arnold langsung menjawab panggilan itu, "Halo, Mom!""Kau sudah tiba di Los Angeles, Nak?""Sudah, Mom. Tadi pagi. Ada apa, Mom?""Nanti datanglah ke rumah! Mom dan Dad sangat merindukanmu.""Aku pasti datang ke rumah. Aku juga merindukan kalian.""Baiklah. Jaga kesehatanmu! Mom tunggu.""See you, Mom." Arnold mengakhiri panggilan lalu menyimpan ponselnya kembali ke saku jas. Saat akan berbalik, dia melihat sekilas ada seseorang di area parkir. Dahinya berkerut sembari menajamkan pandangan karena posisiny
Hari pertama tiba di kantor cabang, Arnold langsung memimpin rapat dengan para dewan direksi dan kepala divisi. Pria itu bersandar di punggung kursi pimpinan sambil meneliti setiap laporan. Dia mencari pokok permasalahan yang membuat perusahaan cabangnya ini mengalami penurunan omzet. Alasan inilah yang membuat dia datang ke perusahaan cabangnya.Keheningan menyelimuti ruangan itu. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara. Mereka menunggu respons dari Arnold.Arnold menegakkan tubuh setelah menemukan titik masalah. Tatapannya mengedar ke semua yang hadir di ruang rapat. "Apa kalian tahu letak masalah pada laporan-laporan ini?"Para dewan direksi dan kepala divisi itu saling bertatapan, lalu menggeleng sebagai jawaban."Kelalaian kalian yang menyebabkan semua laporan ini bermasalah. Kalian sebagai dewan direksi dan divisi tidak mengawasi pekerjaan bawahan kalian dengan baik. Bahkan, saya menemukan b
"Sebentar lagi, Mr. Herwingson, pimpinan kita dari kantor pusat akan datang. Saya harap kalian memberi sambutan terbaik untuknya." Ryan—asisten pribadi Arnold—memberi tahu kepada para direksi dan pegawai yang berdiri rapi di kedua sisi pintu utama. Mereka sudah siap sejak lima belas menit yang lalu.Saat mobil sport berwarna merah berhenti di depan cabang AH Group, Ryan bergegas menghampiri mobil tersebut. Tanpa melihat pun, Ryan sudah tahu siapa yang berada di balik kemudi.Pintu mobil terbuka otomatis ke atas. Seorang pria keluar dengan setelan kantor yang sangat rapi. Meski memakai kacamata hitam, aura ketampanannya tetap terpancar kuat hingga membuat belasan pasang mata para pegawai yang dominan perempuan berdecak kagum. Ini bukan pertama kalinya pria itu datang mengunjungi cabang perusahaannya. Namun, mereka tetap saja terpesona dengan ketampanan atasan mereka."Selamat datang, Sir," sambut Ryan d