Hari pertama tiba di kantor cabang, Arnold langsung memimpin rapat dengan para dewan direksi dan kepala divisi. Pria itu bersandar di punggung kursi pimpinan sambil meneliti setiap laporan. Dia mencari pokok permasalahan yang membuat perusahaan cabangnya ini mengalami penurunan omzet. Alasan inilah yang membuat dia datang ke perusahaan cabangnya.
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara. Mereka menunggu respons dari Arnold.
Arnold menegakkan tubuh setelah menemukan titik masalah. Tatapannya mengedar ke semua yang hadir di ruang rapat. "Apa kalian tahu letak masalah pada laporan-laporan ini?"
Para dewan direksi dan kepala divisi itu saling bertatapan, lalu menggeleng sebagai jawaban.
"Kelalaian kalian yang menyebabkan semua laporan ini bermasalah. Kalian sebagai dewan direksi dan divisi tidak mengawasi pekerjaan bawahan kalian dengan baik. Bahkan, saya menemukan banyak kesalahan dari setiap laporan. Pantas saja para investor mengeluhkan hal ini. Ternyata, kinerja kalian sangat buruk."
"Maafkan kami, Sir. Kami berjanji akan memperbaiki kinerja kami supaya lebih baik lagi," ujar salah satu dewan direksi.
"Saya harap kalian tidak akan mengulangi kesalahan yang sama seperti ini lagi. Kalian paham?"
"Paham, Sir!" jawab mereka serempak.
Arnold berdiri sambil merapikan jas yang membalut tubuh tegapnya. "Aku ingin semua laporan ini direvisi ulang dan harus siap di atas mejaku besok pagi."
"Baik, Sir!" jawab mereka lagi.
Arnold berjalan keluar dari ruangan itu diikuti Ryan membuat para dewan direksi dan kepala divisi menghela napas lega. Mereka pikir Arnold akan memecat mereka. Ternyata, Arnold masih memberi waktu untuk memperbaiki kesalahan mereka.
"Apa kau sudah memberi tahu Greta tentang tugasnya?" tanya Arnold yang terus berjalan.
"Sudah, Sir!"
Arnold melirik arlojinya. "Sebentar lagi jam makan siang. Kau boleh istirahat sekarang, Ryan. Jangan lupa beri tahu Greta untuk istirahat dulu! Aku juga mau keluar makan siang."
"Baik, Sir!"
***
Hampir setengah hari, Greta disibukkan dengan tugas-tugas yang diberikan Ryan tadi pagi. Tumpukan map yang berada di sampingnya baru tersentuh sedikit. Mata dan jarinya pun terasa lelah karena terus berkutat di depan laptop tanpa henti.
Greta mendesah berat. Dia memilih untuk istirahat sejenak. "Belum satu hari aku di sini, rasanya seperti sudah satu minggu. Pekerjaan ini benar-benar membuatku tidak bisa santai. Kalau saja aku bisa menemukan keberadaan Mark lebih awal, aku tidak mungkin bekerja di sini. Aku juga tidak akan mengalami kesialan hari ini," keluhnya.
Greta mengalihkan tatapan saat ada panggilan masuk di ponselnya. Panggilan itu dari Miley. Dia segera menjawabnya. "Halo, Miley! Ada apa?"
"Halo, Gre! Makan siang, yuk!"
"Pekerjaanku masih banyak, Mil. Lagipula, aku belum diperintahkan untuk istirahat. Aku tidak mau dimarahi karena keluar makan siang."
"Tidak akan ada yang memarahimu, Gre. Tenang saja. Ini, kan, sudah jam istirahat. Jadi, tidak apa-apa. Setelah makan siang, kau bisa melanjutkannya lagi."
Belum sempat membalas Miley, Ryan menghampiri Greta.
"Ada apa, Sir?" tanya Greta. Dia sedikit menjauhkan ponselnya.
"Kau boleh istirahat sekarang. Kalau kau mau, kita bisa makan siang bersama. Kau, kan, masih baru di sini."
Greta tergugu. Dia merasa tidak enak menolak tawaran Ryan karena Ryan tampak pria baik. Namun, dia tidak bisa menerima ajakan pria yang baru dikenalnya. "Maaf, Sir! Lain waktu saja. Kebetulan aku akan makan siang dengan temanku."
"Oke, tidak masalah. Aku pergi dulu." Ryan tersenyum, lalu meninggalkan Greta.
Greta melanjutkan obrolan dengan Miley. "Maaf, aku mengabaikanmu. Tadi ada Ryan, asisten Mr. Herwingson, memberi tahu aku untuk istirahat. Jadi, kita akan makan siang di mana?"
***
"Bagaimana hari pertama kamu, Gre? Mr. Herwingson baik, kan?"
Saat ini, Greta dan Miley sedang berada di kantin perusahaan. Mereka duduk berhadapan sambil menikmati makan siang yang mereka pesan.
Greta menghela napas panjang. "Hari pertama yang buruk, Mil."
Miley mengerutkan dahi. "Maksudmu, buruk seperti apa?"
"Lihatlah!" Greta menunjukkan ke arah bajunya yang kotor. "Ini semua gara-gara mobil sport merah! Kalau saja mobil itu tidak ngebut, bajuku tidak mungkin terciprat genangan air dan aku tidak akan mengalami kesialan pada hari pertamaku."
Ekspresi Miley berubah sendu. "Maaf, ya. Kalau aku bisa datang menjemputmu tadi pagi, kau mungkin tidak akan bertemu mobil itu."
"Sudahlah, Mil. Ini bukan salahmu, melainkan salah pemilik mobil itu yang ngebut di tengah jalan." Hati Greta meradang setiap teringat mobil sport merah yang menyebabkan harinya dipenuhi kesialan.
"Apa kau tahu plat mobilnya atau pemiliknya?"
Greta menggeleng. "Mobil itu melaju kencang. Jadi, aku tidak tahu."
"Seandainya kau bertemu dengan pemilik mobil itu, apa yang akan kaulakukan?"
"Tentu saja, aku akan memarahi dan menasihatinya supaya lebih berhati-hati lagi saat berkendara dan tidak terulang lagi kejadian seperti tadi pagi," jawab Greta dengan tatapan menyorot tajam. "Karena ulah dia, pakaianku kotor dan aku disindir Mr. Herwingson. Itu sungguh memalukan!"
"Bagaimana jika pemilik mobil itu pria muda dan tampan? Apa kau tetap akan memarahinya?" tanya Miley sambil menaik-turunkan alisnya dan senyum-senyum.
Greta sama sekali tidak terpengaruh dengan godaan Miley. Ekspresi tanpa senyum tergambar di wajahnya. "Aku tidak peduli dia itu pria atau wanita! Dia akan tetap aku nasihati. Dia juga harus diajari etika dan sopan santun kepada orang lain. Bukan seenaknya melakukan kesalahan dan pergi begitu saja tanpa ada tanggung jawab."
"Ya, kau benar. Orang seperti itu memang pantas dinasihati supaya sadar akan kesalahannya," tanggap Miley yang dibalas anggukan kepala oleh Greta.
"Oh, ya. Tadi saat kau menelepon, Ryan mengajakku makan siang. Sudah jelas aku tolak."
Miley langsung tersedak dan cepat-cepat meneguk minumannya. Greta jadi panik. "Kau tidak apa-apa, kan?"
"Tidak. Aku hanya kaget mendengar itu. Tidak kusangka, pria kaku seperti Ryan bisa mengajak wanita makan siang."
"Itu artinya dia masih single?"
Miley sedikit mengangkat bahunya. "Entahlah, aku tidak tahu pasti. Selama aku bekerja di sini, belum ada terdengar kabar dia sudah memiliki kekasih. Sepertinya, dia punya rasa padamu."
Greta tidak mengacuhkan ucapan Miley. "Biarkan saja. Itu hak dia. Yang jelas, hatiku tetap memilih Mark."
"Apa sudah ada kabar tentang dia?"
Greta menghela napas pelan. "Belum ada. Aku sudah mencoba menelepon teman-temannya, tetapi tidak ada satu pun yang tahu keberadaan Mark. Aku tidak tahu harus mencarinya di mana lagi."
Miley memberi usul. "Bagaimana jika kau membayar seseorang untuk mencari tahu keberadaan Mark? Aku rasa ini cara yang efektif. Kau juga harus bekerja. Sudah pasti waktumu tersita habis di tempat kerja."
"Aku setuju," Sesaat, ekspresi Greta berubah sedih, "tapi aku tidak tahu siapa yang bisa melacak keberadaan seseorang. Apa kau punya kenalan?"
"Nanti aku beri nomor ponselnya. Kau tinggal hubungi dia." Miley melirik arlojinya. "Sebaiknya, kita segera selesaikan makan siang ini. Sebentar lagi, jam makan siang habis. Nanti kita bisa dimarahi Mr. Herwingson."
"Ya, kau benar."
***
Miley mengirim pesan singkat kepada Greta bahwa dia tidak bisa pulang bersama karena harus lembur merevisi ulang laporan.
Tidak apa-apa, Mil. Aku bisa pulang sendiri, balas Greta kepada Miley lewat pesan singkat. Kemudian, dia merapikan meja kerjanya dan bergegas melangkah pulang.
Saat melewati parkiran, Greta melihat mobil sport merah berada di sana. Matanya terbelalak. "Itu, kan, mobil yang tadi pagi. Aku masih ingat betul bentuk mobilnya." Dia melangkah untuk melihat lebih dekat. Ternyata, benar. Mobil yang terparkir dengan mobil yang menyebabkan pakaiannya kotor adalah mobil yang sama.
"Hai, Mobil sport merah! Tidak kusangka, kita bertemu di sini," ucap Greta sambil menyeringai misterius. Tatapannya berkeliling. Ketika suasana dipastikan aman dan sepi, dia mulai beraksi. Keempat ban mobil itu dikempiskan hingga tidak ada angin. Masih belum puas, dia mengeluarkan lipstik dari dalam tas, lalu menuliskan sesuatu di kaca mobil tersebut.
Greta tersenyum puas dengan aksinya itu. "Semoga saja pemiliknya sadar akan perbuatannya." Dia menatap ke sekelilingnya lagi, lalu bergegas pergi dari parkiran. Dia tidak ingin ada yang tahu aksinya itu.
***
Begitu banyak pekerjaan yang harus Arnold tangani hari ini hingga tidak terasa sudah pukul 05.00 sore. Sebelum pulang, Arnold berdiri di depan dinding kaca sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Tatapannya lurus ke gedung-gedung besar dan kokoh yang berdiri tak jauh dari gedung kantor miliknya. Beragam rencana untuk besok sudah tersusun rapi di otaknya. Tak lama kemudian, ponselnya berdering.Ketika melihat nama si penelepon, Arnold langsung menjawab panggilan itu, "Halo, Mom!""Kau sudah tiba di Los Angeles, Nak?""Sudah, Mom. Tadi pagi. Ada apa, Mom?""Nanti datanglah ke rumah! Mom dan Dad sangat merindukanmu.""Aku pasti datang ke rumah. Aku juga merindukan kalian.""Baiklah. Jaga kesehatanmu! Mom tunggu.""See you, Mom." Arnold mengakhiri panggilan lalu menyimpan ponselnya kembali ke saku jas. Saat akan berbalik, dia melihat sekilas ada seseorang di area parkir. Dahinya berkerut sembari menajamkan pandangan karena posisiny
Suasana pagi ini agak berbeda daripada kemarin. Tidak ada sapaan atau sambutan hangat dari para pegawai yang berdiri di depan pintu. Bahkan, tidak tampak seorang pun pegawai yang berlalu-lalang di area lobi saat Arnold melewati pintu utama.Wajar saja. Ini masih pukul 06.00 pagi dan pastinya belum ada yang datang. Arnold memang sengaja datang lebih awal karena ingin segera menyelesaikan urusan pekerjaannya di kantor cabang sebelum balik ke kantor pusatnya yang ada di Spanyol.Arnold masuk ke lift khusus. Dia menekan angka lima belas yang berarti tempat tujuannya. Berada seorang diri di dalam lift membuat ingatannya kembali pada kejadian kemarin sore di parkiran. Dia membayangkan bagaimana ekspresi Greta saat tahu dia adalah pemilik mobil itu sampai-sampai tergelak singkat. Untungnya, tidak ada yang melihat saat pintu lift terbuka. Dia kembali melanjutkan langkah menuju ruangannya.Ketika akan melewati meja sekretaris, Arnold mengambil secarik kertas kecil
Di dapur minimalis tampak dua orang ibu sedang sibuk dengan peralatan kue. Bertha, wanita gemuk berambut ikal warna merah kecokelatan, sedang mengaduk adonan tepung dengan mixer.Grace, wanita yang berdiri di samping Bertha, sedang mengiris strawberry yang baru dipetik suaminya dari kebun. Tiba-tiba terlintas bayangan seorang gadis yang sangat dirindukannya. Hatinya terasa sesak. Bayangan gadis itu kembali terhubung pada kejadian beberapa bulan yang lalu sebelum gadis itu pergi dari rumah.Greta menarik koper keluar dari kamar. Langkahnya terhenti saat melihat orang tuanya sedang berbincang di teras depan bersama Walter dan Bertha, paman dan bibinya."Dad, Mom, Aunty, Uncle, aku mau pergi."Obrolan empat orang tersebut terjeda, lalu menoleh ke arah Greta. Mereka saling bertukar tatap, keheranan."Kau mau pergi ke mana, Gre?" tanya Grace seraya bangkit dari kursi dan menghampiri G
Greta berusaha memejamkan mata. Rasa kantuk yang menyerang matanya sama sekali tidak bisa membuat gadis itu terlelap. Sejak tadi, dia hanya bergerak miring ke kanan dan kiri. Untung saja, Miley yang tidur di sampingnya, tidak terganggu karenanya. Kesal sebab terus terjaga, dia bangkit duduk dan bersandar di kepala ranjang. Matanya menoleh ke arah jam dinding. Sudah pukul 03.00 pagi. Dia masih belum tidur sedetik pun, apalagi dia harus pergi kerja beberapa jam lagi.Greta menghela napas berat. Sebenarnya, gadis itu tidak ada niat untuk begadang malam ini. Namun, pikirannya terus dihantui rasa cemas tentang bagaimana sikap dan mau berkata apa jika nanti bertemu dengan Arnold.Apa Arnold akan menagih biaya perbaikan mobil padanya atau mungkin dia akan dipecat? Lantas, bagaimana dengan paket yang semalam diterimanya? Benarkah itu sebagai tanda permintaan maaf padanya atau hanya kesenangan sesaat sebelum dia diseret ke penjara atas perbuatannya?Greta mengusap-usap w
Hari Sabtu, hari libur kerja di perusahaan AH Group. Bukannya memanfaatkan waktu libur untuk beristirahat di apartemen, Greta justru membuat janji temu dengan Billy Sharpen, seorang detektif yang akan membantunya mencari keberadaan Mark, kekasihnya. Baginya, tujuan dia berada di kota besar itu jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi.Setelah turun dari taksi, Greta bergegas memasuki sebuah kafe yang berada di jantung kota Los Angeles. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri mencari Billy meski dia tidak yakin pria itu sudah datang atau belum. Matanya memperhatikan satu per satu pengunjung, baik yang sedang duduk maupun yang baru datang, di dalam kafe tersebut. Namun, dia tidak menemukan sosok pria yang berpenampilan ala detektif. Dia pikir meski tidak tahu seperti apa wajah Billy, mungkin akan mudah menemukan Billy hanya dengan melihat penampilan.Merasa seperti orang bodoh karena terus-menerus berdiri, Greta menelepon Billy. Tak membutuhkan waktu lama, telepon itu
Greta menutup pintu apartemen. Hari ini benar-benar melelahkan. Bukan tubuhnya, melainkan pikiran dan hatinya. Dia berjalan ke dapur, mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya ke gelas. Dia meneguknya langsung hingga tandas. Belum merasa baik, dia kembali melakukan hal yang sama. Matanya terpejam sesaat, meresapi sensasi dingin yang seketika mengalir ke tubuhnya. Perlahan hati dan pikirannya mulai tenang. Miley yang baru selesai berbelanja, masuk begitu saja ke apartemen Greta karena sebelumnya dia sudah menelepon Greta bahwa dia akan datang. "Hai, Gre! Bagaimana pertemuanmu dengan detektif itu? Semuanya lancar?" tanyanya. Dia meletakkan barang belanjaannya ke sofa. Dia mengeluarkan dua kotak nasi dan ayam goreng yang dia beli di resto langganannya ke atas meja makan. "Pertemuan kami berjalan lancar, tetapi," Greta menarik napas pelan. Langkahnya begitu lemas ke arah meja makan dan duduk berhadapan dengan Miley, "Billy masih belum tahu bisa atau tidak mene
Senin, hari yang membosankan bagi sebagian orang karena harus kembali beraktivitas. Ada yang pergi bekerja, ada pula yang berangkat ke sekolah. Rasanya waktu dua hari untuk menikmati akhir pekan pun tidaklah cukup. Namun, Greta tetap semangat memulai Senin ini dengan senyuman karena minggu ini adalah waktu terakhir dia bekerja sebagai sekretaris Arnold."Pagi, Sir! Saya mau ingatkan rapat akan dimulai lima menit lagi. Perwakilan dari Flamingo Estate sudah menunggu Anda di ruang rapat," ujar Greta, berdiri di depan meja Arnold.Arnold melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 07.55 a.m. "Baiklah, saya ke sana sekarang. Kau juga ikut rapat, ya."Greta menaikkan kedua alisnya. "Saya harus ikut juga, Sir? Bukankah seharusnya Ryan?" tanyanya dengan nada heran karena dia hanya seorang sekretaris, bukan asisten pribadi Arnold.Arnold beranjak dari kursi, berjalan mendekati Greta. "Ryan sedang berhalangan hadir. Dia ada rapat dengan pihak Atreya Land pagi ini. Jad
Pagi ini, hari yang spesial untuk Greta. Pasalnya, dia akan memulai hari pertamanya bekerja sebagai sekretaris di AH Group, cabang perusahaan properti terbesar di Los Angeles. Untuk itu, dia sudah bangun lebih awal dari biasanya supaya semuanya bisa disiapkan dengan baik. Mulai dari merapikan kamar, membuat sarapan, hingga menyiapkan setelan kantor dan sepatu heels yang akan dia pakai untuk pagi ini. Selesai dengan rutinitas harian, Greta buru-buru mandi dan memoles wajahnya dengan alat make up seadanya di depan meja rias. Bibirnya yang sudah terpoles lipstik tersenyum di depan cermin rias saat teringat percakapan terakhir di telepon semalam bersama Miley, teman kuliahnya dulu. "Aku i
Senin, hari yang membosankan bagi sebagian orang karena harus kembali beraktivitas. Ada yang pergi bekerja, ada pula yang berangkat ke sekolah. Rasanya waktu dua hari untuk menikmati akhir pekan pun tidaklah cukup. Namun, Greta tetap semangat memulai Senin ini dengan senyuman karena minggu ini adalah waktu terakhir dia bekerja sebagai sekretaris Arnold."Pagi, Sir! Saya mau ingatkan rapat akan dimulai lima menit lagi. Perwakilan dari Flamingo Estate sudah menunggu Anda di ruang rapat," ujar Greta, berdiri di depan meja Arnold.Arnold melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 07.55 a.m. "Baiklah, saya ke sana sekarang. Kau juga ikut rapat, ya."Greta menaikkan kedua alisnya. "Saya harus ikut juga, Sir? Bukankah seharusnya Ryan?" tanyanya dengan nada heran karena dia hanya seorang sekretaris, bukan asisten pribadi Arnold.Arnold beranjak dari kursi, berjalan mendekati Greta. "Ryan sedang berhalangan hadir. Dia ada rapat dengan pihak Atreya Land pagi ini. Jad
Greta menutup pintu apartemen. Hari ini benar-benar melelahkan. Bukan tubuhnya, melainkan pikiran dan hatinya. Dia berjalan ke dapur, mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya ke gelas. Dia meneguknya langsung hingga tandas. Belum merasa baik, dia kembali melakukan hal yang sama. Matanya terpejam sesaat, meresapi sensasi dingin yang seketika mengalir ke tubuhnya. Perlahan hati dan pikirannya mulai tenang. Miley yang baru selesai berbelanja, masuk begitu saja ke apartemen Greta karena sebelumnya dia sudah menelepon Greta bahwa dia akan datang. "Hai, Gre! Bagaimana pertemuanmu dengan detektif itu? Semuanya lancar?" tanyanya. Dia meletakkan barang belanjaannya ke sofa. Dia mengeluarkan dua kotak nasi dan ayam goreng yang dia beli di resto langganannya ke atas meja makan. "Pertemuan kami berjalan lancar, tetapi," Greta menarik napas pelan. Langkahnya begitu lemas ke arah meja makan dan duduk berhadapan dengan Miley, "Billy masih belum tahu bisa atau tidak mene
Hari Sabtu, hari libur kerja di perusahaan AH Group. Bukannya memanfaatkan waktu libur untuk beristirahat di apartemen, Greta justru membuat janji temu dengan Billy Sharpen, seorang detektif yang akan membantunya mencari keberadaan Mark, kekasihnya. Baginya, tujuan dia berada di kota besar itu jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi.Setelah turun dari taksi, Greta bergegas memasuki sebuah kafe yang berada di jantung kota Los Angeles. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri mencari Billy meski dia tidak yakin pria itu sudah datang atau belum. Matanya memperhatikan satu per satu pengunjung, baik yang sedang duduk maupun yang baru datang, di dalam kafe tersebut. Namun, dia tidak menemukan sosok pria yang berpenampilan ala detektif. Dia pikir meski tidak tahu seperti apa wajah Billy, mungkin akan mudah menemukan Billy hanya dengan melihat penampilan.Merasa seperti orang bodoh karena terus-menerus berdiri, Greta menelepon Billy. Tak membutuhkan waktu lama, telepon itu
Greta berusaha memejamkan mata. Rasa kantuk yang menyerang matanya sama sekali tidak bisa membuat gadis itu terlelap. Sejak tadi, dia hanya bergerak miring ke kanan dan kiri. Untung saja, Miley yang tidur di sampingnya, tidak terganggu karenanya. Kesal sebab terus terjaga, dia bangkit duduk dan bersandar di kepala ranjang. Matanya menoleh ke arah jam dinding. Sudah pukul 03.00 pagi. Dia masih belum tidur sedetik pun, apalagi dia harus pergi kerja beberapa jam lagi.Greta menghela napas berat. Sebenarnya, gadis itu tidak ada niat untuk begadang malam ini. Namun, pikirannya terus dihantui rasa cemas tentang bagaimana sikap dan mau berkata apa jika nanti bertemu dengan Arnold.Apa Arnold akan menagih biaya perbaikan mobil padanya atau mungkin dia akan dipecat? Lantas, bagaimana dengan paket yang semalam diterimanya? Benarkah itu sebagai tanda permintaan maaf padanya atau hanya kesenangan sesaat sebelum dia diseret ke penjara atas perbuatannya?Greta mengusap-usap w
Di dapur minimalis tampak dua orang ibu sedang sibuk dengan peralatan kue. Bertha, wanita gemuk berambut ikal warna merah kecokelatan, sedang mengaduk adonan tepung dengan mixer.Grace, wanita yang berdiri di samping Bertha, sedang mengiris strawberry yang baru dipetik suaminya dari kebun. Tiba-tiba terlintas bayangan seorang gadis yang sangat dirindukannya. Hatinya terasa sesak. Bayangan gadis itu kembali terhubung pada kejadian beberapa bulan yang lalu sebelum gadis itu pergi dari rumah.Greta menarik koper keluar dari kamar. Langkahnya terhenti saat melihat orang tuanya sedang berbincang di teras depan bersama Walter dan Bertha, paman dan bibinya."Dad, Mom, Aunty, Uncle, aku mau pergi."Obrolan empat orang tersebut terjeda, lalu menoleh ke arah Greta. Mereka saling bertukar tatap, keheranan."Kau mau pergi ke mana, Gre?" tanya Grace seraya bangkit dari kursi dan menghampiri G
Suasana pagi ini agak berbeda daripada kemarin. Tidak ada sapaan atau sambutan hangat dari para pegawai yang berdiri di depan pintu. Bahkan, tidak tampak seorang pun pegawai yang berlalu-lalang di area lobi saat Arnold melewati pintu utama.Wajar saja. Ini masih pukul 06.00 pagi dan pastinya belum ada yang datang. Arnold memang sengaja datang lebih awal karena ingin segera menyelesaikan urusan pekerjaannya di kantor cabang sebelum balik ke kantor pusatnya yang ada di Spanyol.Arnold masuk ke lift khusus. Dia menekan angka lima belas yang berarti tempat tujuannya. Berada seorang diri di dalam lift membuat ingatannya kembali pada kejadian kemarin sore di parkiran. Dia membayangkan bagaimana ekspresi Greta saat tahu dia adalah pemilik mobil itu sampai-sampai tergelak singkat. Untungnya, tidak ada yang melihat saat pintu lift terbuka. Dia kembali melanjutkan langkah menuju ruangannya.Ketika akan melewati meja sekretaris, Arnold mengambil secarik kertas kecil
Begitu banyak pekerjaan yang harus Arnold tangani hari ini hingga tidak terasa sudah pukul 05.00 sore. Sebelum pulang, Arnold berdiri di depan dinding kaca sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Tatapannya lurus ke gedung-gedung besar dan kokoh yang berdiri tak jauh dari gedung kantor miliknya. Beragam rencana untuk besok sudah tersusun rapi di otaknya. Tak lama kemudian, ponselnya berdering.Ketika melihat nama si penelepon, Arnold langsung menjawab panggilan itu, "Halo, Mom!""Kau sudah tiba di Los Angeles, Nak?""Sudah, Mom. Tadi pagi. Ada apa, Mom?""Nanti datanglah ke rumah! Mom dan Dad sangat merindukanmu.""Aku pasti datang ke rumah. Aku juga merindukan kalian.""Baiklah. Jaga kesehatanmu! Mom tunggu.""See you, Mom." Arnold mengakhiri panggilan lalu menyimpan ponselnya kembali ke saku jas. Saat akan berbalik, dia melihat sekilas ada seseorang di area parkir. Dahinya berkerut sembari menajamkan pandangan karena posisiny
Hari pertama tiba di kantor cabang, Arnold langsung memimpin rapat dengan para dewan direksi dan kepala divisi. Pria itu bersandar di punggung kursi pimpinan sambil meneliti setiap laporan. Dia mencari pokok permasalahan yang membuat perusahaan cabangnya ini mengalami penurunan omzet. Alasan inilah yang membuat dia datang ke perusahaan cabangnya.Keheningan menyelimuti ruangan itu. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara. Mereka menunggu respons dari Arnold.Arnold menegakkan tubuh setelah menemukan titik masalah. Tatapannya mengedar ke semua yang hadir di ruang rapat. "Apa kalian tahu letak masalah pada laporan-laporan ini?"Para dewan direksi dan kepala divisi itu saling bertatapan, lalu menggeleng sebagai jawaban."Kelalaian kalian yang menyebabkan semua laporan ini bermasalah. Kalian sebagai dewan direksi dan divisi tidak mengawasi pekerjaan bawahan kalian dengan baik. Bahkan, saya menemukan b
"Sebentar lagi, Mr. Herwingson, pimpinan kita dari kantor pusat akan datang. Saya harap kalian memberi sambutan terbaik untuknya." Ryan—asisten pribadi Arnold—memberi tahu kepada para direksi dan pegawai yang berdiri rapi di kedua sisi pintu utama. Mereka sudah siap sejak lima belas menit yang lalu.Saat mobil sport berwarna merah berhenti di depan cabang AH Group, Ryan bergegas menghampiri mobil tersebut. Tanpa melihat pun, Ryan sudah tahu siapa yang berada di balik kemudi.Pintu mobil terbuka otomatis ke atas. Seorang pria keluar dengan setelan kantor yang sangat rapi. Meski memakai kacamata hitam, aura ketampanannya tetap terpancar kuat hingga membuat belasan pasang mata para pegawai yang dominan perempuan berdecak kagum. Ini bukan pertama kalinya pria itu datang mengunjungi cabang perusahaannya. Namun, mereka tetap saja terpesona dengan ketampanan atasan mereka."Selamat datang, Sir," sambut Ryan d