Pagi ini, hari yang spesial untuk Greta. Pasalnya, dia akan memulai hari pertamanya bekerja sebagai sekretaris di AH Group, cabang perusahaan properti terbesar di Los Angeles. Untuk itu, dia sudah bangun lebih awal dari biasanya supaya semuanya bisa disiapkan dengan baik. Mulai dari merapikan kamar, membuat sarapan, hingga menyiapkan setelan kantor dan sepatu heels yang akan dia pakai untuk pagi ini.
Selesai dengan rutinitas harian, Greta buru-buru mandi dan memoles wajahnya dengan alat make up seadanya di depan meja rias. Bibirnya yang sudah terpoles lipstik tersenyum di depan cermin rias saat teringat percakapan terakhir di telepon semalam bersama Miley, teman kuliahnya dulu.
"Aku ingatkan lagi ya, Gre. Perhatikan penampilanmu besok. Gunakan juga pakaian terbaikmu. Aku tidak mau kau dipecat di hari pertama, apalagi Mr. Herwingson itu tipe yang disiplin, tegas, dan perfeksionis."
Temannya itu memang sangat perhatian dan peduli dengannya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Los Angeles, Miley adalah satu-satunya orang yang dia kenal. Itu pun mereka tidak sengaja bertemu saat Greta sedang putus asa mencari keberadaan Mark Squest, kekasihnya yang pergi tanpa kabar sampai detik ini. Miley pun menyarankan agar Greta bekerja untuk bertahan hidup sampai dia bisa bertemu dengan Mark. Sangat kebetulan, di perusahaan tempat dia bekerja ada lowongan kerja sebagai sekretaris. Saran Miley langsung diterima Greta tanpa pikir panjang.
Greta menatap lurus ke cermin melihat penampilannya sendiri. Senyumnya kian mengembang. "Perfect. Mr. Herwingson pasti akan terpesona dengan penampilanku."
Sebuah pesan singkat baru saja terkirim ke ponselnya. Tatapannya beralih untuk melihat pesan tersebut.
"Miley?" Ternyata, temannya yang mengirim pesan itu. Senyumnya memudar kala membaca isi pesan tersebut. Dia mendesah pelan. Miley harus datang lebih awal karena harus menyiapkan laporan untuk rapat dadakan bersama atasannya dan tidak bisa menjemput Greta.
"Mau tidak mau, aku harus berangkat sendiri tanpa Miley."
Greta bergegas memasukkan beberapa alat make up ke tasnya, lalu keluar dari apartemennya. Sayangnya, niat untuk datang lebih awal terhambat saat taksi yang ditumpanginya berhenti di pertengahan jalan. Salah satu ban taksi itu bocor. Dia pun bingung harus berbuat apa, sedangkan waktu terus bergulir semakin cepat.
Tidak ada pilihan lain.
Untuk mempersingkat waktu, Greta memutuskan berjalan kaki sambil sesekali menoleh ke belakang, apakah ada taksi yang lewat atau tidak. Dia berharap di dalam hati agar tidak datang terlambat di hari pertama bekerja.
Karena semalam hujan turun sangat lebat, banyak genangan air di pinggir jalan. Dia pun melangkah dengan hati-hati agar pakaiannya tidak kotor. Tiba-tiba, ada sebuah mobil sport merah melaju sangat cepat dari arah belakang sehingga tidak sengaja mencipratkan genangan air ke pakaiannya.
Greta memekik kaget saat melihat sebagian pakaiannya kotor. Dia mengumpat kesal ke arah mobil merah yang sudah bergerak jauh. "Gara-gara mobil itu, penampilanku jadi tidak sempurna lagi. Bagaimana ini? Mau pulang untuk ganti baju sudah tidak ada waktu lagi."
Seketika, sebuah taksi lain berhenti untuk menawarkan tumpangan. Greta bergegas naik dan melupakan sejenak pakaiannya yang kotor itu.
"Sebentar lagi, Mr. Herwingson, pimpinan kita dari kantor pusat akan datang. Saya harap kalian memberi sambutan terbaik untuknya." Ryan—asisten pribadi Arnold—memberi tahu kepada para direksi dan pegawai yang berdiri rapi di kedua sisi pintu utama. Mereka sudah siap sejak lima belas menit yang lalu.Saat mobil sport berwarna merah berhenti di depan cabang AH Group, Ryan bergegas menghampiri mobil tersebut. Tanpa melihat pun, Ryan sudah tahu siapa yang berada di balik kemudi.Pintu mobil terbuka otomatis ke atas. Seorang pria keluar dengan setelan kantor yang sangat rapi. Meski memakai kacamata hitam, aura ketampanannya tetap terpancar kuat hingga membuat belasan pasang mata para pegawai yang dominan perempuan berdecak kagum. Ini bukan pertama kalinya pria itu datang mengunjungi cabang perusahaannya. Namun, mereka tetap saja terpesona dengan ketampanan atasan mereka."Selamat datang, Sir," sambut Ryan d
Hari pertama tiba di kantor cabang, Arnold langsung memimpin rapat dengan para dewan direksi dan kepala divisi. Pria itu bersandar di punggung kursi pimpinan sambil meneliti setiap laporan. Dia mencari pokok permasalahan yang membuat perusahaan cabangnya ini mengalami penurunan omzet. Alasan inilah yang membuat dia datang ke perusahaan cabangnya.Keheningan menyelimuti ruangan itu. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara. Mereka menunggu respons dari Arnold.Arnold menegakkan tubuh setelah menemukan titik masalah. Tatapannya mengedar ke semua yang hadir di ruang rapat. "Apa kalian tahu letak masalah pada laporan-laporan ini?"Para dewan direksi dan kepala divisi itu saling bertatapan, lalu menggeleng sebagai jawaban."Kelalaian kalian yang menyebabkan semua laporan ini bermasalah. Kalian sebagai dewan direksi dan divisi tidak mengawasi pekerjaan bawahan kalian dengan baik. Bahkan, saya menemukan b
Begitu banyak pekerjaan yang harus Arnold tangani hari ini hingga tidak terasa sudah pukul 05.00 sore. Sebelum pulang, Arnold berdiri di depan dinding kaca sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Tatapannya lurus ke gedung-gedung besar dan kokoh yang berdiri tak jauh dari gedung kantor miliknya. Beragam rencana untuk besok sudah tersusun rapi di otaknya. Tak lama kemudian, ponselnya berdering.Ketika melihat nama si penelepon, Arnold langsung menjawab panggilan itu, "Halo, Mom!""Kau sudah tiba di Los Angeles, Nak?""Sudah, Mom. Tadi pagi. Ada apa, Mom?""Nanti datanglah ke rumah! Mom dan Dad sangat merindukanmu.""Aku pasti datang ke rumah. Aku juga merindukan kalian.""Baiklah. Jaga kesehatanmu! Mom tunggu.""See you, Mom." Arnold mengakhiri panggilan lalu menyimpan ponselnya kembali ke saku jas. Saat akan berbalik, dia melihat sekilas ada seseorang di area parkir. Dahinya berkerut sembari menajamkan pandangan karena posisiny
Suasana pagi ini agak berbeda daripada kemarin. Tidak ada sapaan atau sambutan hangat dari para pegawai yang berdiri di depan pintu. Bahkan, tidak tampak seorang pun pegawai yang berlalu-lalang di area lobi saat Arnold melewati pintu utama.Wajar saja. Ini masih pukul 06.00 pagi dan pastinya belum ada yang datang. Arnold memang sengaja datang lebih awal karena ingin segera menyelesaikan urusan pekerjaannya di kantor cabang sebelum balik ke kantor pusatnya yang ada di Spanyol.Arnold masuk ke lift khusus. Dia menekan angka lima belas yang berarti tempat tujuannya. Berada seorang diri di dalam lift membuat ingatannya kembali pada kejadian kemarin sore di parkiran. Dia membayangkan bagaimana ekspresi Greta saat tahu dia adalah pemilik mobil itu sampai-sampai tergelak singkat. Untungnya, tidak ada yang melihat saat pintu lift terbuka. Dia kembali melanjutkan langkah menuju ruangannya.Ketika akan melewati meja sekretaris, Arnold mengambil secarik kertas kecil
Di dapur minimalis tampak dua orang ibu sedang sibuk dengan peralatan kue. Bertha, wanita gemuk berambut ikal warna merah kecokelatan, sedang mengaduk adonan tepung dengan mixer.Grace, wanita yang berdiri di samping Bertha, sedang mengiris strawberry yang baru dipetik suaminya dari kebun. Tiba-tiba terlintas bayangan seorang gadis yang sangat dirindukannya. Hatinya terasa sesak. Bayangan gadis itu kembali terhubung pada kejadian beberapa bulan yang lalu sebelum gadis itu pergi dari rumah.Greta menarik koper keluar dari kamar. Langkahnya terhenti saat melihat orang tuanya sedang berbincang di teras depan bersama Walter dan Bertha, paman dan bibinya."Dad, Mom, Aunty, Uncle, aku mau pergi."Obrolan empat orang tersebut terjeda, lalu menoleh ke arah Greta. Mereka saling bertukar tatap, keheranan."Kau mau pergi ke mana, Gre?" tanya Grace seraya bangkit dari kursi dan menghampiri G
Greta berusaha memejamkan mata. Rasa kantuk yang menyerang matanya sama sekali tidak bisa membuat gadis itu terlelap. Sejak tadi, dia hanya bergerak miring ke kanan dan kiri. Untung saja, Miley yang tidur di sampingnya, tidak terganggu karenanya. Kesal sebab terus terjaga, dia bangkit duduk dan bersandar di kepala ranjang. Matanya menoleh ke arah jam dinding. Sudah pukul 03.00 pagi. Dia masih belum tidur sedetik pun, apalagi dia harus pergi kerja beberapa jam lagi.Greta menghela napas berat. Sebenarnya, gadis itu tidak ada niat untuk begadang malam ini. Namun, pikirannya terus dihantui rasa cemas tentang bagaimana sikap dan mau berkata apa jika nanti bertemu dengan Arnold.Apa Arnold akan menagih biaya perbaikan mobil padanya atau mungkin dia akan dipecat? Lantas, bagaimana dengan paket yang semalam diterimanya? Benarkah itu sebagai tanda permintaan maaf padanya atau hanya kesenangan sesaat sebelum dia diseret ke penjara atas perbuatannya?Greta mengusap-usap w
Hari Sabtu, hari libur kerja di perusahaan AH Group. Bukannya memanfaatkan waktu libur untuk beristirahat di apartemen, Greta justru membuat janji temu dengan Billy Sharpen, seorang detektif yang akan membantunya mencari keberadaan Mark, kekasihnya. Baginya, tujuan dia berada di kota besar itu jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi.Setelah turun dari taksi, Greta bergegas memasuki sebuah kafe yang berada di jantung kota Los Angeles. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri mencari Billy meski dia tidak yakin pria itu sudah datang atau belum. Matanya memperhatikan satu per satu pengunjung, baik yang sedang duduk maupun yang baru datang, di dalam kafe tersebut. Namun, dia tidak menemukan sosok pria yang berpenampilan ala detektif. Dia pikir meski tidak tahu seperti apa wajah Billy, mungkin akan mudah menemukan Billy hanya dengan melihat penampilan.Merasa seperti orang bodoh karena terus-menerus berdiri, Greta menelepon Billy. Tak membutuhkan waktu lama, telepon itu
Greta menutup pintu apartemen. Hari ini benar-benar melelahkan. Bukan tubuhnya, melainkan pikiran dan hatinya. Dia berjalan ke dapur, mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya ke gelas. Dia meneguknya langsung hingga tandas. Belum merasa baik, dia kembali melakukan hal yang sama. Matanya terpejam sesaat, meresapi sensasi dingin yang seketika mengalir ke tubuhnya. Perlahan hati dan pikirannya mulai tenang. Miley yang baru selesai berbelanja, masuk begitu saja ke apartemen Greta karena sebelumnya dia sudah menelepon Greta bahwa dia akan datang. "Hai, Gre! Bagaimana pertemuanmu dengan detektif itu? Semuanya lancar?" tanyanya. Dia meletakkan barang belanjaannya ke sofa. Dia mengeluarkan dua kotak nasi dan ayam goreng yang dia beli di resto langganannya ke atas meja makan. "Pertemuan kami berjalan lancar, tetapi," Greta menarik napas pelan. Langkahnya begitu lemas ke arah meja makan dan duduk berhadapan dengan Miley, "Billy masih belum tahu bisa atau tidak mene
Senin, hari yang membosankan bagi sebagian orang karena harus kembali beraktivitas. Ada yang pergi bekerja, ada pula yang berangkat ke sekolah. Rasanya waktu dua hari untuk menikmati akhir pekan pun tidaklah cukup. Namun, Greta tetap semangat memulai Senin ini dengan senyuman karena minggu ini adalah waktu terakhir dia bekerja sebagai sekretaris Arnold."Pagi, Sir! Saya mau ingatkan rapat akan dimulai lima menit lagi. Perwakilan dari Flamingo Estate sudah menunggu Anda di ruang rapat," ujar Greta, berdiri di depan meja Arnold.Arnold melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 07.55 a.m. "Baiklah, saya ke sana sekarang. Kau juga ikut rapat, ya."Greta menaikkan kedua alisnya. "Saya harus ikut juga, Sir? Bukankah seharusnya Ryan?" tanyanya dengan nada heran karena dia hanya seorang sekretaris, bukan asisten pribadi Arnold.Arnold beranjak dari kursi, berjalan mendekati Greta. "Ryan sedang berhalangan hadir. Dia ada rapat dengan pihak Atreya Land pagi ini. Jad
Greta menutup pintu apartemen. Hari ini benar-benar melelahkan. Bukan tubuhnya, melainkan pikiran dan hatinya. Dia berjalan ke dapur, mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya ke gelas. Dia meneguknya langsung hingga tandas. Belum merasa baik, dia kembali melakukan hal yang sama. Matanya terpejam sesaat, meresapi sensasi dingin yang seketika mengalir ke tubuhnya. Perlahan hati dan pikirannya mulai tenang. Miley yang baru selesai berbelanja, masuk begitu saja ke apartemen Greta karena sebelumnya dia sudah menelepon Greta bahwa dia akan datang. "Hai, Gre! Bagaimana pertemuanmu dengan detektif itu? Semuanya lancar?" tanyanya. Dia meletakkan barang belanjaannya ke sofa. Dia mengeluarkan dua kotak nasi dan ayam goreng yang dia beli di resto langganannya ke atas meja makan. "Pertemuan kami berjalan lancar, tetapi," Greta menarik napas pelan. Langkahnya begitu lemas ke arah meja makan dan duduk berhadapan dengan Miley, "Billy masih belum tahu bisa atau tidak mene
Hari Sabtu, hari libur kerja di perusahaan AH Group. Bukannya memanfaatkan waktu libur untuk beristirahat di apartemen, Greta justru membuat janji temu dengan Billy Sharpen, seorang detektif yang akan membantunya mencari keberadaan Mark, kekasihnya. Baginya, tujuan dia berada di kota besar itu jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi.Setelah turun dari taksi, Greta bergegas memasuki sebuah kafe yang berada di jantung kota Los Angeles. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri mencari Billy meski dia tidak yakin pria itu sudah datang atau belum. Matanya memperhatikan satu per satu pengunjung, baik yang sedang duduk maupun yang baru datang, di dalam kafe tersebut. Namun, dia tidak menemukan sosok pria yang berpenampilan ala detektif. Dia pikir meski tidak tahu seperti apa wajah Billy, mungkin akan mudah menemukan Billy hanya dengan melihat penampilan.Merasa seperti orang bodoh karena terus-menerus berdiri, Greta menelepon Billy. Tak membutuhkan waktu lama, telepon itu
Greta berusaha memejamkan mata. Rasa kantuk yang menyerang matanya sama sekali tidak bisa membuat gadis itu terlelap. Sejak tadi, dia hanya bergerak miring ke kanan dan kiri. Untung saja, Miley yang tidur di sampingnya, tidak terganggu karenanya. Kesal sebab terus terjaga, dia bangkit duduk dan bersandar di kepala ranjang. Matanya menoleh ke arah jam dinding. Sudah pukul 03.00 pagi. Dia masih belum tidur sedetik pun, apalagi dia harus pergi kerja beberapa jam lagi.Greta menghela napas berat. Sebenarnya, gadis itu tidak ada niat untuk begadang malam ini. Namun, pikirannya terus dihantui rasa cemas tentang bagaimana sikap dan mau berkata apa jika nanti bertemu dengan Arnold.Apa Arnold akan menagih biaya perbaikan mobil padanya atau mungkin dia akan dipecat? Lantas, bagaimana dengan paket yang semalam diterimanya? Benarkah itu sebagai tanda permintaan maaf padanya atau hanya kesenangan sesaat sebelum dia diseret ke penjara atas perbuatannya?Greta mengusap-usap w
Di dapur minimalis tampak dua orang ibu sedang sibuk dengan peralatan kue. Bertha, wanita gemuk berambut ikal warna merah kecokelatan, sedang mengaduk adonan tepung dengan mixer.Grace, wanita yang berdiri di samping Bertha, sedang mengiris strawberry yang baru dipetik suaminya dari kebun. Tiba-tiba terlintas bayangan seorang gadis yang sangat dirindukannya. Hatinya terasa sesak. Bayangan gadis itu kembali terhubung pada kejadian beberapa bulan yang lalu sebelum gadis itu pergi dari rumah.Greta menarik koper keluar dari kamar. Langkahnya terhenti saat melihat orang tuanya sedang berbincang di teras depan bersama Walter dan Bertha, paman dan bibinya."Dad, Mom, Aunty, Uncle, aku mau pergi."Obrolan empat orang tersebut terjeda, lalu menoleh ke arah Greta. Mereka saling bertukar tatap, keheranan."Kau mau pergi ke mana, Gre?" tanya Grace seraya bangkit dari kursi dan menghampiri G
Suasana pagi ini agak berbeda daripada kemarin. Tidak ada sapaan atau sambutan hangat dari para pegawai yang berdiri di depan pintu. Bahkan, tidak tampak seorang pun pegawai yang berlalu-lalang di area lobi saat Arnold melewati pintu utama.Wajar saja. Ini masih pukul 06.00 pagi dan pastinya belum ada yang datang. Arnold memang sengaja datang lebih awal karena ingin segera menyelesaikan urusan pekerjaannya di kantor cabang sebelum balik ke kantor pusatnya yang ada di Spanyol.Arnold masuk ke lift khusus. Dia menekan angka lima belas yang berarti tempat tujuannya. Berada seorang diri di dalam lift membuat ingatannya kembali pada kejadian kemarin sore di parkiran. Dia membayangkan bagaimana ekspresi Greta saat tahu dia adalah pemilik mobil itu sampai-sampai tergelak singkat. Untungnya, tidak ada yang melihat saat pintu lift terbuka. Dia kembali melanjutkan langkah menuju ruangannya.Ketika akan melewati meja sekretaris, Arnold mengambil secarik kertas kecil
Begitu banyak pekerjaan yang harus Arnold tangani hari ini hingga tidak terasa sudah pukul 05.00 sore. Sebelum pulang, Arnold berdiri di depan dinding kaca sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Tatapannya lurus ke gedung-gedung besar dan kokoh yang berdiri tak jauh dari gedung kantor miliknya. Beragam rencana untuk besok sudah tersusun rapi di otaknya. Tak lama kemudian, ponselnya berdering.Ketika melihat nama si penelepon, Arnold langsung menjawab panggilan itu, "Halo, Mom!""Kau sudah tiba di Los Angeles, Nak?""Sudah, Mom. Tadi pagi. Ada apa, Mom?""Nanti datanglah ke rumah! Mom dan Dad sangat merindukanmu.""Aku pasti datang ke rumah. Aku juga merindukan kalian.""Baiklah. Jaga kesehatanmu! Mom tunggu.""See you, Mom." Arnold mengakhiri panggilan lalu menyimpan ponselnya kembali ke saku jas. Saat akan berbalik, dia melihat sekilas ada seseorang di area parkir. Dahinya berkerut sembari menajamkan pandangan karena posisiny
Hari pertama tiba di kantor cabang, Arnold langsung memimpin rapat dengan para dewan direksi dan kepala divisi. Pria itu bersandar di punggung kursi pimpinan sambil meneliti setiap laporan. Dia mencari pokok permasalahan yang membuat perusahaan cabangnya ini mengalami penurunan omzet. Alasan inilah yang membuat dia datang ke perusahaan cabangnya.Keheningan menyelimuti ruangan itu. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara. Mereka menunggu respons dari Arnold.Arnold menegakkan tubuh setelah menemukan titik masalah. Tatapannya mengedar ke semua yang hadir di ruang rapat. "Apa kalian tahu letak masalah pada laporan-laporan ini?"Para dewan direksi dan kepala divisi itu saling bertatapan, lalu menggeleng sebagai jawaban."Kelalaian kalian yang menyebabkan semua laporan ini bermasalah. Kalian sebagai dewan direksi dan divisi tidak mengawasi pekerjaan bawahan kalian dengan baik. Bahkan, saya menemukan b
"Sebentar lagi, Mr. Herwingson, pimpinan kita dari kantor pusat akan datang. Saya harap kalian memberi sambutan terbaik untuknya." Ryan—asisten pribadi Arnold—memberi tahu kepada para direksi dan pegawai yang berdiri rapi di kedua sisi pintu utama. Mereka sudah siap sejak lima belas menit yang lalu.Saat mobil sport berwarna merah berhenti di depan cabang AH Group, Ryan bergegas menghampiri mobil tersebut. Tanpa melihat pun, Ryan sudah tahu siapa yang berada di balik kemudi.Pintu mobil terbuka otomatis ke atas. Seorang pria keluar dengan setelan kantor yang sangat rapi. Meski memakai kacamata hitam, aura ketampanannya tetap terpancar kuat hingga membuat belasan pasang mata para pegawai yang dominan perempuan berdecak kagum. Ini bukan pertama kalinya pria itu datang mengunjungi cabang perusahaannya. Namun, mereka tetap saja terpesona dengan ketampanan atasan mereka."Selamat datang, Sir," sambut Ryan d