"Sebentar lagi, Mr. Herwingson, pimpinan kita dari kantor pusat akan datang. Saya harap kalian memberi sambutan terbaik untuknya." Ryan—asisten pribadi Arnold—memberi tahu kepada para direksi dan pegawai yang berdiri rapi di kedua sisi pintu utama. Mereka sudah siap sejak lima belas menit yang lalu.
Saat mobil sport berwarna merah berhenti di depan cabang AH Group, Ryan bergegas menghampiri mobil tersebut. Tanpa melihat pun, Ryan sudah tahu siapa yang berada di balik kemudi.
Pintu mobil terbuka otomatis ke atas. Seorang pria keluar dengan setelan kantor yang sangat rapi. Meski memakai kacamata hitam, aura ketampanannya tetap terpancar kuat hingga membuat belasan pasang mata para pegawai yang dominan perempuan berdecak kagum. Ini bukan pertama kalinya pria itu datang mengunjungi cabang perusahaannya. Namun, mereka tetap saja terpesona dengan ketampanan atasan mereka.
"Selamat datang, Sir," sambut Ryan dengan membungkuk sebagai tanda hormat.
Dia adalah Arnold Herwingson, pemilik perusahaan AH Group, perusahaan real estate yang berpusat di Spanyol dan sudah memiliki cabang di beberapa negara lainnya di benua Amerika, termasuk Los Angeles.
"Terima kasih sambutannya, Ryan," jawab Arnold dengan senyum. Inilah yang dikagumi para pegawainya.
Greta turun dari taksi. Dia terperangah melihat gedung bertingkat yang bertuliskan AH Group begitu megah. Dia tidak menyangka akan bekerja sebagai sekretaris di sana, meski semua yang terjadi di luar rencananya.
Ini hanya sementara. Setelah aku menemukan keberadaan Mark, aku akan mengundurkan diri dari perusahaan ini.
Usai menengadah ke gedung itu, Greta melanjutkan langkah menuju pintu utama. Tiba-tiba, langkahnya kian pelan saat melihat keramaian di sana. Matanya terbelalak dan mulutnya sedikit terbuka. Jantungnya seketika berdetak kencang.
"Apa itu pimpinan pusat yang dimaksud Miley? Dia sudah datang. Aku harus bagaimana?"
Greta berusaha mencari cara bisa masuk tanpa ada orang yang melihatnya. Secara kebetulan, seorang office boy berjalan melewati Greta sambil mendorong peralatan kebersihan ke arah belakang kantor. Dia langsung menemukan ide. Dia mengikuti langkah office boy dengan mengendap-endap dari belakang. Setelah sampai di dalam, dia bergegas mencari toilet. Namun, dia tidak menemukan satu pun toilet meski sudah berjalan ke sana kemari.
"Gara-gara mobil merah tadi, aku harus mengalami kesialan ini!" Greta bersandar di dinding seraya menetralkan napas yang terengah-engah. "Kantor ini luas sekali. Aku tidak tahu harus mencari toilet di mana lagi."
Akhirnya, Greta menyerah setelah lelah berkeliling. Dia menanyakan kepada salah satu pegawai yang lewat. Setelah mendapat arah, dia melangkah cepat menuju toilet. Untung saja, keadaan di dalam sangat sepi sehingga tidak ada yang melihatnya. Dia mencoba membersihkan noda di pakaiannya dengan air. Dia pikir cara itu efektif bisa menghilangkan noda. Kenyataannya, semua usahanya sia-sia. Penampilannya jadi semakin terlihat buruk.
Greta menggertakkan gigi sambil menatap pantulan dirinya di depan cermin. "Kalau nanti aku bertemu dengan mobil itu lagi, akan aku rusaki mobil itu! Lebih bagus lagi jika aku bisa bertemu dengan pemilik mobil itu. Aku akan memarahinya atau mungkin menghukumnya!"
Tak lama kemudian, beberapa derap langkah kaki yang melewati toilet itu mengganggu kegiatannya.
"Gawat! Sepertinya, pimpinan pusat akan sampai di ruangannya. Bagaimana jika dia melihat sekretaris barunya tidak ada di tempat? Aku bisa dipecat! Aku harus segera keluar sebelum dia sampai." Greta menatap nanar pakaiannya. "Semoga saja pimpinan pusat itu tidak memperhatikan pakaianku."
Ketika pintu lift terbuka, Ryan mengekori langkah Arnold menuju ruangan CEO yang terletak di sudut lantai teratas ini.
"Ryan, apa kau sudah menyiapkan seorang sekretaris selama aku di sini?"
"Sudah, Sir. Semua keperluan Anda selama di sini juga sudah saya siapkan sesuai keinginan Anda."
"Aku percaya dengan kinerjamu, Ryan. Oleh karena itu, aku sangat memercayaimu dalam melakukan sesuatu. Aku yakin sekretaris yang kaupilih pasti sangat berkompeten dan bisa diandalkan."
"Terima kasih, Sir." Seharusnya, Ryan bangga mendapat pujian dari Arnold. Namun, hatinya gelisah memikirkan sekretaris baru yang dipilihnya kemarin. Semoga dia benar-benar bisa diandalkan. Jika tidak, aku pasti akan dimarahi dan dipecat Mr. Herwingson.
Ketika melihat dua orang pria yang berjalan ke arahnya, Greta merapikan rambutnya cepat-cepat dan berpura-pura menyiapkan tugasnya sebagai seorang sekretaris. Dia mencoba mencari pena di dalam laci meja. Saat membuka laci pertama, dia menemukan beberapa map dan alat tulis yang lengkap. Dia tidak tahu isi map itu, tetapi dia keluarkan semuanya dan sebuah pena. Namun, pena itu justru terlepas dari tangannya dan terjatuh ke lantai.
Saat akan mengambilnya, Greta melihat dari bawah mejanya ada dua pasang sepatu berwarna hitam mengkilap berjalan melewati mejanya. Matanya membulat. Saat akan berdiri, kepalanya terbentur meja. Dia merintih kesakitan sembari memegang kepalanya.
Arnold dan Ryan menghentikan langkahnya ketika mendengar suara Greta. Greta merasa malu dengan kecerobohannya tadi. Arnold menatapnya datar, sedangkan Ryan menatapnya tajam. Greta segera berdiri, lalu menunduk. "Selamat pagi, Sir."
Arnold mengangguk kecil. "Pagi." Kemudian, dia masuk ke ruangannya. Greta menoleh ke arah pintu yang sudah tertutup, lalu duduk dan menghela napas lega.
"Untung saja, ada yang memberitahuku letak ruangan CEO sehingga aku bisa tepat waktu berada di sini." Greta menggosok-gosok kepalanya karena terbentur tadi. "Aku tidak akan pernah melupakan kejadian hari ini. Benar-benar membuatku dalam masalah!"
Semenit kemudian, Ryan keluar dari ruangan Arnold dan memberi tahu Greta bahwa Arnold memanggilnya.
"Baik, Sir." Greta beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan ke ruangan Arnold. Baru saja dia akan mengetuk pintu, pintu itu terbuka otomatis. Greta berdecak kagum melihat kecanggihan pintu itu. Saat dia masuk, pintu itu pun tertutup otomatis.
Greta berdiri di depan meja Arnold. "Anda memanggil saya, Sir?"
Arnold bersandar di punggung kursi seraya menatap Greta datar. "Jadi, kau yang akan menjadi sekretarisku?"
"Benar, Sir." Jantung Greta berdegup tidak karuan. Kedua tangannya yang berada di samping badan, meremas-remas roknya.
"Apa namamu?"
"Nama saya Greta Monica, Sir."
"Apa kau pernah bekerja sebagai sekretaris sebelumnya?"
Greta menggeleng pelan. "Belum pernah, Sir. Ini pertama kalinya saya bekerja sebagai sekretaris."
Hening sesaat. Arnold membaca satu per satu biodata yang terlampir di surat lamaran kerja milik Greta. Alisnya terangkat sebelah. "Kau dari Finlandia? Jauh-jauh datang ke Los Angeles untuk bekerja?"
Greta tergagap. Matanya bergerak gelisah. "Benar, Sir." Dia terpaksa berbohong meski sebenarnya bukan itu tujuan utama dia datang ke Los Angeles.
"Kau pasti sudah tahu Ryan, 'kan? Dia adalah asistenku. Dia yang akan menjelaskan apa saja tugasmu nanti. Saya harap kau bisa melakukan semua tugasmu dengan baik. Saya tidak suka pegawai yang ceroboh, tidak disiplin, dan," Arnold menegakkan tubuhnya, "berpakaian kotor."
Greta membelalakkan matanya. Dia menelan salivanya. Badannya merinding seketika. Inilah yang dicemasnya sejak di toilet tadi. Apa aku akan dipecat? Ah, benar-benar memalukan jika itu memang terjadi di hari pertamaku bekerja!
"Untuk hari ini, saya maafkan. Namun, untuk lain hari, saya akan menghukummu supaya besok dan seterusnya kau terbiasa untuk menggunakan pakaian yang bersih. Kau paham?"
Greta tertegun dengan pernyataan Arnold. menatap pakaiannya yang terlihat sedikit basah dan masih ada bekas noda. Dia merasa tersindir oleh penuturan Arnold. Gadis itu tersenyum paksa. "Baik, Sir."
"Kau bisa kembali ke mejamu. Sebentar lagi, Ryan akan memberitahu tugas-tugasmu."
Greta pamit undur diri, lalu bergegas meninggalkan ruangan Arnold. Dia menghela napas lega. "Syukurlah, aku tidak jadi dipecat. Ternyata, Mr. Herwingson itu tidak seperti yang aku pikirkan. Dia baik dan bijak."
"Bisa kita mulai sekarang, Greta?" Ryan mendekati meja Greta.
Mata Greta membulat saat melihat setumpuk map yang dibawa Ryan. Apa lagi ini? Aku harus mengerjakan semuanya?
***
Hari pertama tiba di kantor cabang, Arnold langsung memimpin rapat dengan para dewan direksi dan kepala divisi. Pria itu bersandar di punggung kursi pimpinan sambil meneliti setiap laporan. Dia mencari pokok permasalahan yang membuat perusahaan cabangnya ini mengalami penurunan omzet. Alasan inilah yang membuat dia datang ke perusahaan cabangnya.Keheningan menyelimuti ruangan itu. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara. Mereka menunggu respons dari Arnold.Arnold menegakkan tubuh setelah menemukan titik masalah. Tatapannya mengedar ke semua yang hadir di ruang rapat. "Apa kalian tahu letak masalah pada laporan-laporan ini?"Para dewan direksi dan kepala divisi itu saling bertatapan, lalu menggeleng sebagai jawaban."Kelalaian kalian yang menyebabkan semua laporan ini bermasalah. Kalian sebagai dewan direksi dan divisi tidak mengawasi pekerjaan bawahan kalian dengan baik. Bahkan, saya menemukan b
Begitu banyak pekerjaan yang harus Arnold tangani hari ini hingga tidak terasa sudah pukul 05.00 sore. Sebelum pulang, Arnold berdiri di depan dinding kaca sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Tatapannya lurus ke gedung-gedung besar dan kokoh yang berdiri tak jauh dari gedung kantor miliknya. Beragam rencana untuk besok sudah tersusun rapi di otaknya. Tak lama kemudian, ponselnya berdering.Ketika melihat nama si penelepon, Arnold langsung menjawab panggilan itu, "Halo, Mom!""Kau sudah tiba di Los Angeles, Nak?""Sudah, Mom. Tadi pagi. Ada apa, Mom?""Nanti datanglah ke rumah! Mom dan Dad sangat merindukanmu.""Aku pasti datang ke rumah. Aku juga merindukan kalian.""Baiklah. Jaga kesehatanmu! Mom tunggu.""See you, Mom." Arnold mengakhiri panggilan lalu menyimpan ponselnya kembali ke saku jas. Saat akan berbalik, dia melihat sekilas ada seseorang di area parkir. Dahinya berkerut sembari menajamkan pandangan karena posisiny
Suasana pagi ini agak berbeda daripada kemarin. Tidak ada sapaan atau sambutan hangat dari para pegawai yang berdiri di depan pintu. Bahkan, tidak tampak seorang pun pegawai yang berlalu-lalang di area lobi saat Arnold melewati pintu utama.Wajar saja. Ini masih pukul 06.00 pagi dan pastinya belum ada yang datang. Arnold memang sengaja datang lebih awal karena ingin segera menyelesaikan urusan pekerjaannya di kantor cabang sebelum balik ke kantor pusatnya yang ada di Spanyol.Arnold masuk ke lift khusus. Dia menekan angka lima belas yang berarti tempat tujuannya. Berada seorang diri di dalam lift membuat ingatannya kembali pada kejadian kemarin sore di parkiran. Dia membayangkan bagaimana ekspresi Greta saat tahu dia adalah pemilik mobil itu sampai-sampai tergelak singkat. Untungnya, tidak ada yang melihat saat pintu lift terbuka. Dia kembali melanjutkan langkah menuju ruangannya.Ketika akan melewati meja sekretaris, Arnold mengambil secarik kertas kecil
Di dapur minimalis tampak dua orang ibu sedang sibuk dengan peralatan kue. Bertha, wanita gemuk berambut ikal warna merah kecokelatan, sedang mengaduk adonan tepung dengan mixer.Grace, wanita yang berdiri di samping Bertha, sedang mengiris strawberry yang baru dipetik suaminya dari kebun. Tiba-tiba terlintas bayangan seorang gadis yang sangat dirindukannya. Hatinya terasa sesak. Bayangan gadis itu kembali terhubung pada kejadian beberapa bulan yang lalu sebelum gadis itu pergi dari rumah.Greta menarik koper keluar dari kamar. Langkahnya terhenti saat melihat orang tuanya sedang berbincang di teras depan bersama Walter dan Bertha, paman dan bibinya."Dad, Mom, Aunty, Uncle, aku mau pergi."Obrolan empat orang tersebut terjeda, lalu menoleh ke arah Greta. Mereka saling bertukar tatap, keheranan."Kau mau pergi ke mana, Gre?" tanya Grace seraya bangkit dari kursi dan menghampiri G
Greta berusaha memejamkan mata. Rasa kantuk yang menyerang matanya sama sekali tidak bisa membuat gadis itu terlelap. Sejak tadi, dia hanya bergerak miring ke kanan dan kiri. Untung saja, Miley yang tidur di sampingnya, tidak terganggu karenanya. Kesal sebab terus terjaga, dia bangkit duduk dan bersandar di kepala ranjang. Matanya menoleh ke arah jam dinding. Sudah pukul 03.00 pagi. Dia masih belum tidur sedetik pun, apalagi dia harus pergi kerja beberapa jam lagi.Greta menghela napas berat. Sebenarnya, gadis itu tidak ada niat untuk begadang malam ini. Namun, pikirannya terus dihantui rasa cemas tentang bagaimana sikap dan mau berkata apa jika nanti bertemu dengan Arnold.Apa Arnold akan menagih biaya perbaikan mobil padanya atau mungkin dia akan dipecat? Lantas, bagaimana dengan paket yang semalam diterimanya? Benarkah itu sebagai tanda permintaan maaf padanya atau hanya kesenangan sesaat sebelum dia diseret ke penjara atas perbuatannya?Greta mengusap-usap w
Hari Sabtu, hari libur kerja di perusahaan AH Group. Bukannya memanfaatkan waktu libur untuk beristirahat di apartemen, Greta justru membuat janji temu dengan Billy Sharpen, seorang detektif yang akan membantunya mencari keberadaan Mark, kekasihnya. Baginya, tujuan dia berada di kota besar itu jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi.Setelah turun dari taksi, Greta bergegas memasuki sebuah kafe yang berada di jantung kota Los Angeles. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri mencari Billy meski dia tidak yakin pria itu sudah datang atau belum. Matanya memperhatikan satu per satu pengunjung, baik yang sedang duduk maupun yang baru datang, di dalam kafe tersebut. Namun, dia tidak menemukan sosok pria yang berpenampilan ala detektif. Dia pikir meski tidak tahu seperti apa wajah Billy, mungkin akan mudah menemukan Billy hanya dengan melihat penampilan.Merasa seperti orang bodoh karena terus-menerus berdiri, Greta menelepon Billy. Tak membutuhkan waktu lama, telepon itu
Greta menutup pintu apartemen. Hari ini benar-benar melelahkan. Bukan tubuhnya, melainkan pikiran dan hatinya. Dia berjalan ke dapur, mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya ke gelas. Dia meneguknya langsung hingga tandas. Belum merasa baik, dia kembali melakukan hal yang sama. Matanya terpejam sesaat, meresapi sensasi dingin yang seketika mengalir ke tubuhnya. Perlahan hati dan pikirannya mulai tenang. Miley yang baru selesai berbelanja, masuk begitu saja ke apartemen Greta karena sebelumnya dia sudah menelepon Greta bahwa dia akan datang. "Hai, Gre! Bagaimana pertemuanmu dengan detektif itu? Semuanya lancar?" tanyanya. Dia meletakkan barang belanjaannya ke sofa. Dia mengeluarkan dua kotak nasi dan ayam goreng yang dia beli di resto langganannya ke atas meja makan. "Pertemuan kami berjalan lancar, tetapi," Greta menarik napas pelan. Langkahnya begitu lemas ke arah meja makan dan duduk berhadapan dengan Miley, "Billy masih belum tahu bisa atau tidak mene
Senin, hari yang membosankan bagi sebagian orang karena harus kembali beraktivitas. Ada yang pergi bekerja, ada pula yang berangkat ke sekolah. Rasanya waktu dua hari untuk menikmati akhir pekan pun tidaklah cukup. Namun, Greta tetap semangat memulai Senin ini dengan senyuman karena minggu ini adalah waktu terakhir dia bekerja sebagai sekretaris Arnold."Pagi, Sir! Saya mau ingatkan rapat akan dimulai lima menit lagi. Perwakilan dari Flamingo Estate sudah menunggu Anda di ruang rapat," ujar Greta, berdiri di depan meja Arnold.Arnold melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 07.55 a.m. "Baiklah, saya ke sana sekarang. Kau juga ikut rapat, ya."Greta menaikkan kedua alisnya. "Saya harus ikut juga, Sir? Bukankah seharusnya Ryan?" tanyanya dengan nada heran karena dia hanya seorang sekretaris, bukan asisten pribadi Arnold.Arnold beranjak dari kursi, berjalan mendekati Greta. "Ryan sedang berhalangan hadir. Dia ada rapat dengan pihak Atreya Land pagi ini. Jad
Senin, hari yang membosankan bagi sebagian orang karena harus kembali beraktivitas. Ada yang pergi bekerja, ada pula yang berangkat ke sekolah. Rasanya waktu dua hari untuk menikmati akhir pekan pun tidaklah cukup. Namun, Greta tetap semangat memulai Senin ini dengan senyuman karena minggu ini adalah waktu terakhir dia bekerja sebagai sekretaris Arnold."Pagi, Sir! Saya mau ingatkan rapat akan dimulai lima menit lagi. Perwakilan dari Flamingo Estate sudah menunggu Anda di ruang rapat," ujar Greta, berdiri di depan meja Arnold.Arnold melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 07.55 a.m. "Baiklah, saya ke sana sekarang. Kau juga ikut rapat, ya."Greta menaikkan kedua alisnya. "Saya harus ikut juga, Sir? Bukankah seharusnya Ryan?" tanyanya dengan nada heran karena dia hanya seorang sekretaris, bukan asisten pribadi Arnold.Arnold beranjak dari kursi, berjalan mendekati Greta. "Ryan sedang berhalangan hadir. Dia ada rapat dengan pihak Atreya Land pagi ini. Jad
Greta menutup pintu apartemen. Hari ini benar-benar melelahkan. Bukan tubuhnya, melainkan pikiran dan hatinya. Dia berjalan ke dapur, mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya ke gelas. Dia meneguknya langsung hingga tandas. Belum merasa baik, dia kembali melakukan hal yang sama. Matanya terpejam sesaat, meresapi sensasi dingin yang seketika mengalir ke tubuhnya. Perlahan hati dan pikirannya mulai tenang. Miley yang baru selesai berbelanja, masuk begitu saja ke apartemen Greta karena sebelumnya dia sudah menelepon Greta bahwa dia akan datang. "Hai, Gre! Bagaimana pertemuanmu dengan detektif itu? Semuanya lancar?" tanyanya. Dia meletakkan barang belanjaannya ke sofa. Dia mengeluarkan dua kotak nasi dan ayam goreng yang dia beli di resto langganannya ke atas meja makan. "Pertemuan kami berjalan lancar, tetapi," Greta menarik napas pelan. Langkahnya begitu lemas ke arah meja makan dan duduk berhadapan dengan Miley, "Billy masih belum tahu bisa atau tidak mene
Hari Sabtu, hari libur kerja di perusahaan AH Group. Bukannya memanfaatkan waktu libur untuk beristirahat di apartemen, Greta justru membuat janji temu dengan Billy Sharpen, seorang detektif yang akan membantunya mencari keberadaan Mark, kekasihnya. Baginya, tujuan dia berada di kota besar itu jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi.Setelah turun dari taksi, Greta bergegas memasuki sebuah kafe yang berada di jantung kota Los Angeles. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri mencari Billy meski dia tidak yakin pria itu sudah datang atau belum. Matanya memperhatikan satu per satu pengunjung, baik yang sedang duduk maupun yang baru datang, di dalam kafe tersebut. Namun, dia tidak menemukan sosok pria yang berpenampilan ala detektif. Dia pikir meski tidak tahu seperti apa wajah Billy, mungkin akan mudah menemukan Billy hanya dengan melihat penampilan.Merasa seperti orang bodoh karena terus-menerus berdiri, Greta menelepon Billy. Tak membutuhkan waktu lama, telepon itu
Greta berusaha memejamkan mata. Rasa kantuk yang menyerang matanya sama sekali tidak bisa membuat gadis itu terlelap. Sejak tadi, dia hanya bergerak miring ke kanan dan kiri. Untung saja, Miley yang tidur di sampingnya, tidak terganggu karenanya. Kesal sebab terus terjaga, dia bangkit duduk dan bersandar di kepala ranjang. Matanya menoleh ke arah jam dinding. Sudah pukul 03.00 pagi. Dia masih belum tidur sedetik pun, apalagi dia harus pergi kerja beberapa jam lagi.Greta menghela napas berat. Sebenarnya, gadis itu tidak ada niat untuk begadang malam ini. Namun, pikirannya terus dihantui rasa cemas tentang bagaimana sikap dan mau berkata apa jika nanti bertemu dengan Arnold.Apa Arnold akan menagih biaya perbaikan mobil padanya atau mungkin dia akan dipecat? Lantas, bagaimana dengan paket yang semalam diterimanya? Benarkah itu sebagai tanda permintaan maaf padanya atau hanya kesenangan sesaat sebelum dia diseret ke penjara atas perbuatannya?Greta mengusap-usap w
Di dapur minimalis tampak dua orang ibu sedang sibuk dengan peralatan kue. Bertha, wanita gemuk berambut ikal warna merah kecokelatan, sedang mengaduk adonan tepung dengan mixer.Grace, wanita yang berdiri di samping Bertha, sedang mengiris strawberry yang baru dipetik suaminya dari kebun. Tiba-tiba terlintas bayangan seorang gadis yang sangat dirindukannya. Hatinya terasa sesak. Bayangan gadis itu kembali terhubung pada kejadian beberapa bulan yang lalu sebelum gadis itu pergi dari rumah.Greta menarik koper keluar dari kamar. Langkahnya terhenti saat melihat orang tuanya sedang berbincang di teras depan bersama Walter dan Bertha, paman dan bibinya."Dad, Mom, Aunty, Uncle, aku mau pergi."Obrolan empat orang tersebut terjeda, lalu menoleh ke arah Greta. Mereka saling bertukar tatap, keheranan."Kau mau pergi ke mana, Gre?" tanya Grace seraya bangkit dari kursi dan menghampiri G
Suasana pagi ini agak berbeda daripada kemarin. Tidak ada sapaan atau sambutan hangat dari para pegawai yang berdiri di depan pintu. Bahkan, tidak tampak seorang pun pegawai yang berlalu-lalang di area lobi saat Arnold melewati pintu utama.Wajar saja. Ini masih pukul 06.00 pagi dan pastinya belum ada yang datang. Arnold memang sengaja datang lebih awal karena ingin segera menyelesaikan urusan pekerjaannya di kantor cabang sebelum balik ke kantor pusatnya yang ada di Spanyol.Arnold masuk ke lift khusus. Dia menekan angka lima belas yang berarti tempat tujuannya. Berada seorang diri di dalam lift membuat ingatannya kembali pada kejadian kemarin sore di parkiran. Dia membayangkan bagaimana ekspresi Greta saat tahu dia adalah pemilik mobil itu sampai-sampai tergelak singkat. Untungnya, tidak ada yang melihat saat pintu lift terbuka. Dia kembali melanjutkan langkah menuju ruangannya.Ketika akan melewati meja sekretaris, Arnold mengambil secarik kertas kecil
Begitu banyak pekerjaan yang harus Arnold tangani hari ini hingga tidak terasa sudah pukul 05.00 sore. Sebelum pulang, Arnold berdiri di depan dinding kaca sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Tatapannya lurus ke gedung-gedung besar dan kokoh yang berdiri tak jauh dari gedung kantor miliknya. Beragam rencana untuk besok sudah tersusun rapi di otaknya. Tak lama kemudian, ponselnya berdering.Ketika melihat nama si penelepon, Arnold langsung menjawab panggilan itu, "Halo, Mom!""Kau sudah tiba di Los Angeles, Nak?""Sudah, Mom. Tadi pagi. Ada apa, Mom?""Nanti datanglah ke rumah! Mom dan Dad sangat merindukanmu.""Aku pasti datang ke rumah. Aku juga merindukan kalian.""Baiklah. Jaga kesehatanmu! Mom tunggu.""See you, Mom." Arnold mengakhiri panggilan lalu menyimpan ponselnya kembali ke saku jas. Saat akan berbalik, dia melihat sekilas ada seseorang di area parkir. Dahinya berkerut sembari menajamkan pandangan karena posisiny
Hari pertama tiba di kantor cabang, Arnold langsung memimpin rapat dengan para dewan direksi dan kepala divisi. Pria itu bersandar di punggung kursi pimpinan sambil meneliti setiap laporan. Dia mencari pokok permasalahan yang membuat perusahaan cabangnya ini mengalami penurunan omzet. Alasan inilah yang membuat dia datang ke perusahaan cabangnya.Keheningan menyelimuti ruangan itu. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara. Mereka menunggu respons dari Arnold.Arnold menegakkan tubuh setelah menemukan titik masalah. Tatapannya mengedar ke semua yang hadir di ruang rapat. "Apa kalian tahu letak masalah pada laporan-laporan ini?"Para dewan direksi dan kepala divisi itu saling bertatapan, lalu menggeleng sebagai jawaban."Kelalaian kalian yang menyebabkan semua laporan ini bermasalah. Kalian sebagai dewan direksi dan divisi tidak mengawasi pekerjaan bawahan kalian dengan baik. Bahkan, saya menemukan b
"Sebentar lagi, Mr. Herwingson, pimpinan kita dari kantor pusat akan datang. Saya harap kalian memberi sambutan terbaik untuknya." Ryan—asisten pribadi Arnold—memberi tahu kepada para direksi dan pegawai yang berdiri rapi di kedua sisi pintu utama. Mereka sudah siap sejak lima belas menit yang lalu.Saat mobil sport berwarna merah berhenti di depan cabang AH Group, Ryan bergegas menghampiri mobil tersebut. Tanpa melihat pun, Ryan sudah tahu siapa yang berada di balik kemudi.Pintu mobil terbuka otomatis ke atas. Seorang pria keluar dengan setelan kantor yang sangat rapi. Meski memakai kacamata hitam, aura ketampanannya tetap terpancar kuat hingga membuat belasan pasang mata para pegawai yang dominan perempuan berdecak kagum. Ini bukan pertama kalinya pria itu datang mengunjungi cabang perusahaannya. Namun, mereka tetap saja terpesona dengan ketampanan atasan mereka."Selamat datang, Sir," sambut Ryan d